
Sepuluh
Ann sakit. Selalu merasa sakit.
Kalimat itu seolah sedang melilit isi kepalanya. Tanpa putus. Sampai-sampai ia lupa seperti apa rasanya sehat. Terkadang ia bahkan tidak memikirkannya sama sekali. Ada kalanya ia merasa dadanya sesak dan jantungnya berdegup tak teratur. Pusing di kepalanya datang dan pergi tanpa jadwal. Ia merasakan leher hingga tulang belakangnya sakit karena terlalu banyak berbaring. Darahnya mungkin tidak bekerja normal. Atau, entahlah Annawi hanya bisa bertahan. Namun saat yang paling membuatnya tersiksa adalah ketika ia harus menerima pengobatan kemoterapi dari ibunya. Untuk mengenyahkan sel leukemia dari tubuhnya, mau tak mau Annawi memang harus melewati prosedur itu.
Di Onkologi, ada sebuah teori yang mengungkapkan bahwa, jika kau tidak merasa sakit, maka kau tidak akan sembuh. Maka, jika kemoterapi membuat orang yang mengidapnya sakit setengah mati dan fisik yang terlihat tidak indah, itu artinya bagus.
Annawi merasa seluruh tubuhnya kelelahan. Tujuh hari ke depan adalah jadwal tetapnya dari siklus kemoterapi yang dibuat ibunya. Harusnya Annawi berada dalam kondisi sehat secara fisik dan mental. Seharusnya ia memanjakan dirinya dengan banyak hiburan seperti makan-makanan yang enak, menonton Drama Korea kesayangan, bahkan pergi ke swalayan terdekat untuk menemani ibunya belanja. Begitu pun sudah menjadi hal yang sangat menyenangkan.
Jangankan memperoleh itu, pagi ini saja, kekhawatiran ibunya kambuh lagi. Jika sudah begitu, Annawi terkadang tak bisa membantah. Ibunya tak memperbolehkan Annawi turun dari kursi roda kecuali saat tidur atau ke toilet. Annawi menyesal mengeluhkan punggungnya yang sakit. Dan itu berdampak pada kekhawatiran ibunya yang berlebihan.
"Tulang belakangmu sangat rentan, Ann. Jika punggungmu sakit, itu artinya sumsum tulangmu sedang tidak bisa diajak bekerja sama. Ann tahu apa akibatnya?" Ann menggeleng. "Kelumpuhan bisa muncul secara mendadak."
"Apa itu sangat serius?"
"Ann hanya perlu memahami teori dasarnya. Tulang belakang adalah pusat seluruh saraf di dalam tubuh. Ada miliyaran saraf berkumpul di sana. Ann sudah tahu kalau masalah utama penyakit leukimia berasal dari sumsum tulang yang memproduksi sel darah putih secara tidak normal. Bayangkan, apa yang terjadi jika tulang belakang Ann sakit karena terlalu banyak bergerak atau salah posisi? Bagian pinggang sampai ke ujung kaki fungsinya bisa terganggu."
Annawi terdiam, mendengarkan ibunya bersama dengan kening yang berkerut-kerut. Menyimak.
"Tapi, mungkin Ann hanya merasa pegal, Bu. Kaki Ann baik-baik saja."
Ibunya melepas sarung bantal di tempat tidur Annawi. Tetap melakukan pekerjaan rumah meski ia harus memberi pengertian pada Annawi. "Gejalanya belum terlihat, Sayang. Tidak ada yang bisa memprediksi itu. Jadi, sebaiknya mencegah sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi."
Annawi menunduk. Memandangi kedua pahanya sampai ke ujung kaki. Tangannya memeras celana bercorak kotak-kotak. Ia tak suka. Sangat tidak suka duduk di kursi itu. Akan tetapi, ia tidak bisa membiarkan sesuatu yang lebih buruk terjadi seperti yang dikatakan ibunya. Annawi jelas tidak ingin kehilangan kemampuan berjalan.
"Ann tidak suka duduk di sini, Bu. Lebih baik Ann menghabiskan waktu berjam-jam untuk duduk di atas sofa atau di atas tempat tidur dari pada harus duduk di kursi roda."
Rasanya benar-benar persis sebagaimana orang yang tak punya harapan hidup. Dan Annawi benci setiap kali ibunya membuat peraturan baru. Pembatasan baru. Lalu Annawi akan kelelahan untuk mencari sumber semangat baru.
"Ibu tahu Ann tidak suka. Seperti yang sering ibu katakan." Asti mengelus pipi putrinya lalu merapatkan kepala anak itu ke perutnya. Memeluk. "Terkadang, kita harus berpura-pura lemah untuk menjadi orang yang kuat. Ibu hanya ingin putri Ibu membaik, bukan memburuk. Ann mengerti?"
Untuk mengangguk saja Ann rasanya berat. Ia berhak untuk tidak setuju, tetapi ia juga berhak untuk membenarkan perkataan ibunya. Lalu dengan sikap penurut yang selalu Annawi tunjukkan, ia mengangguk dan melingkarkan kedua lengannya lebih erat ke pinggang ibunya.
"Ibu sangat mencintaimu," ujar Asti. "Lusa, Ibu akan memasangkan tivi kabel untuk Ann."
Annawi melepas pelukannya lalu menengadahkan wajah untuk menunjukkan ekspresi terkejut bercampur takjub. "Ibu serius?" Asti mengiakan. "Terima kasih, Bu. Ann senang, akhirnya Ibu menepati janji."
"Ibu tidak akan pernah melanggar janji untuk satu-satunya putri kesayangan Ibu."
"Ann bisa menonton channel luar negeri sepuasnya?" Cartoon Network, National Geographic, Discovery Channel, FOX, dan Cinemax lain. Selama ini, Annawi hanya bisa menontonnya dari VCD bajakan yang bila ditonton berulang kali, gambarnya menjadi kabur dan rusak.
"Tentu. Tapi setelah Ibu mengatur tontonan mana yang pantas untuk Ann. Ibu tidak ingin Ann mengulangi kesalahan seperti saat di kamar hotel."
"Ann janji, Bu. Tidak akan sembarangan lagi."
"Bagus. Itu yang ingin Ibu dengar." Asti merendahkan tubuh, menumpukkan kedua lututnya ke lantai. Menyetarakan pandang dengan Annawi. "Ibu juga ingin minta satu hal pada Ann."
"Minta apa, Bu?"
Melihat wajah tiga kali lipat lebih serius ibunya, Annawi memusatkan perhatian. Lantunan dari tutur kata ibunya beralasan, tujuannya beralasan, dan Annawi tak punya alasan lain untuk tidak menyetujui permintaan ibunya. Ia bersedih, tapi hanya sesaat. Sebab sinar matahari pukul delapan pagi sedang menyorot, menghantarkan suhu hangat yang tak boleh terlewatkan. Ia sepemikiran dengan ibunya, berjemur di bawah sinar matahari tentu sangat menyehatkan.
***
Gadis itu mengenakan kaos jangkis kelabu, membiarkan kepala polontosnya terbuka diterpa sinar matahari. Kursi rodanya berhenti di halaman depan rumahnya, di mana cahaya matahari dari Timur menerpa sempurna. Tanaman pagar yang merumpun ternyata cukup membantu Annawi tuntuk tidak terlalu kentara bila orang-orang berjalan melewati rumahnya. Tungkai Annawi terbuka, ia hanya mengenakan celana longgar sependek paha. Di depan perutnya, sebuah boneka emoji kiss bersiap untuk dipeluk.
"Ann tetap di sini, jangan ke mana-mana. Ibu harus menjemur pakaian, memasak dan membersihkan rumah. Dua puluh lima menit lagi, Ibu akan kembali."
Ibunya tersenyum. Mereka saling tersenyum. Kemudian, Annawi sendiri. Memeluk emoji empuknya. Menerima siraman cahaya yang menggelitik kulitnya. Serombongan anak sekolah berseragam putih abu-abu berjalan melewati jalanan depan. Annawi tak tahu mengapa di jam delapan seperti ini masih ada anak sekolah yang berkeliaran. Barangkali membolos. Annawi tersenyum saat melihat lima siswa laki-laki itu berkerumun di bawah pohon tanjung tak jauh dari jalanan depan rumahnya. Salah satunya melihat Annawi, lalu mengundang perhatian temannya yang lain. Annawi sedikit terkejut, malu dan rasanya seperti terpergok. Namun ketika mereka melambai dan menyunggingkan tawa, Annawi membalas mereka dengan lambaian kecil.
Rasanya aneh. Mendadak, Annawi membayangkan bagaimana jika ia mengenakan seragam SMA seperti mereka. Di usia yang sama dengan para siswa itu. Bermain nakal dan melawan guru juga orang tua. Annawi hanya membayangkan. Sadar pada diri sendiri lalu menampik angan-angan itu.
Salah satu siswa bertubuh paling jangkung, rambut sedikit berponi dan mengenakan jaket peach, masih saja memandangi Annawi. Sementara temannya yang lain sudah tak acuh. Annawi menutup dagunya dengan emoji, sedikit memperhatikan cowok itu. Namun tak bertahan lama sebab tiba-tiba, entah kenapa, mereka lari terbirit-birit ke arah utara.
Annawi terkikik kecil melihat tingkah para siswa itu. Beberapa detik kemudian, tawanya berhenti saat seorang pria yang mengendarai motor sport hitam pekat masuk ke halaman rumahnya. Suara motor mengerang lalu meredam. Si pengendara mengenakan jaket kulit dan helm full face berwarna hitam. Mendadak Annawi teringat dengan adegan film action.
Ada rupa heran dan dipenuhi tanda tanya. Namun saat si pengendara membuka helm, Annawi semringah bukan main.
Dr. Danu, tersenyum padanya. Turun dari motor kerennya, membuka glove dari kedua tangannya, lalu berjalan menghampiri Annawi. Demi Tuhan, ini lebih menyilaukan dibanding sinar matahari jam delapan pagi.
"Selamat pagi, Ann?" sapa dr. Danu.
Cengiran di wajah Annawi tak mungkin lekang, ia pun membalas sapaan dr. Danu. "Selamat pagi, Dok." Ia canggung. Mungkin gugup. Meremas bantal emojinya.
Pria itu berdiri menjulang di sebelah kiri Annawi. Menyugar rambut lalu berbasa-basi. "Berjemur?"
"Iya, sinar matahari sedang bagus pagi ini." Dr. Danu menoleh ke kanan - kiri seolah mencari sesuatu. "Dokter, ada keperluan apa datang ke rumah Ann?"
"Sebentar!" Jeda sesaat. Dr. Danu berjalan ke samping rumah, mengambil sebuah ember bekas cat 15 kg, menjungkirbalikkannya, lalu dengan sedikit usapan di bagian permukaan, Danu pun duduk. tepat di depan Annawi. "Ini lebih baik," ujarnya. "Saya lewat depan rumah kamu setiap hari. Dan kebetulan pagi ini Ann terlihat di halaman depan, jadi saya mampir."
Itu suatu kebetulan luar biasa, kata Annawi dalam hati.
"Jadi, Dokter mampir hanya untuk menyapa Ann?"
"Tidak juga. Mungkin saya juga bakal datang suatu hari nanti untuk bertanya, sudah sampai di mana boneka pesanan saya?" Annawi terdiam. Bertambah gugup. "Bercanda, Ann." Dr. Danu tertawa begitu saja. Seakan-akan itu sebuah lelucon mudah. "Oke, saya ke datang ke sini memang untuk menyapa kamu. Sedikit mengobrol. Saya dengar dari Dila, katanya kamu nge-drop kemarin. Benar?"
"Benar. Tapi Ann sudah sering nge-drop dan biasanya bakal pulih beberapa hari lagi. Bukan kondisi yang terlalu serius, Dok."
"Sampai kamu harus duduk di kursi roda? Kamu bilang itu tidak serius?"
Annawi menunduk sebentar, lalu memandangi wajah dr. Danu yang baginya masih sama seperti Park Bo Gum versi Indonesia. Ia teringat dengan apa yang dipesankan ibunya jika seseorang bertanya.
"Kaki Ann lemas, Dok. Gemetaran kalau berdiri apalagi jalan. Ibu tidak bisa selalu memapah. Jadi, Ann harus berada di kursi terkutuk ini untuk beberapa hari sampai kesehatan Annawi kembali."
Dr. Danu membenamkan bibir, melirik pada benda yang sejak tadi dipeluk Annawi. "Boleh saya lihat bonekanya?" Annawi mengangguk, lalu memberikannya pada dr. Danu. "Lucu. Apa nantinya punya saya juga akan seperti ini?"
"Lebih bagus bahkan."
"Wow! Saya sangat tidak sabar ingin memeluknya." Mereka meringis tawa. Bersamaan. Lalu dr. Danu kembali bicara setelah jeda sebentar. "Ann, saya mendengar sedikit cerita tentang kamu dari Dila dan juga salah seorang staf puskesmas. Tapi saat ini, saya sedang tidak ingin mengobrol tentang penyakit. Rasanya tidak cocok untuk diomongkan di cuaca yang sangat cerah begini."
Annawi tersenyum lagi.
"Boneka ini bagus. Saya tahu ada kemampuan lain dalam diri kamu yang belum kamu tunjukkan pada orang lain. Boleh beri tahu saya?"
Dahi Annawi berkerut, ia tidak mengerti maksud pertanyaan dr. Danu. "Maksud Dokter bagaimana?"
"Ann, jika kamu sudah besar nanti, jika kamu sehat nanti, Ann ingin menjadi apa?"
Tidak ada. Annawi tidak tahu ingin menjadi apa sebab selama hidupnya tak seorang pun yang pernah bertanya seperti itu padanya. Tidak teman sebayanya yang memang nihil, tidak juga ibunya. Bibir Annawi pun terkatup, tak tahu harus menjawab apa selain menggeleng kecil.
"Kenapa? Ann tidak tahu ingin menjadi apa?" Annawi menggeleng lagi. "Bagaimana kalau misalnya penari? Pelukis? Penyanyi atau ... mungkin kamu pernah bercita-cita untuk punya pabrik penghasil boneka dengan beraneka bentuk, yang bisa dijual ke seluruh Indonesia bahkan luar negeri?" Wajah Annawi mulai berubah. Sedikit tertarik. "Nah, Ann suka dengan pilihan saya yang terakhir, kan?"
"Tapi, itu tidak mungkin, Dok. Ann tidak mungkin bisa. Ann bahkan tidak pernah memikirkan cita-cita sampai sejauh itu." Baginya, memikirkan soal kematian saja sudah menyita banyak waktu.
"Itu karena kamu terlalu banyak berpikir soal sisa waktu yang kamu miliki."
Keterkejutan itu sangat kecil dan tak kentara. Annawi tak ingin berkomentar apa pun sebab tebakan dr. Danu sepenuhnya benar.
"Dengar, saya akan mengajarkan satu hal penting untuk Ann." Dr. Danu berdeham sebentar, menatap lekat-lekat mata Annawi. "Suatu hari, kamu melakukan perjalanan penting ke suatu tempat. Tapi kamu hanya membawa satu roti sebagai bekal. Lantas kamu kelaparan di tengah perjalanan, kamu tidak ingin memakan habis rotimu sebab kamu harus menyisakannya untuk perjalanan berikutnya. Di sela perjalanan, bukankah kamu juga harus berpikir, apa yang mesti kamu upayakan untuk menggantikan sisa roti itu. Kamu butuh makan, tapi kalau kamu hanya berdiam diri tanpa merencanakan siasat untuk mendapatkan roti baru, maka waktumu akan terbuang sia-sia. Akhirnya kamu mati kelaparan, dan perjalanan yang sudah kamu tempuh jauh-jauh bakal percuma."
"Ann, kamu harus belajar bagaimana menghargai hidup. Ada banyak hal yang menarik di luar sana yang harus kamu jelajahi. Mati bukanlah tujuan, Ann harus mulai berandai-andai untuk hidup yang lebih panjang. Tak apa walau hanya bayangan, cobalah berpikir, seandainya kamu tidak punya penyakit. Sehat dan ingin hidup selamanya. Saya yakin, kamu pasti bakal lebih bersemangat untuk bisa sembuh."
Malaikat tidak mungkin datang dengan mengenakan jaket kulit dan celana bahan. Namun, Annawi menemukan sosok nyata malaikat dibalik setelan keren dan wajah tampan dr. Danu. Ia bisa merasakan sesuatu di dalam dadanya menerobos keluar dan memancar ke berbagai arah. Mengalahkan sengatan sinar matahari. Apa yang dikatakan dr. Danu tentang teori sisa hidup---menurut versi Annawi---tak pernah sekali pun pernah ia dengar. Ibunya, yang selama ini ia anggap sebagai guru terbaik, bahkan tak pernah mengajarkannya.
Obrolan mereka pun mulai mencair. Annawi tak lagi canggung atau gugup. Dr. Danu---seperti yang selalu Annawi terka---merupakan sosok menyenangkan yang hangat. Mereka menghabiskan waktu dua puluh lima menit lebih dengan tawa dan lelucon yang saling bertukar. Ia dihadiahkan dua bungkus snack pocky, tetapi dr. Danu menyuruhnya untuk memilih salah satu di antara rasa strawberi dan cokelat.
Namun, Annawi ragu. "Ibu tidak memperbolehkan Ann makan snack seperti ini, Dok."
"Apa Ann lupa? Saya dokter, dan saya tahu mana makanan yang baik atau tidak baik buat pasien saya. Kamu pernah jadi pasien saya, 'kan?" Annawi mengangguk diiringi senyum. "Dan saya tidak mungkin meracuni kamu. Jadi, pilih salah satunya. Jika Ann takut dimarahi Ibu, simpan saja di dalam kaos lalu makan nanti jika Ibumu tidak ada."
"Dokter mengajari Ann berbohong?"
"Terkadang kita perlu melanggar peraturan untuk kesenangan sendiri," bisiknya. "Tapi hanya sekali. Jangan diulang-ulang."
Sekarang Annawi paham. Kenapa siswa sekolah tadi bolos sekolah. Mereka melanggar peraturan untuk kesenangan sendiri. Annawi memilih pocky rasa strwaberi lalu menyimpannya di dalam kaos. Ini, adalah pelanggaran pertama yang ia lakukan selama ia hidup.
10 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro