Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sembilan

Asti pernah berupaya untuk tegar di hadapan semua orang yang iba kepadanya. Menjadi orang tua tunggal dari anak yang menderita penyakit mematikan tak hanya menyedot perhatian banyak orang. Ada hal yang ia tak pernah sangka bahwa ungkapan penuh kasih itu mengalir ke dalam dadanya, merangkul tubuhnya seakan itu jauh lebih besar dibanding cinta seorang pria.

Saat mereka tiba di rumah, Asti mengeluarkan kursi roda untuk membawa Annawi ke dalam. Ia memeriksa Annawi yang masih terduduk lemas di jok depan. Sudah dipastikan anak itu tidak akan sanggup berjalan. Pandangannya menerawang dan wajahnya melunglai. Asti memegang wajah putrinya, kuyu dan tak berdaya. Mulutnya terbuka dan wajah pucatnya masih berada di sana. Dada Annawi naik turun tak teratur. Ia berpikir mungkin putrinya kesulitan bernapas. Secepatnya, Asti langsung mengambil tabung oksigen portable di bagasi kemudian menyumbat lubang hidung Annawi dengan slang penyalur oksigen.

"Ann? Lihat Ibu, Sayang?" Asti menepuk pipi Annawi pelan. Hanya lirikan kecil dari mata sayu yang Asti dapatkan. "Ibu akan bantu Ann turun. Kita sudah sampai di rumah."

Annawi tidak menjawab. Tidak bisa bicara. Asti merapatkan kursi roda ke sebelah Annawi, menggeser tubuh Annawi sampai anak itu duduk dengan baik. Kepalanya jatuh tertunduk saat Asti mendorongnya ke depan pintu. Punggung Annawi terbungkuk, tangannya jatuh di atas pahanya sendiri. Jika dilihat dari jauh, Annawi tak ubahnya seperti orang tua lumpuh yang sekarat. Asti cepat-cepat membuka kunci pintu. Saat ia hendak membawa Annawi masuk, Yani dan beberapa ibu-ibu tetangga datang bagai pasukan yang menyerbu.

"Asti!" panggil Yani. Wanita itu membawa lima orang turut bersamanya. Dan seperti yang selalu Yani tunjukkan, ia langsung menghampiri Annawi. Menyentuh punggungnya lalu berlutut di depan kursi Annawi. "Masya Allah, Nak? Asti Ann kenapa jadi begini?"

Kedipan mata Annawi begitu lambat, antara sadar dan tidak. Jangankan untuk bicara, menengadahkan wajah saja Annawi tampak tak berdaya.

Satu wanita berhijab kuning, satu wanita sebaya Asti yang berdaster batik, dan dua lagi wanita berseragam guru madrasah. Mereka mengerumuni Annawi. Berbagai pertanyaan menerpa Asti dan semuanya hampir sama.

"Ann tidak merespon omongan kami. Tidak seperti biasanya, dokter bilang apa, Bu Asti?" perempuan berseragam guru itu bernama Tari, salah satu tetangga seberang rumahnya yang selalu memperhatikan Annawi.

"Ya ampun, Ann. Tante sedih lihat Ann begini." Wanita bernama Maya—yang mengenakan seragam guru satu lagi— yang usianya sepuluh tahun di bawah Asti bahkan hampir menangis saat mengelus pundak Annawi.

Asti ingin menjawab mereka, tapi ia malah menangis senggugukan. Wanita berdaster yang kerap Asti panggil Mbak Dwi mengelus pundaknya. Menabahkan.

"Sebaiknya kita masuk dulu ke dalam," usul Dwi.

Asti, dibantu dengan Yanti, membaringkan Annawi ke sofa lalu menyelimuti tungkai anak itu dengan kain selimut polkadot. Yani duduk di lantai, bersandar di kaki sofa dengan tangan yang tak lepas dari genggaman anak itu. Sedangkan empat wanita yang ia bawa turut, duduk teratur di atas sofa lain. Dwi duduk di sebelah Asti mendampingi.

"Kalau keadaannya masih seperti ini, kenapa kamu membawanya pulang, As?" tanya Yani.

"Aku terpaksa, Mbak. Seharusnya Ann belum diperbolehkan pulang." Ia mengambil tisu di atas meja lalu menyeka hidungnya yang berair. "Ann mengalami pendarahan malam itu, kalau saja aku terlambat membawanya ke UGD, mungkin Ann tidak akan selamat. Dokter bilang, penyakitnya kambuh lagi. Ann harus operasi pencangkokan sumsum tulang."

"Operasi?" tanya Yani.

Asti mengangguk. Dwi mengelus punggung Asti, air matanya turut jatuh mendengar penuturan wanita itu. "Aku tahu, meskipun itu tidak menjamin seratus persen sembuh, setidaknya usia Ann masih bisa diperpanjang."

"Ann yang malang," lirih Tari di sebelah Asti. "Kenapa tidak dilakukan saja operasinya?"

"Bagaimana mungkin? Biaya untuk rawat inap Ann saja aku sudah tidak sanggup. Aku perlu mengeluarkan biaya puluhan juta untuk operasi itu. Aku adalah satu-satunya donor yang bisa diharapkan, tidak ada siapa-siapa lagi. Aku bahkan tidak tahu harus berbuat bagaimana."

Semuanya terdiam. Udara terasa begitu kenyal bagai jelly yang membeku.

"Belakangan, Ann selalu bicara soal kematian. Dia terus - terusan menganggap dirinya sudah tak perlu lagi untuk hidup." Asti menyeka kembali hidungnya, menerima tisu pemberian Tari untuk membasuh air matanya. "Sejak kecil, putriku sudah terlalu banyak menderita. Hatiku rasanya remuk setiap kali melihatnya sakit seperti ini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, Mbak. Satu-satunya yang bisa membuatku bahagia dan hidup hanyalah Annawi. Aku tidak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi padanya."

Tangis sedan menyeduh wajahnya. Sulit teredam dan tenang. Punggungnya diusap oleh dua wanita di kedua sisi yang ikut bersedih.  Asti memandangi putrinya, yang sedang digenggam oleh Yani begitu erat. Pipinya jatuh ke sisi kanan, memandanginya juga. Bibir anak itu bergerak seakan ingin bicara, tapi teredam oleh suara Dwi yang mengalihkan perhatian mereka.

"Kami siap membantu, Mbak Asti. Mungkin kami tidak bisa membantu sepenuhnya, tapi kurasa akan mengurangi beban Mbak Asti. Kebetulan anak laki-lakiku adalah kaki tangan calon kepala daerah yang sebentar lagi akan menyalonkan diri PILKADA nanti. Mungkin anakku bisa membantu, aku akan membicarakannya nanti."

"Benar, Mbak Asti. Saya juga bisa bantu untuk mengumpulkan dana dari ibu-ibu di Majlis Ta'lim sini. Mereka pasti sangat senang membantu." Tari, yang merupakan ketua Majlis Ta'lim di kelurahannya turut memberi harapan. "Yang penting Ann bisa mendapat perawatan terbaik sampai sembuh."

"Sejujurnya aku malu harus terus-menerus menerima bantuan ibu-ibu."

"Kenapa harus malu, Mbak?" ujar Tari. "Ann sudah seperti anak kami sendiri. Maaf jika saya mengatakan ini. Tapi Ann anak yatim, sudah menjadi kewajiban kami untuk ikut merawatnya."

Asti mengisak. Menghela napas sejenak. "Annawi, begitu beruntung bisa tinggal di lingkungan yang baik seperti ini. Aku sangat-sangat berterima kasih, Mbak Dwi, Tari, Maya, Mbak Pur dan Mbak Yani. Aku memang tidak memiliki keluarga, tapi apa yang kalian lakukan untuk Annawi, bahkan lebih dari sekadar keluarga."

Kemudian, suara mereka saling bersahutan. Menerjangnya, menguatkannya dan Asti tidak tahu bagaimana bisa ia merasa begitu aman. Meski ia menangis dan terharu, tetapi ia bisa merasakan cinta itu menebar ke segala penjuru rumahnya. Ungkapan rasa terima kasih hampir tak bisa ia perhitungkan berapa jumlahnya. Ia dirangkul begitu banyak perhatian dari orang-orang yang menyayangi keluarganya. Saat ia menatap wajah putrinya, ia merasa harapannya telah kembali.

Satu jam kemudian, anak itu sudah bisa bicara meski perlahan dan lambat. Dila datang dan langsung duduk di lantai seperti ibunya. Mengelus pundak Annawi.

"Mbak bener-bener khawatir sama kamu, Ann," ungkap Dila. "Maaf Mbak tidak bisa menjengukmu di rumah sakit. Tapi Mbak dan bukde, juga ibu-ibu di sini selalu berdo'a untuk kesembuhan Ann."

Asti senang putrinya mendapat perhatian banyak. Ia sedikit lega.

"Aku harus menyiapkan makanan untuk Ann. Minta tolong jaga Ann sebentar ya, Mbak," pintanya pada Yani.

"Dila bisa menjaga Ann. Kamu mau Mbak bantu?"

"Tidak usah, Mbak. Terima kasih." Asti hendak melangkah ke dapur, tetapi berhenti sejenak saat ia teringat akan sesuatu. "Uhm ... Mbak Yani, Dila!"

"Ya?" sahut Yani dan Dila hampir bersamaan.

"Ann masih belum pulih sepenuhnya dan terkadang suka ngomong aneh. Jadi nanti kalau Ann ada tanya apa-apa, jangan ditanggapi terlalu serius. Terlalu banyak obat yang dikonsumsinya jadi sedikit mengganggu kinerja otaknya." Asti menjelaskan.

"Oh, ya, kami paham," ujar Yani menanggapi.

Yani tentu tak pernah keberatan. Selagi Asti memasak bubur untuk makanan putrinya, Yani dan kelima wanita itu mengobrol. Berbicara tentang rencana pengumpulan dana untuk Annawi. Dila memotongi kuku jemari tangan dan kaki Annawi. Anak itu tersenyum-senyum kecil selagi diperlakukan penuh kasih sayang.

"Mbak rindu banget sama Ann, hampir tiap malam tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan kamu. Di rumah sakit, Ann jumpa dokter ganteng, kah?"

Jarak antara dapur dengan ruang tengah tempat mereka berkumpul cukup dekat. Asti menanak bubur nasi dan sayur sambil mendengar percakapan mereka.

"Tidak ada dokter seganteng dr. Danu," ujar Annawi.

"Kamu ngefans banget sama dr. Danu, ya?" Dila menaruh gunting kuku di atas meja. Mengambil kikir lalu menggosok ujung kuku tandas jari kanan Annawi.

Annawi tertawa kecil, membenahi kepalanya di antas bantal seakan salah tingkah.

"Kenapa ketawa? Benar apa yang Mbak bilang, 'kan?" goda Dila. "Gimana kalau Mbak minta dr. Danu buat datang jenguk kamu? Dr. Danu pasti tidak keberatan."

"Memangnya dr. Danu mau? Bukannya dr. Danu orang sibuk?"

"Ann tenang saja, kalau Mbak yang minta pasti dr. Danu mau."

"Ann seneng banget kalau dr. Danu mau jenguk, Mbak."

"Oh, ya?"

"Selama satu hari di rumah sakit dan tiga hari di hotel, Ann kepikiran dr. Danu. Waktu untuk menyelesaikan pesanan bonekanya jadi lebih lama."

"Hotel?" Dila terheran sambil mengerutkan dahi. Tangannya berhenti mengikir kuku jemari Annawi.

"Ya, kami terpaksa menginap di hotel selama tiga malam karena kata Ibu lingkungan kita sedang ada gangguan saluran PAM."

"Gangguan saluran PAM? Ann, kamu bicara apa, sih?"

Saat Annawi hendak bicara lebih panjang, Asti bergegas menghampiri dua gadis itu sambil membawa mangkuk berisi bubur yang sudah jadi.

"Makanannya sudah siap, Sayang. Bangkit sebentar, biar Ibu suapin."

Dila menoleh pada Asti kemudian bertanya, "Tante, Ann bilang, Tante dan Ann nginap di hotel karena lingkungan kita ada gangguan saluran PAM? Maksudnya apa?"

Napas Asti terembus pelan, menyunggingkan bibir kecil. "Tante sudah bilang, 'kan? Ann sedang tidak bisa berpikir dengan baik. Kinerja otaknya sedang terganggu. Dia sedang mengigau."

"Mengigau?"

"Ann bahkan hampir tidak mengenaliku sebagai ibunya saat di rumah sakit. Dokter yang visit untuk memeriksanya malah dikira ayahnya."

"Separah itu, Tante?"

Asti mengangguk kecil. "Dokter bilang karena pengaruh obat-obatan, cuma sementara saja, kok."

"Syukurlah, Dila takut kalau Ann tidak mengenali kami lagi."

"Bu?" sela Annawi. Dila dan Asti sontak menoleh padanya. "Kenapa Ibu ngomong begitu?"

Asti dan Dila saling berpandangan. Pundak Asti naik seiring dengan sebelah alisnya yang terangkat. Seolah bicara pada Dila, sudah kubilang, kan?

***

Mengigau itu berbicara antara sadar dan tidak. Bahkan kesadaran terkadang mutlak tidak dapat dirasakan sehingga apa yang terjadi di dalam mimpi, terujar begitu saja tanpa sebab. Annawi tahu itu. Ia bisa membedakannya.

Akan tetapi, ia hampir tidak bisa membedakan bagian mana dari perkataan ibunya yang harus dipercaya dan tidak dipercaya. Tentu ia tak pernah meragukan cinta seorang ibu padanya. Ann tak pernah mengukurnya dengan suatu apa pun. Di saat ibunya berkata bahwa ia tidak berkata jujur, Ann bisa memaklumi meskipun saat itu ia sedang berkata jujur.

Sewaktu Dila mengambil alih tugas ibunya untuk menyuapi makanan ke mulutnya, Annawi hanya bisa mengerjapkan mata. Rasa makanan itu pahit. Amat sangat pahit. Tidak seperti biasanya. Kalau bukan karena bujukan manis dari Dila yang mengiming-iminginnya dengan kehadiran dr. Danu, Ann tidak akan pernah sudi menelan makanan itu.

Rasanya seperti nasi lembek, wortel dan dada ayam yang ditaburi isi kapsul. Masih ada empat sendok suapan lagi yang tersisa dan Annawi berakting hendak muntah. Seharusnya ia melakukan trik itu sejak tadi jika tak ingin menerima paksaan Dila.

Saat para penjenguk itu hendak pulang, ibunya meminta bantuan Dila dan Yani untuk memindahkannya ke kamar. Annawi sudah berupaya untuk bisa berdiri dan memperjelas pandangan, tetapi saraf otaknya berkata lain. Saat ia terbaring, alam bawah sadarnya bekerja. Ia hanya butuh tidur. Lebih lama. Sampai matahari terbit tenggelam puluhan kali.

09 Oktober 2020

Makin ke sini makin gumus kan gaes? 🤭🙈 Lebih gumus mana sama tokoh pelakor dibanding ibunya Ann? Pokoknya pantengin terus tiap hari ya? Semua yang kalian sangka, tak sesuai dengan yang bakal kuceritakan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro