02. Choosy Date 🐱
[𝟶𝟸. 𝙲𝚑𝚘𝚘𝚜𝚢 𝙳𝚊𝚝𝚎]
🐱🐱🐱
"Juni, ini nenek. Kamu cepat pulang, ya. Nenek mau bawa kamu ke orang pinter kenalan Nenek. Kali ini syaratnya gampang, nggak harus mandi di kali, cukup mandi kembang tujuh rupa tiap jam 12 malam. Tahun ini kamu pasti cepat dapat jodoh!"
Pesan penuh ancaman itu berhasil membuat lutut Juni lemas. Terakhir dia dipaksa mandi di kali di dekat rumah nenek, besoknya dia langsung flu. Bukannya ketemu jodoh, malah ketemu tagihan berobat. Juni kapok. Mending dia mandi lumpur saja dan live di Toktok, dapat duit.
Jadi di sinilah dia sekarang. Juni mendongak menatap toko es krim di depannya. Sebuah toko dengan dominasi warna kuning dan warna cerah lainnya. Biasanya Juni akan senang sekali berkunjung ke sini, karena siapa sih, di dunia ini yang tidak suka es krim? Tetapi hari ini, ketika menyeka telapak tangannya yang berkeringat pada rok kotak-kotak selututnya, Juni sadar dia gugup bukan kepalang.
Seminggu yang lalu, setelah satu jam lebih mengobrak-abrik aplikasi MenU, ia menemukan pasangan yang bisa dikatakan cukup cocok. Namanya Budi, Mas Budi Juni kemudian memanggilnya karena ternyata pria itu lebih tua tiga tahun. Bekerja sebagai supervisor di sebuah perusahaan Jepang, katanya. Dari sejumlah chat yang mereka tukar, Mas Budi bercerita bahwa pekerjaannya sudah tergolong mapan, sudah mempunyai rumah pribadi di kawasan Pasar Minggu yang ia cicil sejak awal bekerja. Dan ... dia butuh pendamping lantaran mulai didesak orangtua, karena itu mereka bertemu dan berjodoh di aplikasi kencan tersebut.
Turns out, he wasn't as bad as what Juni expected. Pertemuan itu juga tidak seburuk skenario yang ada di kepalanya. Ketika Juni masuk, pria itu sudah ada di sana, memberikan lambaian singkat yang membuat Juni tidak perlu kebingungan mencari.
"Udah nunggu lama?"
"Enggak kok. Saya juga baru nyampe. Ini baru mau pesen. Kamu suka es krim rasa apa, Juni?"
"Apa, ya?" Juni menatap papan LED besar berisi varian menu yang terpampang di belakang konter. Ia ingin berlari ke sana, melongok varian es krim dari balik freezer sliding yang berbaris panjang lalu memilih sendiri scoop serta topping yang dia inginkan. Tetapi mengingat ini adalah kencan (dan pertama kali baginya) Juni memilih bersikap anggun dan menunjuk secara asal varian yang tersedia.
"Vanilla Zilla."
Mereka kemudian lanjut mengobrol usai Mas Budi kembali dengan membawa baki berisi dua cup es krim dan dua gelas minuman. Juni mengambil suapannya dengan pelan. Sejujurnya, es krimnya enak, tetapi ia tidak benar-benar dapat menikmatinya. Perutnya mulas akibat kegugupan yang sedari tadi melanda. Belum lagi kecanggungan yang jelas-jelas bertengger di udara. Juni bahkan tidak tahu harus mengatakan apa, harus bereaksi bagaimana atas setiap candaan pria itu yang ia tidak tahu dimana letak lucunya.
Payah.
"Sori, banyak gangguan. Ada-ada aja emang sebagai supervisor kerjaannya," kata pria itu, meletakkan kembali ponsel yang tadi ia gunakan untuk membalas pesan seseorang. Atensinya kembali terfokus pada Juni selagi ia berdeham. "Jadi, kamu kerjanya sebagai guru SD, ya?"
"Iya, hehe." Kemudian, setelah satu detik kebingungan bagaimana harus memperpanjang obrolan, Juni memutuskan bertanya dengan pikiran kosong. "Kalau Mas?"
"Loh, kan aku tadi bilang kerjaan aku supervisor. Gimana sih, kamu?"
"Oh, iya, iya. Sori."
"It's okay. Karena kamu cantik, saya maafin."
"Hah?"
Juni nyaris tersedak. Bukan hanya karena ucapan pria itu, tetapi cara dia menatap, dan lebih-lebih, tangannya yang tanpa permisi menggenggam tangan Juni di atas meja. Secara spontan, gadis itu menarik tangannya, lalu membuat alasan dari pemikiran pertama yang lewat di benak. Ia menunjuk ke arah pintu dengan cepat, eskpresi kaget tidak lupa terpasang di wajah.
"Itu cewek siapa, ya?"
"Hah? Siapa?" Mas Budi ikut menoleh dengan cepat, panik, hanya sedetik sebelum Juni menggeleng dan meringis dalam rangka permintaan maaf.
"Eh, bukan, deh. Salah orang."
"Oh. Kamu bikin kaget aja."
Suasana kembali canggung setelahnya. Juni tidak tahu harus berkata apa sehingga ia memilih menyibukkan diri memindahkan es krim dari gelas ke mulut. Tahu-tahu, ia merasakan tatapan intens yang tertuju padanya. Ia mengangkat wajah dan mendapati Mas Budi tengah menatapnya.
"Ada yang aneh ya di muka saya?"
"Enggak. Kamu cantik."
"Hah? Oh. I-iya, makasih. Kamu juga."
"Hah?"
"Hah?"
Aduh, Juni! Rasanya Juni ingin memukul kepalanya sendiri. Kamu juga?! Dia mengatakan pria berkumis di depannya ini juga cantik?! Halo?!
Juni menyengir. Dalam hati berdoa agar segera diselamatkan dari situasi aneh ini. Salahnya, tidak berdoa secara detail bagaimana cara dia diselamatkan. Karena saat itu juga, menyelamatnya datang dalam bentuk yang tidak Juni duga. Seorang wanita tahu-tahu saja sudah berjalan cepat ke arah mereka dan menarik kerah kemeja Mas Budi.
"OH, BAGUS, YA! KAMU! ISTRI CAPEK NGURUS ANAK KAMU SAMA CEWEK LAIN!"
Menyaksikan orang yang terciduk selingkuh oleh pasangannya memanglah epik. Tapi pernah tidak, kalian dilabrak istri sah?
Ini thread pertama gue, sori kalau masih berantakan. Ini gue nulisnya sambil gemeteran sumpah! Suami gue selingkuh! Sama guru SD pula! Mana mukanya planga-plongo. Utas itu lalu dibagikan dua ratus ribu kali, disukai tiga ratus lima puluh lima ribu dua ratus tujuh kali, trending nasional di antara tag-tag artis kpop dan pejabat politik, dijadikan meme dan Kanigara Juni mendadak menjadi nama yang dibicarakan satu Indonesia raya.
Anjir!
"TEGA YA KAMU, MAS? KAMU TEGA SAMA AKU?! SAMA ANAK KITA?!!"
Anjir! Anjir!
Kanigara Juni mematung, terutama ketika tatapan wanita itu yang berapi-api teralih ke arahnya. Ia kesulitan untuk mengeluarkan sepatah kata demi pembelaan diri, heck, dia bahkan masih kesulitan untuk mencerna apa yang sedang terjadi. Beberapa menit lalu, ia sedang menyantap es krim rasa cokelat dan stroberi dengan khidmat, bercanda-canda gugup dengan pria yang ia kenal lewat aplikasi kencan. Tidak ada yang aneh dengannya, tutur katanya baik, terlihat masih muda, katanya dia majaner salah satu perusahaan swasta, workaholic sehingga tidak sempat berkencan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Katanya sih, begitu. Dan yang lebih meyakinkan, tidak ada cincin di jarinya (entah kemana pria itu menyembunyikannya). Lalu tiba-tiba, rambut pendek yang hari ini dibuat bergelombang, yang ia susah payah bawa ke salon dengan merogoh sisa simpanan akhir bulannya, dijambak dengan semena-mena.
Fuck! Seharusnya ia tidak pernah menyetujui ide gila Shenna soal ikut-ikut kencan buta seperti ini. Tidak bahkan jika musuh abadinya harus mengolok-oloknya setahun penuh hanya karena dia jomlo, bukan, single by choice.
Untungnya, minuman beserta es krim yang masih setengah utuh di atas meja tidak melayang ke mukanya, atau belum. Juni meliriknya dengan waspada, semoga saja hal itu tidak sampai terjadi. Pertama, sayang rambut dan make-upnya. Kedua, sayang minumannya, minuman itu enak dan Juni belum habis meminumnya, enak saja!
Dalam hati, Juni merutuk. Hari ini pasti hari tersial di sepanjang sejarah kehidupannya. Karena, apa?! Apa kata wanita ini tadi?!
"Oh jadi kamu selingkuhan suami saya?! Nggak usah sok cantik deh kalau ngalis aja belum bisa! Masih bocil juga sok-sokan jadi pelakor! Heh Dora! Ngapain aja kamu sama suami saya, hah?!"
Selingkuh?! Selingkuhan?!
Sementara sang suami berusaha menyabar-nyabarkan sang istri yang mulai mengamuk, yang tentu menjadi tontonan semua orang, Juni memutar otaknya keras. Oh, tidak! Hancurlah reputasinya! Bagaimana kalau es krim stroberi tadi nemplok ke muka? Bagaimana kalau ia diviralkan?! Bagaimana kalau.... Juni ingin menangis, ingin bergulung-gulung di lantai saat itu juga. Jangankan jadi selingkuhan, jadi pacar orang saja dia belum pernah! Satu-satunya pengalamannya menjadi wanita simpanan adalah ketika Papa Samud membelikannya es krim dan mengatakan untuk menghabiskannya sebelum sampai di rumah agar tidak ketahuan Bunda Rindang.
Tapi ia tidak boleh menangis. Tidak sekarang. Menangis tidak akan menyelamatkan harga dirinya. Ia butuh berpikir. Ia harus berpikir! Ia harus melarikan diri dari situasi darurat ini. Seketika, alarm menyala nyaring di kepala Juni.
"Heh, kenapa kamu diam aja?! Saya tanya sudah ngapain aja sama suami saya?! Kamu kan yang ngechat kirim love love ke suami saya?!"
Pintu terbuka, seseorang masuk, membuat beberapa kepala menoleh. Termasuk Juni. Seorang laki-laki, perawakannya tinggi ramping. Menaksir dari pakaiannya, kemeja panjang hitam yang digulung sesiku, sepatu kets hitam-putih, topi bisbol dan masker hitam, pastilah umurnya tidak lebih dari tiga puluh.
Lalu ia, dengan kesadaran yang sedang tidak berada pada tempatnya, berujar.
"Maaf ya, Mbak kayaknya salah orang. Saya nggak kenal suami Mbak. Orang saya ke sini janjian sama pacar saya. Itu pacar orangnya!"
Seluruh gerak tubuhnya seperti robot. Ia berjalan begitu saja, menghampiri pria itu yang tengah berhenti di depan pintu untuk mengecek ponsel. Entah dia sedang janjian dengan seseorang atau bagaimana, Juni tidak memikirkannya, tidak sempat. Karena, entah dengan keberanian dari mana, dia menggamit lengan si pria, menggandengnya.
"Ini pacar saya sudah dateng."
Ketika pria itu menoleh, Juni baru tersadar. Tindakannya sudah amat sangat keliru. Juni bodoh! Bodoh banget! Bodoh!
Ia memejamkan mata, menunggu pria itu mempermalukannya lebih dalam dengan berkata, "Maaf, Mbak siapa, ya?"
Tetapi alih-alih, ia merasa ditarik. Telapak tangannya dengan mudah beristirahat di lekuk pinggang Juni. Ketika Juni menoleh karena kaget, pria itu menurunkan masker.
"Iya, maaf ya sayang nunggu lama," katanya, mencolek dagu Juni.
Iya. Dia. Mencolek. Dagu. Juni.
Juni terkesima.
Apa... apa-apaan ini?!
***
"Terus, lo gimana?"
Shua tergelak. Ia sepertinya justru merasa amat terhibur mendengar cerita Juni alih-alih sedikit saja menunjukkan rasa prihatin. Begitu juga dengan Sheya yang pasti juga akan berperilaku sama seandainya kencan butanya sendiri tidak berakhir plot twist.
Hari ini, Juni dan Shua datang ke tempat tinggal baru Sheya, sekalian membantu pindahan. Ekspektasi Juni, mereka akan sibuk membersihkan debu, mengepel, mencat ruangan dan menata barang-barang. Nyatanya tidak. Apartemen Sheya sudah tertata rapi dan tidak banyak lagi barang yang harus dibereskan. Jadi ia hanya duduk di sana bersama Sheya sembari menunggu Shua datang. Juni memberikan kado berupa set pisau, celemek lucu dan keset dapur bergambar kucing yang dipilihnya dengan sangat hati-hati. Juni pikir kadonya sudah menjadi yang paling istimewa, tetapi begitu mengetahui Shua membawa robot pembersih dan air purifier sebagai hadiah pindahan, ia segera menyepak kadonya ke kolong meja dapur.
Shua bercerita tentang hasil kencan butanya, yang kalau bisa sih, Juni ingin tukar tambah. Sumpah deh, rasanya tidak ada yang lebih buruk dari dilabrak istri orang dan dicap selingkuhan. Bahkan Juni ketika Juni mendengar cerita seru soal pertemuan Sheya. Ada tawa yang disemburkan Shua setelahnya. Juni sudah pasti akan ikut tertawa juga seandainya ia tidak ingat nasib apesnya sendiri, dilabrak istri orang sampai menggaet orang asing untuk jadi pacar sedetiknya. Akhirnya, yang bisa Juni lakukan hanya geleng-geleng. Pembicaraan mereka kemudian secara natural bergeser. Dari pria yang disebut Sheya Si Sakit Jiwa menjadi nama yang sial, lalu proses kelahiran Sheya dan Shena yang juga tidak kalah ribetnya.
"Ya nggak gimana-gimana," Juni mengangkat bahu, tangannya asik memainkan robot pembersih milik Sheya. "Habis itu cewek itu kan pergi nyeret suaminya. Dan ... gue kabur aja."
"Cowok itu gimana?"
"Cowok mana?"
"Pacar lo lah!"
"Anjir bukan pacar gue, ya!" Juni mencibir. Bagaimana bisa disebut pacar. Ia bahkan tidak begitu ingat wajah cowok yang ia tarik secara paksa demi menyelamatkan diri itu. Ia tidak tahu namanya, tidak tahu apa-apa tentangnya kecuali ....
Kecuali hidungnya yang lurus dan senyumnya yang ... secara lucu mengingatkan Juni pada majikan-majikannya. Dia terlihat seperti seekor kucing. Dan bukannya dia naksir.
Dia hanya .... Ingat. Begitu saja. Juni menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran yang tidak-tidak.
"Nggak tahu anjir! Gue langsung cabut! Malu banget. Moga nggak pernah ketemu lagi."
"Kalau ketemu lagi?"
"Nggak mungkin ketemu, lah! Jakarta luas! Sepuluh tahun ngefans aja gue belum pernah ketemu Dimas Lukman."
"Kalau ketemu lagi?" Shua bersikeras sehingga Juni menjulingkan mata.
"Nggak bakal! Potong poni gue sampai tinggal sesenti gue kalo ketemu dia lagi."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro