Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Empat belas

Maaf sebelumnya, mungkin ada sebagian dari kalian yang ngikutin cerita ini tapi belum follow aku. Yuk kita kenal lebih dekat. Ini hanya sesuatu yang muda dengan mengKlik follow 😊

Terima kasih karena telah mendukung cerita ini lewat vote dan komen. Semoga Thorjid bisa menyajikan cerita yang terbaik buat kalian.

SELAMAT MEMBACA

Yani dan Annawi duduk di sofa panjang di ruang tengah, di depan tivi yang baru kemarin dipasangkan layanan tivi kabel. Dila sempat menawarkan tivi satelit kepada Asti tapi karena harga tivi kabel yang lebih murah, sudah pasti Asti akan memilih itu. Setidaknya, Annawi sudah bisa senang sebab ibunya tidak melanggar janji.

Ibunya sedang pergi untuk belanja bulanan dan membeli obat-obatan. Itu sebabnya Yani ada untuk menjaga Annawi. Semalam, yang Annawi tahu, ibu-ibu di kelurahannya datang menjenguk Annawi. Kunjungan itu ditengarai dengan penyerahan amplop yang berisi uang hasil pengumpulan dana untuk biaya operasi Annawi. Meski belum mencapai biaya yang dibutuhkan, paling tidak ibunya sudah sangat terbantu. Annawi justru berharap biaya untuk operasi itu tidak pernah cukup, terus terang, Annawi tak tahu kapan ibunya membahas soal operasi itu dengan dokter dan lagipula, Annawi takut dioperasi.

Mereka menonton salah satu seri drama Korea yang Yani sama sekali tidak tertarik. Annawi senang bukan main. Rasanya seperti harinya dipenuhi dengan imajinasi dunia luar. Lucu, sedih dan terkadang menegangkan. Tak ada seri yang ditontonnya berulang-ulang. Semuanya tayang sesuai jadwal dan yang terpenting, bukan film lawas atau bajakan seperti yang ibunya pernah sediakan.

Tampaknya, Annawi punya Ji Chang-wook sebagai idola baru setelah menonton Backstreet Rookie. Ia mencoba membandingkan, tetap saja Park Bo Gum masih menjadi yang terfavorit sebab aktor tersebut mengingatkannya pada dr. Danu. Annawi tersenyum-senyum kecil. Mendadak, ia teringat pada pocky yang pernah disembunyikannya di dalam boneka emoji. Beberapa hari semenjak kunjungan dr. Danu, ibunya terlalu banyak mengawasi. Waktu luangnya hanya dipenuhi dengan pengawasan, kelelahan dan berakhir di atas tempat tidur untuk istirahat. Jangankan memakannya, Annawi bahkan tak berani menyentuh boneka itu sebab takut hadiah istimewanya itu rusak.

Ia menoleh ke belakang, melihat pintu kamarnya. Pocky-nya ada di sana tetapi jika ia menurunkan kaki dan berjalan, ia takut Yani akan memergokinya. Ibunya, pasti akan sangat marah kalau sampai Yani memberitahu. Mungkin, ia harus menunggu beberapa menit lagi sampai wanita itu tertidur.

"Nanti, kalau drakor kamu sudah habis. Ganti ke channel tivi Nasional. Biasanya kalau jam segini, Bukde nonton dr. OZ."

"Dr. OZ? Apa itu judul sinetron?"

Yani terkikik kecil mendengar kepolosan Annawi. "Bukan sinetron, Ann. Itu semacam program Talk Show yang membahas tentang kesehatan. Penting buat kamu juga, loh."

"Ah, sepertinya menarik. Mungkin, lima belas menit lagi Oppa Ji Chang-wook balik ke rumahnya, nanti Ann tukar ke tivi Nasional. Mudah-mudahan itu bukan bagian dari acara tivi yang dihapus Ibu."

"Ibumu benar-benar mengatur siaran tivi?" tanya Yani sedikit kaget.

"Mungkin Ibu tidak ingin Ann kebablasan, Bukde."

"Ya, kamu benar-benar anak baik. Ibumu jelas tidak ingin Ann menonton acara tivi yang dapat merusak pikiran kamu." Yani tersenyum sambil membetulkan kain kupluk penutup kepala Annawi. "Bukde senang lihat Ann tampak lebih sehat begini. Jangan sakit-sakit lagi, ya? Bukde terus kepikiran kalau kamu ngedrop, Nak."

Sejenak, Annawi merasa menjadi orang yang begitu berarti. Annawi memandangi wajah wanita yang selalu diselimuti kebaikan itu dengan perasaan yang menenangkan. Tontonannya sejenak menjadi hal yang terlupakan ketika ia menyandarkan kepalanya di bahu Yani. Benar kata ibunya, ia dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayanginya. Mungkin itu sebabnya, ibunya tak pernah mempermasalahkan sanak saudara yang tak pernah mengunjunginya jika toh mereka memiliki para tetangga yang jauh lebih peduli.

Lima belas menit berlalu. Sesuai janji, Annnawi menukar channel tivi sesuai permintaan Yani. Namun sayang, wanita itu sudah tertidur dengan posisi duduk dan kepala tengleng ke kanan.

Ia baru tahu, ternyata ada program tivi semenarik itu. Ibunya tak pernah mengizinkannya menonton tivi di jam-jam sore begini. Kalaupun boleh, mungkin ibunya juga tidak akan memberi tahunya. Entah kebetulan atau apa, program itu menayangkan tema tentang Leukimia. Annawi tentu sangat tertarik. Ia mendengarkan dengan saksama, memperhatikan tanpa terlewat saat dua host dan satu dokter spesialis kanker anak itu menjelaskan tentang penyakit sama seperti yang dideritanya.

Banyak hal yang Annawi tidak ketahui kini membuatnya paham. Ia kembali teringat pada perkataan ibunya, 'semakin banyak kau ingin tahu tentang sesuatu, maka kau tak akan pernah bisa keluar dari lingkaran tersebut'. Dan sialan, Annawi terperangkap di sana. Di depan layar tivi yang membuat ia tercengang. Ia coba untuk mengingat, ciri-ciri sakit yang ia rasakan seperti yang dijelaskan oleh spesialis tersebut.

Demam tinggi berhari-hari, Annawi pernah demam tapi biasaya tak pernah lebih dari tiga hari. Baiklah itu bukan ciri spesifik yang ingin ia ketahui lebih jelas. Soal pendarahan di bawah jaringan kulit, Ann tidak pernah menemukan hal-hal semacam itu di setiap inci kulit tubuhnya. Luka yang mudah terinfeksi; seingatnya, ia pernah terjatuh saat tersandung, dengkulnya terluka dan itu bukanlah sesuatu yang mengerikan seperti yang dokter itu ceritakan. Pendarahan yang bisa saja keluar dari jalur lubang tubuh seperti anus, kemaluan, telinga mulut dan hal yang paling umum adalah hidung. Annawi tidak tahu pendarahan yang terakhir ia alami termasuk dalam kategori ciri penyakit leukimia, tetapi itu adalah kali pertama ia alami dan sebagaimana dari buku ilmiah yang pernah ia pelajari, Annawi teringat tentang siklus menstruasi pada wanita.

Annawi mulai merasakan logikanya menemukan celah. Ciri lain seperti, nyeri tulang, pembengkakan limfa---yang bahkan Annawi tak pernah merasakannya---berdampak pada kecurigaan ia pada tubuhnya sendiri. Annawi mulai bertanya-tanya, apa sebenarnya bagian dari leukimia Limfoblastik Akut yang ia derita selama bertahun-tahun. Mual, muntah, demam, sakit kepala, penurunan berat badan dan menggigil, sakit yang dialaminya itu sudah pasti muncul akibat efek samping pengobatan kemoterapi yang ia terima.

Apapun, ini menjadi perdebatan dalam diri Annawi. Ia mematikan tivi, isi kepalanya dibanjiri berbagai pertanyaan yang ia sendiri tak mampu menampungnya. Kejadian-kejadian darurat yang pernah menimpanya membuat Annawi menguak kembali gambaran itu. Bayangan tentang kematian seolah menjadi rutinitas yang menakuti. Bertahun-tahun. Dan Annawi mulai tahu, pertanyaan tentang seperti apa rasa sakit itu bila digambarkan, mau tak mau harus segera ia tuntaskan.

Annawi memastikan, wanita di sebelahnya tertidur pulas. Sebagai seorang yang selalu digandrungi rasa penasaran tinggi, Annawi harus membuat semuanya jelas.

***

Ketika Annawi berumur lima tahun, pagi itu, Annawi kecil menangis terus menerus. Anak seusianya seharusnya bisa mengeluh, tetapi Annawi tidak. Asti dilanda bingung terlebih ketika tahu bahwa suhu tubuh putrinya hampir mencapai 40 derajat Celcius. Itu adalah hari kelima Annawi demam sementara obat biasa seperti paracetamol tak kunjung membuat panasnya reda.

Seharusnya, Asti tidak membawanya ke klinik dokter dekat rumahnya, seharusnya ia bisa mengambil keputusan cepat dengan memeriksakan Annawi ke rumah sakit. Saat hidung anak itu mengeluarkan darah, Asti panik bukan main. Dibantu ayahnya yang waktu itu masih sehat dan bugar, Asti membawa Annawi ke rumah sakit. Ruang gawat darurat tak ubahnya seperti ruang persidangan yang lebih mendebarkan. Asti pernah berada di sana, sebagai staf, bukan sebagai orang tua yang anaknya sedang kritis.

Ia mondar-mandir di depan UGD, tangannya diremas-remas, cemas dan ia tak punya cara pamungkas untuk menenangkan diri.

Ayahnya yang melihat itu merasa terusik pun menyuruhnya duduk. "Tenanglah, Asti. Ini bukan pertama kalinya kamu membawa Ann ke UGD. Duduk dan tunggu saja apa kata dokter."

"Ann mimisan, Ayah. Dia demam berhari-hari dan sekarang hidungnya mengeluarkan banyak darah," ungkapnya dengan suara yang sedikit gemetar.

"Bisa jadi itu demam berdarah. Kamu ingat, waktu usia kamu tujuh belas tahun, kamu juga pernah demam sampai mimisan, dan dokter mengatakan kamu demam berdarah. Seminggu kemudian, kamu sehat."

Asti memandangi ayahnya yang duduk di kursi stainless yang memanjang. "Itu bukan demam berdarah. Bukan."

"Asti, berhentilah berpikir yang tidak-tidak tentang anakmu sendiri," sergah ayahnya. "Waktu Ann berusia empat tahun, anak itu terjatuh dari sepeda roda tiga dan kamu membawanya ke UGD padahal Ann hanya luka lecet di dengkul. Saat Ann baru pulang dari pesta ulang tahun temannya, anak itu muntah-muntah dan kamu mengatai orang yang punya hajatan meracuninya. Lalu waktu Ann batuk dan sesak napas, kamu menyangka anak itu sakit infeksi paru-paru padahal Ann cuma batuk biasa. Asti apa kamu sadar kalau apa yang kamu lakukan semua itu sangat berlebihan?"

Bagi Asti, ayahnya hanya sedang mengungkapkan sisi ketidakpedulian sang kakek terhadap cucunya. Asti tak ingin menggubris omongan ayahnya. Orang tua itu tidak tahu soal dunia medis. Apa saja bisa terjadi dan penyakit bisa menyerang siapa saja. Tidak terkecuali putrinya.

"Aku tidak berlebihan, Yah. Tubuh Annawi itu lemah dan rentan sejak bayi. Sebagai ibunya, aku harus menjaga kondisi Ann tetap sehat dan lihatlah sekarang, Ann ada di UGD Ayah. Apa Ayah tidak bisa mengerti itu?"

Ayahnya membuang napas pelan lalu menggeleng. Saat perawat memanggil Asti, ia masuk ke ruang UGD dan melihat Annawi sudah tidak lagi menangis. Selang berseliweran seolah melilit tubuh anaknya. Ia menangis, menciumi Annawi yang terus memanggil 'Ibu'.

"Anak Ibu harus dirawat. Kami sudah mengambil sampel darahnya untuk dicek ke lab. Besok pagi, hasilnya akan keluar," ujar dokter jaga itu memberi tahu.

"Apa ada kemungkinan anakku sakit serius?"

"Kita berharap tak ada penyakit serius yang hinggap di tubuh anak perempuan secantik Annawi. Tapi kita akan segera tahu."

"Annawi demam selama lebih lima hari, muncul bintik-bintik merah di kulit lengannya dan sekarang ia pendarahan." Asti mengelus rambut Annawi, memandangi wajah pucat anak itu. "Itu gejala leukimia, bukan?"

Pria yang merupakan dokter jaga itu menaikkan alisnya sebelah, mengalungkan stetoskopnya ke lehar. "Sebaiknya jangan berkata demikian sebelum hasil tesnya keluar, Bu."

Akan tetapi, Asti punya firasat lain. Ia tidak bisa begitu saja puas dengan jawaban dokter soal hasil lab Annawi keesokannya yang menerangkan bahwa Annawi sakit demam berdarah. Ia bersikeras dan dengan kekhawatiran yang terus merongrong pikirannya, Asti mendesak agar dokter memastikan sekali lagi dan jika perlu, lakukan tes darah ulang.

Bagaimanapun, Annawi adalah anak kandungnya. Ia tak ingin pihak rumah sakit melakukan kesalahan diagnosa sebab itu menyangkut masa depan anaknya. Masa depan buah hati satu-satunya.

14 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro