Delapan belas
Ini pertama kalinya Annawi ketakutan setengah mati sebelum mengkonsumsi obat. Gelagat ibunya, ketidaksesuaian rasa di tubuhnya dengan kebutuhan penawar sakit, juga kecemasan yang berlebihan, mau tak mau Annawi harus melarikan diri.
Ia mencoba membuka pintu depan, sayangnya, pintu itu terkunci dan Annawi tak tahu harus bersembunyi di mana lagi selain di dalam kamar mandi. Langkahnya mengendap. Beruntung kakinya yang ringan tidak menimbulkan jejak suara. Di dalam kamar mandi, Annawi langsung memasukkan pengait pintu berbahan fiber itu, berdiri dengan tubuh gemetar serta napas yang berusaha ditenang-tenangkan.
Tak ada cara bagus untuk meredakan gemetar dari perasaan takut. Manakala ia mendengar ibunya melaungkan namanya, jantung Annawi semakin mengentak-entak. Pintu digedor. Ibunya terus memintanya keluar sementara air matanya meluruh. Ia ketakutan.
"Ann! Buka pintunya, Nak. Ini Ibu ... ayolah keluar dari sana."
Sulit dipercaya, bagaimana bisa Annawi bersikap seperti orang yang hendak diburu. Ibunya bagai monster yang mencari santapan. Annawi merapatkan punggungnya ke dinding bawah shower yang tergantung, berupaya untuk meredakan rasa cemas. Meski yang lebih terasa berikutnya adalah pandangannya yang berubah seperti tampilan berbayang. Sesuatu di dalam kepalanya menangkap hal lain, gemetaran di tubuhnya berangsur hilang, tubuhnya lemas dan rasanya tak berdaya dalam segi pertahanan diri.
Sialan, ibunya pasti sudah mencampurkan obat penenang ke dalam spageti yang disantapnya.
"Buka pintunya, Ann ... jangan membuat Ibu cemas. Apa yang terjadi di dalam sana?"
Ibunya justru bertanya apa yang terjadi? Annawi bahkan tak mengerti kenapa ibunya mengalihkan keadaan yang sesungguhnya. Seolah-olah Annawilah yang membuat masalah sedangkan ibunya yang berhak menginterogasi.
"Ibu tahu, Ann sudah lelah dengan penyakit itu. Tapi Ann tidak bisa membiarkan leukemia terus bersarang di dalam tubuhmu, Ibu akan menyudahinya, Nak. Ibu akan menyembuhkanmu. Percayalah pada Ibu."
Annawi memeluk tubuhnya sendiri, kedua tangannya menyilang dan mengusap-usap pundak juga wajah. Ia bingung, Annawi bimbang, apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya sendiri? Rasa takut mengambang ke permukaan udara. Annawi melangkah mendekati wastafel dengan langkah limbung. Suara ibunya masih berada di luar sana. Mendesak.
"Jawab Ibu, Ann!" sergah ibunya. "Diam atau bersembunyi tidak akan menyembuhkan penyakit. Ann butuh pertolongan Ibu." Kenop berputar-putar, ketukan pintu masih terdengar memburu. "Baiklah jika itu yang Ann inginkan. Ibu akan gunakan cara Ibu sendiri!"
Tangisan di wajah Annawi berubah menjadi kekesalan yang teredam. Ia melihat wajahnya di cermin: lesu dan merasa bodoh. Tangannya mencengkeram bagian tepi wastafel, dunia serasa bergelombang, cermin di hadapannya tampak berderak-derak. Annawi meringis. Dengan cara apa pun ia tidak bisa mengendalikan zat konyol di dalam kepalanya. Kaki dan tangannya lemas, tak ada yang bisa digunakan untuk menopang hingga akhirnya ia terjatuh. Dagunya membentur tepi wastafel, bibir bagian dalamnya tergigit. Saat ia sudah tergeletak di lantai, Annawi merasakan asin darah melumuri mulutnya. Ia melenguh.
Ia tak dapat bernapas dengan baik. Segalanya tampak bergoyang. Di sana, saat ia melihat pintu, kunci pengait bergeser sendiri. Kenop diputar. Pintu terbuka lebar. Bukan siapa-siapa, nyatanya ia melihat ibunya sudah berdiri di sana. Memandanginya.
"Ya Tuhan!" pekik ibunya saat berlutut di samping Annawi, menyentuh wajahnya. "Pendarahan!" Annawi ingin bersuara, ingin memberontak. Namun sayang, ia bahkan tak dapat menghalangi tangan ibunya yang sudah menyelip di bawah punggung juga pahanya. Tubuhnya mengudara, terkulai di atas lengan kokoh ibunya. "Sabar, Sayang ... Ibu akan obati. Ann bakal baik-baik saja, Ibu ada di sini, Sayang."
Saat Asti membawanya melewati pintu, Annawi melihat sekilas. Ternyata di bagian bawah pintu, ada semacam lempeng besi sebesar ibu jari yang menonjol. Lempeng itu, pasti terhubung dengan pengait kunci. Bila digeser ke arah berlawanan, maka pengait bagian dalam akan ikut bergeser. Annawi merasakan sial berlipat ganda, menyadari bahwa ia tak punya upaya lagi untuk menghindar dari incaran ibunya.
Di atas tempat tidur Annawi digeletakkan. Darah yang mengucur dari mulutnya dibersihkan menggunakan tisu oleh jemari Asti.
"Apa yang sakit, Nak? Bilang sama Ibu bagian mana yang sakit?"
Annawi menggeleng, menghindari tangan ibunya. Sebenarnya apa yang dicampurkan ibunya ke dalam spageti sampai ia sendiri tak punya tenaga untuk sekadar bicara. Apa pun yang sudah ibunya masukkan, selamat, ibunya sudah menang.
"Jang-an ...." desisnya lirih. "Henti-kan, Bu."
Kata-kata itu tergigit oleh giginya sendiri. Wajah ibunya berpencar dan menyebar, menyatu kembali, berpencar kembali. Senyum ibunya memudar sesekali, tampak bagai kilasan tak teratur.
"Ann? Tidak usah bicara jika tidak sanggup. Ibu tahu, Ann merasa sakit, huh? Ibu akan mengobatimu. Tenanglah, Ibu ada di sini, Sayang." Desisan di penghujung kalimat terdengar seperti ungkapan kekhawatiran yang penuh kasih. Namun sesungguhnya, Annawi justru merasa malaikat maut sebentar lagi mendekat.
Ia tak dapat berbuat apa-apa. Saat ibunya menghubungkan infus ke keteter di dadanya, Annawi mencoba menepis berkali-kali. Tangannya tak punya daya, lemas dan tak dapat melawan. Napasnya tersendat-sendat, ibunya memasang slang oksigen ke lubang hidungnya.
"Tak apa, Sayang .... jangan khawatir. Ann pasti baik-baik saja setelah ini. Tidurlah, atau Ibu perlu menyalakan tivi? Ann ingin menonton Looney Tunes?"
"An ... jang--an. Bergh ... ih"
Kedengarannya seperti Annawi mengatakan 'jangan beri' dalam artian, 'jangan memberi obat, jangan lakukan apa pun'. Namun Annawi tak dapat mengatakannya. Lidahnya seakan tergulung di dalam mulut. Ibunya, justru menangkap maksud lain.
"Ibu tidak akan pergi ke mana-mana, Nak. Ibu akan temani Ann."
Bukan, bukan ... kumohon, Ibu, jangan lakukan ini. Ann serasa ingin mati.
Ia meringis. Ibunya sudah mulai menyuntikkan segala macam obat ke dalam kateter. Ia bisa merasakan, cairan obat itu mulai mengaliri darahnya. Ibunya membelai kepala, mendesis menenangkan. Samar-samar, Annawi melihat ibunya tersenyum. Wajah ibunya tersenyum. Sementara ia, sesuatu di dalam tubuhnya bergelut tak karuan. Sistem di dalam tubuhnya kacau. Namun ia tak dapat mengeluh, bicara ia tak sanggup. Matanya terpejam dan bibirnya meringis.
Pada periode yang sama, tubuhnya menggigil. Ia kedinginan bukan main. Rasanya, sekujur tubuhnya membeku. Mati rasa. Kegelisahan meradangi, kepalanya seakan mau pecah. Darahnya melonjak, menyembur seperti roket ke batang otaknya. Lehernya menegang, matanya terbelalak. Di saat bersamaan, seluruh tubuhnya mengejang hebat.
"Ann? Ann apa yang terjadi?"
Kedua bola matanya tak dapat tertutup. Kepanikan ibunya tak bisa lagi ia cerna. Segalanya terasa menekan. Tubuhnya tertekan dan berguncang. Keringat bercucuran. Annawi tak tahu, rasanya menit itu begitu lama. Gemeletak dan gerakan kejangnya berulang-ulang sampai tempat tidur bersuara saking kuatnya.
Jeritan ibunya bukan lagi sebuah ketakutan. Apa pun, ia justru tak dapat berpikir. Jika bisa, ia mati saja sekarang. Agar sakitnya selesai, darahnya berhenti mengalir, lalu mati rasa yang ia dapat.
***
"Lihatlah, dok. Baca, tolong bacakan apa saja yang tertulis di dalam sini. Selama ini Ann tidak tahu seperti apa rasanya sakit leukemia. Keluhan yang Ann rasakan selama ini, kebanyakan muncul setelah Ann mengkonsumsi obat. Tadi Ann sempat menonton tayangan di tivi yang menjelaskan tentang gejala penyakit leukemia, Ann coba mengingat apakah gejala itu sama seperti yang Ann alami."
Annawi menarik napasnya, menatap mata dr. Danu dua kali lebih serius.
"Lalu? Apa yang Ann temukan?"
"Ann tidak punya semua gejala itu."
Danu masih berada di puskesmas. Duduk di kursi kerjanya, dengan selembar kertas di atas meja. Kata-kata yang Annawi lontarkan sore itu, ternyata mampu menghimpun berbagai pertanyaan di dalam kepalanya. Saat Asti datang dan memergoki putrinya duduk bersama di kursi tunggu, Danu sempat merobek selembar kertas catatan medis milik Annawi.
Sekarang, ia memandanginya. Hasil catatan itu ternyata milik dr. Farid Subagio, Sp. A (K). Omnya sendiri. Ia lantas menghubungi Farid dengan mengirim foto lembaran itu terlebih dahulu. Sayangnya, belum ada jawaban dari sana, Farid tidak bisa dihubungi dan itu semakin membuatnya penasaran setengah mati.
Apa yang sebenarnya terjadi pada Annawi? Danu melihat rupa ketakutan dalam diri anak itu. Mengembang dan menyendu secara bersamaan. Ia mencoba menghubungi kembali dr. Farid, kekesalan bertambah dan Danu tentu tak bisa diam begitu saja.
Ia bangkit, melihat angka di jam tangannya sudah menunjukan jam delapan malam. Tangannya menyambar kunci mobil yang semula tergeletak di atas meja, lalu dengan gerakan yang dipercepat, Danu melajukan mobilnya untuk menuju rumah Dila. Ia tahu, gadis yang dikenalnya sangat dekat dengan Annawi itu tahu lebih banyak mengenai kehidupan anak itu.
Sesampainya Danu di rumah Dila, ia dipersilakan masuk tanpa basa-basi. Dila--yang baginya merupakan orang yang banyak membantunya selama Danu ditugaskan di puskesmas kelurahannya--punya andil banyak sebagai sumber informasi soal warga. Tak ada alasan untuk tidak bertanya, terlebih saat Dila dan ibunya memandanginya heran, Danu mendadak bingung.
"Danu? Malam-malam begini datang tanpa kasih kabar, ada apa sebenarnya?" Pertanyaan Yani mewakili Dila yang justru tak sepenasaran ibunya.
"Saya ingin bertanya, Bu. Soal Annawi, apa yang kalian ketahui selama ini?"
"Maksudnya bagaimana?" tanya Dila.
"Sebagai orang yang paling dekat dengan keluarga Annawi, aku hanya ingin tahu, apa kalian pernah melihat hal aneh atau ganjil pada Annawi? Atau mungkin ibunya?"
Dila dan Yani saling berpandangan. Wajah terheran mereka tak dapat disembunyikan.
"Tidak ada yang aneh selama ini," jawab Yani. "Sejak kecil memang Annawi sakit-sakitan. Kita semua tahu kalau anak itu menderita penyakit ganas, dan ajaibnya, dia masih bertahan hidup hingga sekarang."
Danu menunduk sesaat, mencoba mengingat sesuatu. Tentang sikap aneh Asti saat Danu mendatangi Annawi pagi-pagi, juga ancaman yang ia terima saat di puskesmas---Danu belum bisa menganggap itu tidak aneh.
"Bu Asti? Bagaimana dengan ibunya Annawi? Apa dia pernah berbuat aneh misalnya---" Omongan Danu terjeda, mendadak ia gugup. Ia ingin bertanya, tetapi ia tidak ingin menimbulkan kesan sebagai orang yang mengulik kehidupan keluarga itu. "---maksudku, mungkin kalian pernah melihat Annawi sehat secara fisik beberapa waktu?"
Masa remisi. Setiap penderita kanker pasti pernah mengalami saat yang disebut dengan masa remisi. Masa di mana terapi pengobatan berhasil dan si pasien berada dalam kategori sembuh tetapi tetap mengontrol kesehatannya. Sampai Annawi berhasil bertahan hingga sebelas tahun, tidak mungkin anak itu tidak pernah melewati masa remisi. Biasanya, tanda-tanda sakitnya tidak lagi kambuh dan ciri mudahnya, rambut Annawi pasti pernah tumbuh walau tidak lebat.
Danu menjelaskan itu pada Dila dan Yani. Ia mencoba membuat dua wanita itu mengerti. Namun, yang ia dapatkan justru gelengan kepala dan apa yang diberitahukan oleh Danu mengenai masa remisi maupun keadaan fisik yang tampak sembuh, sama sekali tidak ada dalam sejarah penglihatan mereka.
"Ini aneh," ujar Danu.
"Apanya yang aneh? Sebenarnya Annawi kenapa?" Pertanyaan Dila, tak sempat dijawab oleh Danu ketika mendadak, mereka mendengar suara sirine ambulans mendekat.
Ketiga pasang mata mereka saling bertemu, berdiri serentak. Dila membuka gorden jendela dan mengintip. Ambulans itu masuk ke halaman rumah Annawi. Lampu rotary ambulans berputar-putar dan mewarnai langit malam.
"Ann?" pekik Dila, menoleh pada Danu dan ibunya. "Sepertinya terjadi sesuatu pada Ann."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro