BAB 14 "Peluk"
Ofi masih terdiam di sofa ruang tamu menatap Odit dengan banyak pikiran yang melintas di kepala, ternyata selama ini ada rahasia yang sama sekali belum Ofi ketahui sebelumnya?
"Jadi, lo mau maafin gue, kan?" tanya Odit penuh harap.
Gadis dengan baju putih selengan itu mengangkat kepala, menatap Odit yang ada di depannya. "Kenapa gue harus maafin lo?"
"Sofi ...."
"Kalo lo aja berani bersikap tegas waktu itu, gue nggak bakal dirugikan, gue nggak bakal putus sama Agam cuma karena berita fitnah itu, gue bakal tenang ke sekolah, punya banyak teman dan nggak bakal dicap murid bermasalah...." Ucapannya tercekat di tenggorokkan, saat air matanya turun dari pelupuk mata.
Sesakit ini hatinya jika kembali mengingat dirinya kala itu. Menjadi korban fitnah si picik Renata. Diperlakukan semena-mena layaknya murid hina yang tak pantas memiliki teman walau satu pun. Semarah ini dirinya mengingat di mana semua orang tak ada yang mempercayainya, menganggap omong kosong dari semua argumen yang dia lontarkan untuk membantah tuduhan palsu itu.
Ofi menghela napas, mengontrol dirinya sebelum kembali berujar. "Nggak ada alasan buat gue maafin lo. Kalo aja lo bantu gue jelasin sama Pak Amir di waktu itu juga, gue nggak bakal alami ini semua. Lo ... sebenarnya lo, yang bikin gue paling menderita."
Odit bungkam, rasanya sakit saat tahu gadis di depannya benar-benar menderita karena itu. Dibandingkan dengan rasa sakit saat mendengar ucapan itu dari mulut Ofi, Odit benar-benar sakit melihat Ofi semerana ini. Karenanya.
Sebodoh itukah dia kala itu? Mengambil keputusan tanpa berpikir dulu? Sekarang, dengan beraninya datang ke rumah Ofi. Namun, bukankah lebih baik memberanikan diri dan meminta maaf daripada diam dengan perasaan bersalah yang terus menghantui?
Odit mengembuskan napasnya, hening kembali merayap kala Ofi tak lagi mengucapkan kalimat. "Oke, kalo keputusan itu memang buat lo tenang, nggak pa-pa. Gue ... nggak bakal lagi paksa lo maafin gue."
"Maafin gue kalo udah siap aja, Fi. Pelan-pelan. Gue tahu kok, Sofi bukan tipe pendendam." Cowok itu mengangkat sedikit sudut bibirnya ke atas.
Masih dengan sisa tangisnya, gadis itu menatap kedua pupil gelap Odit.
***
"Gue ... lagi berusaha," celetuk Odit tiba-tiba, membuat Ofi kembali menatapnya.
"Berusaha, biar lo maafin kesalahan gue" Lanjutnya.
Ofi terdiam, menghentikan langkahnya begitu pun dengan yang dilakukan cowok berkemeja hitam itu. Mengerjapkan kedua matanya seraya menatap manik hitam milik Odit, tidak tahu lagi harus mengucapkan apa.
***
Asik terdiam sembari mendengarkan penjelasan guru di depan adalah hal yang dilakukannya. Namun, karena suara sang guru lebih terdengar layaknya lagu pengantar tidur, semua penjelasan yang didengarkan menguap begitu saja, hilang entah kemana. Berganti dengan lamunan tentang berbagai hal yang membawa pikirannya antah berantah, mulai dari mengarang cerita hingga berhalusinasi muncul dalam kepala.
Entah atas hal apa, Ofi tiba-tiba kembali terpikirkan semua perkataan Odit. Perkataan Odit saat datang ke rumahnya dan di perjalanan untuk mengantarkan Ofi ke bengkel waktu itu. Semua kembali berputar dalam benak, menciptakan berbagai asumsi yang tidak pernah menemukan jawabannya.
"Sebegitu merasa bersalahkan, dia?" satu pertanyaan itu terus berulang di kepalanya.
"Ofi...."
"Difa Sofiya!"
Lamunannya buyar saat suara Bu Kinan masuk pendengaran. Gadis itu dengan cepat menyadarkan diri. Ofi menatap kikuk ke arah Bu Kinan yang tengah menatapnya dengan raut muka marah.
"Iya, Bu?" jawab Ofi ragu, mengendarkannya pandangannya ke seluruh kelas. Ternyata anak juga menatapnya.
Ofi menatap kedua temannya di depan. Terlihat bibir Etha yang berujar dalam diam menanyakan apa yang tengah dia pikirkan sampai tidak mendengarkan pelajaran.
"Coba jelaskan lagi, tentang sejarah hukum Pancasila," ujar Bu Kinan, membuat Ofi mati kutu.
Dia tidak tahu, pasalnya sedari tadi sibuk sendiri dengan dunianya. Ofi gugup, ditambah tatapan dari teman sekelas yang begitu menusuk.
Terus merapalkan doa dalam hati. Berharap bel istirahat segera berbunyi dan menyelamatkan dirinya dari situasi ini.
"Apa, Difa Sofiya? Coba kembali jelaskan!" tegur Bu Kinan sekali lagi karena Ofi tidak kunjung menjawab.
"Eee...."
Saat itu juga bel istirahat berbunyi. Berbanggalah Ofi karena doanya terkabul, embusan napas lega turut keluar dari mulutnya.
"Baik semuanya, kita lanjut pembahasan ini pekan depan," ujar Bu Kinan.
"Difa Sofiya, pekan depan maju ke depan kelas dan jelaskan sejarah hukum Pancasila."
Tubuhnya tegang, ternyata keberuntungan tadi hanya bersifat sepersekian detik saja. Kini, dirinya harus menerima kesialan menghafal materi sebagai bahan penjelasannya nanti di depan teman satu kelasnya.
***
Para murid SMA Cendekia berbondong-bondong kembali ke kelas setelah selesai mengisi perut kosong di kantin. Lihatlah wajah mereka, sudah siap mengikuti pelajaran selanjutnya setelah mengisi tenaga.
"Parah ... parah ... parah, emang. Udah tahu Bu Kinan orangnya kiler," ujar Etha dramatis.
Insiden tentang Ofi saat di kelas tadi tak ada habisnya menjadi topik pembicaraan mereka kini. Seolah-olah hal itu adalah langka yang selama ini belum pernah terjadi.
"Untung aja bel istirahat nggak lama bunyi," sahut Lia, mengingat ekspresi Ofi saat itu, dirinya benar-benar berusaha kuat menahan tawa.
Bibirnya cemberut, satu senti ke depan layaknya bebek. "Tapi besok gue harus ke depan kelas."
Dinda menepuk pundaknya, membuat sang empu menolehkan kepala. "Nggak pa-pa, itung-itung buat nambah wawasan, Fi. Nggak ada yang rugi, kok."
Ofi mengembuskan napasnya. "Iya deh, besok nggak mau lagi gue ngelamun di kelas Bu Kinan."
Gadis itu trauma. Tatapan tajam Bu Kinan, kedua tangan saling bersedekap dada dengan gaya yang terlihat layaknya preman. Sungguh menyeramkan, mengingatnya lagi bahkan membuat Ofi bergidik ngeri.
Asik dengan permainan pikiran tentang Bu Kinan di kepalanya, membuat Ofi tidak fokus menatap jalanan depan. Hingga gadis itu tak sengaja tersandung kakinya sendiri dan membuat tubuhnya terhuyung ke depan.
"OFI!!!"
Tubuhnya limbung, dirinya tidak bisa menjaga keseimbangan menghindari jika nanti tubuhnya jatuh ke lantai. Sudah pasrah jika memang harus terjatuh, Ofi sontak menutup matanya rapat-rapat.
Bukan lantai keras yang dia rasakan, justru pelukan hangat lah yang meraih tubuhnya. Ketiga teman Ofi yang tadinya ikut meringis membayangkan tubuh Ofi akan berhadapan dengan lantai keras, seketika dibuat terkejut saat seseorang menangkap tubuh Ofi.
Mereka saling terjatuh dengan posisi berpelukan dengan tangan kekar yang berada di bawah kepala Ofi sebagai bantal, ketiga temannya menatap tidak percaya. Jika Ofi tampak baik-baik saja karena kepalanya tidak mengenai lantai, justru cowok yang menolongnya terlihat meringis kesakitan. Ofi perlahan membuka mata.
Raut wajahnya terkejut, tubuh mereka seolah kaku. Kedua mata mereka terkunci satu sama lain, mereka tidak tahu akan berada di posisi sedekat ini.
CONTINUE...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro