Dua puluh tujuh
Bab ini, kupastikan kalian puas. 2352 words, semoga suka dan silakan memaki Asti.
SELAMAT MEMBACA
"Asti, Ann! Kalian baik-baik saja?" Yani terus menggedor pintu dari luar. Setelah ia mendengar suara teriakan dari dalam, dadanya berdesir. Suara itu lantang dan putus dalam satu kali teriakan. Yani semakin khawatir sesuatu terjadi pada Annawi, terlebih setelah mendengar penuturan Danu tentang penyakit mental yang diidap Asti, Yani bolehjadi menerka-nerka hal buruk. "Ann! Ini Bukde, Sayang. Buka pintunya, Asti!" Tak ada jawaban dari dalam. Keyakinannya tentang berita itu semakin menjadi. Dia melihat ke belakang, jalanan sunyi dan tak ada seorang pun berlalu lalang di waktu menjelang siang begini. "Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa pada Ann," gumamnya.
Rasanya dadanya sedikit lega ketika pintu dibuka. Asti muncul dengan rambut yang berantakan dan wajah berkeringat. Gaun tidur tanpa lengan dibalut cardigan menggelambir di tubuh wanita itu.
"Mbak Yani? Maaf lama bukakan pintu. Aku sedang repot mengurus Ann," ujarnya. "Ada perlu apa?"
Yani mengerutkan keningnya, masuk satu langkah ke dalam rumah. "Mbak mendengar suara teriakan dari dalam. Apa Ann baik-baik saja?"
"Teriakan? Tidak ada yang berteriak, Mbak. Ann sedang tidur," jawab Asti.
Tidak mungkin ia salah dengar. Namun Yani menepis begitu saja prasangka tersebut. Asti pun membuka pintu lebar dan mempersilakan Yani masuk. "Mbak mau melihat Ann, bagaimana keadaanya?"
"Yah, setelah pulang tadi malam, Ann tidak bisa tidur karena kesakitan. Lambungnya perih. Aku sudah memberinya makan dan obat, dan dia baru saja bisa tidur."
"Munchausen syndrom by proxy, Bu Asti mengidap kelainan mental, Bukde. Selama ini ternyata Ann tidak sakit, ibunya memanipulasi penyakit anaknya sendiri untuk mendapatkan perhatian dan simpati dari orang lain. Saya minta tolong, hanya Bukde yang bisa membawa Ann kelaur karena Bu Asti masih percaya pada Bukde."
Kata-kata Danu masih terngiang di kepala Yani. Apa yang dikatakan Danu, Yani belum bisa memastikannya seratus persen. Pasalnya, Asti tampak seperti wanita normal, ibu yang menyayangi anak kandung laiknya seorang ibu pada umumnya. Tak tampak penyakit mental bertengger di tubuh wanita itu. Yani memandangi Asti sebentar, menelisik keanehan yang barangkali ditemukannya meski hanya secuil. Namun, perihal sikap Asti yang membatasi Annawi dari dunia luar, mungkin bisa menjadi fakta pendukung.
"Boleh, Mbak melihatnya?"
"Tentu, Mbak. Masuklah ke kamarnya, tapi aku minta jangan berisik dan bicara pelan saja. Kasihan anak itu, dia baru saja terlelap tidur dan butuh istirahat banyak."
"Baik."
Asti membuka pintu kamar Annawi, Yani masuk perlahan dengan perasaan cemas tak karuan. Di belakangnya, Asti mengawasi. Yani berjalan mendekat ke tempat di mana Annawi tampak tertidur pulas. Selimut menutupi sampai batas dadanya, wajahnya terkulai ke kiri dan dadanya naik turun teratur. Rupa anak itu terlihat tenang, terlelap dalam tidur.
Sejauh ini, tidak ada yang aneh di mata Yani. Situasi di kamar Annawi juga terlihat sebagaimana biasanya. Tidak terlihat tanda-tanda bekas perlawanan atau hal-hal semacam itu.
"Kenapa tidak bawa Ann ke rumah sakit lagi jika dia kesakitan terus?" tanya Yani sambil berdiri memandangi Annawi.
"Ann membenci rumah sakit, Mbak. Itulah alasan dia kabur dari sana. Katanya, Ann ingin menghabiskan waktu di rumah. Mbak dengar sendiri 'kan apa yang dikatakannya tadi malam?"
Yani mengangguk kecil. Duduk di sebelah Annawi dan mengelus lengan anak itu. Lagi-lagi, ia terngiang akan pesan Danu untuk membawa Annawi keluar dari kendali Asti. Akan tetapi, ia tidak mungkin membawa Annawi dalam keadaan tidur seperti ini. Ia justru kasihan. Tak kan tega Yani membangunkan Annawi yang terlihat damai dalam tidurnya.
Keterdiaman Yani selama beberapa menit akhirnya mengundang pertanyaan dari Asti.
"Sudah cukup, Mbak? Sebaiknya kita biarkan Ann istirahat."
Yani menurut. Ia berjalan keluar lantas menutup pintu kamar. "Asti, soal Ann." Mereka berhadap-hadapan, masih berdiri di depan kamar Annawi. Apa yang ingin dikatakannya terasa kaku di tenggorokan. Namun, pikiran kotor itu terus merongrongnya bagai rayap yang menggerogoti kayu. "Mbak, ingin membawanya keluar kalau dia sudah bangun."
Kedua alis Asti saling bertaut. "Untuk apa?"
"Sekadar jalan-jalan, sudah lama Mbak tidak mengajaknya main ke rumah. Melihat akuarium, biasanya Ann sangat senang dan betah berlama-lama di depan akuarium milik Pakdenya."
"Ann tidak akan keluar ke mana-mana, Mbak. Dokter menyuruhnya bedrest."
"Maaf, Asti. Sebenarnya Mbak tidak setuju dengan cara kamu mengasuh Ann, mengurungnya terus di dalam rumah sama sekali tidak baik untuk kepribadiannya."
"Mbak, aku adalah ibunya. Dan aku paling tahu apa yang dibutuhkan anakku sendiri. Aku tidak suka ada orang yang mencampuri urusan keluargaku."
Yani terkesiap dalam skala besar, tetapi ekspresinya sedang berusaha diatur. Tampaknya, apa yang dikatakan Danu sudah mulai terbukti.
"Apa Mbak termasuk orang lain bagimu?"
Asti terdiam. Membuang muka sesaat lalu kembali menatap mata Yani luru-lurus. Tanganya bersedekap di dada. "Tolong jangan berdebat di saat seperti ini. Aku sedang pusing memikirkan kondisi Ann. Tidak bisakah Mbak Yani mendukungku saja?"
"Asti, Mbak sayang sama kamu dan Ann. Ibu-ibu di lingkungan kita hampir setiap hari membicarakanmu. Katanya kamu terlalu over protective terhadap Ann sampai-sampai mengurungnya dan membatasinya dari perkembangan teknologi. Anak seusia Ann, seharusnya sudah paham bagaimana cara bersosialisasi."
"Mereka mengguncingku?" tanya Asti. "Di belakangku? Padahal di depanku mereka bersimpati dan bahkan bersedih melihat keadaan Annawi."
"Mereka hanya meminta Mbak untuk menyarankan hal itu padamu. Dan Mbak rasa mereka ada benarnya."
Dengkusan Asti mengisyaratkan bahwa emosinya mulai tidak stabil. Yani merasakan aura yang berbeda seketika. "Maaf, Mbak. Aku rasa tidak ada yang berhak mengatur-ngatur kebijakanku sebagai ibunya Ann."
"Kenapa kamu bicara begitu? Asti, kami hanya menyarankan. Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dari kami semua?"
Ini seperti permen karet yang meledak di dalam mulut. Yani keceplosan dan itu membuat rona muka Asti semakin merah. Seakan ada sesuatu yang ditahan dibaliknya.
"Apa maksud Mbak Yani mengatakan itu?"
Yani gugup. Menunduk dan merasa buntu. "Umm ... maksud Mbak—"
"Mbak Yani tahu apa?" Wajah Asti maju dan lebih dekat dengan Yani. Menelisik dan seakan membaca isi hati Yani lewat airmuka. "Kenapa Mbak bilang aku menyembunyikan sesuatu?"
Jantung Yani menghentak. Bulir keringat turun dari pelipisnya. Jika benar apa yang dikatakan Danu, tampaknya Yani harus pergi dari rumah itu secepatnya.
***
"Mbak akan kembali ke sini setelah Ann bangun. Nanti sore." Kemudian Yani keluar dari pintu begitu saja.
Asti memandanginya, menekan gigi hingga pipinya menonjol. Ia terdiam, duduk di atas sofa dengan kepala yang sakit dan berdenyut. Satu hari terasa bagai beberapa hari yang panjang. Ia tak percaya putrinya bisa sebegitu tega bersekongkol dengan dokter muda itu, atau mungkin juga dengan Yani, hanya demi memojokkan dirinya. Asti tidak merasa dirinya pantas dituduh dan dianggap sebagai sumber masalah. Namun putrinya sudah menganggapnya begitu. Orang-orang di luar sana juga mungkin bakal menganggapnya tidak benar.
Jangankan berpikir normal, meredakan gangguan cemasnya saja ia sudah kewalahan. Asti terduduk dan menggigiti ibu jarinya. Menatap lantai marmer yang merefleksikan rupa buram. Bila dikatakan secara gamblang dan jujur, Asti sama sekali tidak menginginkan hal seperti ini terjadi. Mencintai anaknya adalah sebuah naluriah keibuan, tetapi ia punya cara yang berbeda yang orang lain tidak mengerti. Ada rasa bahagia dan puas setiap kali melihat Annawi lemah. Menyayanginya dengan cara memberikan perhatian lebih, merawatnya, memperbaiki yang salah dari tubuh putrinya, juga menelikung pergerakan Annawi dari dunia luar. Ungkapan rasa cinta itu akan terbentuk sempurna. Bundar dan utuh. Asti akan menjadi satu-satunya orang yang dibutuhkan Annawi, satu-satunya orang tua yang bisa diandalkan. Prajurit tangguh putrinya. Permaisuri yang selalu dianggap bijaksana dan paling menentukan masa depannya.
Pertama kali Annawi didiagnosis positif leukimia, Asti tahu bahwa sebenarnya itu bukan murni kehendaknya. Jauh di dalam dirinya, ada kelegaan begitu mendengar dan memastikan bahwa anaknya sakit. Ia tahu itu salah, seharusnya juga ia tidak membenarkan hal tersebut. Ada naluri lain yang bekerja di balik kepribadiannya. Asti hanya meuruti. Menyangkal pun ia tidak akan bisa.
Hasil tes darah anaknya disampaikan secara gamblang oleh dokter ketujuh yang ia temui. Ada rasa campur aduk ketika ia pulang dan membawa hasil lab tersebut. Asti menangis di dalam taksi, sedu sedan meneriaki hatinya. Namun di sisi lain, ia bingung harus mengungkapkannya dengan cara apa sebab ia sendiri tahu bahwa itu adalah sebagian dari keinginan terbesarnya. Lantas ketika ia disambut oleh sanak keluarga dan teman-temannya, mereka menangis. Mereka simpati dan prihatin. Untuk kesekian kalinya—dalam porsi besar—Asti merasakan kelegaan luar biasa menerima ungkapan-ungkapan itu.
***
Annawi masih belum bangun sejak tujuh jam yang lalu. Selama itu pula, Asti hanya duduk di samping putrinya. Memandangi wajah anak itu tanpa puas. Boneka-boneka emoji berbagai ekspresi kini sudah meladeninya. Tertawa, menangis dan menghina dirinya tanpa suara. Namun sayangnya, boneka-boneka itu sudah terburai di lantai. Kapas-kapas berserakan. Kain flanel ada di mana-mana. Untuk membereskannya saja Asti tak punya niat. Ia hanya menyisakan satu boneka yang kini ada di sebelah putrinya. Asti membiarkan itu. Barangkali itu adalah salah satu kesayangan putrinya.
Wajah Asti datar. Sesekali berkedip dan mendesah. Apa yang dikatakan Yani tadi, terus terang sangat menggangu pikirannya. Ia sudah bersusah payah menyingkirkan dokter muda itu. Bila benar Yani mengetahui sesuatu tentang keluarganya, Asti tak bisa terus berdiam diri. Barangkali, dengan mengaku dan meminta maaf, Yani bisa memahami dirinya.
Asti pun bertindak. Pergi keluar rumah untuk menyambangi kediaman Yani pukul enam sore.
Hujan gerimis dan langit gelap memayungi kepalanya. Di depan pintu, Asti tanpa sengaja mendengar Yani bicara dengan seseorang di telepon.
"Bukde tidak bisa membawanya keluar, Nu. Annawi sedang tidur dan Bukde tidak tega membangunkannya." Jeda sesaat. Asti mendengar ujung nama yang diucapkan Yani: 'Nu'. Lantas terkaannya berfokus ke satu orang. "Danu, kalau benar begitu, berarti Asti sangat berbahaya. Bukde tidak ingin Annawi mati mengenaskan." Dada Asti serasa mencelos mendengar nama itu. Danu. Pemuda itu masih hidup dan kini dengan leluasa membeberkan semuanya pada Yani. Telinga Asti kembali peka untuk mendengarkan. "Masih. Ann masih bernapas dan sekarang, Bukde harus bagaimana? Jika Asti saja bisa melakukan hal itu padamu, bagaimana dengan Bukde?"
Jelas sudah, Asti tampaknya tak perlu berlama-lama lagi. Satu tindakan akan memutus mata rantai hipotetis. Ia melirik ke arah boks meteran listrik rumah yang mengeluarkan suara bip berulang kali. Letaknya di samping jendela. Asti menekan tombol power dan seketika lampu rumah itu padam. Kemudian dengan cepat, Asti mengetok pintu dan memanggil Yani.
Saat Yani keluar, Asti tersenyum canggung dan sedikit menunduk. Rupa penuh rasa bersalah sedang ia upayakan.
"Asti?" tanya Yani. Menoleh ke luar sesaat, barangkali menyadari kenapa hanya rumahnya yang gelap. "Sepertinya token listrikku habis. Kamu ada perlu apa?"
Asti masuk tanpa dipersilakan. "Mbak, saya minta maaf soal tadi. Maaf karena saya sudah bersikap tidak baik dan malah menyangka yang tidak-tidak."
"Sebentar, biar kutelepon Dila untuk isikan token listrik dulu."
Lengan Yani ditahan oleh Asti. "Tunggu, Mbak. Nanti saja. Aku ingin katakan sesuatu yang penting. Lagi pula Ann sendirian dan aku tidak bisa berlama-lama."
Meski gelap, Yani hanya mengandalkan pencahayaan dari senter gawainya. Asti bisa melihat wajah penuh selidik itu seakan sedang menduga-duga sesuatu.
"Kenapa Asti?"
"Soal Ann, sebenarnya aku tidak bermaksud ingin membatasi dan mengurung dia di rumah. Aku hanya takut sesuatu yang buruk terjadi padanya. Mbak sendiri tahu, Ann adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki begitupun juga dengan Ann. Kami saling mencintai. Aku harus membuat batasan untuk Ann sebab tidak ingin dia terpengaruh dunia luar."
"Apa benar Ann sakit leukemia selama ini?"
Asti mendelik. Bibirnya setengah menganga mendengar pertanyaan itu.
"Kenapa Mbak Yani bertanya seperti itu?"
"Jawab saja Asti. Ada seseorang yang memberitahuku, bahwa sebenarnya Ann itu tidak sakit. Ann tidak pernah menderita leukemia."
"Siapa yang mengatakan itu pada Mbak?" Asti bertanya. Meskipun ia sudah tahu siapa dalang di balik ini semua.
Yani duduk di sebuah kursi tunggal yang terbuat dari kayu, Asti ikut duduk di kursi seberang yang dipisahkan oleh meja bundar di tengahnya.
"Soal itu, aku pikir. Sebaiknya Mbak tidak mudah termakan omongan orang. Pasti dr. Danu yang menyampaikannya, bukan?"
Yani tak menjawab. Hanya berdeham dan menelan saliva.
"Aku bisa membuktikan bahwa Ann benar-benar sakit. Kalian perlu apa agar aku bisa membuktikannya? Aku akan ikuti. Belakangan memang dr. Danu sering ikut campur soal kesehatan Ann. Pemuda itu bukanlah dokter yang biasa menanganinya dan aku sendiri tidak tahu kenapa Danu bersikeras mencari tahu. Kurasa tak ada untungnya juga buat dia."
"Aku ingin tidak percaya, tetapi Dila juga mengungkapkan hal yang sangat mengejutkan. Katanya, dia pernah melihat kamu menyimpan banyak kantung darah di dalam lemari es. Aku rasa, itu tidak wajar, As." Itu, adalah terjangan baru yang menendang telinganya. "Asti, Mbak sayang sama kamu dan Ann, apa pun yang terjadi. Ceritakan saja dan sebisa mungkin Mbak akan membantu. Tapi tolong, jangan sakiti Ann lagi."
Kini sudah mulai mengarah ke inti persoalan. Asti melihat, semua orang sudah mulai mengawasinya. Mengungkap terlalu banyak alasan pun, rasanya akan percuma.
"Mbak, aku ke kamar mandi sebentar, mendadak ingin buang air kecil," potongnya.
Yani mengangguk. Asti melewati wanita itu dan berjalan ke kamar mandi menggunakan senter gawai milik Yani. Kamar mandi itu bersebelahan dengan dapur. Dengan cepat, ia mengambil pisau yang tergeletak di meja pantry. Asti kemudian masuk ke kamar mandi. Seperti yang ia tahu, mesin cuci di rumah itu ada di dalam kamar mandi dan colokannya menempel ke stop kontak dinding. Lantai di bawah kakinya basah, air sedikit menggenang dan itu sangat bagus. Menggunakan pisau, Asti memotong kabel mesin tersebut. Potongan kabel yang terhubung dengan stop kontak dibiarkan menjuntai, serabut tembaga kabel menyentuh genangan air. Begitu saja, Asti sudah bisa menyunggingkan senyum.
Air dari dalam bak penampungan digayung kemudian diguyur untuk memanipulasi keadaan. Bukti agar Yani yang duduk di luar sana percaya kalau dia sedang buang air kecil. Lantas Asti keluar, menyerahkan gawai itu pada Yani.
"Aku harus cepat pulang, Mbak. Takutnya Ann mencariku," ujar Asti dengan nada lembut.
"Pertanyaanku belum dijawab," tuntut Yani.
"Di rumah nanti, aku akan menghubungi Mbak. Kita lanjutkan pembicaraan tadi." Asti memeluk wanita itu. Menepuk punggung Yani sebagai ungkapan rasa kekeluargaan. "Terima kasih sudah menjadi orang yang sangat berarti di hidupku, Mbak. Dan juga untuk Ann. Aku sangat menyayangimu."
Yani meringis senyum, Asti merasakan usapan lembut di punggungnya. "Mbak juga sangat menyayangi kalian. Jaga Ann baik-baik. Jangan pernah membuatnya bersedih. Ini permintaan Mbak sebagai bukde yang sudah menganggapnya anak sendiri."
Anggukan kecil itu samar dan sangat berarti bagi Asti. Mungkin itu adalah ungkapan perasaan terakhir dari Yani. Orang yang sudah bertahun-tahun menjadikannya keluarga dan tak pernah mengharap pamsrih.
Asti pun keluar. Diam sebentar. Melihat ke arah meteran listrik. Tangannya berkeringat dan ia tak punya pilihan lain. Dinyalakannya kembali tombol power dan seketika rumah itu terang benderang. Secepatnya Asti menyingkir dari rumah itu. Berlari kecil ke rumahnya. Hujan semakin deras dan Asti tak peduli kepalanya basah. Ketika ia hendak membuka pintu, Asti menoleh ke arah kanan. Ke rumah Yani. Dua detik kemudian, lampu di rumah itu berkedip-kedip. Cukup lama, hingga akhirnya padam total.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro