Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

💕18. Hati Yang Hancur💕

Ada yang nungguin Lian Dayu? 🙄 Silakan vote n komen banyak2 biar updatenya cepet. Fyi, menur udah sampe part 36 di KK. Silakan merapat buat yang pengin baca duluan.

***

Dayu tidak berani membuka mata. Pemandangan yang ada di depannya, yang baru saja dilihatnya itu seperti mencolok dan menusuk hatinya. Nyeri ... 

Wanita mana yang ingin diduakan. Wanita mana yang ingin menjadi istri kedua. Apa yang dilihatnya menghantarkan sensasi perih dan sesak di dada laksana tercabik sembilu.

Di sisi lain dia tidak bisa menyalahkan Yi Jie walaupun sebenarnya mulut Dayu ingin memberikan sumpah serapah dengan menyebutkan semua nama binatang yang ditemuinya di hutan sewaktu pelarian. Bahkan Dayu ingin mengumpat lebih kasar untuk meluapkan emosinya. Namun yang terjadi, Dayu hanya diam. Meringkuk sambil memperkirakan apakah pemandangan di depan matanya sudah usai.

Dibukanya satu mata Dayu perlahan, walau kelopak matanya masih terlihat seperti terpejam. Dengan pandangan kabur, ia masih melihat tubuh istri pertama suaminya menempel lekat erat seperti perangko di tubuh Lian.

Yu Lian ... kamu tak ubahnya seperti lelaki lainnya! Enak dipeluk begitu??Hah! Dayu merutuk dalam hati.

Saat hendak menginterupsi keintiman Lian dan Yi Jie, Dayu justru dikejutkan saat Yi Jie mengurai pelukan dan menarik lengan Lian ke luar dari kamar mereka. Hati Dayu semakin jengkel saat melihat wajah ceria Yi Jie yang setengah memaksa menarik Lian tetapi tidak ditolak oleh lelaki itu.

Sunyi ... Sepi .... 

Kini hanya Dayu yang ada di kamar ini. Suara detikan jarum panjang jam yang tergantung di dinding terdengar menguasai ruangan, menemani kesendiriannya. Sesekali Dayu pun mendengar suara orang yang berjalan di luar sambil berbicara dengan bisikan yang masih terdengar. Ruangan yang cukup besar itu terasa kosong, sekosong batin Dayu.

Dayu bangkit duduk di bibir ranjang. Dia memandang setiap sisi kamar yang baru beberapa hari ia gunakan untuk mengistirahatkan raga. Dalam hati tebersit niat untuk meninggalkan rumah yang tak lagi seperti surga ini. Hati Dayu tercabik setiap melihat Lian bersama istri pertamanya. 

Helaan napas berat keluar dari lubang hidung Dayu. Dia menunduk mendapati perutnya yang membuncit. Membuncit ... tapi tidak besar. Dayu merasa ada yang salah dengan kehamilannya. Dia berdiri, berjalan ke arah meja di sisi jendela dan membuka laci untuk mengambil pita meteran. 

Dayu meletakkan pita meter itu di atas meja untuk lebih dahulu mengosongkan kandung kemih dan mandi serta mengisi perutnya karena baru pagi tadi dia makan. Dayu segera mengambil baju ganti dan keluar menuju ke kamar mandi yang letaknya berada di dekat dapur. Diedarkan pandang ke ruang tamu, tetapi di situ hanya ada Baba Jie yang sedang membaca-baca buku ramuan dalam tulisan China yang tidak dimengerti Dayu.

"Kamu tampak pucat Dayu, jangan lupa makan." Baba Jie mengingatkan. 

"Iya, Fuqin." 

Baba Jie tersenyum sekilas kemudian kembali melanjutkan aktivitas bacanya. 

Dayu melanjutkan langkah dan terhenti di depan kamar Yi Jie yang tertutup. Dayu berusaha sekuat tenaga tidak ingin berurusan dengan istri pertama Lian tapi sayup-sayup dia mendengar tawa Lian dan Yi Jie juga geraman tertahan Lian.

Dayu menggeleng kepalanya, berusaha menepis pikiran buruk tentang apa yang terjadi di dalam. Telapak tangannya mengepal kuat membuat seluruh badan bergetar. 

"Ye ye (Kakek dari pihak ayah), temani aku tidur." Dayu menoleh melihat Luyi keluar dari kamar Baba Jie sambil menggosok matanya.

Berarti mereka ....

Dayu menatap tajam pintu tertutup itu. Susah payah wanita itu menelan ludahnya sendiri. Langkah kakinya terasa berat seolah ada belenggu yang memaku telapak kaki di tempat dia berdiri. Hati Dayu serasa ditumbuk oleh palu hingga berkeping-keping. Kini tidak ada lagi sisa karena setiap sudut relung hati Dayu telah luka.

Dayu masuk ke dalam kamar mandi. Dilepasnya baju terusan yang dia pakai, dan segera mengguyur badannya dengan gayung batok kelapa untuk mendinginkan kepalanya yang panas dan hatinya yang telah mendidih.

Isakan Dayu teredam oleh guyuran air yang terus menerus membasuh tubuhnya. Sampai akhirnya Dayu melempar gayung ke permukaan air yang tinggal tiga perempat. Jemari tangannya mencengkeram pinggiran bak berusaha meredam gejolak yang dirasakannya.

Dayu ... kamu bertahan atau kamu pulang dengan cibiran! Pilih salah satu!

Dua-duanya adalah pilihan yang berat. Bila dia bertahan hatinya akan semakin hancur dan tersiksa. Namun bila ia pulang dia akan mendapati cibiran dari tetangganya bahkan keluarga besarnya.

Dayu tergugu sendiri di kamar mandi. Tubuhnya bergetar menahan isakan yang meledak-ledak. Digigitnya kuat bibir bawahnya agar suaranya tidak terdengar, sampai Dayu merasakan rasa asin dan anyir di otot pencecapnya.

Mas Daru, aku kudu piye (aku harus bagaimana)?

***

Walaupun lidah Dayu terasa pahit, Dayu tetap harus makan. Selesai mandi dia langsung menuju ke meja makan. Dia membuka tudung saji dan tersisa ikan goreng dan sayur tumis kangkung.

Nasi di bakul sudah dingin. Dia mengambil piring yang disediakan di atas meja, mengambil sedikit nasi dan memotong ikan itu untuk mengambil kepalanya karena ia yakin Lian juga belum makan.

Sambil menyuapkan makanan ke dalam mulut, Dayu menatap ke arah kamar Ke Yi Jie. Rahang Dayu seolah menjadi kaku, susah untuk digerakkan untuk melembutkan makanan itu. Dalam kesepiannya, Baba Jie datang dan duduk di depan Dayu.

"Makan yang banyak, Dayu." Suara itu membuyarkan lamunan Dayu.

"Fuqin ...." Mata Dayu memerah dan berkilat saat diterpa cahaya bohlam di atas ruangan.

Baba Jie meraih tangan Dayu dan menepuknya perlahan. Tangan keriput itu menghantarkan suatu ketenangan batin di hati Dayu, yang membuat isakan tertahannya meluncur dari bibir.

Dayu menunduk, menyambut tangan berkeriput itu dan menggenggam erat seolah tangan itu sedang memegangnya agar tidak tenggelam dalam lautan kesedihan yang dalam. 

"Menangislah kalau ingin menangis. Tapi cerialah kembali seperti dulu. Wo merindukan Dayu yang selalu tertawa dan tersenyum di hari kesesakannya. Pasti berat bagi ni menerima semua yang terjadi."

Dayu hanya mengangguk berulang. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Susah payah Dayu mengunyah makanannya di antara isakannya.

"Fuqin, aku mau pulang." Dayu mendongak, menatap Baba Jie dengan wajah berlinang air mata. 

Baba Jie menggelengkan kepala. "Kalau kamu pulang dan meninggalkan Lian, bisa dipastikan dia akan lebih hancur dari kamu Dayu."

"Koko sudah mempunyai Cik Yi Jie," kilah Dayu. "Hatiku sudah cukup hancur, Die."

Mata keriput Baba Jie memerah. Dia merasakan penderitaan menantu keduanya. "Beristirahatlah sesudah ini, dan berpikirlah jernih."

***

Dayu membuka mata saat matahari sudah tinggi menggantung di angkasa. Diliriknya jarum jam pendek yang menunjuk ke arah pukul tujuh. Dayu tergopoh bangkit dan menjangkau cepat sandalnya. Matanya mengerjap saat melihat kakinya berbalut kain menutup luka terkelupas. 

Suara derik pintu yang terbuka membuat Dayu menoleh dan mendapati Lian yang tampak segar karena baru saja selesai mandi, masuk hanya mengenakan kaos dalam.

"Bagaimana tidurmu?" tanya Lian.

Lidah Dayu terasa kelu. Bayangan Lian memeluk Yi Jie, dan kasak kusuk di kamar tertutup itu menari-nari di otaknya. Mereka hanya bersitatap.  

Lian kini menaikkan alisnya memberi ekspresi menanti jawaban dari pertanyaannya.

"Cukup nyenyak ...."

"Syukurlah," jawab Lian lega. "Duduklah dulu. Aku akan membawakan air hangat untuk menyeka badanmu. Lukanya cukup parah. Jangan terkena air dulu."

Lian berbalik, tapi Dayu mencegahnya. "Ko, aku takut dengan kehamilanku." Suara Dayu terdengar serak. "Sebelum tidur aku mengukur tinggi fundus uterinya dan—"

"Sudah tidak usah dipikirkan. Duduklah dulu." Lian berbalik kemudian keluar dari kamar. 

Dayu duduk di ranjangnya. Hatinya kembali ngilu seperti mendengar suara logam yang menggesek batu.

Koko tidak peduli lagi denganku. Koko tidak peduli dengan anak kami lagi.

Dayu termenung dengan tatapan kosong mengarah ke dinding putih yang sudah kusam. Bahkan suara Lian yang masuk membawa baskom dan sabun itu tidak mengganggu Dayu yang asyik dengan dunianya.

Lian menjentikkan jari di depan mata Dayu, hingga membuat Dayu terkesiap. "Aku lepas baju—"

"Aku bisa menyeka sendiri." Dayu menahan tangan Lian yang hendak mengurai kancing blusnya.

Dayu menunduk, mengurut pandang lengan kekar itu hingga matanya tertuju pada tanda merah di area bahu Lian. Dayu mengeraskan rahangnya karena teringat apa yang terjadi semalam. Lagi ... bayangan Lian bersetubuh dengan Yi Jie terbayang dengan jelas seolah sengaja memenuhi pikirannya.

"Ayo." Lian menurunkan tangan Dayu, kemudian melepas satu persatu kancing blus Dayu.

"Ko, aku ... takut kenapa-kenapa dengan bayi kita." Suara Dayu lirih penuh dengan rasa bersalah.

Namun, Lian hanya menanggapi dengan wajah tenang.

"Jangan berpikir macam-macam. Beristirahatlah. Jangan mencuci, jangan menimba, jangan melakukan hal yang berat. Kamu mestinya tahu kan, Dayu? Kenapa masih melakukan hal yang mestinya tidak kamu lakukan?" kata Lian yang sekarang sudah membuka blus Dayu.

"Koko ... menyalahkan aku?"

Yu Lian menggeleng. "Kamu seorang ibu yang juga dokter. Mestinya kamu tahu yang terbaik untuk bayi ini bukan?"

Lian menunduk mengecup kulit perut buncit Dayu yang masih menunjukkan warna merah akibat luka bakar. 

"Koko tidak peduli dengan kehamilanku!"

Mata Yu Lian melebar saat tuduhan itu menyusup ke celah telinganya. "Apa maksudmu?" 

Lian menegakkan tubuh. Alisnya bertaut di pangkal hidung menatap Dayu yang juga memandang tajam ke arahnya. 

"Koko tidak peduli—"

"Kalau aku tidak peduli, setiap malam aku tidak akan mengukur fundus uterimu. Kalau aku tidak peduli aku tidak akan menggendongmu dan membiarkanmu tersesat. Kalau aku tidak peduli aku ... aku ... aku ... ah, sudahlah! Dewi Andayu selalu benar!" Lian bangkit menuju ke baskom yang ia letakkan di atas meja di tengah ruangan. Dia mencelupkan handuknya dan memeras kuat handuk itu hingga bunyi gemericik menggaung di ruangan yang terasa sesak karena udara ketegangan menyelimuti mereka.

"Aku tidak ingin berdebat. Aku lelah. Aku merasa bersalah denganmu, tidak bisa memberikan yang terbaik untukmu dan anak kita." Suara Lian terdengar serak seolah pita suaranya terhimpit sesuatu.

Lian kembali duduk di sebelah Dayu. Dia mengangkat lengan Dayu, kemudian menyeka perlahan kulit sewarna madu hutan yang membuat Lian ingin selalu mencecap manisnya tubuh sang istri.

"Pulangkan aku ke Bendan, Ko."

Suara itu menumbuk batin Lian. Dia meremas kuat handuk itu tidak ingin terpancing emosi. "Kenapa?" Lian masih berusaha untuk tenang.

"Aku ... tidak tahan melihatmu dengan Cik Yi Jie," jawab Dayu.

"Kamu tidak mempercayaiku?" tanya Lian.

Dayu mendengkus. "Aku tidak ingin membuatmu bingung, Ko. Antara cinta pertamamu dan aku."

"Cinta terakhirku Dewi Andayu," ujar Yu Lian mantap sambil merengkuh tubuh kecil Dayu ke pelukannya. "Kumohon bertahanlah."

"Apakah aku mampu?"

Mereka membisu dalam kesesakan yang mencengkeram dada masing-masing. Seolah udara yang bebas berembus di sekitarnya tak cukup memenuhi paru-paru mereka.

💕Dee_ane💕

Makasih masih ngikutin cerita ini, baik yang sudah kasih dukungan di KK maupun yang sabar menanti. Semoga kalian selalu sehat. Muachhh😘

Hati Dayu remuk redam ...

Baba Ji, mertua Dayu yang prihatin dengan kondisi menantunya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro