Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

💕15. Bersama Yu Luyi💕

"Diee!!" 

Panggilan itu membuat pembicaraan Dayu dan Lian terhenti. Mereka saling berpandangan. 

"Sebentar ya, Dayu. Nanti aku bantu lagi."  Lian bangkit dan mengeringkan tangan basahnya dengan mengibaskan tangan ke udara sehingga percikan air terciprat ke wajah Dayu.

Belum sempat Dayu menjawab karena ia mengusap wajah yang terciprat air dari kibasan tangan Lian dengan lengan bajunya, suaminya sudah tidak ada di situ. Sekejap saja batang hidung Lian sudah menghilang.

Dayu mendesah kesal dalam hati. Keputusannya menerima keadaan menjadi istri kedua rupanya cukup berat, membuat batinnya sesak. Dayu hanya bisa mencebik, sambil melanjutkan kegiatannya mencuci baju.

Sudah hampir selesai aktivitas mencuci baju yang dilakukan Dayu, tetapi Lian masih juga belum datang untuk membantu sesuai dengan janji. Saat membilas, sesekali dia melongokkan kepala di arah pintu dapur yang sepertinya sudah tidak ada aktivitas memasak. 

Dayu ingin memanggil, tapi dia percaya Lian pasti akan kembali untuk membantunya karena dia masih membutuhkan sebaskom air lagi. Namun saat bilasan kedua akan dilakukan, lelaki itu tidak kunjung datang.

Dayu bangun dengan susah payah. Kakinya terasa kesemutan karena duduk terlalu lama. Dengan meringis Dayu berjalan dengan punggung sedikit ditarik ke belakang. Punggungnya mulai sakit karena beban di perut yang semakin membesar. 

Dayu pun masuk ke dalam dapur yang sudah bersih. Ketika melangkah masuk lebih dalam, didengarnya suara dentingan mangkok dan sumpit beradu dari ruang makan. Dayu berjalan pelan tanpa suara. Hatinya bergemuruh saat di meja makan, Ke Yi Jie menduduki tempatnya di sebelah Lian dan Lian sibuk menyuapi Luyi yang berceloteh manja. Sedang Baba Ji terdengar terkekeh senang mendengar suara anak kecil itu.

Gusti, mereka sudah sarapan dan aku ditinggalkan?

Dayu berbalik ke belakang. Hatinya seperti diperas, hanya bersisa ampas sakit hati dan kekecewaan. Dayu menggigit-gigit bibirnya. Dia berjalan sambil meremas-remas rok yang melambai-lambai saat berjalan.

Dayu meraih ember yang tergeletak di sisi sumur. Dia melempar kasar ke dalam sumur tak peduli bila ember itu akan pecah. 

Sabar, Dayu! Sareh (tenang)!

Berulang kali Dayu mensugesti dirinya sambil menghirup napas dalam-dalam untuk mengisi rongga dadanya agar bisa mengalirkan oksigen ke otaknya. Detik ini Dayu butuh akal sehatnya alih-alih emosi yang membuatnya naik pitam. Beberapa kali Dayu menghirup napas sambil menimba air. Emosi yang bergejolak bisa teralihkan sejenak ke otot lengan Dayu, sehingga mampu membuat baskom kayu di depannya terisi penuh.

Dayu meletakkan kasar ember di bibir sumur. Dia mengembuskan napas keras membuat anak rambut yang menjuntai tak beraturan menutup wajahnya berkibar. Dayu menyeka keringat sejenak dengan lengannya. Dia menatap air di dalam baskom yang terisi penuh. Tetap saja, sekuat tenaga Dayu menimba air sumur, nyatanya itu tidak sama dengan menimba kesabaran. Emosi Dayu masih bergolak, kesabaran tidak mengisi penuh hatinya. Namun setidaknya, Dayu sedikit bisa mengendalikan. 

Dayu menengok ke bawah, ke arah cucian yang sudah berupa gulungan baju karena habis diperas di bilasan pertama. Dayu melipat roknya di antara pahanya, supaya saat menunduk gaunnya tidak ikut basah. Perempuan itu menunduk dan mulai membilas satu persatu baju.

Buru-buru Dayu menjemur baju, tidak ingin baju hari itu tidak terkena sinar matahari. Bulan September, adalah bulan yang kata orang Jawa disebut "sat-sat'e sumber", artinya bulan September merupakan musim kemarau yang kering. Matahari bersinar cerah, membuat terik di siang hari. Namun di pagi dan malam hari terasa begitu dingin dan membuat kulit kering. Dayu berpikir bila menjemur pakaian di pagi hari, saat pulang mengantar makan siang, jemurannya sudah kering sehingga ia bisa menyetrika.

Otak Dayu selama setengah tahun ini sudah terpola dengan berbagai rutinitas rumah tangga. Menjadi istri Yu Lian dan menantu keluarga Yu membuat kepalanya sudah diatur secara langsung menangani apapun tentang pekerjaan rumah.

Saat Dayu hendak masuk, Lian keluar. Dia tertegun mendapati baju basah sudah berjejer rapi di tali jemuran dan melambai ditiup angin.

"Dayu ...."

"Tidak udah minta maaf. Sudah selesai pekerjaanku." Nada Dayu ketus walau berusaha tetap tenang. Dia melalui Lian sambil membawa baskom. 

Lian hendak mengambil alih baskom namun ditepis Dayu.

"Jangan apa-apa membantuku. Aku bisa sendiri!" sergah Dayu dengan menatap tajam mata Lian.

Dayu bergegas ke kamar mandi untuk mengembalikan baskom itu, dan kemudian ia ke kamar untuk mengambil baju ganti. Lian mengikuti dari belakang. 

Melihat Dayu menoleh ke meja makan yang sudah tertutup tudung saji kembali, Lian berkata, "Kami sudah makan. Luyi ingin kami menemaninya makan."

Dayu tidak menjawab. Namun Lian berseru lagi. "Makanlah dulu Dayu, semalam kamu belum makan." Suara lelaki itu hanya mengambang di udara, tak memperoleh jawaban dari Dayu. 

Dayu berharap saat di kamar, Lian masuk dan berbicara baik-baik. Bukan di halaman atau berseru di ruang tengah. Namun yang diharapkan tak kunjung datang. Yang membuat Dayu marah bukan didahului makan pagi. Yang membuat Dayu kesal karena Lian sudah berjanji kepadanya untuk kembali membantunya. Namun sampai detik akhir Lian tidak juga kembali.

Cukup susahkah memberi tahu bahwa ia akan menemani Luyi makan? Kenapa memberi janji kosong? Dayu hanya bisa menyunggingkan senyum miring saat memikirkan pertanyaan yang muncul di benaknya. 

Dayu kemudian mendengkus menyadari, harapannya bahwa semua akan berakhir indah setelah masa pelarian. Tapi, ternyata semua hanya mimpi.

Dayu mengerucutkan bibir dengan kerutan alis yang tegas untuk menahan tangisnya. 

Dayu, kamu tidak boleh cengeng! Mengerti! Dayu menghardik dirinya sendiri dalam hati.

Dayu segera mengambil baju ganti dan saat mengambil kutang warna hitam, dia teringat kenangan indahnya bersama Lian saat pertama mereka menikah. Betapa Yu Lian memperhatikannya luar dalam. Dulu Dayu jengah dengan perhatian Lian, dan kini saat perhatian Lian terbagi dengan Yi Jie dan Luyi, dia merasa kehilangan.

Kamu tidak bersyukur Dayu. Dulu Lian begitu memperhatikanmu, kamu selalu marah-marah. Sekarang kamu marah-marah gara-gara Lian tak lagi memperhatikanmu. Hah, dasar manusia! Baru menyesal setelah kehilangan.

Dayu keluar dari kamar, melihat Lian yang menggendong Luyi yang berbalut handuk. Luyi terkekeh saat Lian memosisikan tubuhnya layaknya pesawat terbang, diikuti Yi Jie yang tersenyum gembira.

Lian berhenti sebentar. "Luyi, beri salam Dayu Niang."

"Zao an (Selamat pagi)." Luyi meringis.

Dayu hanya membalas dengan senyum walau hatinya berontak, kemudian berlalu untuk ke kamar mandi.

Begitu di kamar mandi, Dayu menutup pintunya kasar. Dia melayangkan pandang tak nyaman pada pintu yang tertutup seolah pintu itu adalah penyebab kemarahan dan sakit hati. 

"Lintang, bantu ibumu bersabar nggih, Nak" Dayu mengelus perut buncitnya dan memejamkan mata merasakan pergerakan anaknya yang menendang permukaan perut Dayu.

***

Pagi itu Dayu makan sendiri. Baba Ji sedang sibuk mengumpulkan tanaman herbal kering yang akan dibawa di toko. Lian mandi dan Yi Jie yang sudah mandi tampak sibuk berdandan di kamarnya.

Hati Dayu yang tak nyaman, berimbas dengan tubuhnya yang terasa meriang. Dayu menebak suhu tubuhnya sedikit meningkat. 

Dayu berpikir dia kelelahan. Tak hanya lelah fisik tapi juga mental. Padahal saat Dayu memeriksa luka bakarnya sewaktu mandi, dia menyimpulkan tidak terlalu parah. Ramuan yang dioleskan oleh Lian sangat membantu. Namun sekarang kepalanya sangat pusing. Lidahnya pun terasa pahit, membuat nafsu makannya berkurang. Apalagi masakan Yi Jie terasa asing di lidahnya.

"Dayu, nanti Yi Jie akan membantu di toko. Kamu bisa menemani Luyi? Kemampuannya meracik obat dan akupuncture sangat bagus," kata Lian begitu dia keluar dari kamar mandi.

"Iya ...." 

Akhirnya Baba Ji, Yu Lian dan Ke Yi Jie berangkat pada pukul delapan, sementara Dayu dan Luyi ditinggal sendiri di rumah itu. Sebenarnya Luyi merengek dan menangis ingin ikut dengan rombongan, tapi karena tidak ingin mengganggu pekerjaan mereka, tetaplah para orang dewasa itu meninggalkan Luyi di rumah. 

Dayu mengembuskan napas panjang. Dia bingung akan melakukan apa untuk membuat Luyi tenang. 

"Luyi, kamu mau bermain apa?" Dayu menggendong Luyi yang masih sesenggukan. Sesekali dia mengusap wajah putih anak kecil itu.

Luyi hanya menggeleng tak menjawab pertanyaan Dayu. 

"Die ... Niang." 

Dayu mendesah kuat. "Bagaimana kalau Dayu Niang mengajari menggambar. Nanti menjelang siang kita ke pasar, membeli buku cerita?" bujuk Dayu.

Mendengar tawaran Dayu, Luyi akhirnya bisa tenang. Dayu pun menggelar tikar di ruang tamu dan mulai berceloteh seperti seorang guru kepada murid cara menggambar dari angka.

"Lihat Xiao Lu, niang akan menggambar angka dua." Dayu menulis angka dua, di atas sabak (1) dengan sebuah grip. "Tebak akan jadi hewan apa?"

Luyi mengerutkan alis tampak berpikir. "Jadi hewan apa?" Mata Luyi berbinar tak sabar.

Dayu mengetukkan gripnya di dagu, menggoda rasa penasaran Luyi.

"Ayo, Niang!" Suara Luyi yang melengking memenuhi seluruh ruang tengah.

"Lihat baik-baik, ya?" Dayu membuat garis yang menghubungkan bentukan angka dua.

"Wow, jadi bebek!" Mata sipit Luyi semakin membulat lebar. Dia bertepuk tangan senang, membuat Dayu pun lega karena Luyi senang dengan permainannya.

Beberapa kali Dayu dengan sabar mengajar cara menggambar binatang dari angka hingga anak itu bisa melakukannya sendiri. Namun, beberapa saat kemudian, di tengah menunggu Luyi menggambar, Dayu merasa perutnya melilit. Dia harus ke belakang, untuk menuntaskan hasratnya.

"Xiao Lu, Niang, ke belakang dulu. Kamu di sini."

Luyi tak memperhatikan karena fokusnya tertuju pada apa yang sedang anak itu lakukan.

Sebelum ke belakang, dia menutup pintu depan dan segera berlari kecil ke belakang untuk menguras isi usus besarnya. Tak lama setelah urusannya selesai, Dayu keluar dengan lega. Dia mengelus perutnya yang terasa kosong. Namun, saat kembali ke ruang tengah, dia tidak mendapati Luyi.

"Luyi ... Xiao Luyi ... Luyi, dimana kamu, Nak?" Dayu mencari di seluruh kamar. "Luyi, kamu bersembunyi di mana?" Dayu bahkan menunduk mencari di kolong-kolong meja dan tempat tidur, tapi hasilnya nihil.

"Luyi ...." Saat Dayu menyadari tidak ada siapa-siapa selain dirinya di rumah itu, wajah Dayu memucat. "Luyi ... hilang!"

_______

Sabak : buku tulis kuno yang digunakan untuk menulis sebelum adanya buku tulis digunakan secara luas. Sabak terbuat dari lempengan batu karbon yang dicetak lempengan segi empat dan ditulisi dengan menggunakan grip (mirip pensil).

💕Dee_ane💕

Udah jadi istri kedua, jadi baby sitter pula, ck, ck, ck ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro