[05] Clumsy Bravery 🌻
Happy Friday night~
How was your day? Your week?
Semoga Juni bisa bantu kamu refreshing, ya!
Malam sebelum pertemuan dengan dengan calon partner masing-masing yang ... bagi Juni cukup membuat perut kram karena tegang, ketiga sahabat itu melakukan group video call. Semacam gladi sebelum mereka memasuki medan perang besok. Juni, Shua, Sheya, minus Shena karena selain sibuk, dia juga tidak berencana punya kencan buta esoknya.
Saat itu sudah lewat jam sembilan malam. Juni baru tiba pukul delapan, mandi dan menyantap ayam geprek yang ia beli dalam perjalanan pulang. Keinginannya untuk meluruskan punggung jomponya yang sudah retak-retak setelah seharian bekerja terpaksa ditunda. Pertemuan ini lebih penting!
Juni hadir di pertemuan daring penting itu dengan mengenakan piyama bermotif buah-buahan. Shua sepertinya baru pulang dari klinik, karena ia masih tampil mengenakan pakaian luar, blus dan celana panjang, Juni bahkan dapat mencium aroma wangi parfumnya dari sambungan telpon. Sheya datang sedikit terlambat, ekspresi kusut di wajahnya menunjukkan lelah dan marah. Yah, wajah-wajah budak korporat yang sudah hidup segan mati tak mau.
"Sori telat. Biasa bos gue ngasih kerjaan tambahan di detik-detik jam kepulangan! Babi emang!"
Juni meringis, tahu sekali perasaan itu. Mungkin, di setiap kantor, akan selalu ada atasan yang doyan menindas. Mungkin, sudah dari pabriknya seperti itu. Karena ini, resolusi Juni tahun ini sederhana saja; agar bisa resign secepatnya. Yah, seandainya semudah itu, seandainya ia bisa hidup cukup dengan makan daun.
"Jadi gimana? Kalian udah siap buat besok?" Shua bertanya sembari menyeruput Java Chips-nya.
Besok Sabtu. Entah mengapa khusus kali ini weekdays terasa bergulir cepat. Tanpa terus besok sudah menjadi hari yang ditentukan. Hari yang memungkinkan Juni untuk melepas status jomlo, move on dari Dimas Lukman, dan mendapat gandengan ke pernikahan Karen. Setali tiga uang.
"Iya. Gue rencananya bakal ketemuan di ice cream shop yang samping Blooming Town itu. Sundays. Belum pernah nyoba sih, tapi dari review di Google katanya enak, ada promo juga besok, hehe. Sheya lo di kafe sampingnya itu kan?"
"Hooh," Sheya mengangguk-angguk lesu. Juni jadi bertanya-tanya apakah sebagian jiwanya masih tergadai di kantor. "Bloomington, pernah mampir sekali, waffle-nya enak. Jam berapa kalian janjiannya?"
"Sore aja sih, kayaknya. Jam 5-an lah. Biar nggak panas-panas banget, dan masih cukup siang buat ngeliatin muka calon pasangan kita dengan jelas. Nggak lucu kan pas diajak ke kawinan Karen nanti mukanya penuh ketombe?" Juni mengusulkan. Ia sudah berniat ingin membawa calon yang lebih oke dan lebih montok dari Gilang, supaya si Karen Icha Maricha itu kesurupan karena iri.
"Setuju!" Shua langsung mengangguk. "Eh tapi gue ... ah, lupain," katanya, mengibaskan tangan.
"Apasi, gaje!" Juni mencibir. "Belum makan lo, ya? Coba umroh dulu sana."
Shua hanya menyengir sementara Sheya mengerutkan alisnya dalam. Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Hingga akhirnya, ia mengutarakannya.
"Gue gugup deh. Gimana kalo mereka orang jahat? Kalian pernah denger, kan di berita-berita? Niat ketemuan, malah dirampok, dibunuh." Sampai situ, Juni merinding. Baru terpikir olehnya. Iya juga, ya? "Kalau kita kenapa-napa gimana?!"
"Tenang, tenang." Shua mengangkat tangannya di udara. "Ini kan kita sebelahan-sebelahan aja ketemuannya. Kalau ada apa-apa, misal ternyata calon pasangan kita itu rampok atau apa, segera kirim kode SOS."
"Apaan kodenya?"
"Run."
"Hah?"
"Kalo ada apa-apa lo lari aja soalnya gue juga belum tentu berani!"
***
Pada hari yang ditentukan, Juni cukup kelimpungan mengacak isi lemarinya. Ia cukup dibuat bingung harus memakai yang mana. Penyebabnya satu; kenapa jumlah piyama lucu di lemarinya jauh melebihi jumlah pakaian yang bisa ia gunakan untuk jalan-jalan?! Ini tidak benar! Ini sangat mengindikasikan betapa Juni kurang pergaulan. Kalau bukan untuk membawa kucing-kucingnya ke vet, atau menemani Jo, atau pertemuan dengan tiga teman kecilnya, Juni hampir tidak pernah meninggalkan rumah selain untuk bekerja.
Ia harus mengakhiri ini segera. Ia harus berkencan. Walaupun ... yah, ide tentang berkencan membuat perutnya bergejolak tidak nyaman.
Akhirnya, Juni memilih satu jalan keluar untuk masalah baju. Ia memanggil keenam peliharaannya masuk, menjejerkan mereka di sepanjang sisi kasur. Happy, Sleepy, Doc, Dopey, Sneezy dan Bashful menurut, duduk berjejer menatap Juni sambil sesekali menjilati kaki.
"Menurut kalian lebih bagus yang mana?"
Juni merentangkan sebuah sweter ungu pastel di satu tangan dan blus sifon berwarna kuning di tangan lain. Pertama-tama, ia menyodorkan sweater itu. "Ini?"
Ada dua suara dari Bashful dan Happy. Lalu, Juni menyodorkan yang kuning. Ia mendapat suara dari Sneezy, Doc dan Dopey, Sleepy diam saja. Dua lawan tiga, pemenangnya sudah jelas. Juni yang saat itu hanya memakai tanktop baru berusaha mengangkat tangannya pada blus ketika ia mendengar bunyi sesuatu yang robek. Baju itu. Ia telah merobek bagian ketiaknya karena terburu-buru.
Kutu kucing!
Diam-diam Juni merutuk diri lagi. Ia menyalahkan tangannya yang suka ceroboh. Tangan terkutuk! Terpaksa, Juni tidak punya pilihan lain. Ia menyimpan kembali blusnya dan memilih rok tartan kuningnya untuk dipadukan dengan sweter tadi. Sebuah jaket denim dengan sulaman di dada menyempurnakan outfit-nya hari itu. Lalu ia juga pergi ke kamar Jo untuk meminjam baret berwarna senada bajunya. Dan terakhir, Juni memilih sepatu. Sebuah ankle boot hitam berhak rendah yang membuatnya merasa lebih aman bergerak tapi juga meningkatkan kepercayaan diri dengan membuatnya sedikit lebih tinggi.
Sebagai sentuhan akhir, Juni menatap dirinya di cermin. Moodnya sudah membaik sejak insiden baju. Penampilannya tampak sempurna. Caranya berpakaian persis seperti dirinya. Ceria, begitu Juni harus mendeskripsikan diri. Sesuai namanya, Kanigara Juni. Kanigara, yang artinya bunga matahari. Dan Juni ...
Karena kamu sehangat matahari bulan Juni, kata Papanya waktu itu. Meski nyatanya ia lahir bulan Februari. Sebenarnya, Juni tidak sepenuhnya percaya. Ia tahu pasti rahasia menyebalkan dibalik namanya itu.
Juni menggeleng, tidak ada waktu untuk memikirkan filosofi nama. Hari ini, kepercayaan dirinya meningkat dua kali lipat. Mas Budi pasti akan terpesona.
***
Hujan turun sebelum Juni meninggalkan apartemen, sekitar pukul setengah empat. Seharusnya Juni memesan taksi daring. Tetapi sekarang Sabtu, dan sore. Juni benci terkurung dalam mobil ber-AC, terutama yang menggunakan pengharum mobil aroma jeruk, itu mimpi buruk! Ditambah, ia tidak bisa membayangkan semacet apa jalanan sekarang.
Setelah mengatakan dia akan sedikit terlambat, hujan dengan cepat reda secepat datangnya. Juni memutuskan memakai jasa ojek online, yang datang lima belas menit kemudian. Tidak tahu, bahwa keputusannya kali ini salah, bahwa bencana akan datang sebentar lagi.
"Bawanya hati-hati ya, Mang!" katanya pada mamang ojek berjaket hijau yang terlihat berusia lima puluhan tersebut, sembari menurunkan roknya agar menutupi kedua lutut.
Seperti yang Juni harapkan, ojeknya pergi dengan hati-hati. Tidak ngebut, menyalip dengan penuh pertimbangan, dan yang paling penting, melambatkan laju motor saat melewati genangan air. Beberapa ruas jalan selalu tergenang air setelah hujan turun, meski hanya sebentar.
Dan ... bencana itu terjadi. Di saat Juni sudah berpesan untuk hati-hati, di saat mamang ojek yang tidak berdosa sudah memenuhi permintaan itu, sebuah Chevrolet Camaro meluncur seenak jidat, menciprati Juni hingga hampir seluruh badan.
Untuk sesaat, Juni terkesima. Lalu saat otaknya berhasil memproses kejadian itu, sel-selnya bereaksi cepat. Rasa marah perlahan naik ke ubun-ubun. Dia sudah menghabiskan dua jam untuk merias diri! Sekarang semuanya sia-sia?! Kurang ajar!
"WOI!!!" Ia berteriak! Tetapi mobil itu hanya meluncur, memanfaatkan beberapa sedikit kekosongan di depannya untuk melewati mobil di depan. Kepala Juni rasanya terbakar.
Ia menepuk pundak mamang ojol itu, memintanya berhenti.
"Mang! Biar saya aja yang bawa!"
Beberapa menit berikutnya, klakson berkumandang nyaris tanpa jeda, Juni menekannya dengan penuh emosi sementara mamang ojol melingkarkan lengan di pinggangnya lantaran Juni mengebut, berusaha mengejar mobil tadi. Tidak sulit untuk membuntutinya, mobil itu berwarna kuning cerah dengan nomor polisi yang jelas tampak dibayar ekstra agar mendapatkannya. B 53 V.
Juni terus mengklakson dan mengklakson, menyejajarkan motornya dengan mobil itu hingga berteriak-teriak ke kaca jendela. Tapi mungkin pengendara di balik mobil itu memang sungguh luar biasa bebal hingga ia tidak mau berhenti.
Sampai ketika mobil berbelok pada jalan yang lebih sempit, Juni menggunakan kesempatan itu untuk menghadang jalannya, memaksa Chevrolet Camaro itu untuk berhenti. Dan ia memang berhenti.
Juni turun untuk menggedor kacanya, dan menemukan pengemudi mobil adalah seorang pria, dengan kaca mata hitam menutupi hampir separuh wajahnya. Sok artis, pikir Juni. Ngapain dalam mobil sendiri pakai kaca mata hitam? Kayak artis aja!
"Kamu sudah bikin saya basah!" tudingnya seketika, emosinya masih membara.
"Sorry, saya buru-buru." Begitu responnya.
Sekali lagi, Juni berusaha menanamkan jawaban itu di kepala. Hanya itu responsnya? HANYA ITU? DIMANA KATA MAAF YANG TULUS?!
"Saya juga buru-buru!"
Ekspresi pria itu tidak terbaca, tetapi Juni dengan jelas melihat dia mengendikkan bahu saat menatap Juni yang sebelah badannya basah. "Cuma air, kan? Nanti juga kering." Ia mengeluarkan dompet, tetapi Juni segera memotongnya.
"CUMA AIR?"
Cuma air, katanya? Cuma air? Air bekas ban seribu kendaraan yang mungkin telah menggilas eek kucing di suatu tempat, dan mungkin juga pipis orang gila. Juni menatap jaket denimnya. Sebagian berwarna biru cerah dan sebagian lain lebih gelap. Jaketnya kotor dan ia tidak bisa memakainya lagi. Dengan sebal, ia melepas jaket itu, menitipkannya pada mamang gojek dan menggulung lengan sweter.
Sebuah bekas kaleng teronggok di depan ruko di belakangnya. Juni mengambil benda itu, lalu dengannya meraup genangan air terdekat.
"CUMA AIR, KAN?!"
Tadinya Juni hanya ingin menggertak. Tadinya ia hanya ingin menyipratkan sedikit air pada pria tidak tahu diri itu. Tetapi emosi terlalu mengambil alih dan tangannya adalah jenis tangan yang tidak bisa diajak bekerja sama. Juni menumpahkan air setengah kaleng cat itu ke dalam mobil, mengguyur orang itu beserta mobil-mobilnya.
"THE HELL YOURE DOING?!" Pria itu terkesiap.
"Cuma air, kan? Nanti juga kering!"
Saat berlalu, Juni mengibaskan rambutnya. Berpikir, wah, keren banget lo, Kanigara Juni!
Tidak pernah berpikir, dia akan menyesal di kemudian hari.
***
"Kamu salah orang."
"─vorite."
Juni mengerjap. Ia menatap pria di depannya dan es krim di tangannya secara bergantian.
Apa katanya tadi? Salah ... orang?
Matanya dengan cepat memindai pria itu. Baju putih, celana jins hitam, topi hitam. Cocok. Juni pun mengeluarkan ponsel untuk mengecek ulang. Saat itulah, dia menyadari, ada pesan baru yang masuk.
Budi
Maaf banget, ya. Saya kayaknya nggak jadi ketemuan sama kamu.
Mantan pacar saya ngajak balikan.
Dan nggak bohong saya masih sayang sama dia.
Maaf ya.
Kutu Kucing! Juni membekap mulutnya, terkejut.
Dan lebih terkejut lagi ketika pria di depannya melepas topi dan menurunkan masker. Wajah itu familiar. Wajah itu ...
PRIA YANG IA SIRAM TADI!!!
Kepanikan yang berujung pada kesialan lain. Karena detik itu, Juni yang melompat berdiri karena kaget tanpa sengaja membuat es krim ditangannya terlempar jatuh. Ke kemaja pria di depannya.
Apa tidak ada hal yang lebih sial lagi? Juni membatin. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Ia sudah menyiram pria itu sekali, lalu menyiramnya kembali dengan es krim, Juni tidak perlu meneliti kedut di bibir pria itu untuk tahu semarah apa dia sekarang.
Ternyata, kesialan masih belum berakhir.
"Maaf, maaf! Saya nggak sengaja!" Juni mengambil tisu dan terburu-buru berusaha menyeka kemeja pria itu, hanya untuk hampir tersandung dan menumpahkan minuman di atas meja, tepat ke celana pria itu.
Juni semakin terkesiap.
Sudah jatuh, tertimpa tangga, tertimpa genteng pula!
"Kamu yang nyiram saya tadi, kan?" Bibir pria itu berkedut-kedut, matanya menyipit, dan Juni bersumpah ia melihat asap keluar dari telinga pria itu.
Pria yang ... familiar. Dimana ia pernah melihatnya?
"Kamu tahu kerugian yang kamu akibatkan?" Suaranya rendah, penuh kemarahan. "Saya ... jangan harap kamu bisa lepas dari saya!"
***
I once almost done what Juni did 😅
Tapi gak berhasil nyetop mobilnya.
Anyhoooo. I hope you like this chapter. See you again soon!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro