Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5 Lupakan Saja

Sinar mentari menerobos masuk melalui celah-celah gorden mengusik tidur seorang perempuan.

"Engh!" lenguhnya.

Ia mengerjap-ngerjapkan matanya secara perlahan, mengedarkan pandangannya ke arah sisi ranjang. Matanya terbelalak melihat sosok pria berwajah oriental yang sedang tertidur pulas di sampingnya. Pikirannya menerawang jauh, ia mencoba mengingat ingat kejadian semalam.

Sungguh hati Aya hancur mengingat kejadian yang ia alami semalam. Aya tak hentinya menangis di sudut ruangan ia terduduk sembari memeluk lututnya erat. Pikirannya terus melayang-layang akan kejadian semalam. Entah apa yang akan terjadi kedepannya nanti Aya sungguh bingung memikirkannya. Ia ingin marah, teriak dan memaki laki-laki itu tapi dirinya tak bisa. Bukan karena tak berani, tapi karena dirinya pun punya andil salah dalam hal ini.

Dengan cepat Aya bangkit dari duduknya dan segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Aya mematut wajahnya di depan cermin ia mengagumi dirinya sendiri yang masih tampak menawan dan sempurna tanpa cela. Namun, kini dirinya merasa rendah atas kejadian yang ia alami semalam, kendati demikian Aya tetaplah Aya yang keras kepala dan berego tinggi.

"Tidak, semua ini tidak sepenuhnya salahnya, Aya! It's ok, semuanya akan baik-baik saja. Kamu hanya perlu pergi dari sini sebelum ia bangun dan melihatmu!" batin Aya.

Aya mendoktrin pikirannya dengan pembenaran-pembenaran yang menurut dirinya benar dan harus dilakukan. Dia memutuskan untuk melupakan semuanya dan memilih melanjutkan hidupnya dengan segala konsekuensi yang mungkin ia dapat kelak.

"Perfect," gumam Aya pelan setelah memoleskan lipstik di bibirnya.

Dari arah belakang seorang lelaki tampan nan gagah terbangun dan berdeham, pria tersebut berjalan ke arah Aya dengan hanya mengenakan celana pendek tanpa mengenakan baju membuat Aya malu melihatnya. Aya menundukkan pandangannya berusaha menutupi rasa gugupnya.

"Ehem," suara lelaki itu berdehem.

"Kau, kenapa kau disini?" tanya pria tersebut penasaran.

"Seharusnya saya bertanya pada, Tuan. Mengapa Tuan semalam menyelinap masuk ke dalam kamar saya?" Aya balik bertanya dengan wajah santainya. Hal itu membuat Gilang mengingat kejadian semalam dengan jelas.

"Oh astaga!" batin Gilang.

"Apa yang telah ku lakukan dengan gadis ini?" desisnya dalam hati.

Aya memutar bola matanya malas melihat Pria yang ada di hadapannya itu hanya diam, ia mengayunkan kakinya melangkah pergi, tapi dengan cepat Gilang meraih tangan Aya yang hendak pergi keluar kamar.

"Tunggu! Kita harus bicara," ucap Gilang mencegah Aya pergi.

"Jadi anda sudah mengingatnya?" ucap Aya tersenyum mengejek.

"Maafkan saya, saya bisa menjelaskan semua dan saya akan bertanggung jawab atas perbuatan saya." Gilang berkata dengan tulus kepada Aya.

Aya melepaskan tangan Gilang dari tangannya. "Tak perlu melakukan semua itu," jawab Aya santai.

"Lupakan saja! Permisi," imbuh Aya datar dan segera pergi dari kamar tersebut tanpa menoleh ke arah Gilang.

Gilang terdiam mencerna setiap perkataan Aya. Jika wanita diluar sana mungkin akan menangis meraung-raung dan bahkan akan marah memaki-maki pria yang telah meniduri serta mengambil mahkotanya secara paksa, tapi dengan gadis ini tidak demikian. Bagaimana mungkin seorang gadis yang baru saja tidur dengan seorang pria bisa setegar dan secuek itu, pikir Gilang yang merasa aneh.

"Aneh," batin Gilang sembari mengedikkan bahunya, ia sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran Aya.

Gilang berjalan hendak memunguti baju yang berserakan di lantai, samping kanan kiri ranjang. Namun, pandangannya berhenti kala melihat bercak darah berada di atas sprei warna biru muda yang terpasang di ranjang yang ia tempati semalam. Sejenak kemudian ia berjalan menelitinya. Memastikan bahwa apa yang ia lihat benar-benar darah.

Gilang merutuki dirinya sendiri kala melihat jika itu benar-benar darah.

"Shitttt!" umpat Gilang sembari menjambak rambutnya.

"Astaga! Apa yang telah aku lakukan?" ucapnya lirih.

"Dia masih virgin. Aku telah melukainya semalam," desahnya sembari mengusap kasar wajahnya.

Gilang sungguh-sungguh merasa bersalah kepada Aya. Gilang segera masuk ke dalam kamar mandi menceburkan tubuhnya ke dalam bak. Ia tersenyum melihat bercak merah yang berada di dadanya. Namun, seketika senyuman itu pudar.

"Kinan," gumamnya lirih dengan wajah sendu.

Apa yang akan ia katakan kepada Kinan nanti? Ia tak sanggup jika harus mengatakan semua ini kepada Kinan. Wanita itu terlalu baik dan sempurna selama menjadi istrinya.

Usai mandi Gilang menelpon sekretaris Lee. Seorang sekretaris kepercayaan Gilang yang bekerja lebih dari sepuluh tahun di perusahaan sang ayah.

"Halo paman Lee," ucap Gilang kepada sekretaris Lee melalui sambungan telepon.

"Ya, Tuan muda. Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya Sekretaris Lee.

"Paman tolong handle seluruh pekerjaanku hari ini hingga lusa ya? Aku sedang ada acara mendadak."

"Baik, Tuan muda."

Bip … Gilang memutuskan sambungan telepon lalu segera mengenakan pakaiannya. Ia pergi mencari keberadaan Adrian untuk berpamitan. Gilang menaiki tangga menuju lantai atas deck kapal. Dari kejauhan Gilang melihat sang sahabat sedang mengobrol dan bergurau dengan seorang wanita.

"Tunggu! Bukankah dia gadis yang semalam tidur denganku?" batin Gilang sembari memperhatikan keduanya dari kejauhan.

Gilang berjalan mendekati keduanya, dengan gaya coolnya ia menyapa sang sahabat lantas berpamitan pulang bersamaan dengan Aya yang tanpa sengaja juga berpamitan untuk pulang.

"Bro! Lo sudah bangun?" sapa Adrian basa-basi.

"Sudah, Bro. By the way, gue pamit pulang duluan ya?" ucap Gilang sembari menepuk pundak sang sahabat.

"Wah kalian berdua ini sahabat macam apa? meninggalkan sahabatnya sendirian di sini," cibir Adrian pura-pura kesal.

"Sorry, Yan lo kan tau gue harus kerja," ucap Gilang tak enak hati.

"Hehe ... Gue ngerti kok, Bro. Nggak apa-apa pulang aja, gue cuma bercanda kali!" ucap Adrian sembari terkekeh melihat wajah serius Gilang.

Mendengar kata pamitan dari Gilang, ia jadi teringat dengan Attaya. Ia pun memiliki sebuah ide. "Nah kebetulan lo pulang, Lang. Gue nitip sahabat gue sekalian ya?" ucapnya yang membuat Aya terkejut.

"Eh kalian kenalan dulu dong!" tutur Adrian. Tak ada salahnya kan meminta tolong kepada sahabatnya sendiri, toh istri Gilang juga sahabat Aya, pikirnya.

Tak mau membuat obrolan semakin panjang Gilang mengulurkan tangannya di depan Aya. "Gilang," ucap gilang lembut.

Aya tidak menyambut tangan Gilang, juga tidak menyahuti ucapannya. Pikirannya berkelana kemana-mana. Melihat wajah Gilang membuatnya merasa semakin bersalah kepada Kinan. Tanpa banyak bicara, Aya pergi dari sana begitu saja. Tak mempedulikan panggilan dari Adrian maupun Gilang.

Sepanjang perjalanan Aya merapalkan doa, berharap Gilang tidak mengatakan apapun tentang kejadian dirinya dan Gilang semalam kepada Adrian. Jika tidak, semuanya bisa menjadi runyam karena mulut Adrian tidak bisa diam dan menyimpan rahasia.

"Nan, Maafin gue. Maafin gue," batinnya. Aya merasa tidak tenang sekarang. Ia ingin segera menemui Kinan dan meminta maaf secara langsung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro