Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8

Akhirnya dengan bantuan Sasha, malam ini aku mendapatkan kontrakan. Lumayan besar dan dekat kantor dan yang paling penting, nyaman. Syukurlah malam ini aku dapat atap untuk berlindung. Atap sebuah rumah, bukan atap mobil seperti kemarin.

Aku merebahkan diri. Menerawang langit-langit. Dengan memutuskan untuk menjauh dari keluarga, artinya aku harus siap hidup serba mandiri. Balik lagi seperti saat menjalani kuliah di Oxford dulu.

Tidur, tidur! Besok aku harus kembali bekerja. Aku pelan memejamkan mata. Berharap kebaikan buat esok.

Sholat! Aku belum sholat.

Mati itu nggak akan nungguin sampai kita mau sholat.

Perkataan Mentari terngiang di telingaku. Karena bergidik, takut mati lalu diazab, aku kembali bangkit. Berwudhu lalu sholat. Mematuhi perintah Mentari setiap lima kali dalam sehari.

Ah, iya. Mentari. Bagaimana keadaannya sekarang?

***

Aku kesiangan! Padahal malam sebelum tidur, aku sudah mengatur alarm persis saat azan berkumandang. Entah lupa menguncinya atau mungkin juga aku tidak menyadari saat alarm berbunyi. Alhasil, aku malah terbangun pukul setengah tujuh. Walaupun bukan Jakarta, jalanan akan tetap macet pada jam sibuk pagi.

Aku tiba di kantor pukul delapan lewat sepuluh menit. Langsung menuju ruanganku. Kemudian berdecak kesal. Baru sehari tidak masuk, dokumen sudah semakin bertumpuk saja. Aku memijat kening ringan. Seekarang perutku malah menggerutu menagih jatah.

"Kok telat, sih?" Sasha muncul dari balik pintu.

"Gue kesiangan." Aku menegakkan punggung. Duduk bersandar.

"Kalau lo mau." Sasha memberikan sebuah  lunchbox, entah apa isinya. Aku menatapnya tak percaya, baru saja perutku berbunyi, Sasha sudah datang saja.

"Mau, makasih," sambutku. Aku membuka tutupnya. Salad. Lumayan. Bisa untuk mengisi perut sesaat.

"Setiap kesiangan lo pasti nggak makan. Padahal, gue bawa untuk cemilan gue." Sasha tertawa renyah.

"Mungkin kali ini lo harus rela cemilan lo gue jadiin sarapan."

"Yeah, santai aja. Buatan gue sendiri. Habisin." Sasha duduk di hadapanku. Aku mengangguk.

"Nggak perlu lo suruh, gue juga bakal ngabisin."

Aku melahap salad buatan tangan Sasha. Dari dulu, makanan buatannya selalu terasa enak. Tanpa micin barang sebutir pun.  Begitupun salad yang tengah kukunyah ini. Begitu segar dan kaya rasa.

"Ri, lo yakin bisa tinggal sendiri di situ? Maksud gue, lo nggak mau pulang aja, gitu?"

Aku menghentikan kunyahan. "Gue bisa. Cuma belum terbiasa aja." Aku kembali melanjutkan menyendok buah anggur.

"Bokap lo gimana?"

"Gue nggak tau."

"Nggak hubungi lo?"

"Nggak."

"Terus, lo nggak cemas?"

"Bokap gue aja nggak cemasin gue," jawabku apatis. Sasha mengela nafas berat.

"Lo belum mau pulang?"

"Gue butuh waktu, Sha." Aku menatap tajam manik mata Sasha.

"Maaf, permisi?" Aku dan Sasha spontan menoleh ke arah suara.

"Ya?"

"Maaf, Mbak Sasha. Ada dokumen baru, yang harus ditandatangani," serunya.

"Oke, lo duluan aja, gue nyusul," balas Sasha. Wanita yang merupakan asisten pribadi Sasha mengangguk, lantas balik kanan, meninggalkan ruanganku.

Sasha bangkit dari tepatnya duduk.

"Gue balik dulu. Dihabisin saladnya."

"Oke, makasih."

"Tentang pilihan lo buat tetap hidup mandiri, i pleasure it. Realy. Jangan ragu panggil gue kalau lo butuh," kata Sasha.

Aku mengangguk, meneruskan aksi melahap salad buatan Sasha.

"Oke, kalau gitu, pelan-pelan dong makannya, Mas Awan. Lapar banget!"

Aku spontan tersedak. Meraih botol air mineral milik Sasha lalu menenggak isinya cepat. Gadis itu malah terkikik geli dangan responku. Juga, mungkin ia sedang menertawakan nama panggilanku yang legend.

"Parah, lo."

Aku melengos, sedang Sasha tampak semakin puas karena berhasil mengerjaiku.

"Gue Ari. Dan jangan panggil gue Awan. Apalagi di depan umum." Aku memperingatkan Sasha yang masih tertawa, sambil mengelap bibirku dengan tissue. Sasha susah payah menghentikan tawanya, lalu melirikku.

"Kenapa nggak boleh, sih? Lucu, tau. Awan. Authentic gitu." Sasha kembali tertawa.

Shit! Aku menggerutu dalam hati.

"Udahlah, lo nggak usah ikut-ikut. Biar Mentari aja yang panggil gue 'Awan.' lo jangan. Nonsense."

Sasha kembali berusaha menghentikan tawa, menyeka sebutir bening air yang menguar dari sudut matanya. Terlalu lama tertawa membuat kebiasaan 'nangis' saat tertawanya kambuh.

"Okay, sori, sori. Eh, anyway, siapa nama cewek itu? Mentari?"

"Iya," jawabku singkat.

"Rumahnya di mana?"

"Nggak tau gue. Terakhir dia dijemput kakak laki-lakinya."

"Oalaah...." Sasha bergumam pelan. Aku memicingkan mata.

"Lagian, kenapa lo nanya alamat rumahnya?"

"Mau berkunjung aja, sih. Juga mau tanya tips dia."

"Tips apa? Naik gunung nggak bawa apa-apa? Atau tips hipotermia sebanyak dua kali?"

"Tips dia bikin lo bukan jadi Ari yang biasa. Tapi jadi Mas Awan yang aneh dan nggak nampak kayak seorang bos!" Sasha kembali tertawa.

Damn!

"Udah, lo keluar sana. Lo punya tugas penting, kan? Jangan buat gue terpaksa mecat lo gara-gara mengabaikan pekerjaan penting perusahaan."

"Ah, elah, galak banget, lagian. Iya, deh. Gue permisi. Lunchbox-nya kalau udah siap, bawa ke ruangan gue."

"Hem."

"Ngambek lo? Serius?"

"Nggak. Udah, buruan balik ke ruangan lo!"

"Oke, gue permisi, Pak Bos Awan!"

Sasha cepat berlari, sebelum kusemprot ocehan. Aku mencelos. Hari ini tidak terlalu baik. Baru sampai kantor saja, Sasha sudah gencar meledek. Aku menggeleng, tak habis pikir namaku bisa dijadikan candaan garing.

Ah, sudahlah, perutku yang terlalu lapar takkan merubah mood makan hanya gara-gara candaan ringan dan garing. Aku meneruskan makan. Lapar bukan main.

***

Sedang sibuk menata dokumen, mama menelepon. Aku lama menatap layar ponsel. Haruskah kujawab? Ragu, aku mengangkat panggilan.

"Ari? Ari sayang?"

Aku mendesah perlahan. Sepelan mungkin agar tak terdengar mama. Suara panggilan mama saja sudah membuatku terenyuh.

"Ada apa Ma?"

"Kamu di mana sayang?"

"Kantor, Ma," jawabku pelan.

"Sehat kan kamu? Mama nyusul ke sana ya?"

Aku mendengus. "Jangan, Ma."

"Papa nggak ikut, kok," kilah Mama di seberang.

"Ari lagi pengen sendiri, Ma. Ari sehat. Ari nggak apa-apa."

"Kamu tinggal di mana? Nggak tidur di kantor kan? Sarapan gimana? Nggak ngasal jajan kan?" Suara mama terdengar cemas. Aku memijat kening.

"Mama nggak usah cemas. Ari tinggal di tempat yang layak. Sarapan juga nggak akan ketinggalan. Pagi ini aja Ari sarapan salad. Mama jangan khawatir gitu. Ari bukan anak esde lagi."

"Kamu beneran nggak apa-apa?"

"Iya, Ma."

"Gimana mama nggak cemas? Udah lebih dari tiga hari kamu nggak pulang. Kamu masih marah? Mama udah nungguin sampai malam, kamu juga nggak pulang. Ngasih kabar aja enggak. Ditelepon, baru sekarang jawabnya. Kartu kredit ditinggal, gimana Mama nggak cemas?" Suara mama meninggi.

Aku mendengus.

"Ari punya tabungan yang masih lebih dari cukup untuk dua tahun," jawabku pendek. Selanjutnya aku melirik arloji yang terpajang di pergelangan tangan kiriku. Seketika aku mendelik. Pukul satu lewat lima menit.

Mati itu nggak akan nungguin sampai kita mau sholat.

"Iya, Mama tau tabungan kamu—"

"Ma, udah, ya? Ari telat sholat zuhur nih." Aku cepat memotong perkataan Mama.

"Hah? Tadi barusan Ari ngomong apa, Sayang? Telat sholat? Eh? Sejak kapan kamu rajin sholat?"

Aku menopang ponsel dengan mengapit antara telinga kiri dan bahu kiri. Tanganku sibuk merapikan dokumen yang berserakan.

"Sejak Ari nggak pulang ke rumah," jawabku singkat.

"Ya ampun, Sayang? Serius? Eh?"

"Ma, Ari tutup telepon nya. Oh iya, jangan susulin Ari di kantor. Assalamu'alaikum." Tanpa menunggu jawaban salam dari seberang, aku memutuskan sambungan telepon.

Aku bergegas naik ke lantai atas, tempat di mana musholla menunggu. Tanpa basa-basi, aku menanggalkan jas, terus berwudhu. Kemudian berdiri menghadap kiblat. Lantas melanjutkan takbir.

Khusyu, kuusahakan.

Selepas salam, aku kembali mengenakan jas. Bangkit terburu-buru. Baru hendak akan melangkah, aku dikejutkan oleh ketiga sahabatku yang sedang duduk manis tersenyum seraya memerhatikanku.

"Serius? Lo ingat sholat?" Rifan yang pertama kali bercakap.

"Demi apa? Biasanya juga diingatin tetap mager lo." Rinai menyahut. Di antara kami berempat, Rinai memang yang paling rajin melaksanakan sholat lima waktu. Jarang ngaret.

"Kalau gini, kita berempat makin sama aja. Sering sholat." Sasha ikut nimbrung.

"Lo bertiga ngapain di situ?"

"Liatin lo sholat!" Keningku mengernyit mendengar jawaban spontan ketiga sahabatku yang terdengar bersamaan.

"Nggak ada kerjaan banget liatin gue." Aku mencibir.

"Kita mau ngajak lo makan bareng, eh, malah jumpa lo pas lo lagi buru-buru naik ke sini," ujar Rifan. Iyakah? Aku tidak merasa bertemu dengannya tadi.

"Lagian gue bingung kenapa lo tiba-tiba jadi kerajinan sholat gini." Rinai bergumam. "Lah biasa, diingatin azab aja nggak mempan," lanjutnya.

Aku menarik napas pendek.

"Kata Mentari, mati itu nggak akan nungguin sampai kita mau sholat. Gimana gue nggak takut, coba? Ingat kalimatnya aja gue merinding," ucapku.

"Mentari?" Rinai dan Rifan saling pandang. Asing mendengar nama yang baru saja kusebutkan.

"Oh, Mentari, toh." Sasha tampak menahan tawa. Aku berani bertaruh, ia juga sedang memikirkan nama legend-ku. Aku mendelikkan mata, mengancam kalau-kalau Sasha kembali menertawakan. Aku mendekati Sasha, berbisik ke telinganya.

"Lo jangan sebut-sebut nama 'Awan' pokoknya. Cuma gue, lo, dan Mentari yang tau."

"Iya, tenang aja. Panik banget, jadi lucu," goda Sasha.

Dasar!

"Kenal lo?" Rinai menoleh ke arah Sasha.

"He-eh. Kenal. Anak yang ditolongin sama Ari gara-gara hipoterm," jawab Sasha.

"Uwooh. Demi apa tuh anak? Baru ketemu aja udah bisa bikin lo ingat mati. Gue yang udah berabad aja masih kleyengan kalau udah urusan maksa lo sholat," cerocos Rifan.

"Tuh anak punya karamah kali, ya? Ari yang sekeras batu gitu sampai nurut," cetus Rinai, ikut mengomentari.

"Heh, mana ada gue sekeras batu. Ngasal, sih, lo!" Aku menyikut Rinai.

"Hahaha, peace, dong. Damai." Rinai mengajukan jari telunjuk dan tengahnya, melambangkan damai.

"Iya, santai aja, kali," balasku.

"Eh, tadi, siapa namanya?"

"Mentari." Aku menjawab pertanyaan Rinai.

"Ooh, Mentari." Malah Rifan yang membalas dengan gumaman pendek.

"Namanya aja Mentari. Yah, mungkin aja sih, dia jadi Mentari-nya-lo."

Hah? Aku mengedikkan bahu. Tidak terlalu menanggapi perkataan Rinai.

"Eh, maksud gue, penerang, gitu loh, buat lo, Ri. Sasha ih, lo melotot kayak mau ngulitin gue idup-idup," ceplos Rinai.

Aku menoleh ke arah Sasha. Benar saja. Ia memang sedang mendelik.

"Kenapa lo? Step?" Aku menatap Sasha bingung. Melotot begitu, bagaimana aku tidak kebingungan? Ia kemudian mengerjap-ngerjap. Mengucek matanya.

"Eh? Apa? Step? Ya kali. Nggak, nggak pernah. Kemasukan debu mata gue. Makanya gue pelototin," kelit Sasha. Aku mengedikkan bahu. Terserah saja.

Aku memakai jas rapi.

"Jadi makan bareng? Waktu istirahat tinggal dua puluh menit lagi. Masih sempat," kataku. Mereka bertiga saling pandang. Apa mereka lupa dengan niat awal untuk makan siang bersama?

"Oh, iya! Ayo, buruan! Kenapa malah ngomongin Mentari, sih?" Rinai berjalan mendahului, diikuti Rifan, lalu Sasha.

Aku berjalan paling belakang. Sambil merapikan letak dasi yang tadi sedikit kukendurkan.

Kurang lebih, apa yang dikatakan Rifan memang benar. Aku sudah terlalu sering meremehkan sholat. Bahkan tak jarang dalam sehari aku tidak mengerjakannya barang sekalipun, walaupun mama selalu mengingatkan. Juga sama saat ketiga sahabatku mengingatkan.

Entahlah. Aku hanya takut jika mati nanti, aku akan diazab karena meninggalkan perkara sholat.

Mati itu nggak akan nungguin sampai kita mau sholat.

Mengingatnya saja sudah membuat bulu kudukku meremang. Memang Mentari punya saja cara membuat kesan aneh dalam hariku. Mungkin bertemu dengannya menjadi rahmat, kali? Ah, siapa peduli?




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro