
BAB 5 "Pemeran Utama"
Kedua kaki jenjangnya berjalan menyusuri lorong sekolah. Layaknya pemeran utama dalam sebuah film, semua tatapan para murid SMA Cendekia tertuju padanya. Sepertinya, kabar burung tentang kejadian kemarin mengenai dirinya dan Ofi di lorong sekolah sudah menyebar luas.
'Seorang murid teladan kelas 11 IPA 1 ditampar murid baru' pemberitaan tersebut menjadi topik hangat murid SMA Cendekia kali ini. Odit sudah menduga akan seperti ini, karena itu pura-pura tidak peduli adalah jalan keluar terbaik.
Odit menghela napasnya. "Dit."
Rangkulan tangan di bahunya membuat cowok berpakaian rapi itu menolehkan kepala.
"Kayaknya, gue juga bakal jadi bahan tatapan anak-anak kalo jalan samping lo," ujar Farhan dengan nada bercanda.
Odit terkekeh tanpa berniat membalas. Beruntunglah ada Farhan yang datang menghampiri, Odit tidak perlu lagi merasa jadi pusat perhatian murid-murid lain karena fokusnya kini beralih sejak Farhan datang dan mengajaknya berbincang selama perjalanan.
Di waktu yang sama, apa yang dirasakan Odit juga terjadi pada Ofi. Di mana para murid SMA Cendekia menatapnya dengan sorot tidak suka dan penuh tanya. Sebagian dari mereka mulai bisik-bisik dan yang lainnya hanya menatapnya dalam diam.
"Eh, itu dia, kan?"
"Baru berapa minggu, sih? Udah berani banget kelakuannya."
"Emang, ada hubungan apa dia sama Odit?"
Sayup-sayup terdengar pembicaraan murid yang berlalu lalang melewati Ofi. Tidak ingin kembali seperti dirinya di masa lalu, Ofi berusaha tidak peduli dan mencoba tenang untuk menghadapi.
"Nggak usah didengerin, maklum, anak-anak sini emang suka julid." Etha yang berjalan di sampingnya menutup kedua telinga Ofi dengan tangannya.
"Sabar Fi, nanti anak-anak juga lupa," sahut Dinda yang juga berjalan bersisian dengannya.
Ofi tersenyum. "Iya, tenang aja."
Mendengar jawabannya, membuat Dinda menepuk pelan bahu Ofi secara berkala. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju kelas tanpa menghiraukan tatapan penghuni SMA Cendekia.
Dia kira ketiga gadis itu juga akan menjahuinya karena kejadian kemarin, tapi ternyata mereka bertiga tetap ada di samping Ofi. Terlalu berpikiran negatif membuatnya tidak sadar, bahwa masih banyak orang baik di sekelilingnya kini.
***
Menghabiskan waktu istirahat dengan membaca novel di kelas ditemani camilan yang dia bawa dari rumah adalah pilihan Ofi saat ini. Etha dan Lia juga ada di sana, asik dengan hp di tangan mereka masing-masing sembari menikmati camilan yang beberapa menit lalu mereka beli dari kantin.
"Tapi Fi, em ... sorry, sebelumnya ...." Dari Etha yang tiba-tiba membuka suara, membuat Ofi menghentikan kegiatannya.
"Emangnya, lo ada hubungan apa sama Odit?" tanya Etha hati-hati.
Melihat Ofi yang tak kunjung menjawab pertanyaannya, membuat Etha merasa tak enak menanyakan hal yang mungkin sepantasnya tidak perlu ditanyakan.
"Kalo lo keberatan buat jawab, nggak usah dijawab deh, Fi. Sorry," ujar Etha dengan senyuman masam, merasa tidak enak sendiri.
"Emm ... anggap aja, Odit kemarin lagi minta kenalan sama Ofi, tapi Ofi nolak." Seolah tahu situasi yang berubah canggung, Lia berusaha keras memutar otak mengembalikan suasana seperti semula.
Gadis berambut pendek itu terkekeh garing, "Iya, kan, Fi? Pasti iya."
Etha menatap Lia yang saat itu tengah melemparkan kode melalui matanya. Sadar akan hal itu, Etha pun tertawa seperti yang dilakukan oleh Lia.
"Oh iya, bisa juga ya. Kenapa gue nggak kepikiran sampe situ" Balas Etha.
Ofi tersenyum masam. Sementara Etha melotot kesal pada Lia karena merasa alasan yang dibuatnya itu jauh sekali dari kata masuk akal.
Suasana pun mulai mencair walaupun Ofi belum sepenuhnya lupa dengan pertanyaan yang dilontarkan Etha tadi. Ingin rasanya dia menjawab, tapi Ofi tidak ingin teman-temannya tahu ceritanya di masa lalu.
"Gue, ke toilet bentar, ya." Ofi menutup novelnya dan berdiri dari kursi.
"Oke Fi, perlu gue antar nggak?" tanya Lia.
Ofi menggeleng, "Enggak usah, cuma bentar kok." Setelah mendapat anggukan dari Lia, gadis berwajah bulat itu pun berlalu pergi.
***
"Nanti coba diskusi sama yang lain," ujar Dinda pada cowok berperawakan rapi yang berjalan di sampingnya.
Cowok itu mengangguk "Oke, kalo yang lain setuju, satu anak kumpulin lima soal dari buku referensi masing-masing."
"Mereka bakalan setuju aja, sih."
Dinda dan Odit kini bergerak menuju ke perpustakaan. Olimpiade Fisika yang semakin dekat membuat mereka harus rajin mengikuti bimbingan dari Pak Syamsul. Perwakilan dari SMA Cendekia bahkan terlihat kompak mencari soal-soal Fisika sebagai bahan untuk latihan. Pak Syamsul selaku pembimbing olimpiade memang tidak salah memilih murid untuk diajukan sebagai peserta.
"Ofi," sapa Dinda saat melihat Ofi berjalan seorang diri di koridor.
"Mau kemana?"
Ofi menghentikan langkahnya, tersenyum ke arah Dinda sebelum akhirnya pandangannya mengarah pada Odit yang berdiri di sampingnya.
"Ke toilet."
Dinda menganggukkan kepalanya beberapa kali. Sudut mata Ofi tak bisa berhenti mengarah pada Odit yang saat ini menatapnya dalam diam, gadis itu tidak bisa dengan jelas melihat ekspersi Odit karena memang, dia berusaha agar tidak terlihat jelas jika dirinya mencuri pandang.
"Emm ... kalo gitu gue duluan ya, Fi. Mau ke perpustakaan buat bimbingan," ujar Dinda.
Ofi mengangguk, "Iya."
Dinda tersenyum kepada Ofi untuk terakhir kali sebelum mengajak Odit pergi. Hingga tatapan Odit dan Ofi akhirnya bertemu sebelum keduanya sama-sama berjalan ke arah yang berlawanan.
Setelah jarak mereka terpaut cukup jauh, Odit menyempatkan menatap ke belakang. Sementara itu, Ofi terus berjalan dengan fokusnya pada jalanan depan.
Pikirannya kemana-mana memikiran Ofi yang sedari hari lalu membuatnya tak menentu, Ofi sendiri merasa tidak perlu mengucapkan permintaan maaf pada Odit yang memang pantas mendapatkan hal itu.
Fokus dengan langkahnya menuju ke toilet, Ofi bahkan sampai tidak sadar ada anak dari arah depan tengah berjalan cepat mengarah ke ujung lorong. Jika saja keduanya sampai di waktu yang bersamaan di sana, pasti akan terjadi hal yang membuat mereka merasa dirugikan.
"BRUK!!"
Benar saja, Ofi terjatuh dengan baju basah karena jus yang tidak sengaja tumpah dan mengotorinya.
"Yah, jus gue."
"Aduh ...."
Satu orang menatap sedih melihat nasib jus-nya yang tumpah di lantai dan Ofi merasa sakit karena pantatnya menyentuh lantai cukup keras.
"Sorry, gue nggak bermaksud."
Ofi perlahan mendongak dengan bibir bergetar karena menahan rasa sakit di pantatnya. Tangannya bergerak mengelus bagian yang terasa nyeri.
Terlihat siluet cowok yang berdiri di hadapannya dengan tangannya yang menjulur berniat menolong. Ofi tak bisa melihat jelas wajahnya, karena dari posisinya sekarang, silaunya matahari menutupi wajah cowok tersebut.
Cukup lama Ofi membiarkan tangan cowok itu menggantung dan tidak kunjung Ofi terima. Gadis itu seolah membeku dan hanya bisa menatapnya tanpa berkata.
CONTINUE...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro