[11] Clumsy Tactics 🌻
Hi~ lama nggak ketemu.
Aku lama menghilang dikarenakan beberapa hal, tumpukan kerjaan dan masalah kesehatan, huhu. Sedih nggak bisa nulis.
But now I'm back! Mungkin tulisannya agak aneh karena lama nggak nulis. But hope you enjoy. And please cheer on me! XD
Enjoy~
Arah pukul dua. Sepuluh meter dari tempat persembunyian. Sebuah restoran dan kafe makanan Korea yang cukup hits di kalangan anak muda. Itu adalah tujuan mereka, seperti yang diinstruksikan Keyhan. Dan tiba-tiba, Juni merasakan tangannya mulai tremor.
Jadi, ini rencananya; Mereka akan berpura-pura sebagai pasangan dan harus diberitakan tanpa membuat pengumuman. Mereka harus membuat diri mereka seakan-akan tertangkap wartawan tanpa sengaja.
"Nih, pakai." Di mobil, Keyhan memberikannya topi dan masker hitam setengah jam yang lalu. "Kalian bersikap biasa aja, jangan gugup. Ceritanya kalian lagi mau ngedate biasa, makan di resto. Seolah-olah kayak nggak mau ketahuan, tapi usahakan ketahuan. Kamu bisa buka masker bentar," katanya pada Seven. "Jangan lupa mesra-mesraan dikit. Pegang tangan atau apa."
Mesra bapak lo! Dalam hati, Juni ingin mengumpat, namun ia terlalu gugup sekarang sampai-sampai ujung-ujung jemarinya terasa dingin. Sekarang sudah waktunya.
"Ayo," Seven berbisik. Gesturnya mengajak Juni untuk keluar sekarang dan memulai pertunjukan palsu mereka.
Tetapi Juni bukan aktor seperti Seven. Di detik-detik terakhir, ia menciut. Bagaimana kalau ia gagal bersikap normal dan mulai kesurupan?!
Namun terlambat untuk kabur. Karena Seven sudah beranjak dari tempatnya dan mulai berjalan menuju restoran tersebut. Meninggalkan Juni tanpa pilihan lain selain mengikuti. Ia mempercepat langkah-langkahnya yang pendek hingga dapat berjalan bersisian dengan Seven.
Seven membuka pintu dan menahannya. Dan selama momen itu, Juni terkesima. Pertama, ini Seven Abrisam. Pria yang sama yang siap mengganyangnya detik setelah ia tanpa sengaja menjatuhkan action figures koleksi pria itu, yang sekarang menahan pintu untuknya seperti seorang gentleman. Kedua, ada lebih banyak orang dari yang Juni duga.
Juni mulai membayangkan skenario terburuk di kepala. Jika tahu mereka berkencan, orang-orang akan mengerubunginya. Lalu wartawan, banyak wartawan datang untuk meliput, membidikkan jutaan cahaya kamera ke arahnya hingga hidup Juni terkepung, tidak dapat kemana-mana. Setidaknya, itulah yang ia saksikan di film-film. Dari belasan meja, hanya tiga yang kosong dengan dengung percakapan dan denting alat makan memenuhi ruangan.
Gawat! Kalau mereka semua adalah fans Seven .... ia bisa mati di tempat!
Dengan kaki yang sudah menjelma menjadi agar-agar, Juni mengumpulkan segenap kekuatannya dan .... berbalik. Lebih baik kabur saja! Sayangnya, Seven lebih dulu mencengkeram tangannya, membuatnya tidak dapat kemana-mana.
"Mau kemana?" bisik pria itu.
Juni memutar otak cepat. "Uh ... anu ... mau ke toilet!"
"Toiletnya di dalam, bukan di parkiran. Kita masuk dulu."
Dan begitu saja, Seven menggenggam (setengah menyeret) Juni masuk. Membuat Juni menyerah. Instingnya membuatnya berjalan lebih rapat di sisi Seven, berharap dapat menyembunyikan diri di balik jaket yang dikenakan Seven. Hanya agar ia merasa lebih aman.
"Biasa aja," bisik Seven, menyadari Juni menggenggam tangannya kelewat kencang dan bagaimana tubuh mungil itu seakan berusaha terlihat lebih mungil lagi, kalau bisa menghilang di dalam saku jaket Seven. Ia melepaskan genggaman, hanya untuk memperbaiki posisinya. Kini, jemarinya menyusup di antara celah jemari Juni. Dengan santai, ia melangkah ke salah satu meja kosong dan menarik kursi untuk Juni.
Biasa aja, katanya, dan Juni coba merapalkannya dalam hati. Biasa aja, bersikap biasa aja, biasa aja. Ia lalu nyaris jatuh terlentang saat akan duduk karena posisi pantat yang tidak pas dengan kursi.
Di depannya, Seven mendengkus dan menutup wajah dengan topi. Malu, sepertinya.
"Maaf," kata Juni lalu kembali duduk dengan benar.
Seorang pelayan datang ke meja mereka, membawa baki dan mengangsurkan buku menu kepada Juni dan Seven.
Biasa aja. Biasa aja.
Kentang goreng enak kayaknya.
Biasa aja! Jangan gugup.
Minumnya jus alpukat aja kali ya.
Biasa aja, Juni. Biasa aja.
"Malam. Silakan dipesan, Mbak, Mas."
"Alpukat goreng satu!"
Juni mengerjap. Seven mengerjap. Pelayan itu juga mengerjap.
"Anu ... maaf, kami nggak jual."
Juni meringis. Rasanya, ia ingin memukul kepalanya sekarang, tetapi hal itu pasti akan lebih memalukan.
"Spicy gochujang chicken satu, tangyusuk daging sapi satu, sama mul kimchi-nya." Akhirnya, Seven lah yang ambil alih pesanan. Setelah pelayan pergi barulah ia menurunkan maskernya sedikit.
"Kamu tuh menarik perhatian banget tahu, nggak?"
"Makasih."
"Itu bukan pujian!" Seven mendengkus. Sementara Juni bersungut-sungut.
"Ya udah. Ini sekarang gimana?"
Seven mengedarkan pandang ke sekitar, memastikan tidak ada yang tengah memperhatikan mereka atau gerak gerik aneh keduanya akan menggagalkan misi.
"Tunggu pelayan tadi balik," katanya. "Lalu kita buka masker senatural mungkin."
"Oke."
Senatural mungkin. Juni membayangkannya dalam kepala. Ketika pelayan datang menyajikan makanan, ia akan membuka masker pelan, melepasnya dari satu telinga ke telinga lain dengan cara yang anggun, ada sedikit angin yang menerpa rambutnya. Lalu, pelayan itu akan tercengang.
Ketika pelayan yang sama berjalan dengan baki di tangan, Juni menghitung mundur dalam hati. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja pelan, sedikit gugup. Dan sesaat, matanya bersitatap dengan Seven. Lalu, pria itu mengedipkan kedua matanya sedikit lebih lama dari seharusnya. Sekarang, seolah ia berkata.
Senatural mungkin. Juni melepaskan maskernya pelan, dari satu telinga ke─tetapi tersangkut dan membuatnya nyaris menumpahkan minuman yang baru ditaruh pelayan dalam upaya melepas masker. Membuat pelayan itu menatapnya seperti yang diharapkan, tetapi yang ia dapati bukan pandangan kagum melainkan tatapan sinis.
"Silakan menikmati!" katanya, lalu melengos pergi tanpa bahkan repot-repot melirik Seven. Padahal pria itu sudah menampakkan wajahnya. Sial!
Oke, setidaknya mereka masih dapat menarik perhatian orang sekitar. Di sekitar mereka kayak anak-anak muda. Pasti mereka tahu dan ngefans sama Seven. Kali ini pasti berhasil! Juni mengacungkan tinjunya di udara dengan kemantapan, sebelum menebalkan muka, menarik napas, dan ...
"Aaa lucuuu banget makanannya. Annyeonghaseyo, Ayang!"
Di depannya, Seven mengerutkan alis. "Annyeonghaseyo?"
"Iya. Selamat makan!"
Lalu, Juni mulai menyantap hidangan di depannya dengan sungguh-sungguh. Tidak peduli meski Seven memberinya tatap paling menghakimi.
"Mas-issge meog-eo," pria itu mengoreksi dalam desisan. Sebagai seseorang yang masih mempunyai sanak keluarga dari pihak ibu di Hongdae, Seoul, gadis sok tahu di depannya ini cukup membuat kesal.
Juni tidak mendengar. Ia sibuk memotong ayam yang berlumur saus gochujang di piringnya lalu menusuknya dengan garpu. Ketika ia mengangkat wajah, ia menyodorkan garpu itu ke dekat mulut Seven.
"Ayang, aaa~"
Ekspresinya sangat meyakinkan, sangat manja. Dan di situlah bagian menakutkannya. Hingga Seven tanpa sadar memundurkan tubuh hingga menabrak punggung kursi, namun Juni terus mendekatkan potongan ayam itu ke mulutnya.
"Ayo buka mulutnya, aaa~"
"Saya bisa sendiri," Seven mendesis.
Juni menggeleng-geleng imut dan menggembungkan pipi. "Nggak mau! Makan ini dulu, kalau enggak aku ngambek!"
Dengkus tidak percaya keluar dari mulut Seven. Bahkan Gabby saja tidak pernah menyuapinya begini. Dan apaan-apaan wajah itu?! Membuat kesal saja!
Ia melirik sekitar. Mungkin tidak terlalu buruk. Mungkin ia harus membiarkannya sekali ini saja. Maka dengan cepat, Seven menyambarnya. Juni tersenyum senang.
"Sekarang suapin!"
Seven nyaris mengerang. Ia hanya menyuruh Juni bersikap natural tapi gadis itu malah memilih naik level dan menjadi aktris. Ia menjulingkan mata tetapi tetap melakukan seperti yang Juni minta.
"A," katanya tidak ikhlas. Sehingga Juni mengerucutkan bibir lagi.
"Nggak mauuu. Panas. Tiupiiiin."
Seven membelalak, nyaris menolak, tetapi Juni memberinya kode mata dan Seven segera menyadari bahwa seorang gadis dari meja sebelah sedang memerhatikan mereka. Secara otomatis, Seven segera masuk ke permainan ini.
"Manja banget sih, kamu," katanya lembut, lalu mencubit pipi Juni gemas. Agak terlalu keras sehingga gadis itu nyaris mengaduh.
"Tiupin, Ayang~ Pake cinta~"
"Iya, iya, ini aku tiupin, ya. I love you~ I love you~" katanya sembari meniupkan udara setiap mengucapkan you.
Keduanya menyadari, setelah akting ini selesai, mereka perlu muntah ke toilet.
"Tunggu!" Gadis di meja sebelah tiba-tiba menginterupsi. Ia berdiri dari kursinya dan seketika jantung Juni berdebar. Ini saatnya.
Penyamaran yang bukan benar-benar penyamaran mereka akan terbongkar dalam ... tiga ... dua ...
Seven menurunkan topi dan memalingkan wajah, hanya agar lebih mencurigakan bahwa dia sedang berusaha menyembunyikan identitas.
Gadis itu berdiri di depan keduanya, lalu menunjuk rok putih Juni. "Itu .... sausnya tumpah-tumpah ke rok Mbak!" katanya, mematahkan ekspektasi Juni dan Seven dalam sekejap. Juni bahkan sampai menatapnya, menampakkan wajahnya agar gadis itu tahu ia siapa.
Tetapi gadis itu tidak menggubris. Ia menatap Juni sinis lalu berpaling. "Lain kali kalau mau suap-suapan nggak usah ke sini, deh. Norak banget."
Dan Seven menurunkan topinya lagi, jauh lebih dalam dari sebelumnya. Bahkan jika ia ingin orang-orang mengenalinya, tidak harus dalam situasi sememalukan ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro