
Dua puluh satu
Saat malam, rumah sakit tidak pernah benar-benar gelap. Dalam skala waktu yang sudah Annawi perhitungkan, ia tak punya alasan lagi untuk tetap berada di bawah kendali ibunya ketika ada kesempatan. Ia hanya pura-pura tertidur ketika ibunya pergi untuk menebus obat di apotek. Dengan mengumpulkan tekad di dalam dirinya, Annawi turun dari bed. Mencabuti slang yang semula terhubung dengan kateter Hickman di dadanya. Pelan-pelan, Annawi menarik slang NGT di hidungnya. Matanya mengeluarkan air mata, rasanya semua isi di dalam lambungnya hendak keluar, lidahnya terjulur saat slang itu ditarik melewati lubang hidungnya dan ia membeliak menahan sakit di sekujur leher. Ia terbatuk, membasahi tenggorokannya dengan air minum lantas menyesuaikan tubuhnya sendiri.
Terlalu berani untuk keluar tanpa persiapan. Berbekal penglihatan seadanya, ia hanya mengambil jaket berhoodie di dalam tas perlengkapan yang ibunya bawakan kemudian memakainya. Memastikan topi kupluk katunnya membantu menyembunyikan kepalanya yang botak. Gelang identitas pasien disobek paksa lantas perjuangannya selanjutnya adalah menahan perih pada perutnya. Annawi tahu itu adalah konsekuensi. Ia meringis setengah mati menahan sakit. Kakinya tidak begitu kuat menahan bobot tubuhnya sendiri. Namun ia berusaha untuk kuat, meski harus meraba dinding.
Di luar kamar, Annawi hanya berusaha mengikuti insting. Rasanya memang terlalu konyol, tetapi ia tak punya cara lain untuk bisa bebas dari kekangan ibunya. Atau risiko terbesar yang harus ia hadapi justru kematian yang tak masuk akal. Bahkan, selama ia berbaring pun, Asti tidak memperkenankan perawat apalagi dokter untuk bicara dengannya. Semua akses dikendalikan oleh ibunya tetapi ia masih bisa mendengar apa yang dikatakan dokter soal penyakit barunya. Lambungnya mengalami pendarahan akibat efek obat yang terlalu keras.
Pada akhirnya, membisu, dan menahan air mata, merupakan cara teraman untuk tidak memperburuk keadaan.
Setiap kali ia berpapasan dengan orang lain, Annawi berusaha sekuat tenaga untuk berjalan seperti orang normal. Jaket dan hoodie sangat membantunya menutupi kecurigaan orang lain. Celana katun berwarna biru yang ia pakai sedikit mirip dengan warna seragam perawat. Pertanyaan selanjutnya ialah, ke mana Annawi akan pergi?
Ia sama sekali tak tahu ke mana arah jalan raya. Mengikuti lima orang muda-mudi yang tampaknya baru pulang menjenguk pasien ternyata bisa dijadikan cara jitu. Annawi mengikuti langkah mereka di belakang, menyamarkan diri agar orang-orang menyangka kalau ia adalah bagian dari gerombolan tersebut.
Meski rencananya tidak berjalan terlalu mulus. Beberapa staf rumah sakit sempat memperhatikan gelagat anehnya. Annawi berjalan sedikit terbungkuk karena lambungnya yang sakit membuatnya sulit berjalan tegak. Namun ia tidak dapat melihat seperti apa wajah orang-orang yang mencurigainya. Yang penting jalan saja, yang penting ia bisa menjauh dari ibunya. Soal keberuntungan atau kesialan di depan, Annawi bahkan tak mampu membandingkannya.
Ia sudah berhasil turun dari lantai tiga ke lantai dasar menggunakan lift. Sekarang Annawi sudah berada di lobi rumah sakit. Kelima orang muda mudi itu berpencar, Annawi bingung. Sialnya, perutnya terasa perih dan ia meringis hebat. Hal itu mengundang perhatian dari sejumlah orang termasuk security yang berjaga di pos. Annawi tak boleh berdiam diri, ia bergegas mencari orang lain untuk dijadikan bahan samaran. Jika saja penglihatannya tidak terganggu, Annawi pasti sudah mencari jalan lebih aman daripada harus mengikuti orang lain.
Akhirnya, ia berhasil keluar dari area rumah sakit dan berada di parkiran sekarang. Annawi berhenti sebentar, bersandar pada bodi belakang mobil untuk mengembalikan tenaga. Matanya terpejam menahan pusing di kepalanya. Annawi mengembuskan napas lalu berjalan kembali.
Sialnya, semakin ia berjalan, perutnya semakin terasa sakit. Annawi berjalan sedikit limbung, menubruk orang lain yang berdiri atau berjalan di pinggir jalan. Air matanya keluar, Annawi belum pernah sekalipun melakukan hal nekad seperti ini. Menginjakkan kaki dan berjalan di sekeitar jalanan rumahnya saja ia tidak pernah, konon lagi di jalan raya besar seperti ini.
Langit di atas kepalanya seakan berputar dan sesekali bergoyang. Aspal di bawah kakinya bagai jelly yang membuatnya melambung-lambung. Tangannya bersandar pada bodi mobil yang terparkir di pinggir jalan. Menumpukan tubuh untuk mengembalikan kekuatan. Namun Annawi tak dapat melawan kelemahannya sendiri.
Annawi muntah dan cipratannya mengotori bagian bawah bodi mobil Rangerover. Seorang pria yang baru keluar dari kedai kecil penjual air mineral pun terkejut. Terlebih ketika Annawi berjalan lebih maju dan menjatuhkan kepalanya ke atas kap depan mobil. Tubuh Annawi lemas, merosot begitu saja dan pada akhirnya tergeletak di atas aspal.
"Ya Tuhan! Hei, Dik? Kamu kenapa?"
Samar-samar, Annawi mendengar suara seorang pria menghampirinya. Di susul orang lain hingga akhirnya ia menjadi bahan kerumunan.
"Kenapa, Mas? Temennya pingsan? Biar kami bantu bawa ke rumah sakit dekat situ."
"Tak apa, Pak. Biar saya yang urus. Saya dokter di rumah sakit itu, biar saya panggilkan petugas untuk membawanya."
Annawi mengerang mendengar perkataan pria yang sedang berlutut di sebelahnya. Ia memberontak kecil, berusaha berkata 'jangan ... jangan'. Tak ada yang tahu seberapa besar perjuangannya untuk keluar dari rumah sakit itu, dan sekarang pria itu akan mengembalikannya lagi? Annawi terus bersuara untuk menolak, entah pria itu mendengar atau tidak, tampaknya Annawi berhasil hingga akhirnya ia diboyong ke dalam mobil dan setelahnya, Annawi tak tahu apa yang terjadi.
***
Tepat pukul sembilan malam, Danu sudah lima belas menit berada di cafe tempat ia dan temannya janji untuk bertemu. Sudah menjadi kebiasaanya sebagai orang yang paling tepat waktu jika janji temu dengan seseorang.
Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sahabatnya itu. Mengenai apa yang Asti katakan soal Annawi, perilaku sengaja mencari perhatian terhadap orang lain terus terang tidak bisa ia cerna begitu saja. Meski di sisi lain ia berpikir barangkali Annawi memang sering berbuat seperti itu.
Danu pernah mempelajari ilmu psikologi meski tidak secara luas, tentang ciri anak yang suka mencari perhatian orang lain. Memalsukan penyakit bisa menjadi salah satu cara bagi anak untuk mendapatkan waktu dari orang terdekatnya. Terkadang, mereka juga menciptakan masalah agar perhatian orang tua teralihkan penuh padanya. Banyaknya drama yang anak tunjukkan kemudian merasa dirinya adalah korban atas masalah yang terjadi di rumah juga termasuk dalam upaya memperoleh perhatian lebih.
Semua ciri itu, dan ciri lain yang ia ketahui, sebagian besar ada pada diri Annawi. Danu pernah melihatnya dan mendengarnya dari Dila. Akan tetapi, ia tidak bisa menelan bulat-bulat omongan Asti. Juga tidak bisa memegang kartu yang sudah Annawi berikan padanya. Seakan semuanya saling berkaitan, Danu juga tak bisa menjadikan cerita Farid sebagai poin penting dalam petunjuk yang sedang ia bangun.
Bertanya pada orang yang tepat adalah jalan satu-satunya. Rama Jatmiko adalah seorang dokter ahli kejiwaan yang barangkali bisa membantunya menjawab semua pertanyaan. Hanya saja, ia mati bosan menunggu. Tanpa sabar, Danu akhirnya menghubungi sahabatnya itu. Mendadak, layar gawainya berubah menjadi panggilan masuk sebelum ia hendak menghubungi Rama.
"Danu!" sapa Rama saat mereka sudah saling tersambung. "Maaf, aku mungkin agak terlambat. Tiba-tiba ada seorang anak remaja pingsan di bawah mobilku waktu parkir di jalanan dekat rumah sakit. Aku harus membawanya ke rumah sakit dulu, Nu."
"Siapa? Apa kamu mengenalnya?"
"Aku tidak tahu, tapi sepertinya anak ini pasien yang kabur."
Entah bagaimana, yang terbayang di benak Danu justru wajah Annawi. "Rama, sebutkan seperti apa ciri-cirinya?"
"Kenapa? Apa kamu tahu?"
"Aku punya firasat kalau anak itu adalah Annawi, anak yang aku ceritakan ke kamu dan akan kita bahas sekarang."
"Dia---" Suara Rama terdengar bergelombang, pintu mobil yang dibuka terdengar jelas. Rama mungkin sudah membawa anak itu masuk ke dalam mobilnya. "Kepalanya botak, wajahnya tirus dan ... badannya kurus sekali. Apa dia Annawi? Aku kirim fotonya ke kamu sekarang."
Danu menunggu beberapa detik. Dan benar firasatnya, anak itu jelas Annawi. Perasaan gundah di dalam dadanya tiba-tiba menjadi lega. Sebagai seorang dokter, ia tahu ini adalah cara yang salah dengan meminta Rama untuk membawa Annawi padanya. Akan tetapi, mengembalikan anak itu ke rumah sakit dan bersama ibunya, justru jauh lebih membahayakan.
Untuk apa Annawi sampai kabur dari rumah sakit? Sampai seorang anak lugu dan sakit sepertinya berani menghadapi risiko besar, Annawi pasti ingin menyelamatkan hidupnya sendiri.
Ia pergi dari cafe itu untuk menyusul Rama yang sedang menuju ke apartemennya. Kebetulan jarak dari cafe ke apartemen miliknya tak sampai tiga kilometer. Ia sudah memastikan bakal lebih dulu sampai ketimbang Rama.
Di depan lobi masuk gedung apartemen, Danu menunggu dan gelisah. Ia bergegas menghampiri begitu mobil Rama berhenti. Membuka pintu belakang, lalu membopong Annawi yang setengah sadar ke dalam apartemennya. Ia baru tahu, tubuh Annawi seringan itu. Wajahnya begitu pucat. Saat ia membaringkan tubuh Annawi di atas tempat tidurnya, anak itu melenguh dan meringis.
"Dia kesakitan," kata Rama. "Kamu harus melakukan sesuatu, Nu."
Akan tetapi, ia tidak punya persediaan peralatan medis yang diperlukan di saat darurat seperti ini.
"Aku tidak bisa asal memberinya obat tanpa tahu hasil pemeriksaan terakhirnya. Dia sempat kritis karena overdosis." Danu membasahi bibirnya dengan ujung lidah. Matanya terus memandangi Annawi yang masih merintih sakit.
"Aku tidak mungkin memintanya ke rumah sakit karena jika mereka tahu aku membawa kabur pasien, tamat riwayatku, Nu."
Danu tak bisa terus diam hanya dengan duduk melihat Annawi. Ia membangunkan anak itu, menyaksikan mata Annawi terbuka lalu bertanya tentang sakit yang ia rasakan.
"Dokter Danu? Apa benar ini Dokter?" tanyanya lirih.
"Benar, Ann. Ini Dokter Danu. Kamu, sudah aman sekarang. Tapi saya perlu tahu seperti apa sakit yang kamu rasakan agar saya bisa memberimu obat yang tepat."
Annawi tersenyum. Bibirnya bergetar lalu berkata, "Jangan pulangkan Ann pada Ibu, kumohon."
Kedua pria itu saling berpandangan. Rama memperhatikan Annawi lekat-lekat, tampaknya sembari membaca ekspresi wajah anak itu.
"Danu," tegur Rama. "Sepertinya ada yang tidak beres dengan anak ini."
Fyi: Rama Jatmiko adalah salah satu tokoh di karyaku yg berjudul BEHIND THE STAGE. masih bisa dinikmati di wattpad.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro