Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua puluh sembilan

Saat Annawi berusia tujuh tahun, ia pernah bermain hide and seek bersama ibunya di halaman depan dan di dalam rumah. Saat giliran ibunya yang berjaga, Annawi akan berlari kemudian mencari tempat persembunyian. Di bawah kolong mobil, di balik sesemak, di kolong kursi atau meja, tetapi ibunya selalu berhasil menemukannya. Membuatnya terkejut dan terpaksa menyerah. Akan tetapi, ia pernah berhasil membuat ibunya kelimpungan saat Annawi bersembunyi di atas loteng. Plafon di dapur bisa dibuka dengan mudah. Annawi menggunakan tangga portable lalu ikut menaikkan tangga tersebut ke dalam loteng agar tidak ketahuan. Kaki dan tangannya bertumpu pada rangka-rangka plafon.

Tentu saja dia berhasil. Satu jam ibunya mencari-cari sampai menangis. Memanggil-manggil namanya berulang kali. Annawi hanya terkikik di dalam sana dan menganggap itu hanyalah trik ibunya agar ia menyerah. Ia bahkan tidak akan menyerah jika bukan karena suara ramai orang-orang yang mencarinya muncul. Ternyata, Annawi membuat hampir satu RT heboh.

Kali ini, Annawi berharap ibunya tidak mudah menemukannya lagi. Justru berharap agar ibunya mengerahkan para warga untuk mencari keberadaannya. Maka ia bisa bersuara dan meminta tolong. Membeberkan semuanya, membuat semua orang percaya. Jika saja ia punya tubuh yang sedikit kuat untuk berjalan dan mencari bantuan, Annawi tak mungkin membiarkan tubuhnya terperangkap di dalam gubuk itu.

Tubuhnya gemetar kedinginan, bibirnya sulit untuk mengatup. Tempat itu hanya berukuran tiga kali tiga meter. Annawi duduk di atas tumpukan karung berisi pupuk. Lantai di dasar kakinya berupa tanah kasar bercampur kerikil dan sedikit lembab. Terus terang ia jijik, tidak pernah terbiasa dengan tempat kotor. Hujan yang mengguyur lambat laun menambah intensitas. Atap bocor dan mengenai ujung kaki. Annawi menggeser tubuhnya untuk mendapatkan tempat yang lebih nyaman. Setelahnya, ia memeluk lututnya sendiri untuk menghangatkan.

"Ann! Ini Ibu, Nak ... kamu di mana?"

Darah di dalam dadanya seakan melonjak naik. Annawi terkesiap mendengar sayup-sayup teriakan ibunya di antara suara rintisan hujan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk menutupi tubuhnya.

Karung-karung pupuk, akhirnya ia susun dengan susah payah. Tenaganya yang ringkih dikuat-kuatkan untuk membuat benteng tinggi dua baris. Sepuluh karung digeser dan diseret, giginya mengerat mengerahkan kekuatan. Napasnya tersengal, suara ibunya tedengar semakin dekat. Ia mengangkat satu karung terakhir untuk diletakkan di bagian atas baris ke dua. Annawi berjongkok, kakinya terlipat dan rasanya sungguh tersiksa bersembunyi di tempat yang sempit menghimpit.

Ada celah sebesar dua sentimeter di antara barisan kesatu dan kedua karung untuk tempatnya mengintip. Suara ibu yang melaungkan namanya tidak lagi terdengar. Senyap dan hening kecuali rintisan hujan yang mengguyur atap gubuk. Annawi menelan salivanya, menahan bibirnya yang gemetaran diiringi dengan napas memburu yang membaluri dada.

Senyap.

Annawi mengintip meski penglihatannya buram. Lubang-lubang kecil pada dinding tepas bambu memperlihatkan bayangan jika ada orang yang berada di luar. Ia menarik napas dalam - dalam. Tidak ada suara langkah siapa pun terdengar, Annawi cukup lega.

Namun tidak, ketika tiba-tiba sebuah bayangan muncul dan sebelah mata seseorang muncul di lubang dinding sebesar uang logam. Annawi terkejut, membekap mulutnya dan sebisa mungkin menahan napasnya agar tetap tenang.

Pintu yang terbuat dari seng digebrak-gebrak agar terbuka. Kunci pengait sebesar jari telunjuknya hampir terlepas. Air mata Annawi menderas, kakinya yang terlipat semakin sakit. Pintu tidak lagi digedor. Diam selama beberapa detik. Ia mengambil udara sebanyak mungkin, tetapi tersentak ketika tiba-tiba dinding tepas itu terbelah. Dibacok menggunakan cangkul. Kemudian ditendang dan roboh ke dalam.

Kilat cahaya petir menimbulkan siluet ibunya yang sedang berdiri memegang cangkul. Di depannya, ibunya berdiri di depan benteng karung pupuk ciptaannya. Rambut basah ibunya terurai dan matanya menyantroni sekitar.

"Hide and seek ...." Suara serak ibunya bernada menyeramkan ketika mengucapkan itu. "Ibu sudah menemukanmu, Nak. Permainan sudah berakhir. Waktunya pulang dan makan malam."

Annawi menyingkirkan kepalanya dari celah yang semula ia gunakan untuk mengintip. Kini jarak mereka sudah benar-benar dekat, tetapi ia tak tahu mengapa ibunya seakan membiarkannya ketakutan di dalam sana. Mencekam.

"Ann? Ingin keluar sendiri atau Ibu yang menjemput? Kita sudah selesai bermain."

Cangkul digeletakkan asal. Lantang kelontang di tanah kasar berbatu. Annawi lagi-lagi tersentak, kali ini dalam skala besar dan ketika karung paling atas terbuka, Annawi menahan jeritan. Karung berikutnya ditarik dan dihempas. Erangan suara dari tenggorokan ibunya terdengar. Annawi tak punya harapan lagi, ia menangis sejadinya menyudutkan punggungnya ke dinding tepas.

Ketika benteng karungnya terkuak, Annawi menggeleng. Ibunya berdiri menjulang, sorot matanya menggambarkan kengerian. Menikam hati Annawi, merasuki jiwa Annawi. Satu-satunya cara untuk melepaskan ketakutan hanyalah dengan menjerit.

Annawi menjerit sekuat tenaga saat tangan ibunya memanjang di penglihatan.

"Kita pulang!" titah ibunya.

Tenggorokan Annawi sakit. Kering dan tersendat. Teriakan yang keluar bagai menyakiti dirinya sendiri. "TIDAK!, Ann mohon jangan. Jangan bawa Ann!"

Bahu Annawi dicengkeram. Mata ibunya membeliak tepat di wajahnya. Napas yang keluar dari hidung itu terasa panas di permukaan kulit wajah Annawi. Petir menimbulkan kilatan cahaya dan sosok ibunya tampak bagai manusia yang tak pernah Annawi kenal.

Itu bukan ibunya. Itu bukan ibu. Itu monster!

"Ibu justru ingin menyelamatkanmu! Kembalilah pada ibu DAN JADI ANAK YANG PENURUT!" Teriakan di penghujung kalimat menyakitkan telinga Annawi sampai-sampai matanya tertutup rapat-rapat. "ATAU IBU YANG AKAN MENYERETMU UNTUK PULANG!"

"ARRHHH ...!"

Bahu Annawi diangkat ke atas. Merintih kesakitan. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Kini ia sudah melangkah melewati benteng ambruk. Kakinya lemas ditambah lagi menginjak sesuatu yang tajam seperti gumpalan kecil potongan kawat. Terseok dan lunglai. Sementara satu tangannya masih dicengkeram hebat oleh ibunya.

Detik itu juga, Annawi ditikam keinginan untuk mati saja. Di sebelahnya ada cangkul, kenapa ibunya tidak menggunakannya untuk menghabisi nyawanya lalu ia akan mati di tempat itu, saat itu juga, detik itu juga. Lalu tugasnya hanya tinggal berdamai dengan kematian.

Sayangnya, ia tidak bisa berharap semengenaskan itu. Kasih sayang ibunya yang melebihi batas normal telah membuatnya pupus harapan. Ibunya mencoba untuk membopong tubuhnya, tetapi gagal karena tampaknya Asti sudah tak punya lagi kekuatan. Ibunya mengerang, meremas kepalanya lantas menarik kedua lengan Annawi.

Tubuhnya diseret. Kepalanya hampir jatuh, menyisakan leher yang mencuat menengadah pada langit. Air hujan mencoba memasuki mulut dan hidungnya sehingga Annawi dengan segala upaya menjaga agar kepalanya tegak.

"Maafkan Ibu harus membawamu dengan cara seperti ini. Seandainya Ann tidak membangkang, segalanya pasti akan berjalan normal sebagaiman mestinya!"

Annawi hanya menjawab dengan suara rintihan sebab punggung, pinggang, bokong hingga tungkai kakinya terasa sakit setiap kali menggesek struktur tanah yang bermacam-macam. Meski kedua kakinya menggeliat, nyatanya, tak ada perlawanan yang dapat Annawi upayakan lagi.

Ia bagai seonggok binatang mati yang hendak dibuang. Gubuk itu sudah tak tampak lagi. Kulitnya tergesek-gesek, berderak dan meretih setiap kali menerpa duri, batu atau akar tanaman. Rasanya bagai di neraka. Terlebih ketika sesuatu di bawah punggungnya terasa menonjol dan tajam, Annawi menjerit setengah mati. Entah ibunya sengaja atau tidak, rasanya bahkan lebih sakit ketimbang kulitmu teriris pisau.

Waktu itu terasa sangat lama. Ketika daratan di bawah punggungnya berstruktur rata, ia tahu bahwa ini adalah rerumputan di pekarangan belakang rumahnya. Lalu kerikil, lalu undakan. Ibunya mengerang. Lantai ubin terasa dingin. Itu dapur dan di saat itu juga tubuhnya digeletakkan hati-hati.

Ia mengambil napas sembari meringis. Bersuara pun ia tak lagi sanggup. Ibunya juga mengambil napas panjang. Darah menodai lantai dan bentuknya memanjang bekas terseret. Ibunya menelungkupkan tubuh Annawi. Memekik panik.

"Ya Tuhan! Ya Tuhan! Putriku terluka." Kausnya disingkap ke atas. Ibunya menjerit. Napasnya terdengar kacau.

Annawi melihat, kesadarannya masih ada. Ibunya menjerit lagi. Terduduk di sudut dinding. Memegangi kepala sendiri. Menangis sejadinya. Lantas memukul-mukul kepala sendiri, kuat sekali dan dalam tempo yang cepat. Sangat kuat sampai suaranya menggema. Berteriak lagi. Ibunya hilang kendali. Berdiri lalu membongkar lemari persediaan obat hingga isinya berhamburan ke bawah. Dua tube obat menggelinding dan berhenti tepat di depan wajah Annawi yang lunglai di atas lantai.

Tangannya mencoba bergerak dan menumpukan kekuatan agar bisa bangkit. Akan tetapi ia sudah tak sanggup. Darah mungkin keluar cukup banyak sampai-sampai dia lemas. Seperti apa luka itu, ia tak ingin menerka.

Ibunya berhenti mengobrak-abrik lemari. Isakan tangis ibunya masih ada. Disambut dengan suara desing pisau dapur. Annawi membelalak dan yakin kali ini ia bakal mati terbunuh di tangan ibunya sendiri.

"Bunuh ... bunuh saja, Ann!" pintanya dalam suara yang lemah. "Kumohon, Bu. Biarkan Ann mati."

"TIDAK!" sergah ibunya.

Air mata Annawi merembesi lantai. Basah dan licin. Ia mendengar suara pisau yang memotong sesuatu di atas alas pemotong. Annawi menggerakan kepala, menoleh ke sana. Jahe diiris kecil-kecil oleh ibunya. Jam dinding di atas lemari es ternyata sudah lewat setengah delapan. Belum saatnya sang ibu menyeduh teh jahe. Akan tetapi, irisan jahe sudah masuk ke dalam wadah gelas, disusul irisan gula jawa, potongan serai, kemudian air panas mengucur dari dalam termos.

Selesai mengaduk. Ibunya mengambil sebotol cairan NACL. Pergi sebentar meninggalkan dapur, kembali semenit kemudian dengan membawa gunting juga benang yang biasa Annawi gunakan untuk menjahit boneka emoji. Derap langkah menggema di telinga Annawi hingga ibunya terduduk di sebelah kiri tubuhnya.

"Seandainya Ann tidak menghancurkan handphone Ibu, hal seperti ini tidak akan terjadi!" Ibunya menyedot ingus. Cairan NACL disiramkan ke punggung bagian bawahnya. Perih menjalar sampai ke ubun-ubun, Annawi merintih kesakitan. "Tenanglah, Sayang, Ibu akan menyemuhkanmu. Ibu akan memperbaiki kulit punggungmu. Jangan bersuara."

Bagaimana mungkin Annawi tidak bersuara? Bahkan ketika gumpalan kapas atau apalah itu menyentuh lukanya, perihnya tak dapat ditahan.

"Ibu kehabisan obat bius. Maafkan ibu!"

Mata Annawi membelalak. Ini gila! Belum selesai Annawi menerka bahwa ibunya akan menjahit luka dalam keadaan sadar, jarum itu sudah menusuk kulitnya. Spontanitas Annawi menjerit. Napasnya tersengal. Jarum itu berhenti di kulit, dibiarkan di sana sementara ibunya mengambil handuk untuk menyumpal mulutnya. Satu tangannya menggapai-gapai bagian belakang agar ibunya tidak meneruskan, tetapi kedua tangannya malah diikat menggunakan tali sepatu dan dibiarkan menyatu di atas kepala.

"Ini akan segera berakhir. Jangan takut, Ann bakal baik-baik saja, Nak. Percayalah pada Ibu." Sembari Asti mengucapkan kata-kata itu, jarum menusuk kulit Annawi lagi. Ia bisa merasakan benang melewati kulit dan dagingnya. Giginya menekan handuk, matanya terpejam dan teriakannya teredam. Kakinya menepuk-nepuk lantai. Gemetar di seluruh tubuhnya tak dapat terelak.

Seperti inikah rasa sakit itu bila digambarkan? Tusukan demi tusukan diciptakan ibunya. Sialnya, sang ibu menggumamkan lagu menyedihkan ketika melakukan itu. Entah itu sebagai pengalih perhatian atau penenang untuk Annawi, nyatanya, itu justru terdengar bagai lagu kematian.

"Setelah ini, Ann tidak akan kesakitan lagi. Semuanya akan berakhir. Ibu yakin Ann pasti akan sangat bahagia suatu hari nanti. Bersekolah, bermain bersama teman-teman sebaya, membuat boneka sebanyak mungkin atau menikah dengan laki-laki yang Ann cintai." Annawi tidak dapat mendengar, ia tak dapat mendengar apa pun yang dikatakan ibunya. Dunia terasa bagai mimpi buruk ketika tusukan itu belum juga berakhir. Justru semakin dalam, terlebih ketika dagingnya disatukan paksa dan merapat, itu seperti cuilan daging yang dicongkel. "Ann adalah anak yang baik, Ibu tahu itu. Ann pantas mendapatkan tempat terbaik di dunia ini. Lupakan apa yang pernah Ibu lakukan dan tetaplah mencintai Ibu."

Sedu sedan terdengar lagi. Waktu terasa sangat lama ketika siksaan itu berlangsung. Jahitan di lukanya akhirnya berhenti. Annawi lemas, berbaur dengan napas yang tersendad-sendad. Kesadarannya masih ada, tetapi ia tak sanggup bicara meski handuk di mulutnya sudah dilepas dan tangannya telah bebas.

Ibunya berdiri di depan meja pantry dan mengaduk teh jahe. Diambilnya kertas dan juga pena lalu menuliskan sesuatu di sana. Cukup lama, sekitar dua puluh lima detik. Kemudian kertas itu ditimpa dengan gelas lain. Ibunya berdiri mematung memperhatikan gelas berisi teh jahe. Kali ini cukup lama sampai-sampai Annawi tak peduli lagi.

Gemuruh suara petir memenuhi langit. Ini terasa sangat aneh. Ibunya memandangi Annawi lalu membawa gelas berisi teh itu dan duduk bersimpuh di samping Annawi.

Dengan gerakan cepat dan sekali teguk, gelas berisi teh itu sudah tandas. Wajah Annawi di sentuh, dicium berkali-kali sembari menangis. Lalu tubuhnya dipeluk sekuat-kuatnya sambil berkata, "Maaf. Ibu sangat mencintaimu. Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu ... maafkan. Tetaplah hidup demi Ibu. Maafkan Ibu."

Wajah mereka saling bertemu. Annawi menangis, Ibunya ratusan kali lipat lebih menangis. Tak lama, rupa ibunya berubah tegang. Merah padam dan menghentak-hentak. Di depan mata Annawi, ibu kandungnya merintih kesakitan. Memegangi leher, memegangi perut. Tubuh ibunya bergejolak menghadap langit-langit. Kedua mata ibunya terbelalak. Tampak begitu tersiksa dalam waktu yang cukup lama.

"Ibu! Kumohon jangan!"

Meskipun begitu, wanita itu adalah ibunya. Walau hidup Annawi dipenuhi rasa sakit berkat penyakit mental sang ibu, tetapi kenangan manis pernah ia dapatkan. Kasih sayang dan cinta itu pernah Annawi terima dan melekat baik di dalam jiwanya.

Namun kini, mulut ibunya mengeluarkan buih. Seluruh tubuh itu mengejang. Lambat laun dada ibunya tak lagi naik turun. Berhenti bergerak. Berhenti bernapas. Dan--akhirnya seluruh dunia terasa kiamat. Berhenti detik itu juga.

Annawi mencoba bangkit meski yang bisa ia lakukan hanyalah berbaring miring agar dadanya leluasa.

"Ibu ...," lirihnya parau.

Ia merayap untuk bisa meraih tubuh ibunya. Memeluk adalah cara terakhir Annawi, jika tidak begini, mungkin ia tak akan pernah berani memeluk ibunya lagi. Ia bisa menangis sepuasnya di sana. Dengan wajah yang menempel di pinggang ibunya yang basah.

"Seharusnya Ann bisa menolong Ibu. Maafkan, Ann, Bu ...."

Seandainya ada cara lebih baik untuk mengetahui misteri tentang ibunya lebih awal, barangkali tidak akan berakhir dengan cara seperti ini. Annawi merasakan tubuhnya gemetar dan kedinginan. Sampai ia mendengar suara beberapa orang mengetok pintu depan, Annawi tak bisa menjawab. Lantas seseorang yang suaranya sangat ia kenal muncul di ambang pintu belakang, Annawi tahu kemungkinannya ada dua.

Mati sekarang juga, atau hidup puluhan tahun ke depan.

.

.

.

Huwa, campur aduk aku nulis bab ini. Aku juga seorang ibu, rasanya hatiku teriris-iris saat menulis bagian ini ya Allah. Sempat galau dengan cara  Asti mari meskiupun bunuh diri adalah cara yang terbaik menurutku.

Tetap pantengin sampai habis ya, besok adalah bab terakhir. Tunggin kejutan manisnya, heheh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro