
Bab 18 "Degupan Pertama"
Gadis itu melihat bayangannya di kaca mobil, terkekeh saat sang mama menggodanya. Mengatakan bahwa dirinya anak paling cantik di dunia. Terlalu berlebihan, kata Difa Sofiya.
"Sekolah di sini, bikin kamu jadi banyak senyum ya, Fi." Sarah melebarkan senyuman.
"Lumayan. Selain perpustakaannya yang banyak novel teenfiction, anak-anaknya juga baik-baik," sahut Ofi dengan senyuman.
"Bagus deh kalo gitu. Betah-betah, ya."
Gadis itu mengangguk dan tersenyum. "Iya, Ma ...."
"Kalo gitu, Ofi masuk dulu." Setelah berpamitan dengan menjabat punggung tangan Sarah, gadis itu keluar dari mobil. Tak lupa membawa barang bawaan yang dia taruh di jok belakang.
Ofi membawa langkahnya masuk melewati gerbang sekolah. Terlihat kesusahan saat membawa barang bawaannya, terlalu banyak memang. Gulungan kertas yang menjulang tinggi di depan bahkan menghalangi jalannya. Hingga tanpa aba-aba, sebuah tangan mengambil alih barang itu dari dekapannya.
Ofi tersenyum lebar. "Farhan."
"Makasih."
Farhan tersenyum. "Sama-sama, untung aja ada gue. Kalo enggak, bisa 2 hari nih, sampai tempatnya."
Keduanya terkekeh, Ofi seolah menyetujui ucapan cowok berlesung pipit itu. Selain barang bawaannya yang banyak, ukuran kardus yang terlalu besar itu membuat Ofi kualahan.
Keduanya berjalan menuju ruang majalah sebelum akhirnya pergi ke kelas. Menaruh barang tersebut di sana karena memang semuanya adalah persiapan untuk acara mereka nanti. Berjalan bersisian di antara murid SMA Cendekia lainnya.
***
Duduk terdiam di bangkunya sembari asik berkutik dengan hp di tangannya adalah hal yang dilakukannya kini. Riuh suara teman sekelas dan sayup-sayup para gadis yang tengah bergosib ria seolah tidak mampu memecah fokus cowok berpakaian rapi itu.
Hingga sebuah gerakan di bangku sampingnya membuat atensinya teralih. "Dinda, ada apa?"
Dinda tersenyum lebar, mengarahkan kotak bekal susun itu ke arah Odit, sedangkan Odit dibuat mengernyit melihatnya. "Buat lo."
"Emm ... atas dasar apa?"
"Ya ... nggak pa-pa. Itung-itung rasa terima kasih gue ke elo," jawab Dinda setia dengan senyumnya.
Odit menggaruk kepalanya, masih terlihat bingung karena Dinda melakukan ini untuknya. "Makasih, atas kebaikan lo selama ini."
Lanjut gadis berkacamata itu saat tahu Odit bingung atas perlakuannya yang begitu tiba-tiba. Odit tersenyum, merasa sungkan. "Sama-sama, sebenarnya nggak usah kasih ini, nggak pa-pa juga. Gue ikhlas bantu lo."
"Tapi, makasih, ya, udah luangin waktu buat nyiapin ini. Nanti gue makan," ujar Odit diakhiri senyuman.
Dinda dibuat tersenyum kala mendengarnya. Odit bahkan tidak tahu bahwa dibalik rasa terima kasih itu ada rasa lain yang diam-diam Dinda sembunyikan.
"Kalo gitu, gue balik dulu, ya." Setelah Odit menganggukkan kepala, Dinda pun berlalu dengan perasaan bahagia.
Jika Dinda sudah berlalu pergi, tiba-tiba saja Farhan datang menghampiri. Lebih tepatnya, menuju ke bangkunya untuk istirahat setelah sedari tadi sibuk dengan urusan majalah. Matanya berbinar, menatap kotak bekal di meja Odit.
"Tumben bawa bekal," ujar Farhan setengah terkekeh.
"Dikasih," jawab Odit tenang.
"Hah? Dikasih siapa?" alis Farhan berkerut curiga.
"Dinda."
Farhan membelalak tidak percaya. "Wah ... ada apa ini? Ada cinta setelah lomba Fisika?" godanya.
Odit menatap Farhan. "Apaan sih, nggak ada kali, kayak gitu."
"Terus? Kalo bukan ada cinta, apa lagi dong?"
"Si cowok ambis dan cewek ambis. Cocok tuh, sama-sama ambisnya."
Farhan sibuk menggoda, mendesak teman sebangkunya itu untuk menjelaskan apa maksud bekal yang diberikan Dinda. Sementara Odit terus menyangkal dan berakhir tidak lagi mempedulikan Farhan.
Sementara itu, di kelas 11 IPA 2, Ofi sibuk dengan buku paket PKN-nya. Membaca penuh hati materi yang ada di sana, padahal aslinya tidak ada satu pun yang masuk kepala. Suatu hal langka saat tahu Ofi membaca buku pelajaran. Namun, hal itu harus dia lakukan untuk mendapat nilai tambahan atas tugas yang diberikan Bu Kinan.
Ofi tidak bisa fokus karena ramainya suasana kelas saat ini.
"Kenapa nggak belajar di perpustakaan aja, Fi? Kan di sana sepi. Kali aja bisa masuk kepala materinya." Saran cemerlang dari Lia. Hal itu sontak membuat Ofi mengangkat kepalanya semangat.
"Dih, tumben lo pintar," sindir Etha.
"Kan oneng-nya pindah ke elo," balas Lia pedas dan diakhiri kekehan menyebalkan. Ofi tak urung ikut tertawa karena itu.
"Sialan, lo!" Etha melempar gulungan kertas kecil ke arah Lia. Namun, gadis berambut pendek itu hanya membalasnya dengan menjulurkan lidahnya.
Ofi beranjak, membereskan buku-bukunya ke tas. Hanya buku paket PKN dan stabilo berwarna hijau saja yang dia bawa. Sepertinya, menuruti ide Lia adalah hal baik untuknya demi bisa menghafal materi untuk presentasi Bu Kinan besok.
"Gue ke perpustakaan dulu ya, kalo gitu," ujar Ofi pada kedua temannya.
"Oke Fi, semangat hafalannya ...."
"Semoga lancar dan Bu Kinan nggak marah-marah, lagi."
Menyebalkan! Ofi mengerucutkan bibirnya kala ucapan kedua temannya itu lebih terdengar seperti ejekan.
"Oke ...." Ofi membalasnya seraya memutar bola matanya malas, Lia dan Etha yang melihatnya pun tertawa puas.
***
Ofi duduk di lantai menyandarkan punggungnya di rak perpustakaan paling ujung. Sengaja tidak duduk di bangku yang disediakan karena ingin mencari ketenangan. Namun, sepertinya hal itu sia-sia saja karena tidak berpengaruh sama sekali agar materi lebih cepat masuk kepala. Ofi bahkan sampai kesal, berkali-kali mengulang kalimat yang sudah dihafalkan, tapi mendadak lupa.
"Susah ...." Keluhnya putus asa.
Odit yang tengah fokus dengan buku di tangannya mengalihkan pandangan saat mendengar suara yang tidak asing baginya. Di sela-sela tumpukan buku yang berjajar rapi di rak perpustakaan yang saat ini menjadi sandarannya, matanya menangkap soosk Ofi yang ada di baliknya.
Suatu kebetulan cowok itu bertemu Ofi. Padahal, niat awalnya kemari untuk menghindari ocehan Farhan yang terus-terusan menggodanya karena bekal dari Dinda yang diterimanya tadi.
"Butuh bantuan?"
Ofi mendongakkan kepalanya saat menatap ujung sepatu yang ada di hadapannya. Entah sejak kapan cowok itu di sana, membuat Ofi merutuk karena berpikir bertemu Odit adalah kesialan baginya. Namun, tanpa aba-aba Odit duduk di samping Ofi. Ikut menyandarkan punggungnya di rak perpustakaan seraya meraih buku PKN milik Ofi.
"Kalo belajar materi pelajaran itu jangan dihafalin, tapi dipahami ...." Odit menatap Ofi yang duduk di sampingnya, "biar nggak gampang lupa," lanjutnya diakhiri senyuman.
"Garis bawahi bagian mana yang penting, biar gampang waktu belajarnya," ujar cowok itu sekali lagi.
Ofi masih setia dengan mulutnya yang ditutup rapat. Raut wajah yang tadi dingin, perlahan mencair. Netra hitamnya kini fokus menatap Odit yang sibuk membaca buku PKN-nya.
"Bagian mana yang mau dipelajari?" tanya Odit, membuat Ofi tersentak. Merasa malu karena ketahuan tengah menatap cowok itu sedari tadi.
"Yang ini, sejarah hukum Pancasila." Ofi menunjuk bagian yang tadi dipelajari, memberi tahu Odit yang berakhir dibalas senyuman oleh cowok itu.
Odit fokus mengaris bawahi kalimat yang dirasa penting dengan stabilo hijau milik Ofi, sedangkan Ofi yang duduk di sampingnya terdiam, gadis itu bahkan membiarkan Odit melakukan untuknya.
"Nih, baca pelan-pelan. Nanti juga bakal hafal sendiri kalo udah paham sama materinya." Odit menyerahkan buku PKN itu pada Ofi.
Ofi sibuk menatap ke arah lain, salah tingkah sendiri sebelum kembali memasang ekspresi dinginnya dan merebut buku itu dari tangan Odit.
"Gue juga bisa sendiri, kali," jawab Ofi ketus dan kembali fokus pada bukunya. Lebih tepatnya, pura-pura menutupi salah tingkahnya.
Bukannya ikut kesal, Odit justru terkekeh. Hingga suara kegaduhan membuat perhatian mereka teralihkan. Odit dan Ofi bertatapan, mata mereka seolah melempar pertanyaan bingung apa yang tengah terjadi.
Ternyata, rak buku paling depan roboh karena tidak sengaja terdorong anak yang tengah mengambil buku di sana. Dorongan yang cukup keras membuat rak buku tersebut oleng, alhasil roboh dan mengenai rak di depannya. Hingga sampai di rak buku paling ujung.
Kejadian itu terjadi begitu cepat, Odit dan Ofi yang tidak tahu apa-apa bahkan tidak sempat pergi dari tempatnya. Kini, keduanya begitu terkejut, mendongak ke atas dan mendapati rak buku di hadapan mereka oleng.
"Odit ...." jerit Ofi refleks memegang tangan Odit. Odit yang di sampingnya pun menatap panik.
Melihat ke atas di mana rak di depan mereka yang siap roboh, membuat Ofi semakin memejamkan matanya. Berpikir sejenak untuk mencari cara, sebelum akhirnya dengan cepat menarik tangan Ofi. Membawanya keluar dari tempatnya kini, menghindari robohnya rak buku yang hampir saja mengenai mereka jika Odit tidak cepat membawa Ofi keluar dari sana.
Jantungnya berdegub kencang menatap robohnya rak buku di depannya. Bahkan tubuhnya sampai limbung. Jika saja Odit tidak sigap meraih tubuhnya, mungkin Ofi akan terjatuh ke lantai.
"Sofi ...." Kedua tangannya masing-masing memegang bahu Ofi, menatap khawatir Ofi yang juga menatapnya. "Baik-baik aja, kan?"
Ofi terdiam, gadis itu hanya perlahan menggelengkan kepala. Odit bernapas lega mengetahuinya. Odit mengusap pelan kedua bahu Ofi. Berusaha menyalurkan kekuatan pada gadis yang kini menatapnya.
Bukannya tenang, deguban di dadanya justru semakin kencang. Berlama-lama saling tatap dengan Odit membuat Ofi merasa ada yang aneh tiba-tiba dengan jantungnya. Gadis itu dengan cepat menepis kedua tangan Odit yang masih bertengger di bahunya.
"Gue ke kelas dulu," ujarnya, tanpa menunggu balasan dari Odit, gadis itu berlalu pergi.
Pergi dengan segala pemikiran yang mempertanyakan kenapa jantungnya bisa berdegub sekencang ini. Ofi pun meyakinkan diri, itu terjadi karena dirinya kaget atas kejadian tadi.
CONTINUE...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro