30
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
Jentał memang berencana menginap di rumah rekannya, namun bukan berarti dia akan langsung ke sana. tentu saja sebelumnya dia melepas penat bersama rekannya — Līlīþ Ŋujʼən — dengan minum-minum. Untuk itu sepasang rekan kerja itu pergi ke suatu warung di mana mereka sering singgah.
"Sudah mulai gelap saja ya," komentar Jentał, sambil memperhatikan langit yang gelap sebagian karena mentari semu sudah bersentuhan dengan cakrawala, dan sebagian karena tertutup oleh awan yang berdatangan. "Padahal baru jam segini."
"Namanya juga mau senja," tanggap sebuah pot yang melayang di sisi Jentał, yang ditumbuhi oleh tanaman dengan daun lebar dan beberapa bunga merah yang mekar besar. Dia adalah Līlīþ, teman dekat Jentał di kantor. "Omong-omong, jalan ini tumben sepi."
Saat ini mereka tengah berjalan melalui suatu gang sempit yang melintasi suatu kompleks perumahan yang berada 100 m di barat daya kantor arkeologi Niūmifəs. Jalur menuju warung tersebut — dengan jalan yang terbuat dari ubin-ubin keramik berbentuk persegi panjang yang berwarna kelabu kusam — hanya memiliki lebar 1 m atau kurang. Tepat di kiri dan kanan jalan terdapat rumah-rumah berlantai satu, lengkap dengan jendela dan pintu yang berhadapan langsung dengan jalan. Beberapa rumah terbuat dari bahan yang berbeda dari satu sama lain — sebagian ada yang terbuat dari beton, sementara yang lain terbuat dari kayu.
Untuk mencapai ujung jalan itu mereka hanya harus berjalan sejauh 50 m.
"Akhirnya sampai juga..." seru Līlīþ, melihat cahaya kekuningan dari ujung gang. Sementara itu, Jentał di belakangnya merenungkan sesuatu.
"Kapan-kapan aku ajak Roko ke sini," pikirnya. "Ah, tapi kalau dia sudah gak nyebelin."
Keduanya pun memasuki suatu lapangan kecil.
Gang tersebut berakhir pada lapangan berbentuk persegi dengan lebar 5 m tersebut. Tidak seperti jalan kecil yang menghubungkannya pada jalan yang lebih besar, halaman tersebut berpasir jika tidak ditumbuhi oleh rumput pendek, dan sisi-sisinya berbatasan dengan dinding beton setinggi 1½ m. Di balik dinding itu terdapat rumah-rumah warga.
Di sebelah kiri jalan masuk, lebih tepatnya di pojok dinding kiri dan belakang, terdapat sebuah pipa raksasa yang tak digunakan selain sebagai hiasan. Pipa tersebut terbuat dari beton, memiliki panjang 2 m, serta diameter ¼ m dengan ketebalan 5 cm. Halaman itu lebih lebar di sisi kanan jalan masuk daripada di sisi kiri. Pada sisi kanan itulah halaman tersebut berbatasan dengan warung di mana Jentał dan Līlīþ biasa singgah.
Sesampainya di depan warung, Jentał dan Līlīþ memberi salam pada sang pemilik warung, menandakan bahwa seorang pelanggan telah datang.
"Selamat malam!" seru Jentał.
"Selamat malam!" ikut Līlīþ.
"Ya, silakan masuk!" sahut suara dari warung tersebut.
Warung itu merupakan suatu bangunan tingkat satu. Atapnya rendah, hingga pinggir atapnya menggantung 2 m dari tanah. Pinggiran atap tersebut dihias oleh beberapa potong kain persegi dengan lebar 25 cm, yang menggantung dan berdempetan dengan satu sama lain. Pada tiap kain putih itu terdapat satu huruf besar berwarna hitam, ditulis dengan kuas. Jika digabung, huruf-huruf itu dieja "MĀʔ ENSƏNIS BJĀS N STAFFS".
Sisi depan warung itu sendiri tidak berjendela, namun memiliki pintu besar di sisi kanan warung. Pintu itu memiliki lebar sekitar 1¼ m, dan pintunya telah digeser ke sisi kiri rumah. Dari interior warung itu, memancar cahaya lampu berwarna putih keemasan.
Di dalam warung itu, Jentał dan Līlīþ bertemu dengan dapur dan ruang makan. Kedua ruang tersebut dipisahkan oleh sekat buram berwarna krem yang hanya mencapai tinggi 1¼ m dari lantai, sehingga pelanggan dan juru masak — yang hanya seorang dan merupakan pemilik warung ini — bertatap muka satu sama lain.
Sang tukang masak secara samar-samar menyerupai manusia, namun kulitnya yang kelabu keriput dan bergaris-garis layaknya balutan mumi atau kulit gajah. 'Tangan'-nya hanya memiliki 2 jari yang besar. Dia tidak berwajah, namun memiliki 3 tanduk lurus dan kecil di tengah-tengah kepalanya.
Tepat di sisi sekat, membentang bidang kayu di mana pelanggan menikmati hidangan mereka, lengkap dengan botol-botol kecil berisi bumbu seperti, garam, gula, micin, dan sebagainya. Di depan 'meja' makan tersebut, terdapat bangku tanpa sandaran dengan dudukan bundar yang empuk dan satu kaki logam yang lebar. Jentał dan Līlīþ mengambil salah satu bangku untuk meletakkan sisi bawah mereka.
"Mau mesan apa?" tanya sang tukang masak.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Di atas bangku tersebut, Jentał tengah mengambil satu tegukan dari segelas bir di tangannya. Di sisi kirinya — di atas bangku yang sudah ditinggikan — Līlīþ memperhatikan bahwa muka temannya agak merah gara-gara minuman keras itu.
"Makasih Līlīþ," kata Jentał. "Sudah bolehin aku nginap di rumahmu."
"Ah, iya sama-sama," tanggap Līlīþ.
"Aku sudah siapin pakaian-pakaianku di dalam mobil. Soal barang-barang lainnya... mereka masih ada di sana (rumahku). Aku gak niat ninggalin rumah itu buat seterusnya sih, tapi selama ada dia (Roko)..."
"Kalau gitu," Līlīþ mulai bertanya. "Kalau dia mengganggu kamu kayak gitu, kenapa kamu gak usir dia?"
Jentał membaringkan lengan, dada, dan kepalanya di atas meja, lalu meregangkan badannya. Dia tertawa ringan sambil menjawab.
"Ngusir dia? Dia gak separah itu juga..."
"Katanya kamu gak tahan," Līlīþ menanggapi.
"Iya gak tahan, tapi... kayak yang aku ceritain tadi, dia itu sebenarnya baik niatnya, ingin aku baik-baik saja. Masalahnya dia... dia itu terlalu khawatir aku kena insiden. Padahal kejadian semacam itu terjadinya jarang lumayan jauh dari sini. Terus dia juga kebanyakan baca mitos-mitos konspirasi begituan, sampai bikin diagram-diagram segi lima buat nunjukin kalau kantor kita bakalan kena."
"Aneh juga ya orangnya," komentar Līlīþ dengan nada tanpa emosi. "Tapi dia ada benarnya juga sih... barangkali."
"Maksudmu?" Jentał beranjak dari meja, memberi sang tanaman perhatian.
"Kejadian-kejadian semacam ini susah ditebak gak sih?" lanjut bunga itu. "Gak ada angin, ga ada hujan, tahu-tahu orang-orang di sekitarmu lenyap entah ke mana. Atau jadi gila kayak kasus baru-baru ini. Terus pihak yang berwenang dan sebagainya juga masih belum menemukan penyebab atau pemicunya. Kalau aku jadi dia mungkin aku bakal ngikutin kamu ke mana-mana buat mastiin kamu baik-baik saja. Pokoknya susah ditebak."
"Kok kamu jadi nakutin gitu sih?" tanggap Jentał setengah terhibur setengah protes.
Tawa terdengar dari antara daun-daun tanaman itu.
"Tapi Līlīþ," lanjut Jentał. "Makasih sudah ngasih aku tempat menginap buat sementara."
"Sama-sama," jawab Līlīþ datar. "Usahakan kamu bisa ngomong baik-baik sama dia segera."
Malam yang panjang itu mereka lanjutkan dengan percakapan dan minuman keras.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro