
Bab 22 "Berbagi Luka"
"Acara majalah yang katanya di luar, jadi berangkat kapan, Han?" tanya Odit yang duduk di samping Farhan.
Duduk di kursi depan kelas sembari menatap murid-murid yang berlalu lalang. Menghabiskan waktu membicarakan banyak hal sebelum bel masuk berbunyi.
Farhan menoleh, tersenyum lebar. "Besok."
"Excited banget, tumben?" Odit mengenyitkan dahi.
"Iya, dong." Farhan kembali tersenyum hingga mata sipitnya juga ikut.
Odit mengeduskan tawanya. Baru saja mulutnya terbuka ingin membalas Farhan, tapi tiba-tiba saja Dinda datang membuat Odit dan Farhan mengalihkan perhatian.
"Ada apa, Din?" tanya Odit.
"Ee ... buat lo, nasi goreng. Gue buatnya kebanyakan, mmm ... lo bagi berdua deh, sama Farhan," ucap Dinda ragu-ragu.
Farhan tersenyum lebar, lalu mengarahkan pandangan jahilnya pada Odit. "Wah, makasih banget loh, Din. Tapi gue masih kenyang, buat Odit semua aja, deh." Kerlingan jahil terlihat jelas di matanya.
"Oh, mau kan, Dit?" tanya Dinda, menggigit bibir dalamnya berharap cowok itu menerima.
Odit terdiam sejenak, sebelum menganggukkan kepalanya. "Mau." Cowok itu tersenyum.
Dinda dengan senang hati menyerahkan kotak bekalnya pada Odit. "Gue nggak tahu, enak apa enggak, belum sempat nyoba tadi."
"Semoga aja enak," lanjutnya.
Odit tersenyum. "Makasih, Din."
"Kalo gitu gue ke kelas, ya." Pamit gadis berkacamata itu. Namun, sebelum langkahnya benar-benar membawanya kembali ke kelas, Farhan lebih dulu menahannya.
"Sini aja, temenin Odit makan nasi gorengnya," ujar Farhan, mengedipkan sebelah matanya ke arah Odit yang saat ini melotot ke arahnya.
Farhan berdiri, mempersilakan Dinda duduk di tempatnya. "Duduk sini, gue permisi dulu ada urusan sama anak-anak majalah," alibinya.
"Dit, pergi dulu, ya." Pamit Farhan, dari sinyal matanya terlihat jelas bahwa cowok itu tengah menggoda Odit.
Odit hanya bisa merutuk menyumpahi teman sebangkunya itu. Lantas menatap Dinda dan tersenyum. Dari kejauhan Odit bisa melihat Farhan yang tertawa puas karena berhasil menjahilinya. Dasar teman laknat!
***
Ofi menyerahkan helm pada Odit setelah turun dari motor. Kali ini, dia berangkat plus diantar pulang oleh cowok itu. Sudah berapa kali Ofi melontarkan kalimat penolakan saat Odit memintanya untuk pulang bersama, tapi Odit bersikeras memaksanya. 'Berangkat bareng, berarti pulangnya juga harus bareng', katanya.
"Sama-sama," ujar Odit di atas motor seraya tersenyum.
Ofi mendesis, menatap Odit jutek. "Makasih."
Odit terkekeh pelan menatap Ofi yang selalu tak acuh padanya. Hingga hening kembali hadir di antara mereka saat keduanya hanya saling diam.
Ofi melirik Odit. "Mau minum teh, nggak?"
Odit diam menatap gadis berwajah bulat itu, tak kunjung menjawab karena saking tak percayanya.
"Nggak mau ya udah, nggak rugi juga gue," ucap Ofi sebelum akhirnya membalikkan tubuhnya menuju ke rumah.
"Mau," jawab Odit cepat, membuat Ofi membalikkan badan menatap ke arahnya.
"Gue mau kok," ujar cowok itu sekali lagi.
Ofi tak berkata apa-apa lagi, gadis itu berjalan lebih dulu ke dalam rumah. Sementara Odit menyusul di belakangnya, membawa motornya ke dalam supaya aman.
"Kenapa nggak masuk?" Ofi mengernyit menatap Odit yang masih berdiri di ambang pintu.
"Kenapa sepi banget?" matanya menjelajah menatap setiap sudut rumah Ofi, sebelum akhirnya tatapannnya jatuh pada Ofi yang kini menatapnya.
"Mama belum pulang. Kenapa?"
"Ee ... kalo gitu di luar aja ya."
Ofi mengernyit, sebelum akhirnya menggedikkan bahunya. "Ya udah, gue buatin tehnya dulu."
Setelah kepergian Ofi, cowok itu memilih duduk di kursi rotan teras rumah. Puluhan menit berlalu, akhirnya Ofi kembali membawa dua teh hangat pada nampan yang dibawanya.
Odit tersenyum, lalu menyeruput teh buatan Ofi. "Manis."
"Iya lah, namanya juga teh."
"Kirain bakal pait." Odit terkekeh.
Ofi memutar bola matanya. "Gue masih punya hati kali."
"Kalo punya hati, mau dong, maafin gue?"
Ofi diam, tak menjawab.
Odit terkekeh. "Lo gampang banget ramah sama orang lain, tapi giliran sama gue, dingin."
Keduanya terdiam, cukup lama saat Odit sibuk menatap halaman rumah. "Bunga mataharinya, kenapa layu?"
Ofi mengikuti mata Odit memandang bunga matahari di halaman rumahnya. "Nggak ada waktu buat rawat."
Kembali keduanya diam, saling bertarung dengan hal di kepala masing-masing. Sebelum akhirnya Odit melontarkan sebuah pertanyaan.
Menggeser posisinya sedikit menghadap ke Ofi yang duduk di sampingnya. "Mmm ... kenapa suka bunga matahari?"
Ofi mengenduskan tawanya. "Harus banget pakai alasan ya? Bukannya puncak dari menyukai sesuatu itu, ya ... menyukai tanpa alasan?"
Odit terkekeh, lalu mengangguk setuju.
Lama Ofi terdiam, seraya menatap bunga matahari yang ada di halaman rumahnya. "Bisa nggak sih, bunganya balik subur lagi?"
Nyaris saja Odit tertawa mendengar pertanyaan yang menurutnya tak masuk akal itu. "Kalo layunya kering kayak gitu, ya nggak bisa, Fi."
"Kalo gitu, sama dong, kayak hidup gue?" Ofi menatap Odit. "Nggak bisa balik bahagia, sama kayak bunga itu."
Odit menatap Ofi yang duduk di sampingnya, tak tahu harus mengucapkan apa.
"Tapi Fi. Lo tahu kan, hidup nggak bakal selamanya tentang kesedihan?" ujar Odit tiba-tiba, setelah sedari tadi mengatupkan bibirnya.
"Tuhan nggak bakal biarin umatnya terusan-terusan terpuruk," lanjutnya.
Odit memberi jeda, sebelum akhirnya kembali bersuara. "Bahagia itu ... sederhana, Fi dan hanya kita sendiri yang mampu menciptakannya. Kalo diri sendiri aja nggak ada upaya, ya ... kapan bahagia bisa datang, ya nggak?"
"Sesekali boleh lah ingat masa lalu yang penuh kesedihan, tapi ya jangan biarin itu mengganggu dan buat lo terus-terusan merana."
Ofi terdiam, lurus menatap Odit.
Odit tersenyum, membalas tatapan Ofi. "Jadi, lo juga harus optimis. Emmm ... jangan terus-terusan merana karena masa lalu, ya."
Matanya mengerjap menatap Odit, sebelum akhirnya menyadarkan dirinya. "Apaan sih, sok bijak lo!"
Odit terkekeh, lalu beranjak dari duduknya melangkah ke halaman rumah Ofi. Sementara itu, Ofi terdiam menatap bingung apa yang akan dilakukan cowok itu.
"Harus diganti bunga baru," ujar Odit sembari mencabut bunga matahari milik Ofi.
"Biar halamannya juga kelihatan indah," lanjut cowok itu, tersenyum menatap Ofi.
Ofi hanya diam, lalu tanpa Odit sadari gadis itu menarik sudut bibirnya perlahan.
CONTINUE...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro