Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5

"Jadi ... lo mau pulang kapan?" tanyaku.

"Sebenarnya gue pernah punya keinginan buat lihat sunrise dari Semeru." Mentari memandang lurus ke depan.

"Jadi, lo niat pulang ntar subuh-subuh?"

Gadis itu menggeleng.

"Gue memang berharap bisa lihat sunrise terindah dari sini, tapi, momen ini bukan waktu yang tepat."

Sama, gue juga pengen untuk kesekian kalinya menyaksikan matahari terbit dari puncak Semeru. Tapi, waktu ini bukan waktu yang tepat. Karena gue lagi dalam mode pelarian.

"Kalau gitu, balik sekarang?" Aku memutuskan untuk tidak bertanya tentang 'bukan waktu yang tepat'. Barangkali dia memang tidak ingin menceritakan. Atau sekarang dia sama sepertiku? Tengah mencari pelarian? Mungkin saja. Lebih tepatnya, aku baru mengenalnya. Tak etis mencampuri urusannya.

"Mas Awan hafal rute nya?"

"Hafal." Aku bangkit, menyandang kembali ranselku. Kemudian menepuk bokong, menyingkirkan tanah yang menempel.
"Yuk," ajakku.

Bukannya ikut bangkit, Mentari malah termenung sekarang. Aku mendesah berat. Apa segitu berat masalahnya?

"Setiap orang punya masalahnya sendiri. Bukan tentang siapa orang yang lebih berat masalahnya, tapi tentang orang yang mampu menghadapi. Nggak lari, apalagi nyerah."

Aku menelan ludah. Sebenarnya nasihat itu lebih cocok kutujukan pada pribadiku. Sekarang aku malah tertampar oleh perkataanku barusan. Harusnya nasihat tersebut kutujukan untuk diri sendiri. Aku malah lari dari masalahku.

"Gue udah sering banget dengar nasihat yang kayak begitu. Yang lain ada, nggak?" Mentari malah tertawa mendengar nasihatku.

Shit! Aku memalingkan wajah. Sudah untung aku menasihati dan peduli padanya. Lihat saja, ia masih terbahak menertawai hal yang mungkin dianggapnya lucu. Membuatku merasa konyol juga jengkel. Entah apa yang mengganjal di hatiku. Yang pasti, melihatnya tertawa aku merasa sedikit bebanku terangkat.

"Tapi, makasih loh, udah berusaha nyemangatin gue. Yuk, turun." Mentari bangkit, berjalan ke sampingku.

Aku mengangguk. Perlahan dan berhati-hati menuruni lereng yang agak terjal. Di belakangku, Mentari malah sibuk mengomentari ini-itu.

"Kenapa sih, nggak sekalian dibikin lampu, gitu, biar terang? Ini kan juga udah dijadiin tempat wisata."

Atau,

"Jalurnya kenapa, ya, nggak sedikit diluasin, jangan setapak kayak gini?"

Atau,

"Ih sebenarnya, istana ghaib 18 tingkat itu di mana ya? Bukan di jalur ini kan, ya?"

Atau,

"Harusnya jalur buat pendaki itu pohonnya ditebang, kan? Lihat aja, gue udah berkali-kali terjedut dahan pohon."

Atau,

"Eh, daun ini bisa, nggak, ya,dimakan? Atau beracun?"

Aku berkali-kali menghela nafas berat. Apa dia tidak bisa berhenti bicara? Apa energinya terlalu besar untuk mengoceh? Mengenai pertanyaannya, sebenarnya aku bisa saja menjawabnya.

Kenapa tidak ada penerangan? Emangnya Semeru itu Taman Nasional? Mesti ada penerangan? Tentang jalur, mana ada jalur pendakian selain jalan setapak, ini bukan Bromo. Dikira jalan raya? Pohon yang harus ditebang di jalur umum pendakian? Hei, Nona, kelestarian harus dijaga. Bahkan tempat wisata tak bisa dijadikan alasan untuk menebang penopang tanah tersebut.

Tentang istana ghaib 18 tingkat, aku tidak tahu persis letaknya, tapi bukan hanya lokasinya saja yang membuat merinding. Di setiap tempat bahkan sudah ada penunggunya masing-masing, kan? Tentang daun yang saat dimakan atau bahkan beracun, bisa ditandai dengan bau dan warnanya.

Mentari benar-benar tidak pernah mendaki sebelumnya, teryata. Begitu banyak berkicau. Saat terpeleset, mengoceh. Saat terantuk ranting, berceloteh. Saat tersuruk, mengeluh. Nih cewek, apa tidak bisa diam dan santai saja? Aku melengos.

"Lo bisa diam, nggak?" Aku mulai jengah.

"Kalau nggak mau dengar, tutup telinga aja, kali. Suka-suka gue, lah," sahutnya.

"Lo nggak boleh ngomong yang aneh-aneh di sini kalau lo nggak mau diikuti atau digentayangi, atau diculik roh halus." Mata Mentari terbelalak mendengar ucapanku. Dia sedikit mendekat, mungkin lebih karena takut.

"Jangan ngomong gitu, ih! Kaki gue gemetaran, nih!" protes Mentari, wajahnya sudah terlihat pucat. Segitu takutnya, ya?

"Loh, gue ngomong serius. Kalau nggak mau diikuti, atau diculik, atau digentayangi, lo diam dan ikuti gue, jangan banyak bacot!" Mentari cepat mengangguk. Menyetujui. Ah, syukurlah. Aku sudah lelah mendengar kicauannya.

Selebihnya, aku kembali memimpin jalan. Di belakang, Mentari tampak sama sekali tidak berbicara sepatah kata pun. Saat diam begini, aku malah ingin mendengar bacotnya. Jangan salah sangka. Ini terlalu hening dan sunyi.

Aku terus berjalan, mengarahkan senter lurus kedepan. Memastikan melewati jalur yang benar. Kemudian berhati-hati dengan medan yang agak licin karena embun. Berhati-hati dengan dahan yang agak menjorok ke arahku, juga berjaga-jaga jika mungkin ada hewan buas. Ular, mungkin?

"Sekitar satu jam lagi kita sampai ke kaki gunung," ujarku, memperingatkan. Tapi di belakangku, Mentari tak menjawab. Apakah dia masih mencicit karena ketakutan?

"Ya elah, kalau cuma buat ngomong hal biasa, lo nggak perlu bisu gitu," ucapku, masih sambil memerhatikan arah senter.

Di belakangku, Mentari tetap tidak menjawab. Aku menghentikan langkah. Mulai curiga. Aku menajamkan telinga, sama sekali tidak mendengar derap langkahnya, sesaat kemudian aku seakan tersadar bahwa Mentari tidak sedang beesamaku saat ini. Tak berlama-lama membiarkan curiga, aku memutuskan membalik tubuh. Benar saja. Ia tidak di sana.

Mentari di mana?

Aku mengarahkan sinar senter ke belakang, mungkin Tari tertinggal beberapa langkah, mungkin aku terlalu cepat berjalan hingga tak sadar meninggalkannya.

Namun, ia tetap tiada. Aku kembali menaiki lereng, mencarinya. Sudah lima menit mencari, tetap tidak kelihatan batang hidungnya. Tidak mungkin ia tertinggal lebih jauh dari sini.

"Tari?" Benarkah ini Mentari? Dia rebah meringkuk. Menggigil hebat. Aku mengarahkan cahaya senter menyorot wajahnya. Pucat pasi. Ia kenapa? Hipotermia?

Dan kenapa aku baru menyadarinya? Dari tadi ia sama sekali tidak membawa perlengkapan mendaki kecuali senter. Jaket yang ia kenakan juga hanya jaket denim yang mungkin tidak bisa disebut jaket. Jaketnya pun sudah agak basah. Suhu tubuhnya menurun drastis.

"Tari, lo dengar gue?" Aku menepuk pipinya. Ia tidak merespon.

Mentari kehilangan kesadarannya. Menurun drastis.

Aku mengecek nadinya. Masih berdetak walaupun masih agak lemah. Walaupun telah mempelajari cara menangani mandiri orang yang terserang hipotermia, tetap saja aku belum pernah mempraktikkan langsung. Selama ini, anak-anak komunitas selalu baik-baik saja hingga sampai tujuan. Dan di keadaan genting begini, Mentari malah terserang hipotermia.

Aku membongkar ransel. Mencari syal, topi wol, korek api, serta termos teh panas. Untung saja teh yang tadi kubuat dengan teman-teman masih banyak tersisa. Kemudian aku mengambil beberapa ranting dan daun kering di sekitar, lalu membakarnya hingga menjadi api unggun.
Setelah itu kugosokkan tangan, kutangkupkan pada jemari Mentari yang semakin terasa beku.

Selanjutnya aku melepas jaket basah miliknya. Untung saja pakaiannya tidak basah. Air hanya menyentuh jaket denimnya. Kemudian, kupakaikannya jaket, topi wol, dan syal milikku. Untung saja aku memakai baju dalam dan mengganti kemeja dengan sweater sebelum hendak turun dari puncak bersama teman-teman tadi.

Aku mengangkat sedikit kepalanya, meletakkan kepalanya diatas pangkuanku. Selanjutnya, kuminumkan sedikit demi sedikit air teh padanya. Asupan gula sangat penting bagi tubuh yang suhunya turun drastis.

Sadarlah.

Mentari tetap tidak bereaksi. Aku menyentuh kembali nadinya. Semakin lemah. Apa yang harus kulakukan? Ia bahkan tidak merespon apapun. Juga detak jantungnya makin lemah.

Jantungku berdegup kencang. Aku harus bisa menyelamatkannya. Aku adalah ketua komunitas Mountain Misser. Aku tidak akan membiarkan orang yang mendaki bersamaku tertinggal, menghilang, atau yang lebih buruk, meninggal. Dan, hipotermia dapat menyebabkan detak jantung berhenti mendadak.

"Ayolah, Mentari! Sadar! Ngoceh lagi kayak tadi. Ngomong aja yang banyak. Buka mata! Nggak ada roh yang mau nyulik lo. Bangun, Tari! Teriak kayak tadi."

Mentari terbatuk. Saat kupikir ia akan membuka mata lantas kemudian sadar, dugaanku salah. Denyut nadinya seperti sangat lambat, hingga aku menduga beberapa saat lagi jantungnya akan berhenti berdetak mendadak. Apa lagi yang belum kulakukan? Memindahkannya perlahan ke tempat yg lebih hangat, sudah. Melepas jaket basah dan menggantinya dengan jaket superhangat dariku, sudah. Syal, sudah. Topi rajut, bahkan sudah hampir menutupi matanya, juga sudah. Memberikannya asupan hangat yang mengandung glukosa, juga sudah. Apa air yang kuberikan padanya terlalu panas? Ah, tidak juga.

Usahaku gagal? Yang benar saja.

CPR! Eh? Apa aku harus melakukannya? CPR itu, kan....

Nadinya! Serius? Berhenti? Aku menarik nafas panjang. Tidak ada cara lain. Aku akan merasa sangat bersalah dan dihantui seumur hidup jika tidak menyelamatkannya.

Aku memberikan kompresi pada bagian bawah tulang sternumnya sebanyak 30 kali. Dengan kecepatan yang kuusahakan minimal 120-130 kali per menit.

Setelah itu, perlu dilakukan pembukaan jalan napas dengan metode, ah, apa pula namanya. Aku lupa. Yang pasti aku mengingat caranya.

Kuletakkan tangan di dahi Mentari, lantas menarik sedikit dagunya agar posisi kepalanya menengadah sedikit ke atas. Selanjutnya, kukutup hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk.

Maafkan aku jika ini sebenarnya tidak pantas, tapi aku harus melakukannya. Supaya kamu terbangun lagi.

Huh. Aku menarik napas panjang. Kemudian memberikannya nafas bantuan dua kali dalam satu menit. Begitu pun selanjutnya.

Karena Mentari tetap tidak menunjukkan respon, maka kemudian aku melanjutkan 30 kali kompresi dada dan dua kali bantuan nafas dalam dua menit.

Ayo, Mentari! Bangun!

Mentari terbatuk! Dia mengerjap beberapa kali. Berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Nadinya mulai berdetak kembali, walau masih lemah. Wajahnya masih pucat. Tapi setidaknya, sudah lebih membaik.

"Gu ... gue--"

"Lo hipotermia. Sekarang, jangan bicara dulu. Lo belum pulih." Aku memotong omongannya. Ia kemudian mengangguk, mengeratkan jaketku, juga topi. Aku kemudian memberinya secangkir teh hangat, yang langsung disesapnya. Kemudian perlahan ia menggosokkan telapak tangannya, mendekatkan tangan ke api. Tapi kemudian tangannya kembali terkulai.

Aku menghela napas berat. Kudekatkan tanganku ke dekat api, dekat sedekatnya. Kemudian kugosokkan telapak tanganku. Lantas kemudian kutangkupkan kedua telapak tanganku pada tangannya yang mungil.

Mentari tersenyum kecil. Senyum yang pucat.

"Ayo, balik."

Aku melotot. Yang benar saja? Bukankah dia baru saja sadar dari hipotermia? Suhu tubuhnya belum bisa dibawa berjalan dulu. Ia belum pulih.

"Lo udah cukup ngerepotin gue. Mau repotin lagi, hah? Kalau lo pingsan lagi, gimana?" sambarku cepat.

"Yaa, maaf deh kalau repotin."

"Bagus kalau lo sadar."

"Tapi gue udah kuat berdiri, kok," sambutnya. Bergetar ia memaksakan untuk berdiri. Tetap saja, ia tak mampu. Terjatuh lagi, kemudian cengengesan. Aku menepuk dahi.

"Udah, jangan maksa!" perintahku.

"Lo mau suhu gue makin turun? Setidaknya di bawah sana lebih hangat," celotehnya. Aku mengernyitkan dahi. "Yaah, mungkin," sambung Mentari, tampak ragu dengan hipotesisnya.

Aku melengos, kemudian melirik wajahnya yang sudah mulai agak memerah.

"Pengen banget turun?"

"Iya."

Aku mengeluarkan sekaleng biskuit yang sempat kubeli sebelum mendaki, lalu menyodorkan pada Mentari.

"Makan dulu. Gue nggak bawa makanan berat. Kalau lo nggak mau, kita nggak turun malam ini."

Bibir Mentari mengerucut, tapi kemudian pasrah mengambil biskuit yang kusodorkan. Ia kemudian melahapnya pelan. Mengunyah lambat. Mungkin selera makannya memang sedang tidak baik, tapi apa boleh buat? Aku tidak ingin lagi repot karenanya.

Aku terus memerhatikannya makan. Terlalu lambat, tapi sepertinya ia sedang bersungguh-sungguh melahap biskuitnya. Mungkin ia memang sangat ingin pulang. Aku memalingkan wajahku ke arah api unggun yang nyaris padam.

Kenapa malah jadi begini? Padahal tadinya aku melarikan diri karena ingin refresh, setidaknya tidak merepotkan diri sendiri dengan berbagai pikiran tentang perjodohan. Malah Mentari yang membuatku repot malam ini.

"Gue nggak kuat ngabisin semuanya. Tapi, setidaknya gue udah makan banyak. Gue udah kuat, kok, sumpah!" Mentari menyodorkan kaleng biskuit padaku yang masih tersisa banyak.

Aku mengangguk. Sesuai janji, aku memasukkan segala barang yang tadi sempat ikut kukeluarkan saat mencari korek api, syal, dan topi wol. Berdiri kemudian menyandang kembali ranselku.

"Eh? Ini kan jaket Mas Awan. Eh, ni, dipakai. Nanti malah kedinginan."

"Nggak usah. Lo aja yang pakai. Udah sekarat gitu, masih aja bawel."

"Ih, padahal gue itu khawatir."

"Khawatirin diri lo sendiri sana!"

"Yee, gue kan-"

"Jadi ikut, nggak?"

"Eh, jadi, jadi."

"Kuat berdiri?"

"Kuat."

"Kuat jalan?"

"Bisa, kok."

"Kalau gitu, lo jalan di depan. Gue di belakang lo."

"Lah, gue kan, nggak hafal jalannya?"

"Makanya dengar intruksi dari gue. Lo gue suruh jalan di depan bukan karena lo yang mimpin. Tapi karena gue takut, kalau lo di belakang, seandainya lo kenapa-napa, gue nggak tau. Ntar lo ketinggalan. Untung gue sadar," sanggahku.

"Cie, khawatir ya, sama gue?"

"Mau turun, nggak?" Aku mengalihkan topik. Tak berminat lagi bercanda.

"Eh, mau, mau."

Aku mengisyaratkannya untuk berjalan mendahuluiku. Berkali mengarahkannya jalan yang tepat. Berkali-kali pula aku refleks memegang bahunya saat ia tersuruk. Ia berjalan terseok dan tertatih. Cukup mengkhawatirkan, sebenarnya. Tapi ia tetap bersikeras mampu melakukan, walau beberapa kali aku menginterupsinya untuk istirahat dulu barang sejenak.

Tepat saat pos terakhir yang paling dekat dengan kaki gunung terlihat dari radius 300 meter, Mentari terhuyung. Aku cepat menangkapnya.

Ah, apa kataku? Dia kembali pingsan. Aku mendesah berat. Tidak sedingin sebelumnya. Jadi kuputuskan untuk menggendongnya saja. Di bawah nanti, petugas pasti akan membantuku.

Sebenarnya, Mentari tidak terlalu berat untuk ukuran seorang gadis. Tinggi tubuhnya setengah jengkal-kira-kira- di bawah bahuku. Agak mungil. Tapi, yang memberatkan adalah, karena aku memikul tas gunung di pundak, sedangkan tanganku menggendongnya. Jadilah aku berjalan terhuyung berkali-kali. Bahkan senter kuletakkan di mulut agar tetap dapat melihat dalam kejauhan.

"Lo benar-benar membuat gue kerepotan hari ini."

Benar saja, saat aku menapak di kaki bukit, petugas langsung membantu membopongku. Mereka sempat menawarkan untuk memanggil ambulance, tapi kutolak halus. Cukup bopong saja Mentari ke mobilku. Biar aku yang mengurusnya.

Jam menunjukkan pukul tiga pagi. Tubuhku remuk. Ototku lelah. Mataku berat. Bahuku pegal. Kepalaku seperti berputar pelan. Aku melirik Mentari di jok belakang. Ia kembali terlihat pucat, walaupun tak sepucat saat pertama kali kulihat ia tak sadarkan diri.

Setelah malam yang panjang ini, aku masih harus mengantarkannya ke rumah sakit, juga harus dalam waktu yang singkat. Agar gadis yang tengah tertidur itu dapat terselamatkan. Itu artinya, aku masih harus menanggungnya. Setidaknya hingga ia kembali membuka mata di ruang rawatan medis.

Aku mengusap wajah yang terasa kebas. Kenapa aku malah mengalami ini?

"Lo juga. Kenapa sih, mesti repotin hidup gue? Udah urusan gue belibet, nambah harus jagain lo, lagi."

Aku meneguk sebotol air mineral hingga tandas. Menajamkan penglihatanku, dan menekan pedal gas.

Bagaimana pun, Mentari harus selamat. Setidaknya, kalau ia tidak selamat, aku tidak ingin direpotkan oleh tim otopsi dan polisi untuk ditanyai keterangan. Aku tidak ingin lagi repot karenanya. Sudah. Itu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro