Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6

Petugas rumah sakit sigap membawa ranjang dorong bagi Mentari lalu membawanya ke ruang UGD. Aku menarik nafas panjang. Lelah. Selanjutnya, hanya menunggu di kursi tunggu.

Tak lama, Mentari kemudian dipindahkan ke kamar rawat inap. Wajahnya tidak lagi sepucat saat ia pingsan pertama kali, juga tampak mulai baik-baik saja. Aku menguntit perawat yang terus membawa Mentari semakin dekat menuju kamarnya.
Setelah Mentari masuk, aku diarahkan menuju meja resepsionis. Mengurus segala administrasi dan tetek bengeknya. Benar kan? Sekali lagi, Mentari membuatku kerepotan.

Aku mengusap wajah yang kebas. Meringis pelan saat betisku sedikit terasa sakit dan sangat pegal. Berkali-kali tersandung, tersuruk, sambil membawa Mentari pula. Tumitku bahkan sudah agak membiru, lebam ringan. Apalagi punggungku. Luar biasa pegal, membawa dua beban sekaligus. Tak pernah merasa selelah ini. Syukurlah aku tidak ikutan tumbang.

Tidur di mana aku malam ini? Aku belum mendapat tempat tinggal untuk mengontrak. Pulang ke rumah? Mustahil yang benar-benar mustahil. Tidur di ruang tunggu? Aku menepis cepat ide itu. Badanku akan patah delapan kalau begitu. Kemudian aku melirik sofa di seberang ranjang Mentari. Strategis. Tampak empuk dan agak lebar. Aku bisa bermalam di sini. Sekalian memantau keadaan Mentari.

Belum lama aku rebah, ponselku bergetar. Malas melihat layar, aku memutuskan langsung mengangkat panggilan.

"Ari! Lo dimana? Masih di atas? "

Aku menjauhkan telinga begitu mendengar suara Sasha yang nyaring.

"Gue di rumah sakit."

"Rumah sakit? Lo serius? Sakit apa lo?"

"Bukan gue yang sakit."

"Jadi siapa?"

"Mentari namanya."

"Ya ampun, syukurlah bukan lo yang sakit. Share ke gue alamat RS nya, besok pagi gue nyusul ke sana."

"Iya, ntar gue share alamatnya. Udah, ya, gue mau tidur." Aku memutuskan sambungan sepihak.

Aku berusaha kembali memejamkan mata. Tak lama, mulai merasa lelap. Lelap, dan, terbang. Melalang buana membawa pergi dari lelah sejenak.

***

"Aaa!" Aku terbangun lebih karena terkejut saat sebuah bantal mendarat tepat di wajah, juga disertai teriakan tertahan dari seorang wanita. Aku mengerjap. Mentari? Lagi-lagi ia berteriak?

"Lo kenapa sih? Nggak bisa, ya, bangunin gue nggak usah pakai teriak?" aku mengucek mata. Menghilangkan sedikit buram.

"Aaa! Gue kenapa di sini?" teriaknya lagi.

"Lo pingsan. Hipotermia dua kali. Makanya masuk rumah sakit," jawabku pelan, sesekali masih menguap.

"Dan Mas Awan ngapain di sini?"

"Ya, nungguin lo bangun,lah!" jawabku cepat.

"Eh, bukan itu maksud gue. Kenapa tidur di kamar ini?"

"Lo mau gue tidur di luar, gitu?"

"Eh, bukan gitu. Maksud gue, Mas Awan kan cowok. Gue cewek. Eh," Mentari salah tingkah. Aku mendengus.

"Gue nggak ngapa-ngapain lo," sahutku cepat.

"Eh, tapi kan, bisa tidur di musholla atau di mana, gitu."

"Heh, lo seharusnya bilang makasih ke gue.
Udah gue tolongin, juga. Masih aja bawel. Badan gue nih, sakit semua gegara ngangkat lo! Setidaknya gue harus tidur layak!" protesku. Enak saja Mentari menyuruhku tidur di musholla.

"Waa!" Aku spontan menutup telinga.

"Apalagi, hah?"

"Aaa! Ini baju gue mana? Kok udah ganti gini?"

"Baju lo basah, kena embun. Diganti juga supaya naikin suhu tubuh lo, biar normal," ucapku.

"Bukan lo yang ganti kan?"

"Dih ... amit-amit. Ge-er banget jadi cewek! Perawat yang ganti."

"Aaa!"

"Duh, apa lagi? Nggak usah teriak." Aku melengos lagi, tak sempat menutup telinga ketika Mentari entah untuk yang keberapa kalinya kembali berteriak. Membuatku berpikir, mungkin pita suaranya terlalu tebal, tak pernah putus walaupun selalu dipakai untuk berteriak. Antimainstream.

"Bajunya kegedean! Baju siapa sih, ini?" Mentari lagi-lagi menuai protesnya.

"Kemeja gue. Udahlah, terima aja. Masih untung gue pilihin yang nutup semua, karena lo pakai hijab. Berterima kasih, kek. Malah teriak."

"Ow. Iya, deh. Makasih ya. Teriakan gue kencang banget, ya?"

"Gendang telinga gue sampai sekarang masih berdengung," jawabku sarkas.

Ya iyalah. Dikiranya berapa kekuatan gelombang suara yang dihasilkannya itu? Apa dia berpikir gendang telingaku segitu tahan banting menerima pancaran gelombang dari teriakannya? Ia berniat membuatku tuli? Hah. Cewek aneh dan langka. Mana ada cewek yang sembrono seperti dia.

Mentari tampak meraih dompet merah jambu miliknya yang terletak di atas nakas. Mengambil sebuah kartu kemudian menyodorkannya padaku. Aku mengernyit.

"Buat apa?"

"Bayarin rumah sakit dan pengobatan gue."

Aku mendecih. "Nggak usah. Udah gue bayarin," tolakku.

"Hah? Serius? Hebat." mata Mentari berbinar.

"Hebat apanya?" Bingung dengan perkataannya. Apa yang dia maksud dengan 'hebat'?

"Ya, hebatlah! Emang gaji ART itu berapa, sih? Banyak, ya?"

Aku hendak akan tertawa. Masih percaya? Tapi, aku urung tertawa. Membiarkannya larut dalam kekaguman gaji besar seorang ART. Lagian, ia begitu polos dan percaya saja. Biarlah. Lagipula, aku baru mengenalnya. Jadi, identitasku tidak penting baginya.

"Banyak. Majikan gue kaya banget. Sepertiga gajinya buat gue. Maklum lah ya, udah tujuh tahun kerja. Bisa dibilang, terpercaya," jawabku ngawur.

"Eh, yang benar? Wah, majikan Mas Awan hebat banget. Dermawan. Udah gitu diizini libur buat naik gunung pula."

Aku kembali menahan tawa. Logisnya, mana ada majikan membiarkan libur asistennya hanya untuk bersenang-senang, apalagi dengan gaji yang begitu besar. Serius? Mentari malah percaya saja. Menganggap tidak ada yang aneh dari bualanku. Lihat sekarang, ia malah menatap kagum. Ia normalkah?

"Gue udah bisa pulang?" tanya Mentari. Aku menggeleng.

"Paling cepat besok."

"Eh? Gue udah sehat beneran, kok."

"Terakhir kali lo bilang lo udah nggak apa-apa, lo nyaris berhenti bernafas untuk kedua kalinya."

"Ari!" Aku dan Mentari spontan menoleh ke arah pintu yang terbuka toba-tiba. Sasha tampak ngos-ngosan di ambang pintu.

"Masuk salam dulu. Atau ketuk, kek. Lo nyerobot aja tiba-tiba," ujarku. Sasha cengengesan saja.

"Lo nggak apa-apa 'kan?" tanya Sasha, dengan ekspresi panik.

"Lo kenapa panik gitu, sih? Biasa aja, kali. Gue sehat."

"Ditungguin di bawah, nggak nongol. Sekalinya dapat kabar udah di rumah sakit. Gimana nggak panik?" balas Sasha.

"Yah, nyatanya gue nggak apa-apa," selaku. Sasha mendengus.

"Oke, lupakan. Ini Mentari?" Sasha menoleh ke arah Mentari, tersenyum simpul. Mentari kemudian mengangguk, mengiyakan.

"Iya, Mbak."

"Gue kayaknya nggak pernah lihat dia di komunitas. Anak baru, ya?" tanya Sasha skpetis, tapi tetap ramah.

"Eh, bukan, Mbak. Gue bukan anak komunitasnya Mas Awan."

"Hah? Awan? Puft...." Sasha seketika terbahak. Kutebak, karena panggilan baruku. "Awan? Nama lo udah ganti ya, Ri? Awan?" Aku melengos saat Sasha kembali tertawa, sambil memegangi perut. Jarang sekali ia tertawa sampai begini. Apa namaku sebegitu lucunya?

"Udah, ketawanya?" tanyaku apatis, menatap miring Sasha. Gadis itu menghapus setitik bening air di ujung matanya. Ia punya kebiasaan mengeluarkan air mata saat tertawa. Lebih sedikit daripada saat menangis, tentunya.

"Aduh, sori, Ri. Nggak nahan gue dengar nama baru lo. Legend banget. Perut gue sampai sakit."

Ya Tuhan, di mana image-ku saat ini? Aku hanya berdehem, tak berminat bertutur tentang nama panggilan baruku dari Mentari yang menurut Sasha legend. Parahnya lagi, Mentari malah ikut menertawakan. Cih! Dasar!

"Oke, lupakan. Lo anak mana? Kok, bisa jumpa Ari?"

"Gue tersesat, makanya jumpa Mas Awan." Sasha baru akan terkikik saat mendengar panggilan baruku sebelum aku mendelik ke arahnya. Akhirnya, ia mampu menahan gelaknya.

"Terpisah dari rombongan?"

"Em...."

"Dia pergi sendiri. Nggak ada rombongan." aku yang menjawab.

"Lo serius? Niat banget." Mata Sasha terbelalak, seperti tak percaya dengan hal yang didengarnya dariku barusan. Mentari hanya cengengesan saja.

"Trus, kenapa lo bisa masuk RS? Sakit apa?"

"Dia hipoterm. Dua kali." Kembali, aku yang menjadi juru bicara Mentari.

"Hipoterm? Serius? Kok bisa? Itu bahaya banget, loh."

"Gimana nggak hipoterm? Dia nyaris nggak bawa apa-apa waktu mendaki. Cuma jaket bahan denim sama senter."

"Lo serius? Ya ampun! Itu bukan mendaki, namanya!" Sasha lagi-lagi berseru panik. Mentari hanya menanggapi senyum terpaksa, tak tahu harus menanggapi apa.

"Dan, nyaris mati," imbuhku. "Nggak, bisa dibilang mati suri. Sempat berhenti detak jantungnya." aku meralat ucapan.

"Gue mati suri? Masa iya? Gue dengar loh ucapan Mas Awan."

Mataku melebar. Ucapan yang mana?

"Ohya? Ari ngomong apa?" Sasha terlihat antusias. Aku memperingati Mentari dengan gelengan. Berharap Mentari tidak lantas menceritakan apa yang didengarnya. Sialnya, Mentari malah tidak melihat isyarat dariku. Ia sedang menerawang langit-langit. Mungkin mengingat perkataanku semalam. Aku malah berharap ia lupa saja.

"Kalau nggak salah ingat, Mas Awan bilang gini, Mbak. 'Ayolah, Mentari! Sadar! Ngoceh lagi kayak tadi. Ngomong aja yang banyak. Buka mata! Nggak ada roh yang mau nyulik lo! Bangun, Tari! Teriak kayak tadi!' gitu. Eh, benar, nggak ya?"

Mataku kembali melebar. Serius? Ia ingat detail semuanya. Aku bahkan tidak ingat urutan perkataanku padanya. Ingatannya terbuat dari apa? Bisa ingat sebegitunya, padahal mungkin ia dalam keadaan setengah sadar atau malah mungkin tidak sadar sama sekali.

"Nggak. Lo pasti cuma ngigau. Mana mungkin gue bilang begitu." aku menyanggah.

"Eh? Iyakah? Padahal gue dengar jelas banget."

"Gue nggak bilang gitu." Aku kembali menegaskan.

"Eh? Tapi, mungkin juga sih. Barangkali cuma halu."

Aku mendesah lega. Sasha juga melirikku curiga. Semoga raut wajahku tak lantas membuatnya menyadari kebohonganku. Ini hal yang sangat memalukan. Kemudian Sasha kembali tertawa.

"Jangan tegang gitu juga, kali. Wajah lo itu, loh!" Aku mengerjap. Mengusap wajah. Baguslah Sasha tidak menyadarinya.

Sasha kembali melirik Mentari.
"Lo hipoterm dua kali? Yang pertama detak nadi lo berhenti, kan? Trus, gimana caranya lo bisa sadar?" tanya Sasha.

"Nggak tau, Mbak. Yang gue tau, Mas Awan yang bantu. Ntah gimana caranya, gue nggak ngerti."

"Tapi 'kan, kalau darurat dan degup jantung lo berhenti mendadak, berarti...." Sasha menggantung ucapannya. Melirikku dengan tatapan intimidasi. Apa-apaan tatapan itu?

"Kenapa mbak?"

"CPR? Lo lakuin itu?" Alih-alih menjawab pertanyaan Mentari, Sasha malah lanjut menatapku lebih tajam. Aku bergidik.

"CPR? CPR itu kan.... Aaa!" Aku sigap menutup telinga, sudah menduga reaksi brutal Mentari, berteriak. Sasha berjengit kaget, matanya terpejam sebelah. Tak siap menerima reaksi Mentari.

"Hei, hei, hei! Jangan teriak!" Sasha menutup mulut Mentari cepat.

"Ck! Dia itu memang hobi teriak." Aku mencebik.

"Eh? Ri, beneran? Eh, maksud gue ... CPR?"

Aku mendesah panjang.

"Kalian jangan salah paham. Gue lakuin karena terpaksa. Udah ngasih pertolongan pertama pakai jaket, syal, topi, nyalain api, minumin air teh hangat, dia nggak sadar. Tiba-tiba aja detaknya hilang. Emang, selain CPR ada cara apa lagi?" Aku melirik Sasha yng memerhatikan penjelasanku. Gadis itu menggeleng.

"Nggak ada cara lain, sih."

"Nah, makanya itu. Nggak mungkin gue ninggalin dia yang udah nggak bernapas lagi. Gila gue kalau gitu. Gue punya nurani, kali."

Sasha menghela nafas berat.

"Terus, selain itu lo nggak ngapa-ngapain dia kan?" Apa-apaan nada sarkas dari Sasha itu?

"Nggak. Lo bisa pegang ucapan gue. Gue nggak mungkin macam-macam."

"Em ... kalau gitu, gue cabut duluan, ya. Yang penting gue udah jenguk dan lo nggak apa-apa."

"Ya, makasih kunjungan lo."

"Gue pulang duluan, ya. Get well soon. Lain kali kalau mau naik gunung, jangan modal nekat." Sasha berujar pada Mentari yang pipinya malah menggelembung dikatai nekat.

Setelah itu, Sasha melenggang meninggalkan aku bersama Mentari. Lagi-lagi. Aku menoleh ke arah Mentari.

"Sini ponsel lo!"

Mentari mengernyit. "Untuk apa?"

"Ngasih tau orang tua lo kalau lo masuk rumah sakit gara-gara hipoterm."

"Eh, jangan! Please, jangan bilang apa-apa yang bisa bikin cemas orangtua gue!" Mentari memelas.

"Seriously? Lo nggak ada di rumah aja mungkin bisa buat orangtua lo khawatir. Setidaknya, kalau gue kasih tau mereka lo di sini, mereka nggak terlalu cemas."

"Pokoknya jangan."

"Lo kenapa sih? Aneh banget."

"Buat apa gue bilang ke Mas Awan?"

"Ah, right. Kita baru kenal, dan lo nggak perlu cerita apapun ke gue. Deal," balasku jengkel.

Mentari bersungut-sungut. Urung memberikan ponselnya.

"Kalau gitu, gue balik dulu. Yang penting lo udah sadar. Jangan nekat kabur. Lo baru boleh pulang besok," ucapku, mengambil jaket yang tersampir di ujung ranjang.

"Eh, tunggu!"

"Apa lagi?"

"Jangan balik dulu, please!"

Aku melongo tak percaya. Mencelos berat.

"Kenapa lagi?" tanyaku jengah.

"Bisa 'kan, balik besok aja. Bilang majikan lo izin sehari lagi," pinta Mentari memelas.

Aku mencebik.

"Lo dengar, ya. Urusan gue sama lo udah selesai. Lo udah gue bantu sampai ke rumah sakit. Beres. Setidaknya kalau nggak mau repotin orangtua lo, jangan ikutan repotin gue. Gue bukan siapa-siapa lo. Kenal aja baru semalam. Jadi, udah cukup."

Mentari tiba-tiba menyeka titik air matanya. Membuatku kebingungan. Dia menangis? Apa perkataanku barusan menyakiti hatinya? Segitu pedaskah kataku barusan baginya?

"Eh, lo kenapa? Gue terlalu kasar? Maaf," pintaku. Mentari menggeleng lemah, kembali menyeka bulir air mata.

"Jangan minta maaf. Mas Awan benar. Gue terlalu banyak repotin. Maafin gue."

Walaupun ia berkata begitu, aku tetap tidak tega melihatnya tergugu seperti itu. Duh, sebenarnya dia kenapa sih?

"Mas Awan boleh pulang duluan, kok. Makasih karena udah nolongin gue."

Aku malah kasihan melihatnya yang sekarang sedang memaksakan senyum. Ke mana wajah beringasnya saat melakukan hobi berteriak? Mungkin suasana hatinya sedang buruk.

Aku mendengus.

"Gue di sini. Sampai besok."

"Serius?" Wajah lara Mentari malah berubah menjadi binaran bening.

"Iya."

"Makasih!"

"Hem...."

Senyumku terbit tanpa kusengaja saat melihat gelak Mentari. Walaupun untuk beberapa detik kemudian terlintas di benakku bahwa pekerjaan besok akan berat jika kutinggalkan. Apalagi aku belum menemukan kontrakan sebagai tempat tinggal sementara. Ah, biarlah. Pekerjaan bisa menunggu.

"Tapi ... Mas Awan tidur di musholla aja, ya? Eh, ngga baik berduaan. Ntar jadi fitnah."

Aku kembali melongo. Anak ingusan ini kenapa sih? Sudah memintaku untuk menetap, menyuruh tidur di musholla pula. Aku mencelos.

"Hem."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro