[14] Choosy Get-To-Know-You 🐱
Halo~ sebelum tahun berganti, izinkan saya menumpang update : )
Enjoy!
***
Juni berdiri di dekat jendela kaca besar di ruang tamu apartemen Seven. Sebenarnya, pemandangan gemerlap gedung-gedung dan jalanan dari lantai enam belas sangat memukau. Bahkan di saat sekarang, di antara kekacauan, Juni masih tetap terkesima. Pemandangan di sini berbeda sekali dengan kos sempit miliknya yang jendela kecilnya tidak berguna, tidak bisa dibuka karena rapat menghadap tembok rumah tetangga.
Dia lalu mendesah lelah. Ada dua masalah yang sekarang bercokol di kepalanya. Pertama, kapan dia bisa merasakan jadi orang kaya dan punya tempat tinggal senyaman ini. Kedua, dan ini yang utama, Apa yang ... baru saja terjadi di hidupnya?
Dalam kurun waktu kurang dari dua jam, semuanya terjadi. Para wartawan yang mengerubungi, kepanikan yang Juni rasa, lalu Seven, serta Kevan yang mengebut melewati jalanan yang masih cukup padat. Dan mereka kembali berakhir di sini. Di tempat yang, minggu lalu tidak pernah Juni bayangkan akan bisa dia datangi.
"Duduk dulu, Jun." Kevan datang dari arah dapur, membawa tiga kaleng cola dan dua botol air mineral. Ia meletakkan kesemuanya di atas meja lalu melambai pada Juni untuk mendekat. Seven duduk di sebelahnya, sibuk main game di ponsel.
"Kamu pasti kaget ya dikerubungin wartawan tadi?" tanyanya begitu pantat Juni menyentuh sofa yang, sumpah, empuk sekali.
"Belum seberapa itu. Belum pernah kan dikeroyok ibu-ibu?" Seven menimpali. Pertanyaannya terdengar sarkastik.
Juni melirik sedikit, dan membuat wajah terganggu. Benar dugaannya selama ini, artis memang beda, suka arogan. Kecuali Dimas Wisnu karena dia aslinya adalah definisi lampu hijau berjalan.
"Pokoknya tahan aja," Kevan mengabaikan ucapan Seven. "Ini cuma sementara kok. Sampai gossip-gosip reda dan publik diyakinkan dengan hubungan kalian. Setelah kontrak abis, kalian bisa umumin putus dan lo bisa menjalani hidup normal lagi."
Juni menyipitkan mata. Ada rasa tidak percaya dalam kepalanya tentang ucapan Kevan. Apa benar seseorang bisa menjalani hidup normal setelah terekspos media sedemikian rupa? Sebagian orang terutama mereka yang sempat mengenalkan tentu akan tetap penasaran, kan? Namun kembali lagi, Juni tidak punya pilihan. Tidak mungkin dia menjual ginjal demi bayar hutang, kan?
Jadi dia hanya mengangguk-angguk kalem.
Mungkin Kevan melihat kediaman itu hingga ia kembali menegur. "Lo pasti udah kecapekan, ya? Biar dianter pulang, ya?"
"Oh, oke."
Usai menenggak setengah botol cola dan berniat membawa sisanya pulang, Juni cepat-cepat berdiri, tidak sabar ingin cepat tiba di rumah dan melepas temu rindu dengan kasur dan kucing-kucing tersayang. Tetapi rupanya, Kevan tetap duduk santai di tempatnya. Justru dagunya dianggukkan pada Seven.
"Sev, anterin."
"Hah?" Ada jeda sejenak. Lalu Seven mengangkat wajah dari ponselnya, game yang ia mainkan terpaksa di-pause demi menatap Kevan tidak percaya. Seolah, pendengarannya baru saja membuat kesalahan. "Gue?"
"Iya. Anterin Juni sana. Udah malem, kasian."
"Kok gue?" "Kok dia?!"
Keduanya saling tatap, segera setelah protes yang mereka layangkan bersamaan.
Sementara Kevan hanya mengendik. "Lo pacarnya, inget? Masa gue? Ntar ketahuan settingan. Pokoknya, lo harus totalitas."
"Nope. Gue sibuk."
Tiga puluh menit kemudian, Juni menemukan dirinya berada di mobil pribadi Seven. Hanya ditemani senyap deru mesin dan klakson yang sesekali sayup terdengar dari luar. Sebenarnya, sekarang sudah tengah malam dan jalanan tidak lagi serapat jam-jam sebelumnya, meski masih cukup ramai. Selama lima belas menit pertama, mereka hanya diam, Seven fokus mengemudi dan Juni fokus menatap kelebat cahaya lampu di balik jendela. Musik tidak dinyalakan, sehingga suara-suara di kepala Juni terasa nyaring dalam telinganya.
Sepi banget jadi ngantuk.
Buset ini orang kok tahan banget nggak nyetel lagu? Kalau request lagi Ike Nurjannah dia marah nggak, ya? Kan pas aja sekarang bulannya lagi penuh. Bulan Merindu pas banget buat menemani.
Bayi-bayi sudah tidur belum, ya?
Aduh, laper lagi. Nanti sampe kos sebaiknya masak mi goreng pakai telor ceplok atau mi kuah telornya di─
Seven menjadi yang pertama memecah kesunyian.
"Tell me about you," katanya. Tiba-tiba. Leher Juni hampir kecengklek hanya karena dia menoleh begitu mendadak atas pertanyaan itu.
"Hah?"
Seven berdecaak. "Karena kita udah ada kontrak juga, why don't you tell me about yourself? Nanti misal ketemu wartawan, mereka nanya-nanya, kalo gue ngarang banget bisa ketahuan settingannya."
"Oh, iya, sih. Apa yang kamu mau tahu?"
"Basic. Makanan favorit?"
"Cingur!" kata Juni, setelah sedetik berpikir keras. Antara cingur dan sate usus adalah dua pilihan sulit. "Rujak cingur mantep banget!"
"Ew? Seriously?"
"Kok nadanya kayak jijik gitu, ya?"
"Emang. I hate it. Everything about beef."
"Nggak nanya," balas Juni pelan yang dihadiahi pelototan dari Seven. "Warna."
"Biru."
"Basic. Gue item."
"Singer?"
"Dimas Lukman!"
"Singer," Seven menekankan, nadanya terganggu. "Dimas itu aktor."
"Ih dia juga nyanyi, tahu! Ost film Kacang Merah?!"
"He just sang one song, and used so much autotune," komentar Seven lagi. Kentara sekali bahwa dia tidak menyukai Dimas. Dan itu membuat Juni amat sangat jengkel. Karena, kok bisa di dunia ini ada orang yang tidak suka cowok sebaik Dimas?!
"Suaranya bagus, oke? Daripada kamu? Cuma bisa komentar!"
"I had two albums of songs dan lagi proses rekaman yang ketiga?!"
Juni diam saja. Percuma berdebat dengan Seven. Membuang-buang energi saja!
"Alergi?" Seven bertanya lagi. Dan ketika Juni tidak juga menjawab, ia mengulanginya, sedikit lebih keras. "Alergi?"
"Nggak ada, I eat all. Oh, ada deng. Alergi tanggal tua."
Seven tertawa tertahan, "Keliatan dari mukanya."
"Maksudnya apa, ya?"
Tetapi, Seven hanya tersenyum dengan mata fokus ke jalanan. Juni menghela napas, menyadari bahwa keheningan akan kembali tercipta jika ia terlalu pasif dalam obrolan ini. Jadi dia inisiatif bertanya meski tidak begitu penasaran.
"Kalau kamu, ada alergi?"
Seven mengendikkan bahu. "Cari sendiri. Biar Google ada fungsinya."
"Dih, sok artis."
"Emang gue artis?!"
Setelah pertukaran beberapa informasi dan setelah memasuki area perumahan yang di jam-jam seperti ini hanya diramaikan oleh beberapa pria jaga malam di pos ronda, mereka akhirnya tiba di rumah Juni. Rumah itu masih gelap, luar dalam. Apa Jo lupa nyalain lampu? Juni mengecek ponselnya, ingin menghubungi Jo saat sadar ada pesan dari gadis itu yang belum terbaca.
Gue hari ini nggak pulang ya, mau nginep di rumah Oma. Sorry mendadak!
Duh, berarti keenam kurcaci belum dikasih makan?
Dengan panik gadis itu cepat-cepat membuka pintu, Seven tanpa dipersilakan mengekor di belakang sembari menggigiti sosis bakar yang tadi mereka beli saat mampir di minimarket.
Dalam sepersekian detik pintu terbuka, semuanya terjadi dengan cepat. Ekspektasi Juni, ia akan disambut meongan lapar dari kucing-kucingnya yang membuat mereka seperti barongsai. Realitanya, bukan Juni yang mereka songsong, melainkan Seven yang tengah menyantap sosisnya di ambang pintu. Mereka melompat-lompat di kakinya, berusaha memanjat tubuh Seven, terlalu tertarik dengan aroma makanan yang pria itu bawa.
Dan Seven, panik seketika. Ia terjatuh karena kaget, membuat keadaan menjadi lebih kacau karena kucing-kucing itu melompat ke perut dan dadanya. Dan Seven, seketika diserang rasa panik.
"Haciu!!! Kucing!" teriaknya di tengah ketidakberdayaan. "Gue alergi bulu kucing!"
***
Untungnya Juni berhasil menemukan antihistamin yang ia simpan di kotak obat, dan untungnya juga obat yang dulu dibeli Jo karena alergi cuaca dingin itu masih belum mencapai tanggal kadaluarsa. Juni mengambil satu lalu menuang segelas air dari dispenser dan mengetuk pintu kamar.
"Ini obatnya."
Pintu terbuka pelan, wajah Seven muncul sedikit (sangat sedikit) dari baliknya. "Kucingnya?" tanyanya was-was.
"Lagi sibuk makan di dapur. Tenang!" ujarnya, mengulurkan gelas dan obat untuk Seven.
Karena cowok itu yang langsung bersin-bersin parah, Juni dengan cepat memisahkan pergulatan antara Seven dengan kucing-kucingnya, lalu terpaksa mengungsikan pria itu masuk ke kamarnya. Juni hanya dapat berdoa semoga ia tidak menaruh celana dalam sembarangan tadi pagi. Akan sangat memalukan kalau dilihat Seven.
Seven menerima gelas dan obatnya, lalu membuka pintu sedikit lebih lebar, memastikan tidak ada kucing yang terlihat pandangannya.
"Banyak banget kucing lo. Lo bikin penangkaran hewan?!"
"Cuma enam, kok. Tadinya tujuh tapi si Grumpy sudah pergi lebih dulu." Kalau teringat Grumpy, anak kucingnya yang paling galak, Juni jadi sedih. Jadi dia menggeleng, menepis pemikiran itu. Dilihatnya Seven sudah selesai meneguk obatnya. Hidungnya masih merah tapi dia sudah tidak bersin-bersin lagi.
"Jadi kamu mau pulang sekarang?"
"Iya. Tapi ... jagain."
Lima menit berikutnya, Seven sudah siap dengan jaket, topi dan masker yang ketat membungkus wajah dan badan seperti sedang menyamar. Hanya karena ia tidak ingin bulu kucing terbang dan terhirup olehnya. Juni berdiri di dekat pintu yang telah terbuka, lengannya direntangkan lebar, siap menghalau kalau-kalau ada salah satu dari kucingnya yang menyerang Seven ketika pria itu lewat.
"Aman!" katanya, memberi kode.
Seven merapatkan maskernya, lalu .... Berlari, terbirit ke pintu hingga nyaris menabrak tiang. Di depan pintu itu, ia berhenti sejenak, menatap Juni.
"Gue balik dulu."
"Iya, makasih udah nganterin."
Setelahnya, tidak ada lagi pertukaran ucapan. Seven berbalik dan dengan cepat masuk ke mobilnya sementara Juni mengawasinya di depan pintu. Sedikit yang mereka tahu, lagi-lagi kilat kamera berhasil mengabadikan momen keduanya.
***
Please read this!
Halo, jadi i tried my best still to keep this story going. Sudah lama aku nggak nulis jadi rasanya masih sulit banget, kayak baru belajar nulis huhu :( Mohon maklum ya. Doain aja moga tahun depan aku bisa nulis dengan lancar jaya dan cerita ini bisa sampai tamat : )
Aku punya 2 pengumuman. Pertama, besok, di tahun baru aku mau bikin Choosy Clumsy tapi versi yang beda. Versi lebih lite dan lebih gila dikit. Juni dan Seven tapi pekerjaan, konflik dan ceritanya beda. Stay tune, ya. Boleh follow akun ini dulu? Jadi pas update ada notifnya, hehe.
Dan kedua, Choosy Clumsy akan segera ganti baju (cover) : ) jadi jangan pangling.
Dah gitu aja. Sampai jumpa tahun depan <3
PS: What's your 2024 wish? Tell me! (Me, bisa namatin banyak karya, minimal 3 buku hehe)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro