💕19.Kebun Melati💕
Lian-Dayu datang lagi. Terima kasih buat kalian yang mendukung cerita ini di sini atau di KK. Jangan lupa vote n komen yak. Semoga terhibur
***
Yu Lian mengurai pelukannya. Dia menangkup pipi Dayu. Saat lelaki itu hendak mendekatkan wajahnya untuk mendaratkan bibirnya ke bibir penuh milik Dayu, perempuan itu justru melengos.
Lian terkesiap mendapati penolakan Dayu. "Dayu ...."
"Maaf ...." Dayu mendorong tubuh Lian. Dari ekor matanya Dayu menangkap gurat kekecewaan di wajah Lian.
Mereka membisu. Sementara itu, Lian yang masih memandang istrinya dengan intens. Dia berusaha sekuat tenaga mengurai senyuman. Tanpa kata yang mengudara, Lian melanjutkan menyeka tubuh Dayu.
Handuk basah itu mengusap dengan lembut tubuh Dayu mulai dari lengannya. Dayu layaknya seperti patung lilin yang dingin tak bereaksi. Saat Lian melepas kutangnya pun, Dayu hanya diam membiarkan Lian membersihkan permukaan kulit tubuhnya.
Tangan Lian yang mencengkeram handuk itu bergetar saat mengusap leher Dayu. Dada perempuan yang menggantung di depannya diusapnya dengan penuh kelembutan yang berbalut cinta. Dayu hanya menggigit bibirnya menahan letupan rasa sedih dan kecewa, karena pikirannya terus menerus menggodanya dengan bayangan Lian yang bercumbu dengan Yi Jie semalam.
Alih-alih menyuruh Dayu berbalik, Lian yang memilih memindah posisinya di belakang Dayu karena hendak menyeka punggungnya. Ia menyibak rambut sebahu ke bahu kirinya, menguak punggung mulus yang berwarna cokelat.
Lelaki itu mengeratkan rahangnya karena kesedihan Dayu sungguh merajai udara di kamar itu. Lian tahu yang dirasakan istri keduanya dan hal itu membuat hatinya ikut tercabik.
"Pulanglah besok pagi untuk mempersiapkan pernikahan kita. Aku akan mengantarmu," kata Lian tiba-tiba.
Perkataan Lian itu seharusnya membuat Dayu lega. Namun, sekarang justru meletupkan rasa sedih di hati Dayu. Membuat dadanya semakin sesak karena merasa dicampakkan.
Melihat punggung yang bergetar itu, Lian memeluk Dayu dari belakang dengan erat. Isakan Dayu hanya disambut dengan kata maaf berulang dari Lian.
"Kumohon jangan seperti ini, Dayu. Kasihan anak kita ...." Bisikan Lian menyusup di pendengaran Dayu.
"Koko tidak kasihan denganku!"
"Justru karena kamu begini aku kasihan kamu, Dayu. Tapi aku harus bagaimana, di saat aku tidak bisa menelantarkan kalian berdua? Aku berada di antara kamu dan Ke Yi Jie?"
Ucapan Lian semakin membuat Dayu tergugu.
Lian masih memeluk wanita yang menangis itu. Dia mengeratkan rangkulannya di dada sang perempuan, tak rela membiarkan wanitanya dan jabang bayinya itu pergi.
***
Selesai menyeka tubuh Dayu, Lian membawa baskom itu ke luar. Setelah mengenakan pakaiannya, Dayu menyisir rambut, agar penampilannya sedikit lebih nyaman dipandang, walau matanya tampak sembab. Tak langsung keluar, Dayu yang menata terlebih dahulu tempat tidurnya. Setidaknya dia tidak ingin kamarnya ikut berantakan seperti hatinya.
"Dayu ...."
Panggilan Yi Jie mengagetkan Dayu. Dayu berbalik, masih memegang selimut yang hendak dilipatnya. "Ya?"
"Zǎocān (Sarapan)." Ke Yi Jie memberi isyarat dengan gerakan tangan ke arah mulut.
Dayu paham maksud Yi Jie.
"Saya menyusul, Cik."
Tak ada lima menit, Dayu keluar untuk bergabung di meja makan yang diisi dengan keriuhan sendok dan sumpit yang beradu dengan mangkok. Selingan tawa para orang dewasa mendengar celotehan Luyi menguar menambah keceriaan saat sarapan.
Baba Jie lalu menarik kursi yang akan diduduki menantu keduanya. Dayu menempatkan diri di kursi yang disediakan Baba Jie. Tepat di depan Yu Lian. Tanpa bicara, dia mengisi mangkoknya dengan nasi dan mengambil sayur di atas gundukan nasinya.
"Jangan lupa makan lauknya, Dayu. Ini dendeng sapi yang diberikan oleh pelanggan toko kemarin." Dengan sumpit Lian menjepit sepotong dendeng sapi dan ditempatkan di atas nasi Dayu.
"Makan ... banyak. Supaya ... sehat," timpal Ke Yi Jie dengan senyuman yang membuat matanya menyipit.
Dayu hanya bisa mengulaskan senyuman tipis mendengar ucapan Yi Jie. Dia hanya menganggap Yi Jie hanya berbasa-basi.
Dayu mengangkat mangkoknya di depan mulut dan menggerakkan sumpit, ingin memindahkan semua isi mangkok itu ke dalam perut. Walau sebenarnya, bukan hanya itu alasannya. Dayu ingin menutupi wajah kesedihannya yang berbanding terbalik dengan keceriaan yang mendominasi ruang makan. Dia juga berusaha menutupi pandangannya, saat Lian selalu menerbitkan senyum bercakap dengan Ke Yi Jie.
"Ko, aku boleh ikut ke toko. Aku belum pernah ke sana," kata Dayu di sela dia makan.
"Istirahatlah dahulu. Wajahmu pucat sekali," larang Lian sambil mengambil sepotong dendeng dengan sumpitnya.
"Kumohon. Bukankah besok aku sudah tidak ada di sini?"
Baba Jie menoleh memandang menantunya dengan alis yang berkerut tajam. "Apa maksudnya?"
"Aku memperbolehkan Dayu pulang untuk mempersiapkan pernikahan kami," jawab Lian.
"Pernikahan kalian masih sepuluh hari lagi. Untuk apa buru-buru?" Baba Jie meletakkan mangkok yang belum habis isinya.
"Dayu butuh istirahat."
Baba Jie memandang anak lelakinya yang melukiskan kesedihan di wajah.
"Kumohon, biarkan aku ikut," pinta Dayu sekali lagi.
Lian hanya bisa menghela napas panjang, tak bisa menyanggah permintaan Dayu. Dia tahu sifat keras kepala istrinya. Disanggah pun tiada guna. Daripada diam-diam Dayu keluar dan tersesat lagi, Lian terpaksa menyetujui.
"Dengan satu syarat. Kamu harus duduk manis sewaktu di toko nanti. Paham?"
"Iya ...."
Mereka pun akhirnya berangkat dengan Dayu yang dibonceng sepeda oleh Lian karena laki-laki itu tidak ingin Dayu terlalu lelah berjalan. Angin sepoi yang membelai rambut Dayu, mempermainkan anak rambut yang lepas dari kucir ekor kudanya. Dayu melingkarkan tangannya di pinggang Lian, sementara kaki lelaki itu sibuk mengayuh pedal sepeda.
Disandarkannya kepala Dayu di punggung Lian, mengingatkannya pada kisah lama mereka saat tersesat ke Jembatan Merah.
"Dayu, kamu masih ingat sewaktu kita di Soerabaja?" Yu Lian masih mengerahkan tenaga untuk memutar roda sepeda menggelinding di jalanan kota Soerakarta.
"Kenapa?"
"Aku tidak menyangka, perempuan yang sering aku bonceng itu jatuh cinta padaku."
Dayu mendengkus keras.
"Aku tidak menyangka lelaki yang katanya duda itu juga katanya mencintaiku!" seru Dayu kesal karena Lian seolah besar kepala mengetahui perasaannya.
"Tidak katanya lagi. Itu kenyataan kalau aku mencintaimu!" sanggah Lian.
"Tapi hatimu terbagi," kejar Dayu tak mau kalah.
"Kata siapa?"
"Kataku."
Yu Lian terkekeh. "Aku tahu kamu cemburu dengan Ke Yi Jie. Percayalah padaku, Dayu!"
"Siapa yang cemburu!" Suara Dayu melengking tajam.
Namun, Lian tidak menjawab lagi.
Dalam keheningan yang hanya diisi oleh suara derik rantai yang memutar roda, Dayu mengeratkan rangkulan tangannya.
Gusti, aku tidak mau melepaskan lelaki ini. Tapi aku tidak bisa tahan bila harus melihatnya memanjakan Ke Yi Jie.
Lagi, mereka diam. Tidak lagi ada kata yang terucap dari bibir sampai mereka tiba di tujuan. Dayu turun begitu saja, saat Lian mengerem sepeda di sebuah bangunan toko yang di atasnya bertuliskan 'Toko Herbal Baba Jie'. Disandarkannya sepeda onthel itu di batang pohon yang tumbuh di depan toko. Sampai toko terbuka pun, mereka masih mengunci mulutnya.
Lian merasa percuma bicara dengan Dayu saat ini. Gadis itu dalam keadaan yang masih terkejut dan tertekan. Sementara dia yang berada di tengah-tengah merasa serba salah di antara Yi Jie dan Dayu. Di sisi lain, Lian senang Yi Jie bisa bertahan hidup dalam peristiwa tragis itu. Namun, kedatangannya juga membuat lelaki itu menjadi dilema. Bagaimanapun Yi Jie adalah gadis yang pernah ia nikahi, dan tak mungkin Lian mencampakkan begitu saja.
Sesaat sesudahnya rombongan Yi Jie, Baba Jie, dan Luyi tiba. Beberapa pelanggan sudah datang dan sudah dilayani oleh Lian. Sementara Dayu membantu menyapu toko. Masih pagi pun ternyata toko sudah banyak dikunjungi oleh pelanggan, baik yang ingin berkonsultasi masalah kesehatan, ataupun hanya sekedar membeli obat racikan herbal.
Sesuai janjinya, Dayu hanya bisa duduk mengamati Lian yang sibuk menimbang racikan obat yang diresepkan oleh Baba Jie. Sedang Yi Jie sibuk melayani pelanggan yang lain. Kedua orang itu saling membantu dan terlihat kompak. Ketika Lian menyebutkan salah satu bahan herbal, dengan sigap Ke Yi Jie langsung bisa menemukan tempatnya dan memberikan apa yang diminta oleh pria itu.
Dayu menghela napas panjang. Di depannya ada Luyi yang menggambar di sebuah sabak yang sengaja dibawa oleh Dayu untuk menemani anak itu. Setelah apa yang terjadi kemarin, Dayu berjanji akan menjaga Luyi dengan baik.
Sudah dua jam, Dayu duduk di meja yang biasa digunakan untuk makan dan bercengkeram bila pelanggan sepi. Sesekali Dayu melirik ke depan dan tiap kali mendapati kedekatan ibu Luyi dengan suaminya, hati Dayu seperti tersayat sembilu. Dia sengaja duduk membelakangi mereka dan menghadapkan badannya ke arah Luyi, walaupun tatapannya kosong.
"Niang ... aku bosan."
Mendengar kata 'bosan' dari Luyi, mata Dayu berbinar. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan sebentar?"
"Jalan-jalan? Women yao qu nali (Kemana)?" tanya Luyi bersemangat.
Dayu mengerutkan alis tak mengerti. "Pakailah bahasa Indonesia bila berbicara dengan Niang." Disebut 'Niang' pun sebenarnya Dayu enggan.
Luyi mengulang kata-katanya. "Kemana?"
Dayu berpikir sejenak. Dia tidak ingin pengalamannya hilang kemarin terulang lagi. "Kebun melati yang ada di belakang klenteng pasar ini."
Luyi mengangguk-angguk senang. Mereka pun berdiri. Dayu mengulurkan tangan untuk menggandeng Luyi. Sebelum mereka pergi, dia menghampiri Lian terlebih dahulu.
"Ko, aku mau mengajak Luyi jalan-jalan."
Perhatian Lian yang sedang menimbang bahan dengan neraca terpecah.
"Jangan kemana-mana. Aku takut kamu tersesat lagi," larang Lian masih memegang ujung gantungan neraca.
Dayu mencebik. "Aku hanya ingin mengajak Luyi ke kebun melati di belakang Klenteng."
"Dayu, kumohon," pinta Lian memelas. Dia lalu meletakkan neracanya. Sementara, Yi Jie yang ada di sampingnya lantas mengambil alih neraca itu dan meneruskan apa yang dilakukan Lian.
"Aku bukan anak kecil!"
"Dayu!" sergah Yu Lian dengan nada tinggi, hingga membuat orang-orang menatap ke arah mereka.
Wajah Dayu memerah. Dengan tatapan yang membalas melotot kepada Lian, dia mengajak Luyi pergi. "Ayo, Luyi kita berangkat!"
Lian hanya bisa memandang kosong punggung Dayu yang menjauh. Dalam hati ia merutuki sifat Dayu yang keras kepala.
"Weishenme (Kenapa)?" tanya Yi Jie. Matanya masih fokus pada neraca yang sedang dipegangnya.
"Méiguānxì (Tidak apa-apa)."
Lian melanjutkan melayani pelanggan yang lain. Dia tidak ingin Yi Jie tahu bahwa dia dan Dayu berselisih paham. Sesekali dia menoleh melihat Dayu dan Luyi yang berjalan dengan gembira. Entah kenapa, hati Lian sangat tidak tenang.
***
Dayu membawa Luyi menuju kebun melati yang ada di belakang Klenteng Tien Kok Sie. Letak klenteng dengan toko tidak seberapa jauh. Bahkan dari serambi toko obat keluarga Yu, klenteng itu langsung terlihat karena mencolok dengan warna merah dan kuning di tepi jembatan.
Dayu menyeberangi jalan dengan tak sekalipun melepaskan pegangan Luyi yang sedang melantunkan lagu bahasa China. Dayu hanya menyambut dengan gerakan kepala diselingi senyuman. Sesekali Luyi mengelus perut Dayu sambil menciumnya.
"Ini Didi (adik laki-laki) atau meimei (adik perempuan)?" tanya Luyi. Dayu menebak, bahwa Luyi menanyai jenis kelamin anak yang dikandungnya.
"Kamu mau adik laki-laki atau perempuan?" Pertanyaan Luyi dijawab dengan pertanyaan lagi.
"Didi ... supaya bisa diajak bermain bola." Dayu menyimpulkan Luyi ingin adik laki-laki.
"Sepertinya begitu." Dayu mengacak rambut lurus yang lembut milik Luyi.
Dayu akhirnya paham, kenapa Lian tidak bisa jauh dari Luyi. Luyi memang anak yang menggemaskan. Kemampuannya bicara di usia 4 tahun membuat orang dewasa mudah menyukainya.
"Itu kebun melatinya, Luyi!"
Mata sipit Luyi membuka lebar. Mulutnya menganga, saat melihat pemandangan warna hijau dan putih yang memenuhi kebun. Wangi semerbak bunga melati memenuhi seluruh kebun kecil di bantaran Kali Pepe.
"Ayo, bantu Niang mengambil bunga melatinya," ajak Dayu dengan bersemangat.
"Baik ...."
Mereka berdua asyik memetik bunga kecil berwarna putih itu. Dayu mengambil bunga itu dan dikumpulkan di rok yang dipegang ujungnya membentuk sebuah kantong.
"Niang, yang ada di atas pohon itu apa?"
***
Lian buru-buru melayani pelanggannya. Dia tak nyaman membiarkan Dayu dan Luyi keluar sendiri. Walaupun kebun melati yang disebutkan Dayu itu dekat, hanya di belakang Klenteng di sisi kanan jembatan Kali Pepe.
Baba Jie yang sudah selesai melayani konsultasi, akhirnya keluar dari bilik. Ia tidak mendapati Dayu dan cucunya.
"Dayu zai na (Dayu dimana)?"
Dengan tangan yang masih sibuk membungkus obat, Lian menjawab, "Di kebun melati."
Mata Baba Jie melebar. "Kamu membiarkan mereka ke kebun melati?"
Nada suara Baba Jie yang meninggi membuat tangannya terhenti membungkus. Dia menatap Baba Jie.
"Weishenme (Kenapa)?"
"Di sana ada rumah tawon besar!"
Mendengar hal itu, seketika Lian meninggalkan bungkusan herbalnya. Dia berlari ke luar tak menghiraukan mobil yang sedang melintas. Suara klakson membahana terdengar disertai umpatan kala Lian tiba-tiba menyelonong menyeberang jalan.
Lian tidak mempedulikan umpatan kasar yang ditujukan padanya. Pikirannya hanya tertuju pada Dayu dan Luyi. Kakinya terus melaju menapak jalan berdebu di sepanjang bangunan pasar menuju ke Klenteng Tien Kok Sie. Jantung Lian terpacu detaknya, sementara pikirannya menepis segala perasaan buruk yang mendera batin.
Begitu ia menyusuri bangunan berdinding merah menuju ke bagian belakang klenteng, bola matanya membulat saat mendapati Luyi menangis di sebelah Dayu yang sudah tergolek tak sadarkan diri dengan ceceran bunga melati yang kelopaknya kini menjadi merah.
💕Dee_ane💕
Hai, berhubung Lian-Dayu udah pernah tamat setahun lalu dan ini proses revisi, maka untuk baca gratisnya aku sudahi sampai part ini ya. Buat kalian yang mau baca lanjutannya, silakan mampir ke KK. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya🙏. Pastiin baca ceritaku pas on going yak. Buat yang butuh asupan cerita hisfic aku rekomendasikan dua cerita di bawah ini. Buruan mampir, mumpung masih dibuka full part.
Atau, suka yang romance zaman now. Nih, ada :
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro