Dua
Hujan mengguyur. Angin menampar-nampar jendela kaca di kamar Annawi dan kilatan petir terlihat berakar di luar sana. Annawi meletakkan boneka terakhir yang sudah selesai ia kerjakan. Kelelahan membuatnya urung mengemas benda itu ke dalam plastik baru. Mungkin masih bisa besok. Ia turun dari tempat tidurnya, memperhatikan malam yang terlihat bagai kiamat yang sedang menyusul. Ia berpikir, apakah kelak ia akan mati di saat malam diterjang hujan badai seperti ini? Seperti apa rasanya? Ibunya tak punya sanak keluarga yang sering datang berkunjung apalagi melihat bagaimana ia berhasil hidup sampai pada detik ini. Namun jika benar ia kelak bakal mati di situasi yang mengerikan tetapi dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya, mungkin itu lebih baik ketimbang ia mati dalam keadaan kesepian dan menyendiri.
Ia keluar dari kamarnya dan mendapati ibunya sedang duduk di sofa ruang tengah bersama tivi yang padam dan secangkir teh jahe. Annawi melihat jam dinding, jam sembilan, dan ia tahu ibunya selalu tepat waktu untuk menyeduh teh jahenya di jam tersebut. Ruangan itu tidak benderang, lampu nordik yang menempel di dinding adalah penerangan redup yang selalu seperti itu di saat malam.
"Ann?" panggil ibunya.
Gadis itu duduk di sebelah Asti. Wajah lesu jatuh ke pangkuan ibunya dan ia tidur meringkuk.
"Kenapa? Ada yang sakit?" Annawi menggeleng. "Badai membuat Ann tidak bisa tidur?" Ia menggeleng juga. Saat ibunya mengelus kepala polosnya, ia melihat wajah Asti yang tanpa senyum itu benderang tiba-tiba karena efek cahaya petir. Gemuruh petir menendang telinganya kemudian.
"Sejak Ann kecil, sejak sebelas tahun kita menempati rumah ini, kenapa tidak ada keluarga yang datang menjenguk kita bahkan di hari-hari besar?"
"Memangnya kenapa?" Asti merangkul tubuh Annawi menunggu tanggapan selanjutnya, tetapi yang ia dapatkan hanya wajah murung dari anak itu. "Kenapa tiba-tiba berpikir seperti itu? Ann punya Bukde Yani, Bukde Rasti, ada Dila juga yang sering ajak main, dan anak-anak tetangga sini juga sayang sama Ann."
Tapi mereka hanya tetangga, ujar Annawi dalam hati. Tetangga tak sepenuhnya paham dengan kesulitan mereka, kesulitan dirinya. Justru ia lebih sering iri pada tetangganya sebab di hari libur, perayaan hari besar dan pesta tertentu, mereka dikerumuni sanak keluarga yang sebagian diundang khusus dan sebagian lagi datang secara sukarela. Memenuhi rumah, memenuhi hari dengan suara tawa, obrolan menyenangkan dan nyanyian yang tak seirama tapi bahagia. Sedangkan Annawi hanya bisa melihat kumpulan orang-orang penuh tawa itu di balik gorden jendela. Sepi dan tak diperbolehkan keluar rumah.
Annawi menepuk-nepuk paha ibunya, merasakan aroma khas kulit lemon merasuki dadanya. "Ibu tahu Ann merasa sangat kesepian, iri dengan anak-anak lain yang bisa bermain dan bergaul dengan leluasa. Tapi mereka tidak punya sesuatu yang spesial dan hal-hal seperti itu berada dalam golongan besar yang tak punya arti. Ann spesial, menjadi orang yang spesial itu terkadang memang meyedihkan, tapi banyak orang di luar sana yang menyayangimu melebihi keluarga sendiri." Annawi tersenyum ketika ibunya mencium punggung tangannya lalu mengelusnya penuh kasih. "Bagi ibu, melihat Ann seperti ini dan tetap berjuang bersama Ibu sudah jauh lebih dari cukup. Ingat siapa prajurit sejati di rumah ini?"
"Ibu adalah prajurti sejati Ann."
"Itu tanggapan yang bagus dan akan lebih baik jika Ann membantu Ibu untuk membuat segalanya berjalan normal."
Normal, bagi ibunya adalah membiarkan Annawi tetap berada di rumah dan keluar hanya untuk mendapatkan sinar matahari pagi atau ke rumah sakit. Normal menurut ibunya adalah aktivitas bangun pagi-pagi menyiapkan sarapan terbaik untuknya, memandikannya, mengajarinya berbagai pelajaran sekolah yang tak pernah didapatkan sejak kecil. Ibunya menyalakan TV yang menayangkan drama Korea dari VCD Player meski Dila--anak Bukde Yani yang merupakan tetangga sebelah rumahnya--bilang kalau benda itu sudah sangat ketinggalan zaman, Annawi tetap merasa beruntung bisa melihat pemandangan indah dari para aktor drama tersebut. Ia tidak akan pernah diperkenankan memegang apalagi memiliki handphone android dengan alasan radiasi dapat menimbulkan efek samping serius pada penderita kanker.
Banyak hal yang menurut ibunya normal tapi rasanya tak seimbang dengan yang sering dia lihat di film-film selain drama Korea yang ia tonton. Ia tak punya ponsel apalagi teman daring seperti yang pernah ia tonton. Rasanya aneh terlebih setiap kali alarm berbunyi tepat jam satu siang dan ibunya sudah berdiri di depan pintu memegang nampan berisi gelas dan tube obat. Ketergantungan itu normal bagi ibunya walau pada dasarnya memang itulah yang secara lahiriah terjadi pada Annawi.
***
Pagi ini, setelah Asti selesai memandikan Annawi dan mengirimkan dua boneka Emoji pesanan anak-anak dari rumah sakit Harapan Bunda ke kurir pengiriman, ia membiarkan Annawi bermain sebentar ke rumah Yani, tetangga sebelah kiri rumahnya. Keluarga itu memiliki seorang putri berusia 21 tahun yang kerap cocok mengobrol dengan Annawi, Dila namanya. Juga putra bungsunya berusia 11 tahun yang bila dilihat dari dekat persis seperti Joshua Suherman versi cilik.
Asti menuntun Ann keluar dari rumahnya bersama keceriaan yang langka ia dapatkan. Baju kaos berlengan panjang bermotif garis-garis tampak kelonggaran di tubuh Annawi. Topi kupluk kelabu berbahan katun menutupi kepala botaknya dari sengatan matahari. Demi Tuhan, jarak rumah mereka tak lebih dari tiga puluh meter tetapi Asti bisa melihat wajah tirus putrinya tertutupi dengan tawa semringah setiap kali keluar dari rumah. Persiapan yang panjang.
Yani dan Dila benar-benar ada di dalam rumah dan tampak senang menyambut kedatangan mereka. Bagi Yani, Annawi sudah seperti anaknya sendiri dan wanita bertubuh gempal yang usianya lima tahun lebih tua dari Asti itu adalah satu-satunya orang yang bisa Asti percaya untuk membantunya menjaga Annawi jika ia sedang keluar rumah.
Rumah minimalis itu berukuran hampir sama dengan rumah Asti bila ditelisik lebih dalam. Annawi memeluk Yani lalu Dila bagai orang yang sudah sangat lama tidak bertemu. Yani mempersilakan Asti duduk di ruang tengahnya bersama teh dan puding yang disediakan untuknya.
"Kupikir Ann akan kamu kurung selamanya di dalam rumah," gurau Yani sambil memandangi dua gadis itu bercengkerama membicarakan hal yang tak ingin didengar.
"Sore ini jadwal pengobatannya. Ia bertanya banyak hal tentang sanak saudaraku tadi malam. Kupikir, sebelum ia melalui masa isolasi setelah pengobatan, tak masalah kalau aku membiarkannya bermain sebentar."
"Seharusnya kamu berpikir seperti itu sejak dulu. Kasihan Annawi kalau kamu kurung di rumah terus."
"Aku tidak mengurungnya. Mbak Yani sendiri tahu kalau tubuh Ann itu sangat rentan terhadap virus. Sistem kekebalan tubuhnya harus benar-benar kujaga."
"Yah, aku paham." Yani menoleh pada Annawi lalu kembali pada Asti. "Kenapa Ann terlihat makin kurus? Asti apa tidak sebaiknya Ann kemoterapi di rumah sakit saja?"
"Tidak perlu. Selama delapan tahun aku memakai cara pengobatanku sendiri dan hasilnya tidak terlalu buruk. Rumah sakit hanya diperlukan jika Ann mengalami penurunan kesehatan serius yang butuh penanganan darurat."
"Tapi kankernya belum juga pergi."
"Ann hanya butuh proses. Kesembuhan tidak datang secara instan, semuanya butuh proses, Mbak." Asti mengambil puding di atas meja lalu menyuap ke dalam mulutnya. "Lagipula, biaya yang dikeluarkan untuk sekali kemoterapi sangat besar. Aku tidak bisa membawanya rutin ke sana. Yang penting obatnya sudah sesuai, aku bisa melakukannya sendiri."
"Aku tidak meragukanmu sebagai mantan tenaga medis. Kamu sudah menjaga Ann dengan sangat baik, siapa sangka Ann bisa bertahan sampai titik ini. Benar-benar keajaiban."
Asti mengangguk, mengulum senyum dengan puding yang masih terisi di mulut. "Ann adalah keajaiban dan dia sangat spesial, bukan?"
"Tapi usianya sudah enam belas tahun. Ann akan beranjak dewasa dan sedikit banyaknya dia pasti bakal berpikir soal laki-laki. Kamu harus mempersiapkan itu, Asti."
Bibir Asti berhenti bergerak dan ia memandani Yani tajam. Matanya bergeser ke arah Annawi, ia bisa mendengar Dila bercerita soal pacar rahasianya pada Annawi.
"Ya, aku menyebutnya 'Lutung Kasarung' karena dia sedang menyamar jadi seseorang sekarang."
"Itu benar-benar lucu." Annawi menanggapi. Tertawa terpingkal-pingkal sampai matanya menyipit. "Lutung Kasarung pasti sayang banget sama Kak Dila sampai-sampai mau berkorban begitu."
Asti mematung dan masih mematung mendengar cendaan dua gadis itu. Bahkan saat Yani menggugahnya, Asti tak dapat mendengar apa pun kecuali tawa mereka yang memenuhi seluruh ruangan. Entah apa yang membuatnya berubah pikiran, Asti meletakkan pudingnya yang tinggal setengah, mengucapkan 'maaf' pada Yani lalu menghampiri Annawi.
"Kita pulang sekarang, Sayang."
"Loh, kenapa, Bu?"
Meski ia bisa melihat wajah terkejut dan keberatan Annawi tepapar jelas, Asti bersikeras membawanya pulang. Sudah diprediksinya dari awal, pergaulan tidak begitu baik untuk putrinya.
🎗️🎗️🎗️
02 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro