Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11

Setelah berembuk, kami semua sepakat untuk mengambil pilihan dari Rinai. Satu persatu dari mereka menceritakan sedetail-detailnya informasi yang diketahui tentang setiap perusahaan. Rinai yang paling mengetahui banyak dibandingkan Sasha dan Rifan.

Baik Rifan dan Sasha hanya mengenal sedikit dari banyak informasi yang ada. Tak ayal mereka menerima cetusan Rinai sebagai ide baik. Walau begitu, aku sangat menghargai usaha mereka. Usaha yang benar membuatku menghargai arti sahabat.

Yah, memang benar perkataan orang bijak yang menyatakan, saat kamu berhasil, maka teman-temanmu akan tau siapa dirimu, sehebat apa dirimu. Tapi, saat kau gagal, kau akhirnya akan tau siapa teman-temanmu dan aku tau, mereka akan selalu menjadi temanku. Hal ini, buktinya.

Rinai juga sudah menghubungi direkturnya langsung yang notabene adalah karib pamannya. Karena Rinai kenal dekat dengan direktur juga menjadi alasan kuat hingga pilihan itu dijatuhkan ke rekomendasi Rinai. Entahlah bualan apa yang Rinai katakan pada karib pamannya hingga aku dapat langsung diterima tanpa harus menjalani interview. Untuk ini, aku lega.

Dan case ditutup.

Pa, Ari akan buktikan bahwa Ari mampu, tanpa fasilitas dari papa sekalipun. Jangan menyesal saat melihat Ari lebih baik jika kembali nanti.

Aku membatin. Apa yang kuperlukan sekarang? Bukti? Iya. Bukti. Bukti yang banyak, cukup dan menjanjikan. Bahwa pilihanku untuk menolak perjodohan adalah seratus persen benar.

***

Aku menoleh ke kiri. Mengakhiri salam dari sujud isyaku. Sesekali aku masih memanjatkan syukur. Entah syukur karena hal apa dan juga, entah sejak kapan aku mulai belajar bersyukur seperti ini. Ah, buat apa aku memikirkannya? Begini sudah lebih baik.

Teleponku berdering ketika hendak melipat sajadah. Aku lantas menatap layar. Kinan menelepon.

"Halo, Kinan?"

"Mas di mana sih? Udah kabur kok nggak pulang?" Terdengar nada khawatir dari intonasi Kinan.

Aku menghela nafas berat. Apa ia tidak memahami masalah? Mana mungkin aku kembali ke rumah setelah memutuskan pergi, alias, kabur. Apalagi dalam waktu dekat. Kinan ada-ada saja.

"Emangnya kenapa? Gue nggak tau kapan bakal balik."

"Loh? Kenapa gitu?"

"Kin, papa nggak mau cabut tuntutan untuk jodohin gue."

"Jadi, kapan Mas pulang?"

"Kalau papa nyabut tuntutan, gue pulang."

"Sekarang suasana rumah lagi nggak kondusif, Mas."

Alisku spontan mendekat satu sama lain, bertaut bingung. Sedang tidak kondusif? Benarkah? Hubungan siapa yang sedang tidak kondusif? Apa papa tau, kalau pelarianku adalah sebuah kasus terencana dan dilakukan profesional oleh keempat anaknya? Lalu marah besar terhadap Ghana, Kinan, dan juga Ratih?

"Nggak kondusif gimana, maksud lo?"

"Mas di sana nggak apa-apa kan?"

Kenapa justru pertanyaan basa-basi dari Kinan malah terdengar lebih mengkhawatirkan?

"Sebenarnya ada apa, Kinan? Apanya yang nggak kondusif?"

Di seberang sana, aku dapat mendengar Kinan melengos pelan.

"Mas beneran dipecat dari kantor, kan? Sama papa?"

"Iya, dan sekarang, tolong lo jangan bertele-tele. Jelasin ke gue, apanya yang nggak kondusif."

"Justru karena itu, Mas. Karena Mas diturunkan jabatan sama papa yang bikin suasana nggak kondusif."

Duh, bisa tidak, Kinan berbicara langsung saja tanpa bertele-tele? Mengulur waktu dan penasaranku saja.

"Mama marah sama papa, Mas. Marah banget. Masalahnya, mama itu cemas banget sama keadaan Mas. Udah seminggu nggak pulang. Tambah lagi, Mas yang tiba-tiba dikeluarkan. Oleh papa pula. Mama cemas kalau Mas kenapa-napa. Trus, mama juga udah bilang sama papa, buat cukupkan aja masalah ini. Jangan terlalu banyak hal yang dikorbankan.

Berkali mama bilang hal yang sama ke papa. Mama khawatir Mas jadi pengangguran terus nggak dapat kerja, dan terus uang Mas habis. Nggak makan. Jadi gembel—"

"Hoi, hoi, nggak gembel juga, kali!" interupsiku. Agak terganggu dengan kata 'gembel'.

"Mas diem dulu. Dengerin gue ngomong sampai habis. Terus, papa ngotot banget. Bilang kalau Mas pasti bisa lewatin semuanya. Lah, kan, konyol, kan Mas? Mana bisa Mas—"

"Heh, lo mau ngehina gue atau mau ngasih info penting, hah?"

"Ish! Udah gue bilang, jangan dipotong dulu! Ntar gue lupa!"

Aku mendengus.

"Mama marah banget sama papa yang mulai mencampuri urusan perjodohan Mas sama urusan pekerjaan. Nah, berdua ini lagi nggak pas."

Aku melengos. See? Bahkan mama pun tidak menyetujui rencana aneh dan brutal yang dilakukan papa. Tampak semena-mena. Apalagi aku yang terlibat langsung.

"Lo bilang sama mama, di sini gue baik-baik aja dan gue juga udah dapat pekerjaan baru, jadi mama nggak usah khawatir gue bakalan jadi gembel," ujarku.

"Nggak bisa pulang, apa, Mas?"

"Lo tau jawaban gue."

"Ya sudah. Mas sekarang tinggal di mana?"

"Mas nggak mau bilang."

"Kenapa?"

"Pasti Mama yang nyuruh lo nanya alamat gue kan?"

Di seberang, Kinan mencebik. Menarik napas panjang, lalu mengiyakan. Benar seperti dugaanku. Tentu saja, Mama khawatir, tapi untuk saat ini, aku sungguh tidak ingin dikhawatirkan. Aku yakin dan aku pasti bisa.

"Sebenarnya nggak juga sih, Mas. Kalau gue atau Mas Ghana mau berkunjung, nggak boleh, apa?"

"Boleh. Tapi, kalau mau berkunjung aja hubungi Mas. Biar Mas share alamatnya. Dan, untuk sekarang, jangan."

Hening.

"Lah? Jadi gimana sama konflik rumah Mas? Kalau Mas nggak pulang, mana bisa mama jadi adem lagi."

"Lo tinggal bilang aja kalau lo udah hubungi gue. Gue udah dapat pekerjaan baru, gue nggak lupa makan. Gue udah rajin sholat. Dan gue baik-baik aja."

"Gue salah dengar nih? Mas udah rajin sholat? Sejak kapan? Oh, Mas lagi butuh ya, makanya sholat?"

"Kalau ngomong dijaga. Enak aja, nuduh gue sembarangan. Kena azab baru tau rasa!"

"Jangan ngomong azab, loh, gue ngeri."

Aku mendesah berat. Aku saja harus melalui azab baru tau tobat.

"Lo udah sholat isya?"

"Belom. Ntar lagi aja."

"Sholat buruan. Mati tuh nggak akan nunggu lo sampai lo mau sholat," nasihatku. Mencomot dari nasihat Mentari.

"Elah, Mas! Serem amat! Merinding gue, ih! Iya, ini sholat, nih, sholat. Gue tutup ya?"

Nasihat Mentari ternyata memang ampuh. Bukan hanya untukku saja. Kinan malah mengakui kalau ia merinding mendengar perkataan itu. Kinan langsung memutuskan telepon, sedangkan aku terpekur menatap layar ponsel yang sudah kembali terkunci.

Apa lagi ini? Kenapa masalah tidak kunjung selesai? Datang satu, pergi satu. Selesai satu, muncul satu yang lain. Ini semua berawal dari perjodohan itu. Kalau saja perjodohan itu sedari awal sudah tidak ada, bukan seperti ini jadinya. Apa aku memang harus pulang? Meski Kinan tak mengatakan akibat terbesar dari suasana rumah yang memanas, aku jelas tau akibatnya dan akibat itu yang harus selalu dihindari. Perceraian.

Masa iya, demi perjodohan malah yang terjadi adalah perceraian? Bukankah hal itu cukup konyol? Lantas apa yang membuat papa tetap kekeuh untuk mempertahankan? Bahkan satu keuntungan saja tidak dapat kulihat peluangnya.

Pulang? Tidak, tidak. Mungkin papa memang harus mengalami hal ini untuk dijadikan pelajaran. Iya, aku di sini saja.

Bekerja, berusaha, dan, sholat.

Sholat?

Nasihat lo itu, meski pasaran, ntah kenapa malah bikin gue takut. Hanya karena lo yang ngucapin. Dan, untuk setitik kebaikan lo yang memengaruhi gue, gue masih punya alasan untuk bersyukur atas kejadian yang menimpa gue. Setidaknya, gue kembali tau bagaimana menghargai Tuhan.

Ah, iya. Mentari. Sedang apa dia sekarang? Masalahnya? Apakah ia bisa menghadapinya?

Aku mengusap wajah. Kenapa pula harus Mentari yang muncul di benakku? Ah, anak itu. Yang satu-satunya bisa membuatku ditertawakan oleh semua orang yang mendengarnya memanggil namaku.

Mas Awan.

Huh.

Aku menepuk pipi kuat.

Fokus, Ri! lo seharusnya mikirin kerjaan, bukan cewek itu. Bucin sama sekali bukan gaya lo.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro