🐰 Membuntuti 🐰
10. Membuntuti
🔥🔥🔥🔥🔥🐰🐰🐰🔥🔥🔥🔥🔥🔥
"Pagi, Sayang!" Sebuah pelukan yang dilakukan lengan kekar di perutnya membuat Illy berjingkat saat ia masih berkutat dengan alat masaknya. Senyum terukir kala ia mengetahui bahwa sang suami yang melakukannya.
"Pagi," sapa Illy dengan nada lembut dan senyum manis. Perasaan senang atas pelukan pagi telah berubah rasa risi saat Rasya mulai menciumi pundak dan belakang telinga Illy.
"Aw." Sebuah cubitan mendarat mulus di lengan Rasya. "Ada apa sih, Yang?" tanya Rasya dengan mengusap lengannya yang masih terasa sakit akibat cubitan semut Illy.
Illy mematikan kompor sebelum ia membalikkan tubuh dengan berkacak pinggang. Satu tangannya yang masih memegang spatula terangkat. "Kamu ini tidak tahu tempat. Malu dilihati sama, Bibi." Illy berucap dengan melirik keberadaan pembantu mereka yang berada tidak jauh dari sana.
Masih dengan menahan sakit, Rasya mengikuti arah lirikan Illy. Seperti tidak menghiraukan ucapan Illy, Rasya malah menampilkan smirk menggodanya. Perempuan dengan apron biru yang menyadarinya hanya memutar bola mata sembari menghempaskan tangannya lelah.
Tanpa aba-aba. Rasya menarik Illy keras ke dalam pelukannya. Mengeratkan dan memerangkap sang istri dalam dekapan. Sang pembantu yang mengetahui kondisi saat ini bukanlah bagian dari dirinya mulai mengundurkan diri dengan kesadaran tanpa ingin mengganggu keromantisan kedua majikannya.
"Kamu tahu?" tanya Rasya sembari menyapukan jari-jarinya di atas kulit putih pipi Illy.
"Bagiku, saat ada aku dan kamu di suatu tempat, maka yang benar terjadi adalah memang hanya ada aku dan dirimu," ucapnya dengan menyentuh hidung Illy dengan telunjuknya.
Rasya mulai mendekatkan wajahnya dengan wajah Illy. Menyatukan pucuk hidung keduanya dengan mesra. Illy yang sebelumnya berontak dalam pelukan Rasya, kini mulai turut menikmatinya. "Hanya kita. Tidak ada yang lain. I love you my wife," ucap Rasya dengan penuh manisnya.
Kedua tangan Illy melingkari mesra leher suaminya. Sembari tersenyum manis ia berkata. "I love you to my husband." Mendengar ucapan sang istri, Rasya semakin terhanyut dengan mata cantik hazzle itu.
Seperti biasa, pesona itu tidak dapat memudar di hadapan Rasya. Mengikis jarak dengan pelan, keduanya mulai menyatukan bibir mereka. Menyalurkan rasa cinta yang mereka miliki terhadap satu sama lainnya.
Keduanya melepas pagutan mereka saat napas tidak lagi mampu menyeimbangi pergulatan bibir mereka. Dengan masih mengatur napas, keduanya tertawa. "Segeralah bersiap. Aku akan membuatkan sarapan untukmu." Illy memperingati Rasya dengan sedikit keras kali ini.
"Ah. Baiklah my Queen. Terima kasih untuk morning kissnya." Mata Illy membulat saat Rasya kembali mencuri ciuman kilas di bibirnya sebelum berlari ke arah kamar. Illy hanya mampu menggeleng melihat tingkah Rasya pagi ini.
Ah, itu manis sekali bagi Illy.
Kembali menyalakan kompor, Illy mulai melanjutkan kegiatan yang sebelumnya terganggu akibat ulah sang suami.
***
Ali memasang wajah datar seperti biasa. Tidak ada yang tahu bahwa dalam hatinya ia mengabsen seluruh nama binatang yang ada dan mengumpat sejadi-jadinya atas keadaan saat ini.
Bagaimana tidak? Saat masih bergelut nyaman di atas ranjang di apartemen Ziqry akibat rasa lelah karena olahraganya semalam, mamanya tiba-tiba saja menghubungi dan memaksa untuk mendatangi suatu alamat.
Rumah seseorang yang mampu membuat Ali ingin melenyapkan orang lain jika saja membunuh itu dilegalkan di negara ini.
Dan di sinilah ia saat ini. Duduk berdua dengan wanita yang tidak sama sekali diinginkan. "Kau ingin memesan apa, Li?" Suara wanita yang dibuat terkesan seksi dan manja mengalun di telinga Ali.
Suara itu malah terdengar menjijikkan di telinga Ali. Masih dengan muka datar dan tatapan jengah, ia berucap tanpa ekspresi, "Coffee." Jawabannya singkat dan jelas.
"Hanya itu?" tanya wanita itu memastikan.
Ali hanya bergumam tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel yang ia genggam.
"Kamu lihat apa sih, Li? Kayaknya ponsel kamu lebih menarik daripada aku." Setelah pelayan restoran berlalu dari hadapan keduanya, suara Zizi yang masih dibuat-buat terdengar kembali. Ya. Saat ini Ali berada di sebuah restoran bersama dengan Zizi. Wanita yang selalu digandrungkan Baginda Ratu untuk menjadi calon istrinya.
Oh ayolah. Jika saja mamanya tidak memecahkan gendang telinganya pagi tadi, mungkin Ali sekarang masih bisa bersenang-senang.
Tanpa menjawab pertanyaan Zizi, Ali terus memfokuskan pandangan pada ponsel. Tidak ada niatan sedikit pun menghiraukan keberadaan perempuan di hadapannya. Hal itu berhasil membuat Zizi merasa geram akan sikap Ali. Sebenarnya, apa yang saat ini Kafka lakukan dengan benda pipih itu?
"Kaf, aku di sini loh, Li!" Suara Zizi terdengar kembali.
Merasa jengah, Ali pun mengalihkan pandangannya. Saat itu pula Ali menampilkan senyum menawan, tulus tanpa dibuat-buat. Namun, cukup mampu membuat Zizi turut menampakkan senyum termanisnya karena merasa berhasil menarik perhatian Ali.
Akan tetapi, dugaan Zizi salah. Jika Zizi berpikir Ali tengah tersenyum kepadanya, ia telah salah sangka. Suatu pemandangan indah yang tidak sengaja Ali lihat di luar restoranlah yang membuat senyumnya terukir.
Hm, sepertinya, Ali harus mencari cara agar ia bisa terlepas dari hal ini.
Tidak lama, pelayan telah datang membawakan pesanan mereka. Tanpa ingin membuang waktu, Ali mulai menikmati apa yang telah ia pesan. Satu dua tegukan ia mulai ingin menjalankan rencananya.
"Aku akan ke toilet sebentar," ucap Ali masih tanpa ekspresi.
"Silakan. Tapi jangan lama-lama." Kembali. Tanpa ada jawaban dan kata, Ali pergi meninggalkan Zizi begitu saja dengan senyum kemenangan. Ali berjalan ke arah toilet.
Ahh, salah. Sebelum ia mencapai pintu toilet, Ali membelokkan langkah ke arah dapur. Menghadang seseorang yang beberapa saat lalu mengantarkan pesanan ke meja miliknya.
Si pelayan yang dihadang hanya dapat menatap diam penuh kekaguman pada sosok tinggi tegap yang ada di depannya.
Ali berdehem untuk menyadarkan pelayan yang hanya diam menatapnya tanpa kata, dan itu berhasil. Rona merah di yang timbul membuat pelayan itu menunduk menahan malu.
Hal itu malah membuat Ali menatapnya jengah. Oh, salahkah Ali yang mempunyai wajah rupawan? Yang membuat semua wanita menjadi salah tingkah saat berada di dekatnya? Bukannya senang, Ali malah mendesah frustrasi.
Semua wanita selalu seperti itu. Tetapi kenapa hal itu tidak terjadi pada wanita yang ia cintai? Wanita yang menjadi ratu hatinya? Wanita yang menjadi tambatan hatinya. Siapa lagi kalau bukan Illy?
Atau, karismanya akan luntur jika hanya di hadapan Illy? Ah sudahlah. Ali kembali ke permasalahan semula. Melihat si pelayan yang masih menunduk, Ali mau tidak mau harus mengeluarkan suara emasnya kembali. Membuat si pelayan mendongak.
"Eh, Tu—Tu—Tuan. Apa yang Tuan laku—kan di sini? Ini bukan tempat umum," ucap si pelayan dengan terbata saat melihat keberadaan Ali di area yang memang privasi bagi restoran tempatnya bekerja.
"Saya membutuhkan bantuanmu," ucap Ali dengan wajah datar yang masih terlihat tampan.
Mendengar penuturan dari lelaki di hadapannya, pelayan itu hanya mampu mengerjapkan mata beberapa kali. Lagi-lagi membuat Ali berdecak malas.
"Bisa tunjukkan padaku pintu belakang?" Mendengar ucapan Ali kali ini, si pelayan menunjukkan wajah tidak suka seketika. Pikiran-pikiran buruk memenuhi otaknya.
Masih bisa diingat saat ia mengantarkan pesanan lelaki di hadapannya ini, di meja yang sama ada seorang wanita. "Tampan. Tapi tidak bertanggung jawab," ucapnya lirih.
Mendengar gerutuan pelayan di hadapannya membuat Ali memutar bola mata jengah. "Saya bukan orang yang tidak bertanggung jawab," ucap Ali tegas yang mampu membuat nyali si pelayan kembali menciut.
Seperti tahu isi pikiran si pelayan, Ali berucap dengan nada datar dan mampu membuat si pelayan meneguk ludahnya.
Ali meraih sesuatu dari kantung celana. Sebuah dompet dari merek terkenal telah Ali genggam. Dikeluarkannya beberapa lembar uang berwarna merah. "Ini," ucap Ali menyerahkan uang yang ada di tangannya pada si pelayan.
"I—in—ni apa, Tuan?" tanyanya dengan perasaan takut. Baru ia ingat. Restoran tempatnya bekerja bukanlah restoran biasa. Pengunjungnya pun juga pasti bukan orang biasa. Dan otomatis, pria di hadapannya pun pasti bukan orang biasa.
Oh tidak. Orang kaya dengan kekuasaannya. Perasaan buruk pun menakutinya.
"Jangan salah paham lagi. Ini untuk membayar pesanan tadi." Pelayan itu hanya mampu memandang uang yang kini ada di tangannya.
"Ini terlalu banyak, Tuan."
"Sisanya untuk kamu. Tapi, kamu harus bantu saya?" Pelayan itu kembali menatap Ali tidak mengerti.
"Bantu saya lepas dari wanita itu," tunjuk Ali pada Zizi. "Saya ingin keluar dari restoran ini tanpa sepengetahuan dia. Dengan melalui pintu belakang. Bisa tunjukkan pintu belakang restoran ini pada saya?"
Tanpa menunggu dua kali pelayan itu pun mengangguk antusias. Tidak peduli ia yang merasa penasaran mengapa pria di hadapannya ini ingin menghindari wanita cantik yang sebelumnya bersama dengannya.
Ah, itu privasi mereka. Dia tidak ada urusan. Dengan melangkah pasti, pelayan itu pun menunjukkan arah pada Ali.
Saat kaki Ali telah menginjak area luar restoran, ia mengembuskan napas lega. Segeralah ia menuju ke mobil untuk mendapatkan pemandangan indah yang sempat ia lihat saat masih berada di dalam restoran sebelumnya.
Untunglah Ali memarkirkan mobilnya pada tempat yang jauh dari pandangan Zizi. Dengan begitu, ia bisa pergi dari sini tanpa harus diketahui wanita itu.
Masalah mamanya? Ah. Biarlah. Itu urusan nanti. Saat ini, urusan hatilah yang utama.
***
Suara pena yang berdentum dengan paduan meja membuat suasana sunyi sedikit berisik. Si empu pembuat gerakan pena dengan menopang dagu, sembari sesekali melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan ia menghela napas kasar lelah.
Hampir satu jam ia duduk di salah satu sudut restoran yang memang sebelumnya telah di reservasi. Akan tetapi, keterlambatan seseorang yang telah membuat janji dengannya membuat ia merasa tidak dihargai.
Oke. Rasa sabarnya telah habis. Sepuluh menit lagi yang ditunggu tidak kunjung juga datang, ia akan mengakhiri segalanya.
Memutuskan untuk menunggu kembali. Sepuluh menit telah usai. Mengakhiri untuk melihat jam tangannya kembali, ia menghela napas dalam.
"Oke. Aku lelah. Sebaiknya aku pulang. Tidak profesional sekali," gerutunya dengan mulai meletakkan beberapa lembar uang sebagai pembayaran minuman yang sempat ia minum.
Baru saja ingin berdiri. Suara halus menghentikan kegiatannya. "Maaf saya terlambat," Ucap suara itu. Saat mendongak, lagi-lagi ia dibuat terkejut.
"Kamu?"
🔥🔥🔥🔥🔥🐰🐰🐰🔥🔥🔥🔥🔥
Selamat pagi😁😁😁
Ada yang kecewa? 😥😥 🙏🙏🙏🙏🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro