Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12

Aku berkali-kali menatap cermin. Memastikan penampilanku layak di hari pertamaku masuk kerja. Aku akan mulai membuktikannya hari ini. Dan aku pasti dapat melakukannya. Tanpa bantuan papa.

Sesaat kemudian aku berjalan santai menuju mobil, menekan pedal gas lalu meluncur.

Ini memang belum waktunya untuk pergi bekerja. Masih terlalu pagi. Tapi, aku harus lebih dulu membeli sarapan. Beberapa hari lalu aku juga masih terlalu malas bergerak untuk membuat sarapan. Bukan apa-apa, aku hanya sedang malas membeli bahan pokok makanan.

***

Pekerjaan berjalan baik. Direktur menaruh hormat padaku, yang kuduga karena Rinai membicarakan pengalaman dan etos kerja yang dapat kubuktikan di hari pertamaku. Dalam dua bulan jika hal ini terus berlanjut baik, maka aku akan kembali naik pangkat, atau bisa jadi dipromosikan pada kedudukan yang lebih baik.

Ah, iya, sekarang sudah pukul lima sore. Aku menyusuri jalanan yang cukup padat. Tak heran, Surabaya itu termasuk kota sibuk. Yah, walaupun tak sesibuk Jakarta, of course.

Saat sedang menikmati menyetir dalam kemacetan yang singkat, tiba-tiba aku merasa mobil sedikit oleng. Kuputuskan saja untuk meminggirkan. Dan benar, ban kempes. Sialnya, aku malah tidak mempunyai ban serep. Gerak cepat, aku menghubungi bengkel langganan yang sepuluh menit kemudian mendatangkan mobil derek untuk membantu perjalanan mobilku sampai bengkel.

Tanpa diberi tahu pun, aku mengerti mobilku butuh waktu lama untuk sehat kembali. Entah kenapa pula bengkel hari ini ramai. Tidak biasanya. Jadi, dari pada menunggu, aku lebih baik berkeliling saja. Mencari makan malam, walaupun ini masih terlalu cepat untuk makan malam. Yah, selagi ada waktu luang, lebih baik dimanfaatkan.

Aku berjalan sekitar tiga ratus meter dan mendapati restoran padang. Langsung saja kupesankan makanan lalu melahapnya cepat. Tak ingin waktu maghrib kuhabiskan di perjalanan. Setelah piring tandas, aku berjalan santai, menyusuri tiap langkah dengan ringan. Tinggal menunggu beberapa menit saja, dan sudah langsung bisa pulang.

Sesaat aku mendengar teriakan seseorang. Seseorang yang kukenal. Suara ... Mentari? Apa telingaku tak salah dengar? Tapi, teriakan ini, aku sangat menghafalnya. Ini memang Mentari. Aku menajamkan pendengaran, lantas berjalan berjingkrak pelan ke sumber suara. Tapi, suara itu telah lenyap. Ah, mungkin saja aku memang hanya sedang berhalusinasi.

Ketika aku baru hendak memutuskan untuk berbalik arah, kembali ke posisi mobilku singgah, aku secara kasar ditabrak seseorang. Ia menatapku beringas.

"Kalau lu lapor polisi, lu gua abisin sekalian!" ancamnya, menudingku dengan sebilah pisau lipat yang berselimut ... darah? Aku menelan napas. Belum dapat berpikir panjang, seorang yang tadi menabrak berlari cepat.

Apa yang terjadi? Perkataannya yang barusan mengancam membuatku berpikiran negatif. Apa ia baru saja menghabiskan seseorang? Seseorang yang beberapa detik lalu berteriak. Menghabisi Mentari? Aku mempercepat langkah menuju asal suara Mentari tadi.

Betapa mataku membulat saat melihat Mentari telah terkapar tak berdaya. Perutnya ... berdarah?

Seketika perutku mual. Aku paling tidak tahan melihat darah yang mengalir. Mengucur. Apapun. Aku punya phobia yang aneh bagi sebagian orang. Dan tidak asing bagi diriku sendiri. Phobia darah.

Apa yang harus kulakukan? Darahnya semakin menderas. Tidak berhenti walau sedikit. Aku mengusap wajah. Melepas jas, kemudian mengikatkan bagian lengan jas pada pinggang hingga perut Mentari. Tidak mempengaruhi banyak hal, tapi setidaknya, bisa menahan sedikit laju cairan pekat merah itu untuk keluar lebih banyak. Selanjutnya dengan tangan yang masih gemetaran, aku menggendong tubuhnya, kuusahakan berjalan cepat. Secepat mungkin. Mentari harus tertolong.

Di tengah jalan, aku mendapatkan banyak bantuan. Beberapa bahkan berbaik hati menawarkan untuk membawakan mobilku. Aku langsung mengangguk, menyerahkan kunci mobil. Semenit kemudian mobilku menghampiri. Aku mengucapkan banyak terimakasih, tapi mulai dari sini, biar aku saja yang mengurusnya.

"Mas, semoga pacarnya cepat sembuh, ya."

Aku tak terlalu memedulikan ucapan orang-orang. Satu yang hanya terlintas di benakku. Mentari harus selamat. Aku tersenyum kecut saat melirik Mentari dari kaca spion.

Lo kembali ngerepotin gue, Tari.

Dengan segala kecepatan yang mungkin di waktu mepet ini, kulajukan kendaran. Aku mendesah lega ketika tiba di rumah sakit. Sigap, perawat langsung membawa Mentari ke ruang IGD. Penanganan awal. Aku dipersilahkan duduk di kursi tunggu.

Karena darah yang berlepotan di sekitar lengan, aku memilih untuk mencuci tangan. Paling tidak kuat menatap cairan kental ini. Berkali-kali memakai sabun yang disediakan hingga merasa bau amis darah hilang. Setelah merasa tangan bersih, aku menuju meja administrasi, mengurus pembayaran biaya rumah sakit.

Azan magrib terdengar mengalun tak lama setelah proses administrasi kuselesaikan. Panggilan itu menyeru untuk segera ditunaikan, membawa langkahku menuju tempat yang paling dibutuhkan seorang hamba untuk menyembah.

Sholat, meng-khusyu'an diri. Larut dalam pinta dan doa. Mengeluhkan kesah. Belum lagi masalah selesai, aku kembali dibuat khawatir oleh Mentari. Bagaimana pun, aku tetap berharap ia selamat.

Selesai sholat, aku kembali menghampiri ruang tunggu. Merasa bingung kenapa Mentari belum juga dipindahkan ke ruang rawat inap. Itu artinya ia mengalami luka serius. Semoga tak begitu serius. Baru saja kukeluarkan ponsel dari saku, dokter perempuan anggun berhijab keluar, menghampiriku. Aku membaca nametag di bajunya. Dr. Annura.

"Keluarganya?"

Aku menggeleng.

"Pacarnya?"

Aku kembali menggeleng.

"Suaminya?"

Menggeleng lagi.

"Temannya?"

Apa hubungan kami sudah bisa dikatakan sebagai teman?

"Ah, sudahlah. Anda yang bertanggung jawab?" Dokter Annura memutuskan tidak memperbanyak bertanya, mungkin jengah dengan segala respon gelenganku.

Untuk pertanyaan yang satu ini aku mengangguk. Dokter Annura menghela nafas berat. Menatap prihatin. Hei, apa-apaan dengan tatapan itu?

"Tusukannya dalam sekali. Lima senti meter dan nyaris mengenai organ vitalnya."

Aku tercekat. Jadi? Kesimpulannya?

"Tapi bukan hal itu yang mengkhawatirkan." Aku mengernyit.

Lantas apa?

"Darahnya terlalu banyak keluar."

"Memangnya stok donor darah nggak ada di sini?" Aku tak dapat menahan rasa penasaran.

"Ada, banyak malahan. Tapi, stok darah AB tidak ada. Dan, gadis yang sedang di dalam ruangan itu punya golongan darah AB."

Jadi apa yang sekarang harus kulakukan?

"Kami permisi dulu."

"Loh? Mau ke mana?" tanyaku kebingungan. Saat Mentari belum selesai ditangani, para dokter ini sudah ingin pergi?

"Kami sudah menutup lukanya. Juga kami harus menghubungi pihak rumah sakit lain untuk membantu donor darah AB. Hanya itu yang dapat kami lakukan sekarang. Sepuluh menit lagi, kami akan kabarkan."

Aku menelan ludah, mempersilakan dokter Annura beserta empat orang perawat melenggang dari hadapanku. Aku duduk, menatap pintu IGD frustasi. Darah AB tentu saja langka. Di mana-mana stok darah dengan golongan tersebut memang yang paling sedikit. Termasuk di rumah sakit ini.

Dulu, saat masa SMP aku pernah mempelajari bahwa golongan darah AB dapat menerima segala jenis golongan darah. Resipien universal, kalau tidak salah. Tapi sekarang, hal itu tidak lagi dilakukan. Rhesus menjadi masalah utama. Salah sedikit saja, bisa menyebabkan kebekuan darah, berakibat fatal jika tidak dihentikan.

Aduh, Mentari....

Aku reflek menoleh saat mendengar langkah kaki mendekat. Dokter Annura telah berdiri di belakangku.

"Maaf, pihak tiga rumah sakit lain juga sedang kehabisan stok darah AB."

Aku mengacak rambut frustasi.

Putar otak, Ari! Putar otak!

Kinan ... kalau tidak salah, adik perempuanku itu memiliki golongan darah AB positif. Baiklah. Terima kasih untuk otakku yang merespon cepat dengan mengingat nama Kinan.

"Kalau begitu, kami mohon maaf, gadis itu terpaksa kami--"

"Saya punya pendonornya." Aku memutus omongan dokter Annura.

"Oke, akan saya tunggu. Usahakan secepat mungkin."

Aku menangguk.

***

Dua puluh menit kemudian.

"Kenapa sih, Mas? Siapa yang butuh donor darah?" Kinan berjalan cepat, menghampiriku di ruang tunggu.

Kinan menyetujui permintaanku. Ia hanya datang bersama Ghana. Tidak dengan papa ataupun mama.

"Temen gue. Dia sekarat. Kehilangan banyak darah."

"Memangnya rumah sakit nggak punya stok, apa? Sampai harus darah Kinan yang didonor," cetus Ghana.

"Kalau rumah sakit punya stok, gue nggak bakalan minta sama Kinan, Ghan."

"Ya sudah, deh. Gue bantu. Mana dokternya?"

Aku bangkit, menuju ruangan dokter Annura. Mengatakan bahwa aku telah menemukan pendonor darah untuk Mentari. Dokter tersebut menangguk, lantas mengikuti langkahku.

"Eh, gue punya syarat," kata Kinan sebelum masuk ruangan tempat Mentari ditangani.

"Duh, lo jangan basa-basi, lah, please.... Itu teman gue udah sekarat." Aku mencelos.

"Oh, atau gue batalin aja ya?"

Ck!

"Apa syaratnya?" Pertanyaanku membuat senyum Kinan mengembang.

"Alamat Mas."

"Asal lo janji nggak beberin sama papa dan mama."

Kinan mengangguk.

"Nanti gue share."

"Oke, gue masuk dulu." Kinan balik badan.

Aku mempersilahkan.

"Eh, satu lagi."

Aku mendesah kasar. "Apa lagi?"

"Temani gue di dalam."

"Ck! Gue takut darah, Kin! Nih, sama Ghana aja." Aku menarik kerah kemeja Ghana, yang langsung ditepis oleh pemiliknya.

"Gue maunya Mas Ari yang nemenin. Yah, itung-itung untuk terapi phobia Mas."

Aku memutuskan mengikuti syarat Kinan. Masuk ke ruangan. Saat darah Kinan mulai ditarik, seluruh bulu di tangan, kaki, serta bulu halus di tengkukku segera berdiri. Merinding. Lututku lemas. Hampir saja terjatuh kalau saja tidak berpegangan pada sisi ranjang

Berkali mengerjap dan mengedipkan mata. Kinan yang menyadari reaksiku terkikik geli. Ia memang sepertinya sengaja mengerjai.

Demi lo, Mentari. Jangan buat gue panik, makanya. Setelah ini lo mesti sadar. Batinku.

***

"Oke, gue pulang dulu," ucap Kinan, kemudian melangkah sempoyongan, menabrak Ghana dan hampir terjatuh.

Aku dan Ghana saling pandang. Apa darah yang didonorkan oleh Kinan sebanyak itu, hingga membuatnya berjalan sempoyongan, seperti akan terjatuh. Ghana langsung mengamit lengan Kinan. Menjaga keseimbangan agar Kinan tidak terjatuh.

"Elaah, kepala gue pusing banget," gumam Kinan, sesekali mengerjapkan matanya.

"Udah, bawa Kinan pulang. Bawa makan dulu, biar nggak lemas gitu. Minum tablet yang tadi dikasih dokter."

"Dengar, tuh!" Ghana mendelik ke arah Kinan. Kinan mencebik.

"Iya, gue dengar. Nggak budek gue," ujar Kinan. Kemudian ia menatapku dalam.

"Kenapa liatin gue segitunya?"

"Mas nggak usah tegang gitu. Mbak ... Mbak apa tadi namanya? Mbak Mentari, kan? Mbaknya udah baik-baik aja. Nggak usah khawatir, kali, Mas," ucap Kinan.

"Gimana nggak khawatir-"

"Iya, iya, udah. Segitu paniknya. Tau kok gue, kalau Mbak Tari penting, jadi Mas nggak mau kehilangan. Udah ya, gue mau balik."

Eh?

Kinan berjalan menjauh. Meninggalkanku yang masih terbengong dengan ucapan Kinan. Ah, apaan, coba? Mentari itu seorang teman, makanya aku tidak ingin kehilangan. Yah, itu pun kalau kami sudah dapat dikatakan teman.

Ya, setidaknya jiwa kemanusiaanku masih berfungsi normal. Kehilangan itu berat, meski hanya seorang keras kepala dan hobi berteriak yang baru kukenal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro