Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9

Aku menghempaskan tubuh. Melepas jas dan dasi lalu melemparkannya sembarang. Tak lama kemudian aku mengecek ponsel, barangkali ada pesan penting dari kantor, tapi sesaat kemudian mataku dikejutkan dengan chat dari papa. Chat pertama sejak sehari sebelum aku dijodohkan. Haruskah kubaca? Enggan, aku membuka pesan chat itu. Bersiap dengan segala kemungkinan.

"Pulang, dan lanjutkan rencana Papa. Atau Papa cabut jabatan kamu di perusahaan."

Aku mencebik membaca pesan singkat namun padat tersebut. Tanpa basa-basi, langsung mengancam akan memecat. Kemudian aku mencelos, sama sekali tidak dewasa membawa permasalahan ini ke ranah lain. Mengorbankan karirku? Gara-gara ide konyol? Sungguh pemaksaan hakiki.

Berusaha kutepis pesan yang papa kirimkan, berlaku santai saja. Mana mungkin papa melakukan itu. Hendak mengganti posisiku dengan siapa? Bahkan beliau sendiri sudah begitu sibuk mengurus perkembangan saham dua perusahaannya. Iya, tak mungkin jabatanku diturunkan. Impossible. Papa hanya mengancam, sepertinya. Aku tidak buta soal jabatan. Untuk hal penurunan jabatan di perusahaan seperti ini, aku paham betul.

"Ari nggak pulang, Pa. Sampai Papa mencabut rencana konyol Papa."

Send! Dua detik setelah terkirim, Papa sudah membacanya. Cepat sekali. Tetap saja, aku kembali larut dalam prasangka buruk. Lagi-lagi tentang papa. Apa papa benar akan menurunkan jabatanku? Apa papa bercanda? Menurunkan jabatan atau bahkan memecatku sama sekali akan menjadi titik tumbang perusahaan. Tidak seimbang. Dari dulu bahkan papa sudah mewanti agar hal itu tidak akan pernah terjadi. Ditambah dengan etos kerjaku yang memuaskan dan dapat meraih hasil yang diluar dugaan baiknya, apa itu tidak bisa menjadi pertimbangan baginya untuk memutuskan kerjasama hanya dengan aku yang menolak untuk dijodohkan?

Hah!

Notifikasi kembali muncul. Dari papa.

"Papa selalu serius dengan perkataan Papa. Dan kalau kamu berpikir keseimbangan perusahaan akan terganggu, kamu salah. Sekarang Papa udah punya pengganti kamu."

Aku melempar ponsel ke kasur, yang langsung mental beberapa senti. Gila! Ini benar-benar gila! Kenapa harus papa yang menghancurkan hidupku? Kenapa bukan orang lain saja? Karirku? Hidupku? Perjuanganku? Apa memang hak papa untuk mengatur segalanya?

Aku mengusap wajah. Mencoba berpikir jernih. Tenang, Ari, tenang. Berpikirlah matang. Jangan terpengaruh bualan papa. Ah, sial! Kenapa pula aku masih saja terpengaruh ancaman papa?

Azan isya terdengar mampir di telingaku.

Kali ini, aku terlalu sulit untuk bangkit. Mood-ku benar-benar rusak. Dan, aku memilih untuk membalikkan badan. Mengabaikan kumandang azan hingga selesai, lantas memejamkan mata. Satu kali saja, kutinggalkan hari ini. Hanya isya.

***

Aku terbangun ngos-ngosan. Terbata mengatur napas. Keringat dingin sebesar biji jagung mengalir melewati pelipis, pun badan ikut berkeringat dingin. Apa? Apa barusan memang benar terjadi? Apa aku benar-benar sudah mati?

Aku mengangkat tangan, memerhatikan lekat. Tembus pandang? Tidak. Kemudian aku mencoba meraih ponsel di nakas. Bisa, aku nyata memegangnya. Selanjutnya bangkit, mencoba berdiri dan menatap cermin. Wajahku tidak pucat, walaupun butir keringat sebesar biji jagung membasahi pelipis.

Aku masih hidup.

Mimpi itu begitu nyata. Prosesi pencabutan nyawa, seperti memang dikuliti hidup-hidup. Belum lagi semua dagingku terasa lepas betebaran, keluar dari sendinya. Juga mataku, seperti lepas dari ototnya. Nyawaku, aku benar-benar dapat melihat nyawaku melayang. Suram. Penuh kesedihan. Ditambah tangisan pilu semua orang. Juga Mentari ada di sana.

Iya, Mentari.

Mati itu nggak akan nungguin sampai kita mau sholat.

Kata Mentari kembali terngiang. Apa iya, hanya karena mendengar ucapan itu, aku bermimpi mati? Apa yang salah? Dulu bahkan aku dapat tertidur pulas begitu saja tanpa lebih dulu sholat. Kenapa sekarang, aku jadi keseringan was-was saat meninggalkannya? Alih-alih meninggalkannya, telat melaksanakannya saja aku sudah ketakutan.

Padahal, kalimat yang diucapkan Mentari kurang lebih sama seperti ocehan Mama ataupun Rinai yang mengancam jika aku ogah-ogahan sholat. Entah mengapa, ucapan Mentari yang justru lebih simpel itu malah yang memiliki kekuatan yang sangat ekstra. Masih sempatkah sholat Isya? Sudah pukul setengah tiga pagi.

Apa kutanya Sasha saja?

"Sha, gue kelupaan sholat isya, trus gue terbangun jam segini. Masih bisa sholat, nggak?"

Terkirim. Lima manit kutunggu, belum ada jawaban. Ah iya, pasti Sasha sedang tertidur. Rifan? Anak itu sering bergadang. Mungkin ia masih melek saat ini.

"Rif, gue lupa sholat isya dan baru terbangun jam segini. Masih bisa sholat?"

Read. Benar kan, apa kataku? Matanya masih saja kuat terbuka.

"Sakit lo?"

"Nggak. Gue sehat."

"Lo serius? Hem, oke, walaupun gue bingung, tapi gue jawab aja, kali. Mungkin lo ketakutan pas ngingat perkataan Mentari-lo itu, kan?"

Aku mendecak kesal. Masih senang saja mempermainkanku, padahal aku sedang serius bertanya.

"Gue tanya, lo cuma harus jawab. Bisa, nggak?"

"Bisa, Ri. Buru! Sekalian tahajjud kalau lo sanggup."

Tahajjud? Sholat yang tengah malam itu, kan? Eh, iya atau bukan?

"Jangan bilang lo nggak tau tahajjud itu apa. Cemen banget. Cih!"

Aku langsung balas mengetik.

"Gue tau, dasar! Udah ah, gue mau sholat dulu. Makasih, anyway, udah jawab gue."

"Anytime, Ri."

Aku bergegas wudhu. Secuil hatiku merasa senang karena akhirnya aku tidak jadi meninggalkan sholat. Rekor awal terbaik dalam hidupku. Tahajjud? Mungkin, bisa kulaksanakan. Kalau tidak salah, sholat ini juga yang waktunya paling mudah buat diijabahkan doa, kan?

Dasar Mentari! Aku jadi terbangun tengah malam begini cuma untuk sholat yang biasanya kutinggalkan. Menyusahkan. Walaupun aku harus mengakui, kalau ini menakjubkan.

Mentari, ya? Saat pergi, dia membawa serta masalahnya. Apa masalahnya terselesaikan dengan baik? Berhasilkah dia? Lalu, apa pilihan anak itu selanjutnya? Melanjutkan kuliah atau langsung bekerja? Apa dia masih suka berteriak?

Aku menepuk nepuk agak keras kedua pipiku. Kenapa pula Mentari melintas dipikiranku?

"Hei Ari, dia itu cuma orang yang kebetulan lo temui. Ngapain lo mikirin dia? Masa bodo. Yang penting sekarang lo udah mau sholat." Batinku berbisik.

Ya, yang penting aku sudah mau melaksanakan perintah sakral itu dan itu merupakan awal perubahan baikku. Yang mungkin akan selalu berpengaruh. Semoga, pengaruh baik yang akan datang. Sekarang, aku harus sholat. Takut mati.

***

"Senang bener?" Rinai menepuk bahuku. Ia orang yang pertama kujumpai saat tiba dikantor.

Ya, senang, lah! Hari ini gue sholat subuh tepat waktu. Juga sempat tahajjud semalam.

"Masa?"

"Iya, serius gue. Nampak beda aja, gitu." Rinai memerhatikan wajahku lamat-lamat.

"Perasaan lo aja, kali." Aku tersenyum simpul.

Belum habis rasa penasarannya, Rinai hendak melanjutkan bertanya, tapi aku sudah duluan melangkah. Tak berniat terlalu menanggapi ocehan Rinai. Kerjaanku menunggu.

"Hai, Ri. Kenapa lo senyum-senyum begitu?" Kali ini, aku berpapasan dengan Sasha yang telah tampil rapi dengan kuncir kudanya.

"Nggak apa-apa. Lagi pengen senyum aja. Hari ini cerah," sahutku. Sasha menaikkan sebelah alisnya. Mungkin melihat gelagat aneh dariku.

"Halo yang semalam kebangun karena lupa sholat isya! Senyum mulu?" Rifan tiba-tiba nimbrung, merangkul bahuku.

"Gue nggak salah dengar?"

Aku melengos. "Semalam gue chat lo, tapi lo udah tidur."

"Eh, masa sih?" Sasha bergegas mengecek ponselnya, kemudian nyengir. "Iya, ada. Sori, ya. Ngantuk berat gue semalam."

"Santai aja. Oke, udah, ya. Gue ke atas dulu. Kalian juga, buat hari ini kerja yang benar! Jangan lupa senyum."

Baik Sasha maupun Rifan melongo, terbengong-bengong menatapku. Aku tak menggubris. Langsung melenggang menuju ruangan.

Yah, tak tahu kenapa, mood-ku memang sedang lagi baik saja. Penyebabnya? Aku tidak tahu. Padahal semalam aku mendapat tekanan kuat dari papa. Tapi, entah sejak kapan pula beban itu terangkat dengan sendirinya. Apa karena tadi malam? Karena sholat?

Kalau tau sholat bisa bikin tenang begini, aku dari dulu sudah mengamalkannya. Ajaib saja, gitu. Dan, aku tidak keberatan atas perubahan ini. Takut mati mungkin bisa jadi motivasi nyata bagiku.

Thanks a lot, Mentari!

Betapa aku dikejutkan dengan penampakan sosok berjas membelakangiku. Tanpa ia berbalik pun, aku mengenalnya. Itu papa. Aku mendengus kasar. Kenapa saat ini dia kembali merusak hariku?

"Kamu cepat juga sampainya." Ucapan datar papa walau benar hanya terdengar seperti basa-basi di telingaku.

Aku bergeming. Tak menjawab. Menatap tajam papa yang masih melihat-lihat daftar dokumen di atas mejaku.

"Berkembang lebih baik. Papa nggak nyangka, di tengah golak hati, kamu bisa se-berkarya ini. Papa nggak salah pilih orang."

Aku melengos. Apa gunanya basa-basi?

"Kenapa nggak langsung to the point aja?" ujarku sarkas. Pendek dan dingin.

"Perkataan Papa semalam. Sudah kamu pertimbangkan?"

"Nggak perlu dipertimbangkan. Ari masih menolak," kataku tegas.

"Baik, kalau itu mau kamu. Itu artinya kamu mau lebih mandiri lagi."

Apa maksudnya itu?

Papa memberikanku sebuah kertas. Tanpa perlu membaca, aku sudah menduga isinya. Pencabutan jabatan secara tidak terhormat. Cih! Pengecut.

"Silahkan lebih mandiri lagi. Cari kerjaan yang baru. Banyak perusahaan yang bakal nerima kamu. Tapi bukan disini. Hari ini terakhir kamu bekerja di sini. Papa harap, kamu nggak nyesal sama pilihanmu sendiri."

Aku menggeram.

"Kalau mau pulang, pintu terbuka lebar. Tapi kalau Papa boleh nebak, kamu pasti nggak berniat pulang."

Aku bergeming. Menatap tajam. Muak dengan segala yang lelaki itu pilihkan.

"Om—" Aku menoleh ke belakang. Sasha, Rifan serta Rinai telah berdiri disana.

"Ini urusan kami, Nak," potong papa.

"Tapi, om—"

"Dia bisa lewati ini semua. Ini pilihan dia." Harusnya aku merasa tersanjung akan perkataan papa barusan, tapi untuk saat ini, itu lebih terdengar seperti sindiran halus. Seakan ingin mengatakan, bahwa apa yang dilakukannya benar semua.

"Om, dengarin kita dulu—"

"Sha, gue bisa. Lo tenang dan diam. Bukan masalah bagi gue buat cari pekerjaan lebih pantas. Setidaknya, tanpa ada unsur paksaan atas dasar apapun." Saat mengucapkan kalimat terakhir, kutolehkan wajah ke papa. Kalimat itu untuknya.

Papa mengangkat bahunya. Entah apa yang ada di pikirannya. Raut wajah yang menjelma menjadi peran antagonis itu sulit kuartikan. Hanya datar, menambah kesan wibawanya.

"Papa pulang dulu. Mama titip salam. Sehat-sehat, katanya. Assalamu'alaikum." Papa membawa langkahnya keluar ruangan.

"Wa'alaikum salam."

Aku terduduk di kursi. Tak menyangka perjodohan ini memberikan efek yang besar bagiku. Tak percaya pada tingkah dan keputusan Papa yang kuanggap terlalu gegabah. Ketiga sohib itu mengerubungiku.

"Gue nggak percaya." Hanya itu yang dapat keluar dari mulutku.

"Lo nggak usah banyak mikir. Gue pasti bantu lo buat dapat pekerjaan baru," ucap Rifan mantap.

"Gue juga bantu," sahut Sasha.

"Gue juga," imbuh Rinai.

Hari ini buruk dan akan jauh lebih buruk jika teman-temanku tidak ada disini. Untuk sekecil apapun alasan, kurasa aku masih harus bersyukur.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro