Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9 Kamu Itu Suami Sahabatku!

"Kamu ingin apa dariku?" tanya Aya tiba-tiba.

“Terimalah penawaranku, pikirkan lagi dengan baik-baik,” bujuknya lembut. Gilang masih tak mau menyerah.

Aya terdiam, ia tidak menanggapi ucapan Gilang. Pikirannya kini hanya tertuju kepada Kinan, ia sungguh tak ingin membuat sahabatnya yang baik hati itu tersakiti dengan masalah ini. Cukuplah dia saja yang tersiksa.

Melihat mimik wajah Aya yang berubah menjadi sendu, Gilang menghembuskan nafas berat. “Apa ini karena Kinan?” tanya Gilang yang diangguki oleh Aya.

Gilang meraih tangan Aya, menggenggamkan tangan mungil yang halus itu dengan erat, membawanya ke depan dadanya dan meletakkannya disana. Sebelah tangannya lagi terulur meraih pipi Aya, ia gunakan untuk menghapus jejak air mata disana. Ia kemudian tersenyum lembut. “Percayakah padaku, tidak akan ada yang tersakiti disini, aku pria brengsek seperti pria diluar sana.”

Apa katanya? Tidak ada yang akan tersakiti? Bagaimana mungkin? Dia juga perempuan sama seperti Kinan. Mana mungkin dia tak mengerti perasaan Kinan dan bagaimana sakitnya nanti. “Ck! Jangan menjanjikn sesuatu yang mustahil kepada ku, Lang. Omong kosong apa ini?” Aya mengambil tangannya dari genggaman tangan Gilang.

“Meski aku ingin, meski apapun yang terjadi aku tidak akan melakukannya,” imbuhnya yang saat ini beringsut menjauh dari Gilang.

“Aku ini perempuan, sama seperti Kinan. Kami sama-sama memiliki perasaan, hati kami ini lembut dan mudah hancur jika kamu ingin tahu! Lalu bagaimana bisa kamu bilang tidak akan ada yang tersakiti diantara kami? Itu mustahil, Gilang.” Aya mencoba membuka pikiran Gilang.

“Sebaiknya kubur saja keinginanmu itu!” pungkas Aya. Ia kini berjalan membuka pintu teras, melangkahkan kaki keluar dari kamar itu dan berdiri ditepian teras.

Aya memejamkan matanya sejenak, menghirup udara malam itu yang bercampur dengan bau khas tanah terkena air hujan. Ya, saat itu tengah hujan disana. Lama Aya berdiri disana, membiarkan Gilang  sendirian di dalam kamar. Ia ingin memberikan waktu untu pria itu berpikir.

“Kinan, dia pasti nungguin aku,” tuturnya sembari mencari keberadaan ponselnya di dalam saku hoodie, tetapi ia tak menemukannya.

“Apa jatuh di dalam ya?” batin Aya. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam, mencari-cari benda pipih kesayangan sejuta umat miliknya tapi tidak ia temukan.

Aya berjalan mondar-mandir sambal menggigiti ujung kukunya, ia mencoba mengingat-ingat dimana ponselnya itu ia simpan. Asyik dalam pemikirannya, Aya sampai tidak menyadari jika Gilang keluar dari kamar mandi hanya mengenakan celana pendek dengan tubuh bagian atas terbuku tanpa selembar penutup.

“Kamu kenapa?” tanya Gilang.

Suara Gilang sukses membuat Aya menoleh, Aya membelalakkan mata sempurna kala melihat tubuh bagian atas Gilang yang terbuka. Ia segera menutup mata dan membalikkan posisi tubuhnya hingga membelakangi Gilang. “Gilang, kamu cepetan pakai baju deh!” tuturnya dengan nada sedikit mengandung emosi.

“Kenapa?” tanya Gilang santai.

“Ya udah sih, pakai saja! Gak usah banyak tanya!” ucap Aya sinis.

Gilang meraih kaos singlet yang tadi ia kenakan kemudian meminta Aya untuk segera berbalik dan membuka mata. “Kamu kenapa mondar-mandir gak jelas?”

“Lang, kamu lihat ponsel aku gak?” tanya Aya yang kini bergerak mendekat ke arah Gilang.

Gilang menggelengkan kepalanya cepat. “Sejak kita bertemu sampai sekarang aku gak lihat kamu keluarin ponsel, Ay,” jawabnya.

Aya menghembuskan nafasnya berat, mendadak kepalanya terasa pening. Ia mengambil duduk di sofa, diikuti oleh Gilang yang juga mendudukkan tubuhnya di samping Aya. Gilang memperhatikan wajah Aya yang kusut, ia pun berinisiatif mengambil ponsel miliknya dan mengangsurkannya kepada Aya. “Pakai punyaku saja,” tutur Gilang.

Aya mendengus. Ia sama sekali tak merespon, bergeming sambil mengumpati Gilang dalam hatinya. Bagaimana mungkin ia menelepon sahabatnya menggunakan ponsel Gilang, yang ada bunuh diri itu namanya. Dan usahanya untuk menutupi semua dari Kinan bakal terbongkar.

“Ayo pakai!” Kali ini Gilang meraih tangan Aya, meletakkan ponselnya di tangan Aya.

Aya menatap Gilang dengan tatapan tajam, menyodorkan kembali ponsel Gilang pada si empunya. “Kamu sudah gila ya? Kamu itu suami Kinan, kamu minta aku menelepon Kinan pakai nomor kamu? Gila! Kamu aja bahkan gak pernah meneleponnya secara sadar, malah minta aku menelepon Kinan pakai nomor itu,” tutur Aya dengan nada ketus dan penuh sindiran.

Ya, Kinan pernah bercerita jika ia sama sekali tak pernah bertegur sapa dengan suaminya meski hanya sekedar berbalas pesan. Sebegitu mirisnya hidup Kinan, mana mungkin tega ia menambahinya lagi dengan ide gila Gilang itu.

“Sorry, aku gak maksud gitu. Aku punya dua ponsel, ini adalah ponsel khusus, Kinan dan siapapun tidak ada yang tahu tentang nomor ini, jika kamu mau, kamu boleh memakainya.” Gilang kembali menyodorkan ponselnya.

Aya terkejut mendengarnya, tapi ia tak langsung menerima ponsel tersebut. Otaknya masih sibuk menimang-nimang. Namun, pada akhirnya ia menyerah. Ia lebih khawatir jika Kinan menunggunya di apartemen penuh dengan kekhawatiran. Ia sungguh tidak tega. Aya meraih ponsel tersebut, mengetik nomor Kinan yang sudah hafal di luar kepala lalu mendialnya. Aya menelepon Kinan, seperti dugaannya Kinan menunggunya sampai saat ini.

“Nan, sorry ya gue mendadak lagi ada urusan. Gue gak bisa pulang sekarang, teman lama gue dia lagi kacau gue harus temenin dia,” tutur Aya yang terpaksa berbohong.

Kinan memang baik hati, ia sama sekali tidak marah kepada Aya. Ia bahkan meminta Aya untuk menjaga diri baik-baik disana. Hal itu membuat Aya semakin merasa bersalah. Aya menutup teleponnya, mengembalikan ponselnya kepada Gilang kemudian duduk termenung.

“Maaf ya aku sudah bikin kamu dalam posisi sesulit ini,” tutur Gilang merasa bersalah melihat wajah sendu Aya.

Aya menggelengkan kepalanya, ia tersenyum tipis seraya menolehkan kepalanya menghadap Gilang. "Tak apa Lang. Ini bukan sepenuhnya salah kamu kok, ini juga salah aku juga.”

“Ah ya, Ayo kita pulang," ajak Aya spontan.

Gilang menilik kea rah jendela, ia melihat situasi di luar sana yang sangat tidak bersahabat. Ia kemudian berjalan menghampiri Aya lagi. "Kita pulang besok saja gimana? Malam ini kita menginap saja di sini. Ini sudah terlalu malam dan di luar sedang turun hujan deras banget, anginnya pun terlalu kencang," tutur Gilang mencoba untuk bernegosiasi.

Aya bangkit dari tempat duduknya, ia yang tidak bisa percaya begitu saja dengan Gilang pun mengecek sendiri keadannya, ternyta Gilang memanglah benar.

"Ya sudah, ayo kita beristirahat saja. Besok kamu harus pergi kerja kan?" ucap Aya yang dibalas anggukan kepala oleh Gilang.

Aya dan Gilanang berjalan kearah ranjang. Tangan Aya terulur mengambil satu bantal hendak berjalan ke arah sofa, tetapi segera ditahan oleh Gilang. "Ay, kamu mau kemana?" tanya Gilang menghentikan langkah Aya.

"Mau tidur kan? Mau kemana lagi memangnya Lang?" ucap Aya sambil melepas pegangan Gilang.

"Tidur di sofa maksudmu?" tebak Gilang, ia seolah mengerti apa yang akan Aya lakukan.

Aya mencebikkan bibirnya, menganggukkan kepala hendak melanjutkan langkahnya. "Iya, gak mungkin kita tidur di ranjang yang sama ‘kan?"

Gilang mengerti maksud dari ucapan Aya, ia tak ingin mendebatnya lagi. Meski sebenarnya ia tak masalah jika mereka harus berbagi ranjang malam ini, toh mereka bahkan sudah pernah melakukan yang lebih dari sekedar berbagi ranjang sebelumnya.

"Kamu yang tidur di ranjang, biar aku yang tidur di sofa saja," ucap Gilang meraih bantal yang dibawa Aya lalu membaringkan tubuhnya di sofa.

Aya tersenyum menatap punggung Gilang yang kian menjauh, Ia berjalan menuju ranjang dan membarigkan tubuhnya di sana. Namun, entah kenapa matanya sulit sekali terpejam meski tubuhnya terasa sangatlah lelah, ia membolak balikkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri mencari posisi nyaman namun tak kunjung mendapatkannya. Ditambah lagi suara petir yang terus menggelegar membuat dia semakin tidak bisa tidur.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro