Tiga belas
Warning : bab ini mengandung adegan horor.
Sepertinya Asti sudah melakukan kesalahan besar dengan bertanya pada Yanuar. Tentang bagaimana cara membunuh seorang anak tak berdaya. Ia tak pernah berpikir akibat apa yang ditimbulkan sampai-sampai ia serasa diteror oleh kebodohannya sendiri.
Malam itu, Asti keluar dari rumahnya untuk pergi ke warung membeli jahe merah. Sebentar saja, hanya sebentar setelah ia memastikan Annawi sudah meminum obatnya dan tertidur. Seharusnya ia mengecek persediaan rempahnya sebelum sore jika tidak ingin melewatkan jam Sembilan malam untuk ritual sederhana. Akan tetapi, ia semakin tua dan ingatan tentu ikut menua pula. Baginya, melewatkan malam tanpa teh jahe, sama seperti satu hari tanpa makan. Atau mungkin lebih seperti mandi tanpa mencuci kaki, atau yang lebih buruk dari itu, bangun tidur tanpa melihat dan mengelus kantong kemerahan di dalam kotak rahasianya.
Jarak dari warung ke rumahnya tidak terlalu jauh. Hanya saja, lampu jalan tidak memadai dan ia harus membuat penglihatannya bekerja lebih ekstra untuk mengarahkan jalan. Di sana, di beranda rumahnya yang gelap karena bohlam lampu mati dan belum diganti, Asti melihat seseorang berdiri sambil merokok. Berpostur tubuh tinggi, mengenakan jaket hitam juga topi biru navy polos.
Ia sempat ragu. Ingin mendekat dan bertanya. Ingin mengacuhkan tapi ia terlalu takut. Asti bisa merasakan jantungnya menggedor-gedor bagai mangsa yang dikuntit. Kakinya mematung di atas tanah, di dalam kabungan gelap, di depan rumahnya sendiri. Pria itu menghisap rokoknya lalu mengepul kan asap. Ada seringaian di baliknya. Asti tidak mendekat, tetapi pria itu yang mendekat. Asti termundur, tetapi laki-laki itu sudah maju lebih dulu. Mencengkeram bahunya.
***
Belakangan ini, Annawi merasa dirinya lebih sering bagai berada di ambang udara. Terkadang, ia merasakan tubuhnya terlalu ringan sehingga gravitasi tidak berlaku padanya. Barangkali karena pengaruh obat-obatan. Biasanya, ibunya selalu memberinya Roxicet atau Diazepam per satu kali sehari. Sebelum ia merasakan bagaimana rasanya penyakit leukemia yang sebenarnya, ibunya berkata bahwa lebih baik mencegah rasa sakit dibanding mereda rasa sakit. Keduanya tidak boleh sepadan. Salah satunya harus dipilih dan Annawi tentu memilih opsi yang pertama.
Namun, beberapa hari ini, ia bertanya-tanya kenapa ibunya menambahkan satu dosis obat untuknya. Sekali lagi, ia menyesal pernah mengeluhkan sakit punggung hingga berujung pada kekhawatiran yang tak sudah-sudah. Mungkin untuk ke depannya, ia harus membisu dan belajar menahan rasa sakitnya sendiri ketimbang ia lupa pada diri di akhirnya.
Terkadang, ia kesulitan bahkan untuk sekadar bangkit dan merasa normal. Akan tetapi, ia hampir lupa bagaimana caranya malam itu ia bisa bangun. Annawi turun dari tempat tidurnya, merasa haus. Ibunya pasti lupa mengisi ulang teko airnya. Annawi berjalan sedikit terhuyung. Tangannya meraba dinding atau apa sja yang bisa ia gunakan untuk menopang tubuhnya sendiri. Ia melihat pintu kamar ibunya sedikit terbuka, tetapi ia belum mau memeriksa.
Di dapur, ia melihat ibunya berlutut di depan lemari es yang terbuka. Annawi masih berdiri di ambang ruang yang tak bersekat. Menepi ke dinding, memperhatikan tangan ibunya yang tampak mengulik sesuatu. Dapur itu gelap dan pencahayaan hanya muncul dari dalam lemari es yang terbuka. Perlahan, kaki Annawi melangkah satu per satu. Ia tak berpikir sesuatu yang mencurigakan, Annawi pun melirihkan nama ibunya.
"Bu?"
Satu suara menciptakan kengerian. Tak ada yang dapat menghalau pemandangan itu. Ketika ibunya menoleh ke belakang, Annawi terkejut setengah mati. Mata ibunya memicing, bibirnya terlumuri darah, wajah serta rambutnya diwarnai oleh cairan merah pekat dan Annawi tahu itu darah. Tak ada kata yang keluar dari ibunya, Annawi mundur ke belakang. Ibunya berdiri dengan mata yang terus menatapnya. Napas Annawi sesak dan jantungnya serasa berhenti. Apa yang terjadi?
Saat ibunya berjalan semakin dekat, Annawi menjerit. Ia tak bisa lari. Ia hanya ingin menjerit, meski tak ada suara yang keluar. Tenggorokannya sakit. Annawi membuka matanya. Begitu cepat. Lantas ia sadar, memperhatikan sekelilingnya. Selimut, rak-rak emoji dan lampu hias yang menyala di atas nakasnya.
Annawi masih di atas tempat tidur. Ia hanya bermimpi dan itu membuatnya merasa tolol. Tidak mungkin ibunya semenyeramkan itu. Mustahil. Apa yang dilihatnya hanyalah mimpi buruk yang tak berlarik, gila dan---nyatanya tenggorokannya benar-benar terasa sakit sekarang.
Perlahan, ia turun dari tempat tidurnya, merasa haus. Ibunya pasti lupa mengisi ulang teko airnya. Annawi berjalan sedikit terhuyung. Tangannya meraba dinding atau apa saja yang bisa ia gunakan untuk menopang tubuhnya sendiri. Ia melihat pintu kamar ibunya sesdikit terbuka, tetapi ia belum mau memeriksa. Annawi mengabaikan.
Di dapur, ia melihat pintu belakang terbuka. Pemandangan halaman yang gelap di luar terlihat. Annawi merasakan deja vu, sepertinya ia baru saja melihat situasi semacam ini. Ia menyentuh dadanya, ada ketakutan bersembunyi di dalam sana. Cemas dan ragu. Namun Annawi tak berani maju lebih dekat, ia bersembunyi di balik sekat dinding yang memisahkan ruang makan dengan dapur.
Tiba-tiba, ia melihat ibunya muncul dari luar. Tidak masuk. Ibunya hanya berdiri di ambang pintu dan menangis. Kepala Annawi dipenuhi dengan tanda tanya. Terlebih saat ia lihat ibunya melakukan hal ganjil. Kedua tangan ibunya memegangi kusen pintu, keningnya menempel di sana. Kemudian, dengan sekali gerakan spontan, ibunya membenturkan kepala ke tepi kusen pintu. Getarannya bahkan terdengar oleh Annawi.
Dua kali, Annawi melihat ibunya membenturkan kepala sambil menangis. Serupa orang yang depresi, putus asa dan hendak bunuh diri. Annawi memberanikan diri untuk mendekat, tetapi kakinya terlalu berat untuk melangkah. Kini wajah ibunya sudah berdarah, rintihan tangisnya terdengar memilukan.
"Ibu! Jangan, Bu! Ibu hentikan!"
Teriakannya, menggantung di udara. Suaranya, tertahan di tenggorokan. Annawi kembali memastikan bahwa ini bukan mimpi. Darah di jantungnya bergejolak, napasnya sesak dan ia kehabisan udara. Gemetaran di tubuhnya menerkam. Dalam satu tarikan napas yang sulit, dengan mata yang masih melihat ibunya, Annawi lemas. Dunia benar-benar terasa gelap dan ia terjatuh ke lantai.
***
"Ann ... Ann, bangun, Sayang."
Sayup-sayup Annawi mendengar suara ibunya memanggil. Lembut dan jelas. Matanya perlahan terbuka. Terang benderang di kamarnya membuat ia bisa melihat dengan jelas, matahari sudah muncul dan sinarnya menerobos jendela kaca.
Ia memandangi ibunya yang duduk di tepi kasur. Kaki kanannya dipijit dan ia melihat ibunya tersenyum.
"Ibu?"
Annawi melihat, tulang pipi ibunya sedikit lebam. Ada luka tergores di pelipis kiri ibunya, sedikit basah. Mungkin cairan betadine atau obat merah. Annawi bangkit dan terduduk. Tangannya mengudara untuk menyentuh pipi ibunya.
"Wajah Ibu," katanya. "Wajah Ibu kenapa?"
Wanita itu memundurkan wajahnya menjauh saat jemari Annawi hampir menyentuh lebam di pipinya.
"Tidak apa. Tadi malam, Ibu terpeleset di kamar mandi dan membentur tepi bathup. Jadinya begini."
Kening Annawi berkerut. Ini terasa aneh, kebingungan membalut isi kepalanya saat rentetan kejadian di dalam mimpinya seperti saling terhubung. Ia ingin bertanya lebih banyak, tetapi ibunya tak membiarkan itu dan justru memintanya untuk bangun dan sarapan.
"Cuci mukamu. Ibu tunggu Ann di meja makan."
Saat ia sudah duduk di kursi roda, ibunya keluar kamar dengan langkah seperti terhuyung. Tangan ibunya menyentuh kepala dan di situ, Annawi baru menyadari kalau pundak ibunya terlihat lebih kecil dari biasanya.
***
Bukan pertama kalinya Annawi keluar kamar setelah bergelut dengan pintu karena kursi roda terkutuknya. Ia hendak melaju ke ruang makan, tetapi ia malah menemukan ibunya terduduk lemas di sofa tempat biasa ibunya duduk.
Dari belakang, ia bisa melihat ibunya sedang memijit kenin dan kemungkinan lemas.
"Ann?" panggil Asti. Barangkali suara decit roda Annawi membuat kehadirannya kentara.
"Ya, Bu?" Annawi mendekat, tapi belum benar-benar sampai ketika ibunya meminta sesuatu.
"Bisa tolong ambilkan obat untuk ibu? Torsemide."
Hipertensi. Annawi tidak salah terka. Penyakit rutin ibunya itu terkadang kambuh jika terlalu banyak pikiran atau kelelahan.
"Akan Ann ambilkan. Sebentar," ujarnya.
Obat-obatan disimpan sangat rapi dan teratur di kabinet atas pantry. Annawi jelas kesulitan sebab ia tak bisa berdiri. Tangannya tak dapat menggapai dan kekesalannya bertambah sebab ia merasa konyol dengan kakinya sendiri. Butuh waktu lama sampai akhirnya Asti memanggilnya lagi.
"Ann? Kenapa lama sekali?"
"Kabinetnya terlalu tinggi, Bu, Ann tidak sampai. Sepertinya lebih baik jika Ibu mengambilnya sendiri."
Tak lama kemudian, ibunya berjalan seperti orang mabuk yang kapan saja bisa roboh. Annawi berusaha waspada ketika ibunya hampir jatuh dan menumpukan tangannya ke tepi meja pantry, Annawi dengan refleks bangkit dan memegangi lengan ibunya.
"Hampir saja. Ibu lemas?" Asti hanya mengangguk. Pusing di kepalanya membuat segala penglihatannya bergoyang. Annawi memapah ibunya lalu mendudukkannya ke kursi roda. "Duduklah, Bu."
Napas Asti menghela. Annawi melihat ibunya dengan pandangan iba. Sebelah alisnya terangkat saat ia berbalik untuk membuka pintu kabinet atas tempat obat-obatan tersimpan.
"Ann pikir, ibu lebih membutuhkan kursi roda itu ketimbang Ann."
Rasanya berbalik. Annawi menyunggingkan senyum kecil, sementara di belakangnya, wajah Asti masam dan dahinya berkerut menyatu.
"Ann? Apa-apaan ini?"
13 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro