32
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
"Terima kasih, Roko." ucap Jentał dengan nada kaku.
Berbaring di dalam ruang langit-langit yang sempit, sambil mengintip ke bawah, si rambut merah bernafas lega karena sudah tak dikejar oleh zombi-zombi itu. Kini makhluk-makhluk itu hanya berkeliaran dan berputar tanpa arah — tanpa tujuan yang jelas — seakan mereka berdua sudah tiada bagi mereka.
"Syukur mereka gak naik sini," komentar Roko. "Kayaknya mereka gak sadar kalau kita ada di atas. Ayo Jentał, kita cari jalan keluar."
"Hmm." Jentał menanggapinya dengan anggukan serius.
"Tapi sebelum kita mulai jalan, bisa lihat petamu yang waktu itu?"
"Sebentar." Jentał membuat gestur mendecak dengan tangannya, dan suatu layar muncul dari udara. Nyala putihnya menerangi ruang langit-langit yang gelap itu.
"Eh salah," seru Jentał. Tanpa memakan waktu lama, layar tersebut digantikan dengan hologram gedung arkeologi yang berkotak-kotak. Kali ini ukuran hologram tersebut tidak lebih besar dari kepala mereka.
"Coba lihat bagian ruang sini," suruh Roko.
"Bentar ya." Gedung itu membesar dan terpotong di bagian yang menghadap mereka berdua. Interior ruang penerjemahan dapat terlihat dengan jelas di sana — perabotannya, peralatannya, semuanya terlihat begitu nyata. Demikian juga dengan ruang lainnya. Namun, saat mata mereka tertuju pada ruang langit-langit, yang ditemukan di sana hanyalah kelabu yang padat, seakan tidak ada ruang di sana.
"Kok gak ada apa-apa di sini?" tanya Roko heran.
"Mungkin karena ruang ini gak dipakai," jawab Jentał. "Memang buat apa orang masuk sini? Kalau bukan ruang yang dipakai orang, gak ada alasan buat metain ruang ini."
"Iya juga sih," tanggap Roko. "Kalau gitu, mau gak mau kita nyari sendiri." Dia memunculkan senter hitam dari kantong virtualnya yang tak berwujud, dan saat lampunya dinyalakan, cahaya putih yang terang benderang mengisi ⅛ dari ruangan itu. Kini mereka berdua dapat melihat dinding putih beserta rangka-rangka kayu di 'lantai'-nya.
"Oke... sekarang di mana lubangnya?" Roko berkomentar. Di tengah dia memutar senter di tangannya, sinar lampu itu memantul dari satu permukaan yang nampak terpisah dari dinding. Dari penampilannya yang mengkilap, Roko dan Jentał mendapat kesimpulan bahwa benda itu terbuat dari logam.
"Ini saluran ventilasi?" Roko bertanya.
"Iya," Jentał menjawab. "Kayaknya kita bisa keluar dari sana."
"Ah, boleh lah kalau gitu."
"Masalahnya aku gak bawa benda tajam atau apa gitu yang bisa dipakai buat buka salurannya."
"Aku ada, Jentał. Bentar." Sekali lagi Roko mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, kali ini sebatang linggis baja yang berulir. "Ayo maju."
Jentał dan Roko merangkak di sepanjang 'lantai' langit-langit yang tipis itu, menuju saluran ventilasi yang sekilas terlihat berbentuk kotak. Di tengah jalan, mereka berdua dihadang oleh rangka kayu, yang untungnya tidak terlalu tinggi sampai menghalangi jalan mereka. Akhirnya, Jentał sampai pada jarak di mana ujung jarinya dapat menyentuh permukaan baja tersebut, disusul oleh Roko.
"Tunggu bentar Jentał". Roko merangkak dengan terburu-buru ke saluran ventilasi tersebut. Kemudian si kacamata menempelkan telinga kanannya pada permukaan baja itu untuk beberapa detik.
"Roko..."
Si kacamata melepaskan telinganya dari kotak tersebut. "Aman. Gak kedengaran apa-apa di sana. Artinya gak ada zombi yang merangkak di dalam."
"Oke... berarti dibuka kan?" Jentał bertanya.
"Iya," jawab Roko. Kemudian dia memasukkan ujung linggis yang membaji ke dalam pertemuan antara dua segmen dari saluran tersebut. Linggis itu ditariknya dengan tenaga yang cukup, hingga lembaran baja itu robek terbuka seperti kertas. Pada saat yang sama — dari dalam saluran tersebut — udara dingin yang berhembus keluar menerjang mereka berdua.
"Astaga dingin banget," Jentał protes.
Akhirnya suatu lubang terbentuk pada saluran tersebut. Lubang tersebut cukup besar untuk dimasuki seorang manusia. Sesudah membuatnya, Roko menyimpan linggis berulir itu kembali ke dalam kantongnya.
"Ayo masuk," ajak Roko, sambil merangkak ke dalam saluran ventilasi. "Hati-hati, pinggiran bajanya tajam.
"Oke." Setelah Roko ada di dalam saluran, Jentał pun menyusul dengan hati-hati. "Kita ke mana? Kiri apa kanan?"
"Kanan dulu."
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Perjalanan melalui terowongan mengotak tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi Roko dan Jentał. Tinggi dan lebarnya tidak lebih dari ¾ m, sehingga pergerakan mereka begitu terbatas dan badan mereka dikekang dalam postur merangkak. Udara dingin berhembus dari belakang mereka. Meskipun udara tersebut tidak menerpa muka dua orang itu, dan kekuatannya menurun karena adanya lubang pada saluran di mana mereka masuk, sensasi dingin yang diberikannya cukup mengganggu mereka.
Namun, selama mereka melalui beberapa belokan — pada dasarnya mengelilingi ¼ dari bangunan ini — tidak ada suara yang datang dari kedua ujung saluran. Untuk saat ini Roko dan Jentał aman — setidaknya hal terburuk yang dapat terjadi pada mereka adalah menyasar di ruangan yang penuh zombi.
Roko — yang merangkak di depan — menemukan sesuatu dalam sorotan senternya. Di depan sana terdapat apa yang nampak seperti dinding saluran ini. Barangkali yang mereka lihat memanglah dinding.
"Gak buntu kan?" Perasaan kesal Jentał sudah siap dilepaskan seandainya mereka benar-benar bertemu dengan jalan buntu.
"Nggak kayaknya," jawab Roko. Dia memperhatikan bahwa sisi atas dinding itu nampak 'lepas' dari 'langit-langit'-nya, menandakan bahwa ada bukaan di atas sana. "Di sana adanya jalur naik.
"Oh, syukurlah," komentar Jentał.
Mereka berdua akhirnya sampai di depan dinding itu — di bawah jalan naik itu. Roko memandang ke atas sambil menyorotkan senternya ke dalam kegelapan itu. Di sana, dia menemukan 'langit-langit' yang kelihatannya menerus ke arah kiri.
"Terusannya sekitar 2 m dari bawah sini," Roko beritahu. Kemudian si kacamata itu — dengan bantuan sedikit telekinesis — melompat ke saluran lanjutan itu. Kedua lengannya menahan 'lantai' atas dan dinding naikan itu dengan kuat, sebelum merangkak masuk ke dalam terusan horizontal itu.
"Ayo Jentał," ajak si kacamata.
"Oke bentar." Jentał mengumpulkan tenaganya untuk melompat dengan telekinesis.
Di saat yang sama, mereka berdua mendengar bunyi gemuruh yang sangat jelas dari belakang Jentał. Suara itu membuat si rambut merah pucat dan berkeringat dingin.
"A... apa itu?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro