04. Choosy Encounter 🐱
Hai... masih ada orang di sini?
Ini maaf kalau tulisannya aneh, ya. Lama nggak nulis, huhu.
Happy reading~
[𝟶𝟺. 𝙲𝚑𝚘𝚘𝚜𝚢 𝙴𝚗𝚌𝚘𝚞𝚗𝚝𝚎𝚛]
🐱🐱🐱
***
Alana bertubuh mungil untuk ukuran anak kelas tiga SD. Rambutnya dikepang dua yang tampak satu sisi lebih banyak rambut dari sisi lainnya. Wajahnya cantik, dengan lesung pipi kecil. Ketika dia tersenyum, gusinya terlihat, serta deretan gigi kecil-kecil bersusun rapi.
Pantas, sih, Juni bergumam dalam hati. Bapaknya saja sudah bibit premium. Pria itu tinggi, tegap, dengan rahang tegas dan hidung lurus mancung. Entah Juni hanya berhalusinasi tapi ia merasa mata pria itu agak kebiruan, seolah dia adalah ras campuran. Adalah pria yang muncul langsung dari deskripsi halaman depan novel erotis yang sering dibaca Joana. Atau mungkin, hanya perasaannya saja. Karena tanpa sadar Juni melongo selama satu menit, hingga pria itu menatapnya bingung dan melambaikan tangan di depan wajah Juni.
"Bu?'
"Ah? Oh, iya! Sorry. Alana, ya?" tanyanya setengah gugup, lantas segera tersenyum kepada anak kecil di depannya. Alana pulalah yang kemudian membuat ketegangan di pundak Juni merileks ketika dia meraih tangan Juni dan menciumnya sebelum tersenyum amat manis.
"Halo, Ibu Juni. Nama saya Alana."
"Oh, Halo, Alana. Namanya cantik. Mulai sekarang, kamu akan belajar di kelas Ibu, ya. Nanti ikut sama Ibu, biar dikenalin sama teman-teman yang lain."
Duha, demikian dia mengenalkan diri, mengelus rambut rapi putrinya dan kembali berbisik. "Bilang apa lagi sama ibunya?"
"Terima kasih, Ibu Juni~" katanya patuh, dengan suara imutnya. Dengan sang ayah yang mengecup pipi putrinya bangga. Aduh, anak yang dididik banget sama ayahnya.
Lalu, pria itu berpamitan dengan sopan kepada Juni dan putrinya. Senyum yang terakhir dia sematkan berhasil membuat Juni blank sekali lagi. Kok ada manusia seganteng itu?! Jika bukan karena gamit kecil Alana di lengannya, besar kemungkinan Juni akan tetap melongo di situ sampai bel istirahat berbunyi.
Kembali, ke pekerjaan! Juni mengingatkan diri. Ia lalu terburu membawa Alana ke kelas, tentu dengan sambil memastikan pria kemarin itu sudah tidak ada lagi dalam jarak jangkau pandangan. Sudah pulang sepertinya, dan itu hal yang bagus!
"Chio, kamu kan ketua kelas. Coba perkenalkan teman baru kamu sama teman-teman nanti, ya?"
"Siap, Bu Juni!"
Usai perkenalan singkat di depan kelas (Alana tampak tidak sungkan untuk memperkenalkan diri, menyebutkan nama dan asal sekolah yang membuat temannya terkagum-kagum, dia pergi ke sekolah yang sama dengan anak pesohor papan atas, dan diketahui biayanya saja hampir dua ratus juta pertahunnya, Juni rasanya ingin menangis mengingat gajinya selama tiga tahun bekerja di sekolah ini pun tidak sanggup menyaingi), Alana pun duduk di belakang, di samping Bella.
"Halo, aku Bella," kata Bella, memperkenalkan diri, tersenyum menampakkan deretan gigi ompong. "Kamu suka Chimmy?"
"Hah?"
"Chimmy! Masa kamu nggak tahu Chimmy," Bela mengerutkan hidung, lantas ia mengulurkan selembar kertas berisi gambar-gambar karakter berwarna kuning itu. "Ini sticker Chimmy buat kamu."
"Terima kasih. Kamu baik, deh, Bella."
"Btw kamu beneran satu sekolah sama Rafathar?" Aleysha yang duduk di depan Bella menimbrung, demikian juga Archynta alias Icha.
Dan ketika Alana mengangguk polos, satu kelas langsung bergumam heboh.
"BENERAN GANTENG DIA?!" Bella bertanya antusias. Dan sekali lagi, ketika Alana mengangguk, kelas kembali heboh.
"Halah! Gantengan juga gue!" Chio menjawab. "Gue jago main skateboard!"
Baik Bella maupun Aleysha mencibir. Dengan sengaja mereka menarik Alana agar tidak mempedulikan cowok itu. "Jangan temenan sama Chio, ya. Dia nakal!"
Sementara di depan sana, Juni menepuk jidatnya. Bisa-bisanya anak kelas 3 SD sudah jago membahas cowok!
***
"BU JUNIIII CHIO GANGGUIN!!!"
Juni memutar bolamata, jam pelajaran tetap berakhir tapi drama bocah-bocah ini tidak ada habisnya. Sebagian anak-anak sudah pulang, sebagian bermain di lapangan upacara selagi menunggu jemputan. Dan di antaranya, tentu saja si bocah kematian Chio. Anak itu terlihat mengejar-ngejar Bella dan Alana dengan membawa sesuatu di tangannya selagi para anak perempuan itu berlari dan bersembunyi di balik punggung Juni.
Chio pun, segera mengubah targetnya.
"Ibu Juniiii!" teriaknya, lalu menyodorkan sehelai daun sangat dekat ke badan Juni. Sekilas, Juni langsung tahu apa yang ada di atasnya; ulat pohon! Entah darimana dia mendapatkannya.
"Chio! Buang itu!"
"Ulat buluuu hiiii!!!" serunya menakut-nakuti.
Juni bergeming di tempatnya, ia baru saja akan bersiap untuk menjewer anak itu ketika Joana mencuri start. Bukan menjewer, tepatnya, ia hanya cukup berdiri di sana, menatap Chio dengan tampang sangarnya dan bola mata yang nyaris keluar dari rongga, membuat Chio menciut seketika.
"Apa itu?" tegur Joana.
"U-ulat, Bu," Chio mencicit, ia sesekali menatap Joana takut, tetapi lebih banyak menunduk.
"Ulat? Dapat dari mana?"
"P-pohon jambu yang di situ."
"Kalau kamu aja yang Ibu jadiin ulat, mau? Ibu gantung di pohon sini!"
"E-enggak mau."
"SINI KALAU BERANI."
"E-enggak, Buuu."
"SINI!!!!"
Ketika Chio mencoba bersembunyi di belakangnya, Juni menghela napas. Ia berjongkok, menyejajarkan tatap dengan Chio.
"Kamu seneng banget jahilin temen. Becanda boleh tapi jangan kelewatan, tahu. Nanti kalau Bella atau Alana jatuh, terus luka-luka gimana? Terus ini ulatnya, apa nggak kasian dibawa-bawa gitu? Dia pasti takut. Kamu balikin, ya? Pasti ibunya nyariin."
"Iya, Bu..."
Entah mantra Juni berhasil atau sebenarnya Juni lebih curiga anak itu tertekan oleh tatapan Joana, Chio segera terbirit diikuti teman-teman laki-lakinya yang lain. Syukurlah, setidaknya anak itu pergi dan memberinya ruang untuk bernapas sebentar.
"Alana, udah dijemput, kayaknya!" Joana berseru, mengalihkan perhatian Juni.
Dari kejauhan, Juni melihat mobil itu yang melambat dan berhenti di sudut tempat parkir depan sekolah. Walaupun ingatannya sering bermasalah, tapi mobil itu terlalu mencolok untuk tidak dikenali, sampai-sampai tadi pagi menjadi yopik hangat pembicaraan di ruang guru. Apalagi, penumpang di dalamnya.
Duha turun dengan santai, masih mengenakan setelan yang sama dengan yang tadi pagi dia kenakan; celana kain yang disetrika licin, sepatu mengilat, dan kemeja abu-abu lengan panjang. Bedanya, lengan kemeja itu telah memendek karena digulung hingga bawah siku, serta kancing paling atas yang sepertinya sudah menyerah setelah seharian dipakai. Pria itu menyugar rambutnya selagi berjalan melintasi halaman parkir, dan sekali lagi, Juni termangu.
"Awas iler," Joana menyenggol. Tatapan menggoda bermain di sudut mata dan keningnya.
"Apaan, deh?"
"Emang cakep banget ya bapaknya Alana tuh. Pesona pria matang emang luar biasa. Denger-denger do'i juga yang punya Get-Go."
Get-Go adalah aplikasi jasa transportasi yang sedang naik daun belakangan. Meski bukan pelopor, namun popularitasnya menanjak cepat karena harga yang bersaing, jangkauan luas, sistem yang gampang, dan terobosan mereka seperti menyediakan Get-Health untuk membantu penumpang sakit lebih cepat ke rumah sakit atau mengambilkan obat untuk mereka, atau Get-Students yang memberikan banyak promosi dan diskon bagi pelajar. Terakhir kali Juni mengunduh aplikasinya karena sakit haid sendirian, aplikasi itu telah diunduh lebih dari lima puluh juta kali.
"Haduh, udah ganteng, bau duitnya kecium dari jauh," Joana lagi-lagi mengiba.
"Heh, sadar! Dia udah punya anak! Punya istri juga!"
"Emang sih cowok ganteng mapan kayak gitu mana mungkin single. Jun, kita bagi tiga aja gimana?"
"Hah?"
"Itu, kan slot istri bisa sampai empat ya. Gue istri kedua, lo yang ketiga gimana?"
Seketika Juni melotot. "Ih, Jo! Masih banyak anak-anak di sini, ya. Minimal mikir!"
Percakapan mereka tertahan karena tas Alana yang menyenggol pinggang Juni. Gadis kecil berbalik untuk mencium tangan Juni dan Joana, mengucapkan salam dengan formal lalu melambai kepada sang Ayah.
Juni harus mengingatkan diri dengan baik ketika pria itu tersenyum dan melambai padanya dari jauh, mengucapkan salam perpisahan. Senyumnya simpul, namun menampilkan lesung pipi samar di antara garis-garis tegas wajah, membuat fiturnya tampak melembut. Benar kata Joana, pesona pria matang memang benar-benar luar biasa.
***
Pemandangan indah itu Juni rasa dapat bertahan lama, seharusnya. Seandainya sumber masalah tidak begitu saja muncul secara tiba-tiba, menggantikan. Sebagian besar anak-anak telah pulang sehingga halaman dan gerbang menjadi lebih lowong. Juni sudah semangat karena sebentar lagi dia bisa pulang. Hanya Chio yang belum dijemput.
"Hari ini Mama jemput jam berapa?" tanyanya pada anak itu yang kini sudah duduk di kursi panjang di koridor bersama Juni, kecapekan dan tidak ada teman bermain.
"Nggak dijemput Mama. Mama umroh."
Ah, iya. Juni lupa. Kan, Mama Chio sudah mengabarkan tadi pagi.
"Terus sama siapa? Papa?" Joana menyahut. Ia sendiri masih belum bisa pulang karena masih ada dua anak didik kelasnya yang belum dijemput.
"Sama Om," jawab Chio antusias. Tahu-tahu, dia berdiri girang dan menunjuk ke arah gerbang. "Itu Om Chio jemput!!!"
Dan ya, itu adalah orang yang paling ingin Juni hindari sedunia. Perutnya mendadak mulas.
"Jo! Nitip Chio ya. Gue ... kebelet!"
Tentu saja itu lagi-lagi hanya alasan. Tanpa menunggu persetujuan, Juni sudah bangkit dari duduknya dan terbirit tak tentu arah, meninggalkan Jo yang tertawa di belakang.
"Buru-buru amat! Cepirit lo?!"
Juni sudah tidak perduli meski nama baiknya dicemarkan oleh Jo. Ia buru-buru pergi ke toilet guru yang terletak di lantai bawah, di ujung tepat di samping perpustakaan. Sayangnya, ketika dia masuk, Pak Amir sedang berdiri di dalam sana beserta peralatan kebersihannya. Duh, toilet itu tidak mungkin digunakan. Jadi, Juni berbalik, bermaksud pergi ke toilet siswa yang terletak tak jauh dari sana.
Sayangnya, langkahnya terlalu lambat. Tepat ketika ia berbalik, ia hampir saja menabrak pria itu. Pria yang sekarang tengah berdiri di depannya.
Juni dengan gugup berpura-pura tidak kenal.
"Permisi, ada liat Chio nggak, ya? Kelas 3."
Dia hari ini mengenakan kaus biru muda kasual lengan pendek dan celana slim fit biru gelap di atas sneaker putih. Rambutnya tersisir rapi dan aroma parfum menguar, dia seperti habis jalan-jalan.
"Halo?"
"Oh? Iya! Iya! Chio... oh, emang tadi belum ketemu, ya? Sebentar saya panggilkan." Tatapan Juni meliar, ia mencoba mencari seribu satu cara kabur dan inilah kesempatannya. Mencarikan Chio hanya akan menjadi alasan, dia bisa bersembunyi di─
"Nggak perlu repot-repot, Bu.... Juni?"
Langkah Juni yang kalang kabut terhenti. Ia buru-buru berbalik pada pria itu. Dari mana dia tahu? Tetapi seperti dapat membaca isi kepala Juni, pria itu tersenyum. Senyum yang mirip kucing itu! Dengan dagu, dia menunjuk tanda pengenal yang tersemat di dada Juni. Oh.
"Kanigara Juni. Bunga matahari bulan Juni, ya?"
Kemudian, dia mengulurkan tangan. Juni bahkan belum sempat benar-benar mencerna seluruh ucapannya.
"Kayaknya enggak adil kalau kamu belum tahu nama saya. Seven. Seven Abrisam."
"Seven?" Seven as in tujuh?
"Benar. Seven. Boleh panggil Mas Seven aja, soalnya kemaren kan kita sempat pacaran."
HAH?!!!!
***
Haaaiii gimana puasanya? Udah pada mudik? Kemana aja?
Btw, selamat Idul Fitri (in advance) ya bagi yang merayakan XD
Moga lebaran tahun ini penuh berkah, terus dapat banyak THR hehe. Dan, semoga kita dipertemukan lagi dengan Ramadhan dan Idul Fitri tahun berikutnya.
See you again~
PS: Perlu visual reveal nggak ya? Apa di IG aja.
Boleh tebak-tebakan dulu siapa coba visual Seven? Clue-nya rookie idol.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro