Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10 Bermalam Berdua

Sama halnya dengan Gilang, ia juga tak bisa tidur. Bedanya, bukan karena takut, tetapi ia tidak bisa tidur karena sofa itu terlalu sempit untuk ukuran tubuhnya yang panjang, sehingga membuatnya tidak nyaman. Ditambah lagi melihat Aya gelisah di atas ranjang sejak beberapa waktu lalu membuatnya ikut tak bisa tenang.

“Kenapa dia? Apakah sedang sakit?” batin Gilang.

"Apakah dia sedang sakit? Atau-" gumamnya lirih yang langsung terhenti.

Darrr

Suara petir yang menggelegar membuat Aya berjingkat kaget, ia pun bangkit dari tempat tidurnya berjalan menghampiri Gilang yang saat ini pura-pura tidur. Tangannya terulur meraih lengan Gilang lalu menggoyang-goyangkannya pelan.

"Lang, Gilang," panggil Aya lembut.

Gilang bersorak dalam hati, ia yang semula pura-pura tidur perlahan membuka mata. Berakting mirip seperti orang bangun tidur.

"Ya?" ucapnya seraya menggosok-gosok matanya. Gilang menyibak selimutnya lalu menegakkan tubuhnya.

"Kenapa?" tanya Gilang dengan wajah sok polos, ia pura-pura tak tahu.

Aya menggigit bibir bawahnya, kepalanya tertunduk. Ia malu untuk mengatakan jika dirinya takut dan menginginkan Gilang untuk menemaninya di ranjang. Akibat gengsi serta rasa malunya yang terlalu besar Aya menggelengkan kepalanya. "Ah tidak, a-aku hanya ingin meminjam ponsel," jawab Aya asal.

"Oh!" Gilang ber oh ria mendengar jawaban Aya yang ia yakini itu tidak benar.

Gilang bangkit mengambil ponselnya yang terletak di dalam saku jasnya. Ia mengeluarkan keduanya, lalu menyodorkan keduanya kepada Aya. Ia sengaja memberikannya kepada Aya, ia ingin Aya melihatnya, jika ia tak pernah sama sekali berhubungan dengan wanita manapun termasuk Kinan.

"Pakai aja, dua-duanya pinnya sama, tanggal lahir Adrian," tutur Gilang yang membuat Aya terkejut.

"Hah! Gak salah? Segitu setia kawannya kamu sama Adrian," cibir Aya yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Malam ulang tahun Adrian itu juga menjadi hari spesialku kemarin." Gilang sengaja mengatakannya, ia ingin tahu bagaimana reaksi Aya setelah mendengarnya. Dan sesuai dengan ekspektasinya, ia melihat wajah Aya memerah.

Gilang mengulum senyum, hatinya merasa puas melihat mimik wajah perempuan di depannya itu. Ia pun berjalan pergi, membaringkan kembali tubuhnya di atas sofa.

Aya duduk bersila di atas ranjang, matanya menatap lurus ke arah dua buah ponsel yang tergeletak di depannya. Sejenak ia teringat akan perkataan Gilang yang mengatakan hari ulang tahun Gilang adalah hari yang istimewa baginya. Tangannya kini terulur meraih salah satu ponsel Gilang, memasukkan kombinasi pin sesuai arahan sang empunya tadi. Dan benar saja, ponsel itu terbuka.

"Astaga! Dia benar-benar memakai pin itu," batinnya.

Jari Aya kini bergerak membuka menu pesan, melihat siapa saja yang mengirim pesan serta dengan siapa Gilang berkirim pesan, tidak ada satupun nama perempuan di sana, ia berani memastikan itu karena ia sendiri membacanya dengan teliti. Jempol tangan Aya kini beralih pada menu galeri, tidak ada foto ataupun gambar apapun yg mencurigakan. Hanya ada foto-foto Gilang sendiri, foto Gilang bersama dengan teman-temannya dan beberapa foto menyangkut pekerjaan.

"Gak ada foto Kinan sama sekali?" batin Aya.

Aya meletakkan kembali ponsel yang ia pegang saat ini, menggantinya dengan ponsel yang lain. Ia melakukan hal serupa, sama seperti yang ia lakukan sebelumnya ketika menggunakan ponsel milik Gilang. Kali ini hanya sebentar, tidak ada yang menarik dan perlu ia lihat di sana karena ponsel itu sepertinya memang jarang digunakan oleh Gilang.

Daaaar Darrr

Suara guntur kembali terdengar, Aya seketika membaringkan tubuhnya, menarik selimut menutupi tubuhnya. Sama seperti sebelumnya, ia sama sekali tidak bisa tidur, ia gelisah dan ketakutan. Gilang yang memang memperhatikan Aya sejak awal pun gak tega melihatnya, ia langsung bangkit dari sofa melangkahkan kakinya perlahan menuju ranjang dan bergerak naik ke sisi ranjang yang kosong.

"Ay, kamu kenapa? sakit?" tanya Gilang memastikan. Ia kini membuka sedikit selimut bagian atas Aya sehingga memperlihatkan wajah sang empunya yang ketakutan.

"Um, a-ku gak bisa tidur, Lang. A-ku takut dengar suara petir yang besar kayak gini," jawab Aya sembari menundukkan kepalanya malu. Sejujurnya ia sangat gengsi untuk mengakuinya.

Dalam hati Gilang ingin tertawa, menertawakan sikap Aya yang begitu bikin ia geregetan,  tetapi ia berusaha keras menahannya.

"Kok sama ya? Aku juga gitu, gak bisa tidur di sofa, terlalu sempit dan tidak nyaman," tuturnya yang berhasil membuat Aya merasa bersalah.

"Benarkah? Kenapa kamu gak bilang dari tadi?" cecar Aya.

Gilang terlihat membuang nafas kasar. "Aku gak enak sama kamulah, Ay," jawab Gilang jujur.

Aya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti, bagaimanapun juga tadi ia yang memiliki ide seperti itu.

"Lang, kalau aku meminta kamu temenin aku tidur, apakah kamu mau?" tanya Aya malu-malu.

Gilang mengangguk pelan, ia lalu membaringkan tubuhnya di samping Aya begitu saja, tangannya reflek mengambil guling untuk membatasi jarak mereka. Ia tak ingin membuat perempuan disampingnya ini merasa tidak nyaman karena dirinya.

"Terima kasih, Lang," ucap Aya tersenyum lembut.

"Hmmm, tidurlah," ucap Gilang sembari mengusap pucuk kepala Aya.

Bagai sebuah sihir, usapan Gilang membuat Aya mengantuk dan tertidur pulas. Pun dengan Gilang ia merasa matanya mulai berat kala melihat Aya tertidur di sampingnya. Dan kini mereka sama-sama terlelap mengarungi samudra mimpinya dengan damai.

Hanya tidur biasa, tidak terjadi hal-hal seperti sebelumnya. Mereka bangun pagi sekali, mencuci muka kemudian memutuskan untuk segera pulang karena kedua sama-sama harus bekerja.

"Mau mampir sarapan dulu?" tanya Gilang sebelum mereka sampai di ibu kota.

Aya yang memang merasakan perutnya melilit pun menganggukkan kepalanya. "Boleh, tapi aku ingin makan soto," cicitnya.

Gilang terkekeh, ia mengulurkan tangannya mengusap lembut pipi Aya. "Oke, kita akan makan itu saja. Tunggu sebentar ya? Aku masih cari tempat makan yang pas."

Tak berselang lama Gilang melihat ada warung di pinggiran jalan menjual soto, ia pun menepikan mobilnya, mengajak Aya untuk segera turun.

"Kamu gak apa-apa makan ditempat seperti ini?" tanya Aya hati-hati. Jujur saja rasanya sangat tidak cocok dengan selera Gilang yang merupakan seorang CEO perusahaan. Warung di depannya ini adalah warung kecil, meski ia lihat lumayan bersih, tetapi terlihat sangat sederhana.

"Why not? Aku sama sahabat-sahabat aku sering kok makan di warung makan pinggiran seperti ini. Its ok, gak apa-apa. Ayo masuk?" ajak Gilang.

Gilang meraih tangan Aya, menuntunnya masuk ke dalam warung dan duduk di bangku kayu kosong di sudut ruangan. Gilang memesan dua porsi soto dan juga dua gelas teh hangat untuk mereka berdua. Maklum saja, udara di sekitaran puncak sangatlah dingin.

"Ay, Kamu sekarang sibuk kerja atau-" tanya Gilang menggantung.

Aya tersenyum, menyeruput sedikit teh hangat miliknya kemudian menjawab pertanyaan Gilang. "Aku mahasiswi di salah satu kampus, sudah semester akhir dan sekarang bekerja di salah satu restoran sebagai pelayan," jawabnya jujur dan penuh percaya diri.

"Pelayan?" ulang Gilang tak percaya.

"Ya, aku kerja sebagai pelayan. Aku bekerja part time sebagai pelayan disana cukup lama, mungkin lebih lama dari sejak aku masuk kuliah. Lebih tepatnya sebelum aku kuliah aku sudah bekerja sih," jelasnya.

Gilang mengangguk-anggukkan kepala. Ia merasa kagum dengan Aya. Perempuan muda secantik dan sepintar Aya mau bekerja menjadi pelayan restoran. Padahal jika ia mau, ia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus dari itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro