Lima
Setidaknya Annawi tahu, seperti ini ternyata rasanya dekat dengan cowok tampan. Bukan haknya menerka usia dr. Danu, tapi pria itu masih sangat muda dan yang lebih membuatnya aman, tidak ada cincin di jari tengah atau jari manis dr Danu. Dokter muda itu masih melajang.
Annawi berbaring dengan posisi 45 derajat di bed. Di sebelahnya, dr. Danu duduk dan mengajaknya banyak sekali bicara begitu masker oksigennya sudah dibuka. Ini penyembuhan yang sangat cepat.
"Jadi kamu bisa membuat boneka?" tanya dr. Danu penasaran.
Senyum di wajah Annawi rentan dan malu. "Biasanya, pasien anak di rumah sakit Harapan Bunda akan memesan bentuk sesuai keinginan mereka. Ibu akan memberi selebaran contoh gambarnya lalu Ann akan menjahitnya." Suara khas remaja mungil, Annawi memiliki itu.
"Kemudian mengisinya dengan kapas?"
"Iya, dengan kapas sintetis." Annawi meringis senyum. Sejak tadi wajahnya gugup terlebih setiap kali dr. Danu tersenyum lebar kepadanya, menampakkan deretan gigi yang rapih, dan bukan main jika ia suka dengan aroma parfum dr. Danu.
"Memangnya, yang paling sering Ann buat, boneka apa?" tanya Danu lagi.
"Ann paling suka membuat boneka emoji bermacam ekspresi."
"Wow, itu pasti lucu sekali. Bagaimana kalau dokter memesan satu, eh-" Danu berpikir sebentar. "Uhmm ... bagaimana kalau satu lusin?"
"Satu lusin?" Annawi terkejut sampai bibirnya dibiarkan setengah terbuka.
"Iya, satu lusin. Saya akan membagi-bagikannya dengan sepuluh staf di puskesmas dan satu untuk teman saya. Ann bisa?"
Bibir Annawi rasanya tak bisa menahan cengiran lebar, ia sampai menggigit bibirnya berulang kali saking senangnya. "Mungkin butuh lama untuk menyelesaikan sebanyak itu," ujarnya sedikit gugup.
"Tak apa, berapa hari pun Ann membuatnya, saya akan tetap menunggu sampai selesai. Berapa hari?"
Ann menggumam, jika biasanya ia butuh waktu dua hari untuk satu boneka, maka ia butuh waktu 24 hari. Belum lagi waktu yang terpangkas karena kemoterapi atau saat kesehatannya menurun. "Mungkin satu bulan, Dok. Apa tidak masalah?"
Dr. Danu menggeleng. "Tidak, Ann. Yang penting tidak mengganggu pengobatanmu dan jangan sampai kesehatanmu menurun hanya karena pekerjaan. Kamu gadis yang hebat dan pintar. Saya sering bertemu dengan anak seusia kamu yang menderita penyakit serius, tapi semangat mereka tidak sebesar kamu. Kamu masih bisa berkarya di saat kondisi seperti ini, apa yang kamu lakukan sangat menginspirasi anak-anak lain."
"Terima kasih, Dok."
Lagi, Annawi lagi-lagi tersenyum malu dan mungkin saja dr. Danu melihat rona merah di pipinya itu kentara. Meski ia tahu, bagaimanapun senyum yang dipancarkannya tak akan semenarik kelihatannya ditambah dengan NGT yang menggelayut di pipi kanannya. Annawi sedikit minder tapi rasanya dr. Danu tidak mempermasalahkan itu.
Tak berapa lama, ibunya masuk bagai badai yang menerjang. Dr. Danu dan Annawi sampai terkejut. Asti langsung membungkuk di samping Annawi dan mencium keningnya.
"Sepertinya Ann sudah tampak lebih baik," kata ibunya.
"Ya, Ann sudah bisa bernapas dengan baik sekarang," sambung dr. Danu. Saat dr. Danu sigap berdiri, Annawi merasa itu adalah sebuah aba-aba perpisahan.
"Syukurlah, terima kasih atas bantuannya, Dok," ucap Asti.
"Ini sudah menjadi tugas saya, Bu Asti."
"Saya benar-benar merasa terbantu." Dr. Danu menanggapinya dengan senyuman sambil melirik pada Annawi. "Jika Ann sudah merasa lebih baik, kita pulang sekarang. Ibu sudah mengisi tabung oksigen portabelnya, Ann istirahat di rumah saja ya?"
Di belakang ibunya, Annawi melihat dr. Danu membuat bahasa isyarat. Kedua tangannya membentuk pola lingkaran di udara lalu membuat inisial L, O, L dengan jari. Seakan berkata 'saya suka emoji LOL'. Gadis itu pun tertawa. Saat ibunya melihat ke belakang, dr. Danu mengalihkannya dengan omongan lain.
"Ya, beristirahatlah di rumah, Ann. Jaga kesehatanmu dan jangan lupa bonekanya. Pasti akan sangat lucu."
Saat ibunya kembali melihatnya, wajahnya miring dan tersenyum curiga. "Waw, ada yang baru dapat orderan, nih? Huh?"
Anak polos itu memag tak terlalu tahu bagaimaa cara menanggapi orang lain dengan baik, tapi wajah penuh persahabatan itu bisa Annawi baca dengan benderang.Annawi turun dari bed, ia melihat dr. Danu keluar dan menghilang ke ruangan lain. Annawi bisa saja menyusulnya-tapi ia tak mungkin melakukannya. Ia hanya berpikir bagaimana jika ia mengikutinya.
***
Saat mereka memasuki rumah, rasanya seperti sudah berhari-hari tidak menginjakkan kaki di sana. Ia hanya menghabiskan waktu dua jam di puskesmas tetapi Annawi merasa aroma rumah ini berbeda. Ia digandrungi perasaan yang membubung, mengingat percakapan serunya dengan dr. Danu, senyum di wajahnya bahkan urung menyurut saat ia duduk di sofa ruang tengah. Ibunya sedang mengambilkan air hangat untuknya saat ia bertanya.
"Dr. Danu tampan sekali, 'kan, Bu?" ujarnya. "Dr. Danu mengajak Ann bercerita, dan dia terkejut waktu Ann bilang Ann bisa membuat boneka. Ann juga terkejut waktu dr. Danu bilang mau pesan satu lusin. Banyak banget, 'kan, Bu?"
Bagian sofa di sebelah kanannya melesak ketika ibunya duduk. Ia meminum air putih hangatnya dengan cengiran yang manis di bagian akhir.
"Dr. Danu memang tampan, Ibu baru tahu ternyata dia dokter baru di Puskesmas. Sepertinya sudah lama sekali tidak ke Puskesmas."
"Dia dokter teraaa ... mah yang pernah Ann temui. Ah, seandainya semua dokter setampan dr. Danu, pasti banyak pasien yang cepat sembuh." Ia mendapat ekspresi datar dengan senyum tipis dari ibunya. "Seperti Ann. Merasa jauh lebih baik sekarang."
"Ibu senang kalau Ann sudah lebih baik."
Tawanya mengikik. Annawi tak ubahnya anak kecil yang baru mendapat hadiah paling bernilai. "Bagimana kalau kita mengundang dr. Danu untuk makan malam di rumah, Bu? Bolognise buatan Ibu sangat enak. Kita juga bisa mengundang Bukde Yani dan Mbak Dila, Bukde Tari juga, dan-"
"Cukup, Ann!" potong ibunya cepat. "Dr. Danu orang sibuk, mana mungkin mau menerima undangan kita. Lagipula, Ibu sedang krisis keuangan, tidak mungkin menggunakan uang yang ada hanya untuk mengundang orang lain."
Wajah tertunduk dan merasa bersalah itu terias cepat di paras Annawi. Mungkin ia memang terlalu berlebihan, hanya saja ia tak tahu harus membicarakannya dengan siapa perasaan yang berbeda itu selain pada ibunya. Tak mungkin pada tivi yang tak menyala, mustahil pada tumpukan boneka emojinya yang hanya bisa tertawa tapi membisu.
"Maaf, Bu," sesalnya.
Napas ibunya terhela. Mengelus pipinya sebentar lalu bangkit. "Ibu akan menyiapkan makanan untuk mengisi lambungmu."
***
Dila datang bersama mama dan papanya begitu mendengar kalau kondisi Annawi meprihatinkan sampai dibawa ke Puskesmas. Meski sedikit berlebihan, nyatanya, tetangganya itu selalu menjadi yang paling khawatir jika mendengar sesuatu terjadi pada Annawi. Asti menerima mereka dengan tangan terbuka. Ia melihat Yani begitu mencintai putrinya, memijit-mijit kaki Annawi sambil mengobrol.
Meski lagi-lagi, Annawi membicarakan hal yang sama seperti yang ia dengar sebelumnya. Tentang dokter baru itu. Mereka berempat duduk di ruang tengah. Hamdani-suami Yani-baru saja berpamitan untuk pulang setelah memberikan dua lembar uang merah pada Annawi. Untuk jajan, katanya. Anak itu bertambah-tambah senangnya, Asti bisa melihatnya dengan jelas.
"Jadi, dr. Danu minta dibuatkan selusin boneka?" tanya Dila pada Annawi.
"Ya, selusin. Padahal Ann butuh waktu satu bulan lebih untuk menyelesaikannya, tapi dr. Danu tidak keberatan."
"Kenapa dr. Danu pesan sebanyak itu?" tanya Dila lagi.
"Untuk dibagi-bagikan ke sepuluh staf di Puskesmas, satu untuknya, dan satu untuk temannya."
"Wah, baik banget dr. Danu," puji Yani. "Ann pasti sangat senang."
"Senang sekali, Bukde. Belum pernah Ann sesenang ini."
"Perasaan senang itu bagus buat kesembuhan. Benar begitu, 'kan, Asti?"
Asti tersenyum, merangkul pundak Annawi lalu menjawab, "Tentu saja. Aku senang jika Annawi senang."
Ada tawa yang saling bertukar di antara mereka. Asti teringat pada wajah-wajah yang pernah berkumpul untuk memberinya kekuatan. Entah beberapa tahun yang lalu, ia tidak ingat. Apa yang pernah hadir di dalam hidupnya adalah sebuah harapan yang berbingkai-bingkai. Ungkapan-ungkapan penuh perhatian itu kerap kali ia dapatkan. Untuknya, untuk putrinya, dan Asti tak tahu mengapa ungkapan itu mampu memberinya upaya untuk bersikap defensif. Pada apa yang ia hadapi. Bencana tidak datang begitu saja tanpa sebab, tetapi ia memikirkan kemungkinan lain yang tak dapat ia ingat. Sesuatu yang membuat segalanya menjadi mudah.
Pembicaraan mereka merujuk pada keseharian yang lazim ditemui. Di sela-sela, Dila mendadak beranjak dari duduknya sambil membawa gelas. Kopi yang dibuatkan Asti sudah habis dan gadis itu butuh air dingin untuk menetralkan rasa di mulutnya. Asti menyuruh Dila mengambil botol berisi air es di dalam kulkas sementara ia melanjutkan obrolan dengan Yani.
Namun di sela obrolan, tiba-tiba Asti teringat sesuatu. Asti meninggalkan Annawi dan Yani, menyusul Dila. Saat ia hendak memberitahu Dila, gadis itu sudah terlanjur membuka wadah rahasianya.
"Dila?"
Gadis itu terkejut dan gugup saat mendapati Asti sudah berdiri diam di belakangnya. Lantas bertanya, "Kenapa, ada banyak kantong darah di dalam kulkas?"
05 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro