13
Aku berkali-kali menoleh pada Mentari. Kebingungan tentang apa yang harus kulakukan sekarang. Hendak menghubungi keluarganya, ia tidak membawa ponsel. Yah, mungkin seluruh isi tasnya memang udah dirampas oleh jambret kurang ajar.
Sudah tiga jam berlalu, gadis ini masih betah saja mengatup mata. Membuatku berkali mondar-mandir ruangan, tidak tahu harus melakukan apa. Meninggalkannya juga mustahil.
"Hai." Aku spontan menoleh ke arah Mentari yang tersenyum lemah dari pembaringan. Wajah pucatnya yang tadi masih sama, terlihat pucat. Akan tetapi setidaknya, senyumnya bisa sedikit mengangkat kegelisahan keadaannya.
"Hai lagi," balasku, lantas mendekat.
"Terima kasih buat pertolongannya, lagi, Mas Awan."
Aku menarik sudut bibirku. Tersenyum miring.
"Dan, lo ngerepotin gue. Lagi-lagi," gumamku.
"Dan gue juga nggak tau kenapa Mas Awan yang datang bantuin. Lagi-lagi," balas Mentari. Aku tertawa renyah. Begitupun Mentari, walau sedikit lemah.
Lagi-lagi gue ketemu lo buat nolongin. Dan lo, buat repotin. Alasan bertemu yang aneh. Tapi, gue nggak terlalu membenci alasan ini.
Hening. Hanya terdengar pergerakan jarum jam yang memusing. Menambah hening ruangan dengan interior serba hijau ini.
"Gue belum sholat. Maghrib sama isya," ujar Mentari. Pandanganku yang sebelumnya menatap layar tancap kini beralih pada Mentari.
"Lo nggak usah sholat dulu. Luka lo masih basah," saranku. Mentari menggeleng.
"Gue harus sholat. Gue masih hidup. Dan gue masih bisa," sahutnya, berusaha untuk turun dari ranjang.
"Aw!" pekiknya. Aku menggeleng pelan.
"Barusan gue udah bilang, luka lo masih basah. Jangan banyak gerak. Bandel," omelku.
"Gue kan cuma mau sholat, biarin gue aja, kenapa, sih? Bawel amat, lagian."
"Ya sudah, kalau bisa, turun aja sendiri," tantangku. Ia pasti tidak bisa.
Aku membelalak ketika ia nekad bangkit. Meringis sedikit, tapi langsung memaksakan langkah. Hei, apa ia tidak memedulikan kesehatannya? Ia ingin merepotkanku lagi, hah? Tubuhnya oleng. Langsung kuraih. Sebelum lebih rendah menyentuh ubin.
"Ck! Keras kepala. Sini, gue bantu." Aku melingkarkan tangan kanan Mentari di leher. Sedangkan tangan kirinya yang diinfus membawa tiang infus.
Di depan kamar mandi, aku melepaskannya. Ia lantas masuk. Muncul tiga menit kemudian, sudah basah oleh wudhu. Aku kembali meraih lengannya, hendak kusampirkan di bahu.
"Aaa!"
Demi apa?!
Aku langsung melepas lengan Mentari. Cepat mengusap telingaku yang berdengung hebat. Sungguh, telingaku tidak pernah lebih sakit dari ini. Ia berteriak tepat sekitar sepuluh senti dari telingaku. Ia sudah gila? Gendang telingaku apa kabarnya?
"Lo kira telinga ada jual di pasaran kalau rusak, hah? Lagian teriakan lo bikin nih telinga gue sakit! Bisa nggak, sih, nggak usah teriak?" bentakku. Sakit begini, dia masih saja sanggup menarik dalam suaranya untuk berteriak.
"Dih, nyalahin gue. Salah Mas Awan, tuh!" Mentari balas menuding.
"Ck! Gue bantuin, salah, nggak bantuin juga salah!" Aku bersungut, tanganku masih menempel di telinga. Melindungi kalau-kalau ada teriakan susulan darinya.
"Kalau gue udah selesai wudhu, jangan sentuh gue, tau!" Mentari balas mencebik.
"Heh, lo jangan ge er. Gue nyentuh buat bantu lo!"
"Ish! Gara-gara itu gue mesti ngulang wudhu!"
Hah? Nambah-nambah kerjaan saja. Mentari memutar bola matanya, jengah.
"Kalau gue udah wudhu, gue nggak boleh bersentuhan sama Mas Awan. Ntar batal. Dan, gue udah batal. Harus ngulang," jelas Mentari.
Iya, sih. Kenapa aku bisa lupa?
"Ish! Udah, gue balik wudhu dulu. Mas Awan nunggu di sana! Gue udah bisa sendiri."
Aku mencebik. Mengikuti perkataannya. Kembali duduk di sofa. Tak lama kemudian, Mentari keluar. Membuatku sedikit heran. Padahal ia memakai jilbab, lalu kembali berwudhu. Jangan lupakan sebelah tangannya yang terbatas geraknya karena terdapat tusukan jarum infus. Ia cepat sekali.
Sesekali masih meringis, tapi tampak tak dipedulikannya. Ia lantas mengambil posisi sholat dari atas ranjangnya. Ia akan sholat, sambil tidur. Aku menghela nafas lega. Setidaknya lukanya tidak mempunyai kesempatan besar untuk kembali menganga.
"Eh, gue kelupaan sesuatu."
"Apa?"
"Nggak punya mukena. Bisa tolong ambilkan?"
Aku menangguk. Bangkit. Mataku menyapu sekeliling area kamar.
"Nyari apa?" Mentari menelengkan kepalanya, bingung melihat reaksiku.
"Mukena."
"Mana ada di sini! Di musholla."
"Hah? Maksud lo?"
"Ya, maksud gue, tolong ambilin. Di musholla."
Ck. Aku melangkah cepat. Baru kali ini merasa seperti pembantu. Disuruh-suruh. Oleh Metari pula.
Tiga menit kemudian, aku kembali. Menyerahkan mukena pada Mentari. Gadis itu lantas mengucapkan terima kasih. Tersenyum, menampilkan pahatan terindah wajah dengan sebuah lesung pipi tipis di pipi kirinya.
Aku mengangguk patah-patah. Kenapa pula aku menjadi gugup seperti ini. Telaten, meski hanya dengan satu tangan, Mentari berhasil memakai mukena. Kemudian ia tak menunda untuk bertakbir. Memulai sholat.
Aku menghempaskan diri di sofa. Mataku menatap gerakan terbatas Mentari. Menatap jerih pada wajahnya yang sesekali meringis. Juga menatap kagum pada prinsipnya yang masih tetap mengutamakan kewajiban.
Setelah salam, ia mengangkat tangannya, menggumamkan kecil beberapa bait doa. Setelah itu, ia lantas melipat mukena yang dipakainya, tanpa melepas jilbab yang dipakainya sebelum memakai mukena.
"Lo dirampok?" tanyaku setelah ia beres dengan mukenanya.
"Oh iya! Gue lupa gue dirampok. Dari tadi gue coba ingat-ingat loh, gue masuk rumah sakit karena apa," ocehnya.
Hah?
"Rampok sialan! Ya, kalau mau rampok, rampok aja! Nggak usah nusuk-nusuk gue," omel Mentari.
"Abisnya, lo teriak. Makanya dia nusuk lo."
"Suruh gue diam, lah! Malah nusuk," balas Mentari sewot. Dikira Mentari, teriakannya itu bisa dihentikan? Iya, bisa, harus ditusuk dulu baru berhenti. Ekstrem.
"Jadi, isi tas lo diambil semua? Ponsel lo juga?"
Mentari mengangguk lesu. Sudah kuduga. Jadi, harus kuhubungi siapa sekarang?
"Liat aja. Ntar pulang dari sini gue belajar bela diri," tekad Mentari, polos. Aku tertawa pelan, menanggapi.
"Eh, gue boleh tanya?" Mentari menoleh ke arahku.
"Boleh,"
"Mas Awan kok bisa ada di situ? Nih lagi, pakai kemeja, rapi begini. Eh, terus majikannya Mas Awan ngizinin Mas Awan nggak balik-balik ke rumah karena nemenin gue?"
Sungguh aku hanya ingin terbahak saat ini. Perutku malah sudah merasa geli mengetahui Mentari masih berpikiran sama bahwa aku adalah seorang ART. Ah, biar saja ia menanggapku ART, itu bukan hal penting, sekaligus aku bisa mengerjainya karena telah membuatku terlihat konyol di hadapan orang-orang dengan panggilan 'Awan'.
"Lagi benerin mobil majikan gue, bannya meletus. Kebetulan dengar lo teriak. Kemeja? Emangnya ART nggak boleh nampak rapi, hah? Tenang, majikan gue jelmaan sultan yang baik hati dan pengertian. Lagian, lo kalau udah bisa gue tinggal, juga nggak bakal gue tungguin. Nggak usah ge-er," cerocosku. Sebagian besar hanya candaan yang sepertinya dianggap serius.
"Dih, siapa pula yang ge-er?" Mentari bersungut tak terima karena aku mengatakannya ge-er.
"Jadi, lo ingat nomor keluarga lo? Ayah, ibu, Mas lo, atau siapa?" Aku mengeluarkan ponsel dari saku.
"Satu pun nggak ada yang gue ingat. Gue paling nggak suka hafal angka. Termasuk nomor telepon. Boro-boro ngafal nomor keluarga. Nomor sendiri juga gue nggak ingat." Mentari menerawang langit-langit.
Yah, so? Gue harus nemenin lo, gitu, sampai lo dibolehin pulang? Elah, asal jumpa lo, gue kenapa harus dibuat ribet sama urusan rumah sakit, sih?
"Jadi, gimana?"
"Gimana apanya?"
"Gimana? Keluarga lo nggak ada yang tau lo di sini-"
"Kan, ada Mas Awan."
Haduh!
"Keluarga lo mesti tau. Biar mereka ke sini, jagain lo."
"Ya, terus, gimana? Nomor nggak tau, apapun nggak ingat. Masa mau dibuat pengumuman pakai koran? Wanted, keluarga Alesha Haniyya Mentari, gitu?" ceplos Mentari tenang.
Ini anak, bisa tenang walaupun dalam keadaan mendesak begini. Aku mendaratkan bokong di sofa. Berbicara dengannya sama saja dengan bacotan. Tidak ada titik terang. Begitu-begitu saja.
"Gue banyak kehabisan darah kan?" Pertanyaan Mentari hanya kutanggapi dengan anggukan.
"Darah lo langka pula."
"Untung aja rumah sakit punya stok golongan darah gue, ya." Mentari mengusap dada, lega.
"Siapa bilang? Tiga rumah sakit, tambah rumah sakit ini lagi kosong stok darah lo."
"Beneran? Jadi, darah siapa?"
"Adek gue."
"Wih, makasih loh, ya. Mana adik Mas Awan?"
"Udah pulang."
"Tenang, tenang. Nanti jasa adek Mas Awan bakal gue balas," cetus Mentari. Whatever. Terserah dia. Adikku saja dia tidak tahu yang mana.
"Kayak tau aja lo adek gue yang mana."
"Elah, kalau udah jodoh, mah, pasti gue nemu adek Mas Awan."
Nah, loh? Mendengarnya kenapa malah aku yang greget?
"Jodoh sama adeknya, bukan sama Mas Awan. Jangan ge-er." Mentari mencibir.
Shit!
"Emang gue ada bilang gitu, kalau lo jodoh gue? Kan, nggak. Nuduh." Aku menuding Mentari. Ah, kenapa pula pipiku rasanya memanas?
Bibir Mentari mengerucut. Lalu memalingkan wajah tak peduli.
"Karena lo udah sadar, gue balik, ya. Besok gue kerja." Aku membatalkan keheningan.
"Oke, boleh."
Eh? Serius? Boleh? Ia tidak menahanku seperti waktu itu?
"O-oke, kalau gitu. Gue balik dulu, ya. Besok selesai kerja, gue mampir." Aku terbata berucap. Mentari mengangguk, lantas tersenyum. Membolehkanku pergi.
"Hati-hati. Salam buat adek Mas. Bilang makasih udah nolongin gue."
Aku mengangguk, kemudian mengambil kunci mobil yang terletak di atas nakas. Setelah itu, pamit pada Mentari.
"Sekali lagi, makasih," ucapnya ketika aku sedang membuka pintu, membuat pandanganku kembali tertoleh ke arahnya. Aku hanya mengangguk, memancing senyum tulus Mentari.
Aku berjalan ke parkiran. Saat mengeluarkan dompet untuk mengambil uang bayar parkir, aku melihat sesuatu nangking di sana.
Aku menepuk dahi.
Kenapa bisa lupa?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro