10
Dijodohkan
Kabur dari rumah
Kerepotan mengurusi Mentari yang overacting
Dipecat. Bahasa halusnya, dicabut jabatannya. Oleh siapa? Papa, of course.
Hal buruk apa lagi yang akan terjadi?
Hidupku begini amat. Baru merasa lebih baik, malah yang terjadi semakin rumit. Apa iya, menerima perjodohan adalah satu-satunya solusi? Haruskah?
Walaupun kantor perusahaan yang kupegang—sampai tadi pagi—merupakan kantor cabang, aku berperan besar dalam promosi dan perkembangannya. Dua tahun yang keras dan sulit. Justru sekarang aku diturunkan, dengan tidak hormat pula. Apa aku sedang bermimpi?
Aku tau, jawabannya adalah 'tidak'. Aku sedang tidak bermimpi. Ini dunia nyata.
Aku mengusap wajah yang terasa kebas. Percuma menggerutu. Mungkin sebaiknya sekarang aku mulai membuat surat lamaran pekerjaan. Untuk bekerja di perusahaaan lain. Mulai dari awal. Sebagai karyawan biasa. Semoga pilihan ini tidak salah, dan juga tidak lagi membebaniku.
Rifan
"Ri, gue nemu tempat buat lo."
Mataku berbinar membaca pesan grup sohib dari Rifan. Belum ada sehari, Rifan sudah menemukan tempat bekerja yang baru untukku.
Rinai
"Ada perusahaan yang lagi butuh karyawan. Gue share alamatnya"
Kali ini aku mendecak kagum. Rinai mengirimi berita baik kedua setelah Rifan. Tak lama kemudian, Rinai benar-benar men-share alamat lewat maps.
Sasha
"Ri, ada perusahaan swasta, buka lowongan pekerjaan. Cocok banget buat lo."
Demi apa? Pesan terakhir dari Sasha yang mengikuti pesan-pesan Rifan dan Rinai benar-benar membuatku kaget. Segitu niatnya mereka membantu. Bahkan aku saja baru akan mulai mencari informasi. Tau-tau, mereka sudah menemukan tempatnya. Apa aku harus sujud syukur? Ah, nanti saja.
Seperti orang dungu, aku menciumi ponsel. Masa bodo. Tidak ada yang melihat. Aku sedang ingin mengekspresikan bahagiaku. Aku tidak akan jadi pengangguran. Dan itu bagus. Mulai dari awal? Aku tidak takut. Pengalaman selama dua tahun cukup membuatku percaya akan kemampuanku.
Masalahnya, dari tiga perusahaan berbeda ini, aku harus memilih yang mana?
"Thanks a lot, guys! But, gue bingung. Harus milih yang mana?"
Aku mengecek pesan yang kukirim. Rifan sudah membaca, begitupun Rinai dan Sasha.
Rinai
"Iya, yah? Kalau lo maunya yang mana, Ri?"
Rifan
"Lo tinggal milih aja, Man."
Sasha
"Pilih yang menurut lo cocok dan lo suka aja. Kita nggak keberatan kalau dua opsi dari kita nggak lo ambil." Sasha nimbrung.
Aku mengusap tengkuk.
"Menurut kalian?"
Rifan
"Up to you, Ri."
Sasha
"Semua bagus, terserah lo milih yang mana."
Rinai
"Yang enak di lo aja."
Aku mendesah berat. Kata 'terserah' dan sejenisnya itu sama sekali tidak memberi solusi. Aku bisa saja memilih satu dari ketiga opsi yang berbeda. Hanya saja, tidak tega mengkhianati hasil usaha ketiga sahabatku.
"Besok, ada waktu?"
Rinai
"Always. Mau di mana?"
Sasha
"Tempat biasa, kan, ya?"
Rifan
Eh, ada cafe baru dekat situ juga. Mau nyoba?
Aku mengernyit membaca pesan Rifan. Cafe baru? Memangnya ada, ya? Oh, ada. Dua bulan lalu selesai dan seminggu lalu baru grand opening.
Sasha
"Boleh, deh. Suasana baru."
Rifan
"Fix, kan?"
Sasha
"Fix"
"Fix"
Rinai
"Fix"
"Jam berapa besok lo semua break? Biar gue samperin"
Rifan
"Elah lo Ri! Kayak nggak pernah jadi bos di perusahaan aja gaya lo!"
Rinai
"Masih seperti biasa deh, kayaknya."
Sasha
"Iya, masih kayak biasa."
"Oke, besok, di cafe baru, jam break siang. Gitu aja kan?"
Sasha
"Iya."
Rinai
"Sip."
"Oke."
Semoga, kesimpulan bersama bisa jadi solusi. So, malam ini aku juga masih harus bersyukur. Untuk setiap usaha temanku, juga untuk setiap kesempatannya. Aku menatap ponsel optimis.
Harus bisa! Aku bisa sukses dengan atau tanpa papa.
Jam sembilan malam?
Gue belum sholat.
***
Aku mengendarai mobil santai. Dari pagi tadi kegiatanku hanya browsing seputaran perusahaan yang ditawarkan oleh ketiga sahabatku. Selebihnya hanya rebahan. Entah siapa yang mengatakan kalau rebahan itu seru. Santai. Aku tidak menganggapnya demikian. Itu hanya pekerjaan pengangguran.
Tepat di lahan parkiran cafe yang dituju, sudah terlihat panampakan ketiga sahabatku. Mereka mungkin memang sengaja duduk dekat dengan pintu masuk. Agar aku tidak kesulitan mencari.
Hei! Aku menoleh ke belakang. Tubuhku ditubruk seorang wanita.
"Aduh, Mas. Kalau jalan, maju terus, jangan ngandat. Kan gue jadi nabrak," tudingnya.
"Bukannya lo yang nabrak? Malah nyalahin gue," seruku jengkel.
"Elah, Mas, ini parkiran mobil. Bukan parkiran orang. Jadi, Mas jangan markir diri di sini. Gerak cepat, dong, seharusnya!"
"Gue baru turun dari mobil, dan lo nabrak gue," sanggahku.
"Salah Mas-nya sendiri—"
"Raufa? Lo ngapain di sini?"
Mataku melebar. Mentari?
"Noh, si Mas nyebelin. Jalannya kayak ngesot. Ketabrak sama gue, malah nyalahin. Etdah," celoteh gadis itu dengan sekali tarikan nafas. Santai, tapi lugas.
"Lagian, lo, nabrak orang aja dipermasalahin. Tinggal minta maaf, kek."
"Masnya nggak mau ngalah." Cewek itu masih saja bersungut membela diri.
"Lo Mentari, kan?" Aku memotong reaksi protes sang cewek. Mentari mengangkat pandangannya, lalu berjengit kaget.
"Mas Awan, kan?"
Aku mengangguk, begitupun Mentari.
"Eh, tunggu! Awan? Siapa dia manggil lo barusan? Mentari? Lo kenal?"
"Oh iya, Raufa, ini Mas Awan. Yang nolongin gue pas gue hipoterm. Yang kemarin gue ceritain ke lo."
"Hah? Ini orangnya? Serius?"
"Iyalah. Serius. Lo minta maaf deh sama dia. Lo yang salah, lagian."
Aku menggaruk pucuk hidung yang tak gatal. Menunggu permintaan maaf. Enggan, si cewek pun mengulurkan tangannya.
"Maafin gue. Udah nabrak Mas. Lagian Masnya juga salah. Kalau Icha nggak suruh gue buat minta maaf, gue ogah minta maaf sama lo."
Heh? Apa-apan ucapan permintaan maaf itu? Terlalu panjang jika dikatakan sebagai permintaan maaf, terlalu pendek dikatakan curhat.
"Oh iya, maafin teman gue yang rada curcol ini, ya. Dia memang suka nyerocos," celetuk Mentari.
Aku tergagap. Menyambut uluran tangan cewek itu. Permintaan maaf mode anak-anak, pakai uluran tangan segala.
"Iya."
"Kenalin, sahabat gue. Namanya Raufa."
"Ari." Aku balas mengenalkan diri.
"Tadi katanya Awan. Yang benar Awan atau Ari, sih?"
"Ari aja."
"Awan aja." Aku menoleh pada Mentari. Lalu mengisyaratkannya untuk diam saja. Panggilan aneh itu tidak boleh tersebar luas. Cukup Sasha, aku, dan Mentari saja yang tau.
"Ya ampun! Capek ditungguin rupanya lo di sini?" Aku terlonjak saat suara Rinai menghampiri telinga. "Eh, ini siapa, Ri?"
"Eh? Ini Mentari."
"Beneran? Ini yang namanya Mentari? Ya ampun! Eh, gue Rinai, temannya Ari. Masuk, yuk, kita mau denger banyak cerita lo sampai Ari berubah jadi lebih alim gini."
Aku menepuk dahi. Rinai apa-apaan?
"Hah? Gue nggak ngerubah apapun dari Mas Awan, Mbak."
Aku lagi-lagi menepuk kening. Dugaanku ... benar. Rinai terbahak.
"Awan? Nama panggilan baru lo, Awan? Ya ampun! Imut banget." Aku mencebik. Berapa orang lagi yang akan tau nama 'Awan'?
"Eh?" Mentari salah tingkah, tidak tahu harus merespon bagaimana gelak Rinai yang mendadak.
"Ini semua orang pada kenapa, sih?" Raufa, yang sedari tadi bungkam menatap jengah. Bingung dengan apa yang tengah terjadi.
"Ayo, Tari, gabung sama kita di dalam," ajak Rinai.
"Eh, nggak usah, Mbak. Gue juga lagi buru-buru banget," tolak Mentari cepat.
"Loh? Nggak mau duduk ngopi bareng kita? Ada Mas Awan juga loh." Rinai kembali tertawa. Aku mencebik pelan. Apa nama 'Awan' segitu kocaknya hingga cocok dijadikan lelucon?
"Eh, iya, serius, Mbak. Gue minta maaf ya. Mungkin lain kali."
"Yah, sayang banget, dong. Tapi, gue nggak mungkin maksa, sih. Ya sudah, gue tinggal ke dalam sebentar, ya," pamitnya pada Mentari, balik badan. "Cepat nyusul," bisik Rinai padaku. Aku menangguk.
"Ayo, Cha, kita balik." Raufa menarik lengan Mentari.
"Eh, iya, lo duluan aja. Ntar gue nyusul."
"Gue duluan, ya, Mas Awan-eh, Mas Ari. Ah, whatever." Setelah melihat anggukanku, Raufa berjalan cepat, meninggalkan aku dan Mentari.
"Lo ngapain di sini?" Aku membuka pertanyaan.
"Gue baru aja siap interview. Ini gue mau balik pulang," jawab Mentari.
Aku hanya ber-oh pendek. Ternyata ia memilih untuk langsung bekerja.
"Mas Awan sendiri ngapain di sini? Lagi diliburin, ya, sama majikannya? Eh, ini mobilnya Mas Awan? Gila! Bagus banget." Mentari terus mengoceh. Menatap mobilku dengan tatapan kagum. Aku menepuk jidat. Masih saja percaya pada status guyonanku.
"Nggak. Gue cuma minta izin aja buat hang out siang ini. Ini, mobil majikan gue." Aku mengatakan yakin tak yakin, masih sambil menahan tawa. Apa Mentari tidak menaruh curiga? Ah, biar saja.
"Icha!" Aku dan Mentari sontak menoleh ke arah suara dan mendapati Raufa di belakang setir kemudi, membuka jendela setengah.
"Gue balik dulu. Senang ketemu Mas Awan lagi. Dah!" Mentari berjalan sedikit tergesa, menuju mobil yang dikendarai temannya.
Mobil tersebut melaju tak lama kemudian. Aku mengangkat sedikit tanganku.
"Dah."
Kenapa pertemuan ini harus begitu singkat? Padahal aku belum mengucapkan terima kasih untuk nasihat 'mati nggak akan nunggu sampai kita mau sholat', yang percaya atau tidak, membuatku merasa lebih baik.
Ah, biarlah. Memang kadang waktu tidak memberi ruang untuk lebih lama bersapa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro