Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua puluh tiga

Malam itu, lewat dini hari, Annawi terduduk lemas di atas sofa. Di antara dua wanita yang mengasihinya, di dalam rumahnya. Rumah ibunya. Pandangan mata dr. Rama mengisyaratkan beberapa kata yang Annawi hanya bisa mengartikannya dalam satu kata—kasihan. Itu yang ia tangkap. Seandainya yang duduk di atas sofa tunggal di seberangnya itu adalah dr. Danu, mungkin Annawi tak akan bisa lagi menahan air mata.

"Saya harus membawamu pulang. Hanya itu jalan satu-satunya untuk menyelamatkanmu dari bahaya yang lebih besar." Dr. Danu menjelaskan, mencoba memberi pengertian pada Annawi.

"Ann sudah berjuang mati-matian untuk kabur dari rumah sakit agar bisa terlepas dari kendali Ibu. Dan sekarang, Dokter membiarkan Ann bagai dipenjara lagi?"

"Hanya malam ini. Saya berjanji akan membawamu keluar dari rumah itu, Ann."

"Apa ada jaminan kalau Ann bakal tetap hidup besok?" Danu terdiam sesaat. Annawi bisa melihat itu, rupa penuh bimbang berpadu dengan keyakinan. Annawi turun dari tempat tidur, berdiri sedikit terbungkuk. "Tidak ada yang bisa menjamin, 'kan?"

Di luar kamar, dr. Rama sibuk bicara dengan seseorang di telepon genggamnya. Barangkali memberi tahu bahwa ia telah menemukan Annawi.

"Saya berjanji. Untuk membawa kamu keluar dari rumah itu bahkan sebelum sore." Dr. Danu berjalan sebentar mengambil tas ranselnya yang semula tergeletak di atas meja bundar kemudian kembali dengan membawa gawai di tangannya. "Ini. Saya sudah mengaturnya dengan mode getar. Jika kamu kesulitan mengambil map itu, kamu bisa mengambil foto catatan medisnya lalu kirim ke nomor whatsapp saya."

Telapak tangan Annawi ditimpa benda berbentuk pipih yang—sumpah demi apa pun—ia bahkan tidak tahu bagaimana cara menyalakannya. "Dok, ini percuma. Bahkan Ann tidak tahu bagaimana cara menggunakan hape."

"A – apa?"

"Kedengarannya memang aneh. Tapi Ibu tak pernah sekalipun mengizinkan Ann menggunakan hape, menonton siaran tivi nasional apalagi internet." Kepalanya menunduk. Di saat seperti ini, ia baru sadar kalau ternyata ia begitu kolot dalam teknologi. "Apa Dokter masih akan membiarkan Ann berada di bawah kendali Ibu?"

"Ann, seandainya bisa saya yang menggantikan tempatmu, saya tidak mungkin membiarkanmu masuk kembali ke kandang ular." Danu berdiri lebih dekat di hadapan Annawi. Perlahan, ia menyentuh pundak Annawi, kemudian menariknya perlahan ke dalam pelukannya. Kehangatan dada dr. Danu, ternyata mampu menenangkan perasaan Annawi. "Saya akan terus mengawasimu. Jangan takut, Ann. Kamu tidak salah dan ini semua demi kebaikan ibu kamu juga. Saya tahu kamu masih sangat menyayanginya. Hanya saja, ada sebuah sistem yang salah di sini dan yang mampu memperbaikinya hanya kamu. Bagaimanapun, Bu Asti adalah ibu kamu. Hanya kamu yang mampu menyelamatkannya."

Mata Annawi terpejam kuat. Memeras air mata yang turut diliputi dengan isakan tangis memilukan. "Ibulah yang selama ini sakit, bukan Ann."

"Yah, dan kamu harus menyembuhkannya."

"Apa masih bisa?" tanyanya. Annawi melerai pelukan lalu mendongak pada Danu. "Apa Ibu masih bisa sembuh? Apa Ibu akan dipenjara?"

"Kita punya ahlinya di sini, kamu jangan takut. Meski itu tidak sebanding dengan apa yang kamu alami selama ini, tetapi ibumu barangkali sudah sakit sejak lama bahkan sebelum kamu lahir. Ubah posisimu sebagai seorang yang ibu kamu butuhkan, bukan kamu yang membutuhkan ibu. Jika kamu tidak ingin ibumu dipenjara, mungkin kita bisa mengusahakannya. Yang terpenting, kesehatan mental ibumu, Ann. Kasihan dia."

Tidak ada jawaban apa-apa dari Annawi. Rasanya sangat membingungkan. Semuanya terasa sangat tidak masuk akal. Sejak kecil, ia merasakan sakit secara fisik, menggantungkan hidupnya hanya pada ibu, ibu dan ibu. Tak ada sosok ayah dalam catatan kehidupannya. Jauh di dalam inti lekukan peredaran darahnya, Annawi masih sangat menyayangi ibunya. Satu-satunya orang yang sangat ia cintai di dunia ini, mendadak menamparnya dengan kenyataan bahwa kelemahannya selama ini dijadikan sebagai sarana mengais simpati orang lain. Ia tak tahu bagaimana rasio itu dibangun oleh kepribadian ibunya, tetapi—sejauh yang Annawi tahu—ibunya adalah prajurit tangguh yang tak pernah lelah melindungi dirinya. meski dalam artian yang cukup mengenaskan.

"Ann akan menolong Ibu," putusnya dengan suara getir.

"Bagus." Dr. Danu tersenyum, tampan sekali. Dan itu lagi-lagi membuat Annawi ragu tak dapat melihatnya lagi. "Niat yang baik, akan melahirkan kebaikan. Saya akan meminta bantuan Bukde Yani dan Dila untuk mengawasimu. Tugasmu, hanya pastikan untuk tidak meminum obat jenis apa pun dari ibumu apalagi memakan masakannya. Juga pastikan kalau barang bukti yang tadi kita butuhkan dapat kamu kirimkan."

Dengan berat hati, Annawi menyetuji.

"Kita harus jalan sekarang," titah Rama tiba-tiba. Mengejutkan keduanya sesaat. "Aku sudah bilang ke pihak rumah sakit bahwa Annawi bersikeras menolak untuk dirawat kembali. Aku akan mengantar kamu pulang ke rumah Ann."

Untuk kesekian kali, dr Danu membuat pelukan pada Annawi. "Jaga dirimu baik-baik. Dr. Rama, akan mengajarimu menggunakan benda itu selagi di jalan."

Ini terasa sedikit menenangkan. Annawi mendapat satu kecupan di keningnya ketika ia berpisah dengan dokter itu. Barangkali, akan menjadi sesuatu yang akan terus diingatnya seumur hidup.

***

Kala itu, Asti masih sebagai wanita yang memiliki kehidupan sempurna. Seorang suami yang sangat menyayanginya, juga bayi yang meringkuk sempurna di dalam rahimnya. Keseharian itu terasa sangat indah. Jika bukan karena kesibukan Hamzah—suaminya—yang bekerja sebagai mandor di sebuah proyek pembangunan depot minyak, mungkin Asti tidak akan pernah merasa begitu kesepian. Berpindah-pindah tempat tinggal dari satu provinsi ke provinsi lain karena tuntutan pekerjaan Hamzah membuat Asti lelah dan merasa asing dengan orang-orang baru.

Meski sudah berada sangat dekat dengan Hamzah, nyatanya, Asti selalu merasa kesepian karena pekerjaan suaminya yang tak kenal siang dan malam itu mengambil lebih dari separuh kebahagiaannya. Setiap kali pulang, Hamzah akan langsung mandi, makan malam—bahkan terkadang tidak menyentuh masakan Asti sama sekali—mengerjakan laporan lapangan, kemudian tidur. Komunikasi di antara mereka bahkan tak lebih dari sepuluh kalimat.

Perutnya yang semakin membuncit bahkan tak pernah dilirik oleh Hamzah. Suaminya memang gila kerja, gila sekali. Sampai-sampai Asti berpikir untuk mengikuti kegilaan suaminya. Ia hanya ingin tahu, bagaimana reaksi Hamzah bila tahu istrinya tak sekuat kelihatannya. Ia hanya butuh kalimat menenangkan dan pertanyaan seperti ---'bagaimana anak kita? Apa dia bergerak lincah di dalam perutmua? Apakah kamu sudah meminum vitamin dan susu? Apa kamu perlu kubelikan sesuatu agar nutrisimu terjaga?' ---paling tidak, Asti tahu seperti apa rasanya menjadi seseorang yang dibutuhkan. Lebih dari sekadar wanita yang bernyawa dan berjalan mondar-mandir di rumahnya sendiri.

Seandainya Asti tidak menjatuhkan diri di kamar mandi dan meminta tolong, mungkin Hamzah tidak akan perrnah datang padanya dan bertanya tentang keadaannya. Terus terang Asti mulai tahu bagaimana caranya memperoleh perhatian dari suaminya. Lalu cara-cara seperti itu ia lakukan kembali. Saat Hamzah serius membuat laporan di ruang kerjanya, Asti berinisiatif membuat kecelakaan kecil dengan menyiramkan air panas ke lengannya saat hendak membuatkan kopi. Hamzah mengkhawatirkannya. Berikutnya, Asti dengan sengaja melukai jarinya dengan pisau dan menampung darahnya ke wadah gelas. Menyedotnya dengan suntikan lalu memasukkannya ke dalam vagina agar darah itu turun kembali ke pahanya. Setelah itu, ia akan pura-pura terjatuh. Hamzah panik setengah mati lalu membawanya ke rumah sakit. Saat itu usia kandungannya delapan bulan, dan Asti akhirnya tahu bagaimana caranya memperoleh simpati dari orang yang dicintainya.

Hari-hari berikutnya, Hamzah sudah mulai lebih memperhatikan Asti. Waktu kebersamaan yang mereka miliki bertambah banyak dan sayangnya Asti sudah candu dengan perbuatan gilanya sendiri.

Sampai pada suatu hari, Asti mengulangi perbuatannya lagi dengan melukai lengannya dan menampung darahnya, Hamzah melihat itu. Mengintip semua yang dilakukan Asti dengan mata kepalanya sendiri.

"Asti!" sergah Hamzah. Asti terkejut bukan main dan melempar suntikan ke sembarang tempat. "Apa yang kamu lakukan?"

"Tidak, Mas. Tidak ada apa-apa. Itu hanya—"

"Kamu gila!" bentaknya. "Jadi selama ini kamu berbohong dan merekayasa semua kecelakaan kamu?"

"Tidak. Aku tidak pernah merekayasa apa pun."

"Aku bahkan bukan sekali ini melihatmu melukai diri sendiri? Untuk apa? Kamu ingin membunuh bayi kita?"

Asti membisu dan bibirnya gemetar.

"Kamu gila, Asti. Tingkahmu semakin aneh dan itu membuatku tidak percaya lagi padamu."

"Apa maksud, Mas Hamzah berkata seperti itu?"

"Aku tidak mau punya istri yang mengidap penyakit mental sepertimu!" Hamzah menarik tangannya ke atas dan membawa Asti berdiri susah payah karena perutnya yang besar. "Aku harus membawamu ke psikolog atau psikiater sekalian. Ini tidak bisa dibiarkan."

Asti menggeleng dan memohon. "Jangan, Mas. Aku tidak gila. Aku melakukan ini hanya untuk mendapat perhatian dari kamu. Karena selama ini kamu bahkan tidak pernah peduli pada anak kita."

"Ikut denganku sekarang atau aku akan meninggalkanmu?" Bentakan keras Hamzah memekakan telinga Asti sampai-sampai tubuhnya gemetar.

"Aku tidak gila, Mas," akunya. Menutup kedua telinganya dan tak berani menatap mata Hamzah. Ia merapatkan tubuhnya ke dinding, matanya terpejam dan itu pertama kalinya Asti merasakan cemas dan ketakutan yang hebat.

"IKUT DENGANKU, ASTI! Aku malu punya istri gila seperti kamu. Selama ini kamu juga sering mengatakan hal yang tidak-tidak tentang kandunganmu pada tetangga. Kamu bilang bayi kita cacat dan mengatakan pada mereka kalau aku sering menyakitimu." Asti merosot, menekan kedua sisi kepalanya dan terduduk di lantai. Sedangkan Hamzah berdiri di hadapannya dengan amarah yang tak kunjung mereda. "Selama ini aku diam karena aku tidak ingin kita ribut dan membahayakan janin kamu. Tapi aku sudah tidak tahan, Asti!"

"Mas, kumohon hentikan!"

"Aku akan memulangkan kamu pada ayah besok pagi!"

Asti membeliakkan mata. Memulangkannya pada ayahnya, itu artinya Hamzah ingin berpisah atau kemungkinan besar, menceraikannya. Ia memohon, menangisi segala yang terjadi pada hidupnya. Tak bisakah Hamzah memaafkannya dan mencintainya kembali seperti dulu? Seperti saat mereka baru menikah. Namun Asti tak dapat menjangkau sedikit saja kebaikan Hamzah.

Esoknya, Asti benar-benar dipulangkan ke rumah ayahnya. Jarak dari Solo ke Jakarta membuatnya lelah dan hampir kehabisan tenaga. Ditambah dengan stres yang dialaminya. Asti tak tahu lagi cara untuk menggapai hati suaminya.

Hamzah benar-benar pergi begitu saja. Meninggalkan Asti dalam keadaan hamil. Yang seharusnya, empat minggu lagi anaknya akan lahir dan saat tiba waktu itu, Hamzah bahkan tak mau lagi kembali dan melihat putrinya.

Lantas, bila ia tidak akan mungkin kembali mendapatkan kasih sayang juga perhatian dari suaminya, mau tak mau Asti harus memperoleh rasa penuh sanjungan dan simpati itu dari orang lain. Dari keluarganya, dari teman-temannya, atau siapa saja yang mengenal ia sebagai orang tua tunggal putrinya. Annawi.

Hanya dengan cara itu, batinnya terasa penuh dan tenteram. Putri kecilnya akan disayang semua orang, dicintai semua orang, dan tentunya diperhatikan semua orang. Putri kecilnya, tidak mungkin mendapatkan itu semua jika segalanya berjalan normal dan wajar. Untuk menjadi pusat perhatian, seseorang harus menjadi berbeda dan spesial. Asti tentu tahu bagaimana cara membuat putrinya menjadi berbeda. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro