Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Enam Belas

Mungkin Asti tidak bisa mengingat siapa nama pria tua yang bersama dr. Danu, tetapi ia ingat betul, pria itu adalah dokter yang pernah menyangkal soal hasil pemeriksaan Annawi saat anak itu diyakini olehnya menderita leukemia. Dokter kedua yang Asti datangi dan dimintai keterangan pasti soal hasil lab Annawi. Mulutnya serasa dibekap ketika mereka saling bertatapan.

Ia tidak bisa berkonsentrasi penuh saat sedang berbelanja. Banyak bahan dapur yang tidak masuk ke dalam troly dan ia baru menyadarinya saat sudah membayar di kasir. Pikirannya terlalu banyak berkelana, melihat pria itu bersama dengan dr. Danu dan tampak begitu dekat, Asti bagai dihantui oleh bayang-bayang masa lalu.

Annawi kecil duduk di sebelah Asti saat dr. Farid memasuki ruangan. "Bu Asti," sapanya sambil menarik kursi di seberang Asti. Dokter itu memegang lembaran kertas. "Saya lihat, hasil tes darah lengkap Annawi tidak menunjukkan masalah yang serius. Walaupun, jumlah limfositnya abnormal dan trombosit juga berkurang. Kami sudah memeriksanya dengan teliti dan tampaknya Annawi terkena mononukleosis. Sebabnya belum bisa diketahui tanpa pemeriksaan yang lebih lanjut, tapi biasanya karena virus. Itulah penyebab Annawi flu dan demam selama berhari-hari, lemas dan kehilangan nafsu makan."

"Mononukleosis?" Asti mengulangi penyebutan nama penyakit itu. "Jadi bukan demam berdarah, kan, Dok?"

"Saya rasa rumah sakit sebelumnya telah melakukan kesalahan diagnosis." Asti mengerutkan keningnya, memandangi Annawi yang duduk sambil memainkan ujung ritsleting jaket hangatnya. "Terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di bagian leher Annawi dan itu juga yang mendukung diagnosis saya."

"Saya pikir, putri saya terkena semacam leukemia karena gejalanya persis."

"Kita tidak perlu berpikir sejauh itu, Bu Asti. Annawi akan baik-baik saja setelah mendapat pengobatan dan istirahat yang cukup. Penyakit mononukleosis memang tidak bisa sembuh cepat, tetapi tidak perlu terlalu dikhawatirkan sebab penyakit ini akan hilang dengan sendirinya. Prognosisnya baik."

Asti menggeleng, hatinya mengalami penyangkalan dan rasanya ia tak bisa terima begitu saja dengan apa yang dikatakan dr. Farid. "Mohon maaf sebelumnya, Dok. Tapi saya khawatir jika kali ini hasil diagnosisnya tidak tepat. Annawi sempat mengalami pendarahan di bawah jaringan kulitnya. Di punggung," katanya sambil mengelus punggung Annawi. "Juga-mimisan di hidungnya." Kalimat yang terakhir meluncur begitu saja dari lidah Asti. Kenyal seperti jelly. Ia tahu itu tidak benar.

"Tapi saya tidak melihat memar itu, Bu. Tidak di punggungnya atau di mana pun," sangkal dr. Farid.

"Dokter, saya Ibunya dan saya tidak mungkin mengada-ngada apa yang terjadi pada putri saya. Saya tidak tahu kenapa tanda-tanda itu tidak terlihat sekarang."

Dr. Farid menunduk sebentar, napasnya terhela sumir. "Bu Asti, saya dokter spesialis anak, dan saya tidak mungkin menyamarkan penyakit yang diderita oleh anak Ibu. Hasil diagnosis saya tidak mungkin salah. Kita bisa melakukan aspirasi sumsum tulang jika Bu Asti ingin lebih memastikannya."

Sebagian dari dalam diri Asti masih belum bisa percaya. Dokter sebelumnya telah melakukan kesalahan diagnosis, tidak menutup kemungkinan dokter di depannya menganalisis sampel darah dari tabung yang salah.

Tawaran dari dr. Farid agar Annawi menjalani aspirasi sumsum tulang ditolaknya dengan cara halus. Asti tidak bisa berpegangan dengan satu atau dua dokter. Di hari berikutnya, Asti mendatangi beberapa rumah sakit lagi dengan keluhan yang sama. Dua rumah sakit berikutnya mendiagnosis Annawi menderita mononukleosis. Namun dengan cara yang sama pula, ia menyangkal. Sesuatu yang entah apa, yang ia sendiri tidak dapat mengerti, tidak cukup membuatnya tenang. Bukan karena ia tak percaya dengan apa yang dikatakan dokter, tetapi karena ada hal di dalam dirinya yang tak bisa menerima kenyataan yang sesungguhnya.

Annawi diberikan obat penurun demam oleh Asti selagi belum ada penanganan yang tepat yang dapat ia berikan. Selama itu pula, ia terus mencari jawaban. Hingga suatu hari ia bertemu dengan seseorang saat duduk di sebuah ruang tunggu rumah sakit, Asti pun tahu, bahwa anaknya memang sudah seharusnya memiliki jalan hidup yang berbeda dari anak-anak lain.

Setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk menjalani hidup, setiap orang berbeda pula untuk membuat keseharian menjadi lebih berbeda. Asti meyakini hal itu.

Di parkiran basemen, Asti menaruh barang belanjaannya ke bagasi mobil. Seperti janji yang sudah ia buat dengan seseorang dan sudah menjadi rutinitas setiap dua bulan sekali, Asti menghampiri mobil sedan berwarna putih yang terparkir di bagian paling pojok.

Ia memastikan, basemen itu sepi, pencahayaan tak mungkin sebenderang di dalam mall. Asti mempercepat langkah kemudian mengetuk kaca jendela kabin kemudi. Seorang pria pun membuka pintu, turun dari mobil dan berdiri di hadapan Asti.

"Aku senang karena tidak menunggu lama." Pria itu memiliki tinggi sedang, berkulit sedikit gelap dan-ini pertama kalinya Asti bertemu dengan pria itu.

"Kenapa kamu yang menjumpaiku?" tanya Asti.

"Bapak lagi malas bertemu denganmu, berdo'a lah supaya Bapak tidak marah terlalu lama." Pria itu mengambil sebuah goodie bag berwarna hitam lalu menyerahkannya pada Asti. "Ini, jenis dan jumlah yang sama seperti biasa."

Asti menerimanya. "Dia sudah mendatangiku malam-malam dan memukuliku sampai seperti ini-" Asti menunjukkan lebam yang masih tersisa di pipinya pada pria itu. "-dan sekarang dia bilang malas bertemu denganku?"

"Kenapa tidak meneleponnya saja dan bicara? Kupikir kalian sudah saling mengerti satu sama lain." Pria itu meringis tawa di penghujung kata-kata. "Dengar, aku tidak tahu kalian punya hubungan apa. Lagipula, aku tidak ingin tahu. Tapi seperti yang kamu tahu, Bapak tidak pernah ingkar janji, dan Bapak juga tidak pernah main-main dengan ancamannya. Jadi, jagalah hubungan baik kalian."

"Jangan mengancamku."

"Aku tidak mengancam, Bu Asti. Aku hanya kagum dengan kemesraan kalian selama ini. Jadi, sayang rasanya kalau disia-siakan begitu saja."

Asti mengeratkan giginya, tak ingin berkomentar lagi. Persetan dengan omongan orang suruhan itu, yang terpenting, obat-obatan yang dibutuhkannya sudah ia dapat. Di rumah nanti, ia akan menyusun kembali lemari obatnya dengan persediaan baru.

Saat ponsel di dalam tas tangannya berdering, Asti meninggalkan orang itu sambil menjawab panggilan dari Yani.

"Halo, Mbak?" sapanya.

"Asti, cepatlah pulang," pinta Yani dengan suara memburu.

"Kenapa, Mbak?" tanyanya kembali.

"Ann hilang. Ann tidak ada di mana-mana dan Mbak tidak tahu harus mencarinya ke mana." Langkahnya berhenti mendadak dan ia terdiam di tempat dengan wajah kaget. Di seberang sana, suara Yani bergetar dan menangis. "Maafkan, Mbak ... Seharusnya Mbak tidak ketiduran dan bisa mengawasinya dengan baik."

Annawi menghilang. Mungkin pergi diam-diam. Anak itu sudah berani melanggar aturan dan aku tidak bisa membiarkan ini, bisiknya di dalam hati.

***

"Apa ini?" tanya dr. Danu saat Annawi menyerahkan map itu padanya.

"Ini, riwayat medis Ann yang disimpan Ibu. Ada hal, yang selama ini Ann tidak mengerti dengan penyakit yang Ann derita."

"Maksud kamu?"

"Dr, Danu pasti tahu, tanda-tanda seseorang menderita penyakit leukemia itu seperti apa. Ann hanya ingin tahu lebih jelas seperti apa seharusnya orang dengan penyakit itu."

Dr. Danu tercengang sesaat. Annawi bisa membaca sorot mata itu seolah menganggap dirinya aneh dan bicara ngawur.

"Ann, tolong beritahu saya apa masalah kamu sebenarnya. Kenapa kamu datang ke sini hanya untuk bertemu dengan saya dan membawa catatan-catatan ini?"

Map itu berada di atas paha dr. Danu sewaktu Annawi membukanya untuk menunjukkan. "Lihatlah, dok. Baca, tolong bacakan apa saja yang tertulis di dalam sini. Selama ini Ann tidak tahu seperti apa rasanya sakit leukemia. Keluhan yang Ann rasakan selama ini, kebanyakan muncul setelah Ann mengkonsumsi obat. Tadi Ann sempat menonton tayangan di tivi yang menjelaskan tentang gejala penyakit leukemia, Ann coba mengingat apakah gejala itu sama seperti yang Ann alami."

Annawi menarik napasnya, menatap mata dr. Danu dua kali lebih serius.

"Lalu? Apa yang Ann temukan?"

"Ann tidak punya semua gejala itu."

Udara di sekitar mereka mendadak hening. Suara rintik hujan sudah tak lagi terdengar. Dr. Danu mengerjapkan matanya tak percaya. Sebelum ia menanggapi perkataan Annawi lebih lanjut, ia pun membaca satu per satu catatan medis yang ditinggalkan dokter yang berbeda-beda dimulai dari yang paling awal. Di saat Annawi berusia empat tahun.

"Apa ibumu tahu Ann datang kemari?" tanya dr. Danu dengan mata yang masih fokus pada tulisan-tulisan itu.

"Tidak. Ann melanggar aturan. Bukan untuk menyenangkan diri, tapi untuk mencari jawaban pasti."

Spontan Annawi mendapat tatapan terkejut dari dr. Danu. Hanya sesaat. Kalimat itu, pernah Annawi dapat dari pria di depannya. Ketika suara seseorang melaungkan namanya, mereka menoleh ke arah pintu masuk bersaman.

"Ann!"

Itu ibunya, menerobos masuk begitu saja bagai ombak yang menerjang. Wajah ibunya berbeda, ada kemarahan seakan menumpuk dan melapisi rupa yang biasanya penuh kelembutan itu. Langkahnya begitu cepat, Annawi tak dapat menahan saat ibunya sudah berdiri menjulang di hadapannya. Dr. Danu, pun mengalami keterkejutan yang sama.

"Apa yang Ann lakukan di sini?" Asti melirik dr. Danu sesaat. Lengan Annawi direbut begitu saja. "Ayo kita pulang!" titahnya.

"Ann masih ingin di sini," tolak Annawi dengan suara rendah.

Mata ibunya beralih ke benda yang berada di pangkuan dr. Danu. Anawi mengikuti ke mana arah mata ibunya dan rasanya, tubuhnya mengerut di saat itu juga. Jantungnya berdegup terlalu cepat. Ia tak bisa menyembunyikannya, tidak punya waktu. Kini benda itu dirampas dari tangan dr. Danu oleh ibunya dengan mata yang senyalang serigala.

"Kenapa map ini ada di sini?"

"Bu Asti, tenanglah," ujar dr. Danu sembari berdiri. Mencoba menenangkan setelah melihat wajah Annawi yang dirundung ketakutan. "Annawi tidak salah, dia hanya-"

"Ibu tidak pernah mengajarimu mencuri, kenapa sekarang Ann bertingkah di luar batas?"

Annawi gemetar dan beringsut, tak tahu harus membela diri dengan cara apa. Ia sudah tertangkap basah. Melihat wajah penuh amarah ibunya saja ia hampir tak sanggup.

"Sudah Ibu bilang, Ann tidak boleh pergi keluar sendirian. Apalagi bertemu dengan laki-laki."

"Bu Asti, Annawi tidak datang sendirian. Saya yang menjemput Annawi dan mengajaknya untuk ke puskesmas."

Secepat kilat, Asti menusukkan tatapan matanya pada dr. Danu. "Apa yang sudah Dokter lakukan itu sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang dokter berpendidikan seperti Anda. Saya tahu Anda berbohong. Annawi pasti datang sendirian, dia menjadi anak yang tidak patuh semenjak kenal dengan Anda."

Pembelaan itu terbuang sia-sia. Annawi merasakan udara memanas, para staf di puskesmas berkumpul melihat kegaduhan itu.

"Saya minta jangan pernah mendekati putri saya lagi. Jauhi dia!"

"Ibu tidak boleh membentak dr. Danu! Ann yang salah, jangan melarang dr. Danu untuk berteman dengan Ann, Bu."

"Diam, Ann! Kita pulang sekarang!"

Asti menarik tangan Annawi dengan hentakan yang menyakitkan. Tubuh ringannya hampir saja tersungkur jika dr. Danu tidak menahannya.

"Ann!" Dr. Danu memegangi bahu Annawi, Asti yang melihat itu semakin berang. "Kenapa Ibu kasar begini? Ann hanya datang untuk bertanya , Ibu tidak perlu memarahinya seperti ini. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik."

"Saya ibunya! Saya pikir Dokter tidak lupa itu!"

Sebuah kesalahan. Annawi merasa apa yang dikatakan dr. Danu hanya akan semakin membuat kemarahan ibunya memuncak.

"Tak apa, Dok. Jangan khawatir. Ann harus pulang." Ia menggigit bibirnya yang bergetar, wajahnya sendu, setetes air mata luruh. Satu tangannya yang masih bebas menepis pelan jemari dr. Danu. Ia melihat mata ibunya, mencoba meredam emosi yang ia yakini masih berkumpul di dalam sana. "Kita pulang, Bu."

Lengannya dipenjara oleh jemari ibunya. Saat Annawi hampir menjauh, ia menoleh ke belakang. Dr. Danu masih berdiri memandanginya, hati Annawi serasa memudar dan menghilang di udara. Ia gagal meminta tolong pada kesatria itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro