Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua puluh delapan

Annawi terbangun tepat di saat matahari sudah tenggelam. Situasi di dalam kamarnya gelap, ia tak perlu bertanya-tanya mengapa ibunya tidak menyalakan lampu. Penglihatan yang buram semakin suram akibat terjangan malam.

Jarum suntik yang ditusukkan ibunya secara mendadak di lengannya itulah penyebab ia tidak terbangun selama berjam-jam. Ia mencari-cari sesuatu yang salah dari bagian tubuhnya. Annawi menyingkap kaos, perut dan dadanya baik-baik saja dan tak ada slang infus atau semcamnya yang tersambung di kateter. Paling tidak ia bisa cukup lega sekarang. Meskipun rasa pusing di kepalanya masih belum membaik, Annawi bahkan hampir tak bisa membedakan apakah perutnya perih karena lapar atau luka di lambungnya yang membuat ia meringis sakit.

Sejak pagi, bahkan sejak malam dia kabur dari rumah sakit, Annawi tidak memakan apa pun. Di samping bantalnya, Annawi melihat boneka emoji bertengger manis. Tangannya begitu cepat meraih lalu membuka ritsleting di baliknya. Satu bungkus Pocky pemberian dr. Danu masih utuh. Annawi cepat-cepat membukanya lalu mengeluarkan satu batang biscuit berbentuk mini tongkat yang dibalut dengan krim strawberi. Rasanya seperti orang kelaparan, Annawi melahapnya, menyadari rasa manis meledak di dalam mulut.

Ini menakjubkan, ujarnya. Seumur-umur, Annawi belum pernah mengunyah makanan seperti ini. Manis, renyah dan melekat di mulut. Ia mencobanya lagi, lagi dan lagi. Namun, ia seharusnya tidak terlena dengan kelezatan seperti ini. Dengan rakus, Annawi memakan setengah porsi Pocky sampai mulutnya penuh dan bibirnya belepotan. Kakinya turun dari tempat tidur dan di situ, Annawi menemukan keanehan.

Lantai di bawah kakinya terasa berbulu. Bertumpuk-tumpuk dan menggumpal. Matanya melihat ke bawah, sesuatu tampak berantakan di pandangan. Untuk memastikan, akhirnya ia berjongkok dan meraba lantai. Tangannya menyentuh kain-kain flannel yang berserak dan tercabik-cabik. Bercampur kapas, bercampur serabut-serabut benang. Dada Annawi serasa diguncang. Ia membawa lebih dekat ke depan matanya.

Itu, adalah emoji-emoji kesayangan yang sudah ia buat susah payah selama berhari-hari. Kini rusak dan tak terselamatkan. Memenuhi lantai, menyebar ke berbagai sudut kamar. Hatinya serasa diremas ketika menyadari bahwa ini sudah pasti ulah ibunya. Annawi menangis, sedu sedan menjalar penuh ke kepala. Janjinya terhadap dr. Danu tak lagi bisa terpenuhi. Ia kehilangan kekuatan beberapa saat, beberapa menit. Sampai ia terdiam. Memikirkan hal yang sejatinya tak pernah ia pikirkan selama ini. Bagaiamana jika ibunya mati saja? Mungkin itu lebih baik jika dia yang harus menanggung rasa sakit seumur hidup.

***

Mungkin ini cara konyol. Sudah tiga kali Annawi berusaha lari dari ibunya. Kabur. Akan tetapi, ibunya selalu berhasil menemukan dan pada akhirnya Annawi kembali lagi ke dalam kendali ibunya. Rasanya percuma, tapi tidak mustahil bila ia melakukannya lagi. Ada jiwa monster di dalam diri ibunya yang tak mungkin bisa diselamatkan. Annawi tak tahu jika barangkali ini adalah upaya sia-sia. Namun bagaimanapun, untuk menyelamatkan sendiri, kau tidak boleh mengabaikan risiko.

Kakinya melangkah tertatih dan tubuhnya terbungkuk. Annawi keluar dari kamar dan tidak menemukan ibunya di sana, di dapur, di ruang tamu bahkan di kamar. Ini kesempatan bagus. Tangannya meraba dinding untuk dijadikan tumpuan. Melewati furnitur nakas yang dijajarin oleh frame-frame foto ia dan ibunya. Tanpa sengaja, gawai ibunya yang tergelatak di sana berdering. Annawi terkejut, tapi benda itu terus bersuara. Kencang sekali.

Annawi kalang kabut, khawatir kalau-kalau ibunya mendengar dan memergokinya. Mau tak mau, Annawi menggeser tombol itu untuk mematikan, tetapi ia malah menggeser tombol jawab. Suara seorang pria pun muncul dari sana.

"Halo? Mbak?"

Annawi mengerutkan kening begitu mendengar suara familiar tersebut. Sebab penasaran, ia pun menempelkan gawai itu ke telinganya. Mendengarkan tanpa perlu bersuara.

"Mbak? Saya minta maaf karena Danu ternyata masih selamat. Tapi dia di rumah sakit dan saya rasa dia tidak akan bisa ke mana-mana. Annawi bagaimana? Apa dia masih dalam pengaruh obat bius?"

Bukan main terkejutnya Annawi mendengar suara orang itu. Ia tercengang, menutup bibirnya dengan jemari. Lantas berdeham untuk menyamarkan suara.

"Dengar, Mbak. Seperti yang sudah saya peringatkan sebelumnya. Saya tidak ingin sampai hal ini diketahui siapa pun. Tidak peduli jika Ann sudah tahu yang sebenarnya, yang saya mau, kesepakatan kita harus tetap berjalan. Jika Mbak Asti tidak bisa mengatasinya, maka saya yang akan turun tangan langsung."

Hening.

Bulu kuduknya meremang dan aura di sekitar semakin suram. Terkutuk sudah. Selama ini ternyata ibunya tidak bekerja sendiri. Ada seseorang yang mendorong dan menyokongnya dari belakang. Orang itu, sedang bicara dengan nada mengancam dan tidak basa-basi.

"Saya sudah mengatakannya padamu, 'kan? Pilihannya hanya dua. Kamu yang mati, atau anakmu."

Hmpfff ... Isakan Annawi terdengar dan ia membekap mulutnya kuat-kuat.

"Halo, Mbak? Apa kamu masih di sana?"

Pertahanan di dalam dirinya tak dapat dibendung. Dadanya seakan dipukul dan terluka.

"Kamu takut? Kalau begitu, pikirkan-"

"Om Yanuar PENGHIANAT!"

Gawai terlempar. Menumbuk dinding, jatuh menggeletak ke lantai dan pecah.

Ada konspirasi yang terjadi di balik kegilaan ini. Annawi ditumbalkan, ia dikorbankan. Segala apa yang terencana sebelumnya, Annawi tak bisa lagi mengelak selain melarikan diri sekarang. Persetan dengan ketua yayasan biadab itu.

Engsel pintu depan menimbulkan suara. Annawi meluncur susah payah ke arah belakang, menginjakkan kaki telanjangnya ke rerumputan dan bebatuan. Halaman belakang rumahnya hanya dibatasi dengan pagar tanaman. Mudah ditembus. Bentangan ladang jagung dan kacang menghampar dalam gelap. Hujan mengguyur kepalanya yang hanya berbalut kulit.

Akan ke mana Annawi pergi, ia bahkan tak pernah menginjakkan kaki di area ini. Namun ia percaya, bahwa setiap makhluk hidup memiliki naluri. Kucing yang tersesat dan dibuang akan kembali ke rumah tuannya dengan mengandalkan penciuman dan naluri. Maka Annawi yakin nalurinya kali ini tidak salah.

Langkahnya terseok-seok menelusuri barisan tanaman jagung. Napasnya tersengal. Tangan kirinya meremas perut, menahan perih yang bergejolak dan mengikis napas. Ia melihat ke belakang, rumahnya sudah terlihat menjauh dan mengecil. Sepuluh kilometer di depannya, Annawi melihat sebuah gubuk basah, gelap dan dirimbuni pohon kamboja.

Itu adalah tempat terbaik untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak.

***

Asti menyalakan lampu nordik di dinding-dinding rumahnya. Terkejut setengah mati saat melihat pintu kamar putrinya terbuka. Ia memeriksa, satu bungkus Pocky bekas dimakan tergeletak di atas kasur. Wajahnya menggeram, merah padam dan tangannya mengepal.

"ANN ...!" teriaknya lantang. "ANN ...!"

Kemarahan menggumpal di dalam kepala. Asti keluar kamar dengan langkah tegas. Cardigan melambai-lambai di belakang tungkainya. Di ruang tengah, ia melihat gawainya tergeletak di lantai. Retak dan tampaknya tak bisa lagi menyala. Apa yang menyebabkan Ann sampai membanting benda ini ke lantai? Sekarang, bagaimana caranya ia menghubungi Yanuar untuk meminta bantuan?

Dia tak mau sampai anaknya mati, tidak ada opsi yang harus Asti pilih dari ancaman lelaki itu ketika ia meminta bantuan pria tersebut untuk menghabisi Danu. Ia semakin frustrasi. Harga yang terlalu mahal untuk mengorbankan putri yang sangat dicintainya. Tak sebanding pula bila harus menyerahkan nyawanya pada Yanuar.

Ia pergi ke arah pintu belakang yang terbuka. Menatap keluar, menyelidik ke berbagai arah, lantas menerjang udara dingin dan gelap. Kemudian berteriak, "ANN ...!"

***

"Anaknya kenapa, Mbak?"

Asti mendongak saat melihat seorang pria dengan janggut tipis bertanya ketika ia sedang memangku Annawi yang menangis kelelahan, di sebuah ruang tunggu rumah sakit.

"Anak saya sakit," jawab Asti.

Pria itu mengambil duduk di sebelah kirinya. Wajahnya serius dan-terus terang-Asti sepertinya pernah melihat pria itu sebelumnya tapi entah kapan dan di mana.

"Boleh saya tahu sakit apa?"

"Entahlah, saya begitu yakin ada yang salah di tubuh anak saya. Sudah enam dokter yang saya temui, saya terangkan bahwa anak saya memiliki gejala penyakit leukemia, tapi tak ada satu pun dari mereka yang percaya. Ini adalah dokter ke tujuh, dan saya belum tahu apakah hasilnya bakal sama atau mungkin saya punya jawaban pasti."

Kepala Annawi menggeliat di bahunya. Posisi anak itu merapat dengan dada yang saling bertemu dengan ibunya.

"Um ... biasanya, insting seorang ibu tidak pernah salah. Benar begitu, 'kan?" imbuh pria itu.

"Aku adalah ibu kandungnya, tidak mungkin instingku salah."

"Apa Mbak sudah lakukan prosedur aspirasi sumsum tulang untuk memastikannya?"

"Dan saran Anda sama dengan dokter-dokter sebelumnya."

Pria itu tersenyum kecil, seolah-olah memaklumi. "Tapi itu saran penting jika ingin memastikan bahwa insting Mbak benar. Begini saja, saya mengerti bagaimana perasaan Mbak-" Omongan pria itu terjeda dan Asti memahami.

"-Asti. Nama saya Asti Yasa."

"Mbak Asti. Perkenalkan saya Yanuar." Mereka saling berjabatan tangan. Yanuar kembali bicara. "Saya mengerti, Mbak Asti. Tapi berpindah-pindah dokter tidak akan menemukan solusi agar membuat hati Mbak tenang. Saya sarankan, kali ini ikuti prosedur yang benar. Saya akan bantu mengawasi prosesnya jika Mbak berkenan. Tapi ... jika Mbak tidak ingin repot seperti itu, saya punya cara lain yang lebih praktis."

Diam sesaat. Alis Asti saling bertaut dan ia hampir tidak paham mengapa ada pria sebaik Yanuar di saat seperti ini.

"Mas Yanuar ini siapa?" tanyanya.

"Ah, bukan siapa-siapa. Nanti juga Mbak Asti bakal tau. Jadi bagaimana? Mau mendengar saran praktis dari saya?"

Meski disertai dengan dugaan mengganjal, akhirnya Asti menyetujui.

Setelah menunggu hasil pembacaan tes darah lengkap Annawi, Asti menemui Yanuar di ruang tunggu tadi. Menyodorkan hasil diagnosis yang masih saja negatif terhadap leukemia. Asti berwajah murung, tetapi Yanuar mampu mengubah kemurungan itu menjadi sesuatu yang berarti. Pria itu menemaninya duduk di sebuah taman rumah sakit. Mendengarkan cerita Asti. Semua, segala kekhawatiran dan juga perasaan kesepian yang dirasakan sejak Annawi masih di dalam kandungan, Asti membeberkannya secara gamblang.

Sejak itu, Asti merasa telah menemukan orang yang tepat. Yanuar tahu bagaimana sistem dalam diri Asti bekerja, pria itu paham bagaimana cara mengatasi kegundahan Asti dan mengubahnya menjadi sesuatu yang berbeda.

"Kalau begitu, jadikan ini dokter terakhir yang Mbak temui untuk memastikan penyakit Annawi. Besok pagi, kita akan ambil sampel darah Ann, biar saya yang membawanya ke lab."

Keesokannya, Yanuar kembali menemui Asti. Membawa wanita itu masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan sebuah pasar tradisional lalu memberikan hasil diagnosisnya. Hasilnya positif. Asti merasakan hatinya lega bukan main saat membaca hasil diagnosis tersebut. Mengucapkan terima kasih berulang kali pada Yanuar karena telah membenarkan instingnya sebagai seorang ibu.

Akan tetapi, ada yang aneh. Asti memperhatikan dengan saksama kertas tersebut dan ia tahu, ia bisa membedakan mana yang asli dan palsu. Sayangnya, kertas hasil lab itu palsu dan ia langsung membola pada Yanuar.

"Ini palsu!" sergahnya.

"Ya, memang. Tapi Mbak Asti senang 'kan awalnya?"

Hening beberapa saat. Bibir Asti terkatup dan terbuka seperti pintu rusak. Tampaknya ia sedang dipermainkan atau lebih pantas jika ia merasa malu karena terpergok.

"Mas Yanuar, apa sebenarnya maksud Mas?"

Yanuar menyunggingkan senyum, memandangi Asti dari bawah ke atas. "Mbak Asti, maaf jika saya bicara terus terang begini. Saya sudah lima tahun bekerja di Yayasan Kanker Anak dan sudah dua tahun menjadi bagian dari manajemen. Orang tua seperti Mbak Asti, bukanlah yang pertama berbuat seperti ini." Asti merasakan dadanya berdesir, ia masih terbengong mendengarkan. "Setelah Mbak mendapatkan hasil diagnosisnya, maka Mbak bisa melakukan apa saja pada Ann untuk membuat anak itu tampak sakit dan mengeruk simpati dari orang-orang. Dan-"

"Sa - saya, bu-bukan-"

"Tidak apa-apa, Mbak. Silakan ungkap semuanya pada saya. Jika Mbak enggan, cukup mengiakan apa yang saya asumsikan." Asti menunduk. Malu dan cemas. "Tenang, saya tidak akan menyalahkan Mbak Asti apalagi melaporkan hal ini ke pihak berwajib. Saya hanya ingin menawarkan kerja sama."

Asti mendongak, melihat wajah Yanuar tapi tak berani menatap mata pria itu. "Ke - kerja sama apa?"

"Singkatnya, Mbak mendapatkan donasi untuk Annawi, dan saya mendapatkan empat puluh persennya. Bagaimana?" Asti mematung, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tenggorokannya kering, lidahnya kelu dan matanya mengerjap-ngerjap. "Pasti ada bonus buat Mbak. Salah satunya, kepuasan batin. Saya sangat mengenal orang-orang seperti Mbak Asti, mendapatkan simpati dari orang lain adalah porsi utama. Jangan khawatir, saya akan membantu. Bukankah Mbak Asti mantan perawat? Harusnya Mbak lebih tahu bagaimana caranya membuat Annawi menjadi spesial."

Asti tidak dapat bergerak. Jok penumpang di dalam mobil Yanuar terasa mengeras dan mengikatnya. Menyempitkan tenggorokannya sampai terasa mencekik. Mata Yanuar berpindah dari wajah Asti ke luar jendela lalu kembali lagi padanya. Telunjuk Yanuar mengetuk-ngetuk setir mobil. Menunggu jawabannya.

"Baiklah, kita sepakat."

.

.

.

Wah, gak terasa tinggal 2 bab lagi cerita ini selesai. Tentunya masih banya kekurangan juga kemungkinan besar plot hole di pertengahan cerita. Tapi saya janji akan memperbaikinya. Tetap ikuti cerita ini sampai selesai ya, karena masih ada kejutan manis di akhir nanti. Terima kasih...


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro