Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 6 : ENEMY

Vote dulu sebelum membaca 😉

POV Ragha Syahreza


Keluar dari parkiran JW Marriott aku meluncur kembali ke kantor. Ada berkas-berkas yang harus aku ambil dan tanda tangani lagi hari ini. Diandra--sekretarisku--di kantor memberitahu saat aku sedang berada di rapat tadi.

Hari sudah sore. Jalanan padat merayap. Kini mobilku terhenti di jalan menuju lampu merah Merak Jingga. Kondisi hiruk pikuknya lalu lintas membuatku meringis.

“Kamu masih sama aja, ya. Suka merendahkan!”

Kata-kata Rosa mengiang di benakku begitu saja. Gadis itu, benar-benar menjengkelkan! Perjumpaanku hari ini dengan dia memang direncanakan. Tapi yang terjadi, sungguh diluar rencana.

Kenapa pula Papa mesti berniat menjodohkanku dengan si ‘Mak Lampir' satu itu? Apa nggak ada yang lain lagi yang lebih baik dari dia?

Memang, sudah lama sekali aku tidak punya hubungan serius dengan wanita. Di mataku mereka semua hanya mengincar harta yang aku punya. Terbukti dari cara mereka merayu, bermanis muka, tapi di belakangku menjilat dari laki-laki lain yang mungkin jadi incarannya juga.

Walaupun begitu, aku yakin, masih ada wanita yang baik hati, dan dengan tulus menerimaku apa adanya, bukan dengan embel-embel karena rupa apalagi harta dan tahta. Tapi bukan Rosa juga meskinya.

Aku akui. Dari segi penampilan, Rosa saat berumur delapan belas tahun berbeda dengan Rosa berumur dua puluhan ke atas sekarang. Dari pertemuan tadi, Rosa yang sekarang terlihat lebih matang dan  ... ya  ... lumayan cantik. Berbeda dengan Rosa zaman SMA dulu yang lebih tampak biasa saja tapi nyebelin tingkat dewa.

Ah, sekarang masih nyebelin juga. Kayak kejadian tadi misalnya. Sok!

Dulu, dia feminim, tapi tiba-tiba bisa berubah jadi sok dingin. Tidak ada yang menduga kalau feminimnya dia menyimpan kekuatan di dalam yang bisa tak terkalahkan.

Meskipun kini dia terlihat lebih menarik, tapi tetap saja, melihat dia ada rasa menolak di dalam dadaku yang bergejolak seketika. Seakan terbangun tanpa koneksi tinggi sekalipun.

Bermula beberapa tahun yang lalu. Saat Bu Hilda guru favoritku, yang merangkap menjadi penjaga perpustakaan memberiku kartu merah.
Namaku masuk ke dalam blacklist anggota perpustakaan sekolah.

Itu artinya sebuah larangan untukku masuk ke perpustakaan selama setengah semester, sebagai hukuman tragedi gempa lokal yang terjadi di sisi timur lantai dua perpustakaan.

Lalu karena kejadian itu, Bu Hilda yang biasanya ramah padaku jadi selalu bermuka masam setiap kali bertemu. Hal biasa bagiku sebenarnya yang sering jadi pembuat onar di sekolah.

Dulu, saat SMA, aku memang suka mengacau dan mengganggu siswa lain di sekolah.

Rasanya, kalau nggak ganggu dan bikin kacau sehariii aja, kepalaku terasa penat. Malas. Mau belajar juga susah. Tapi untuk kejadian hari itu bukan atas kesengajaanku sendiri.

Mungkin bisa dibilang kena batunya. Tapi awalnya aku nggak punya maksud merubuhkan rak-rak buku itu semua.

Saat itu aku sedang asik bermain dengan mainan baru di perpustakaan sekolah saat jam istirahat.  Mainanku kala itu seorang siswa baru di sekolah yang terlihat cupu dan culun. Aku, Bimo dan Satria sengaja mengekori dia hingga ke sana.

“Hai, Brother. Ngapain di sini aja? Kantin, yuk,” bisikku di telinga murid baru yang sedang berdiri dekat rak buku. Tanganku merangkul pundaknya pelan.

Melihat itu, anak-anak lain di sekitar kami mulai mengambil jarak menjauh jika tidak mau terlibat. Anak itu mulai tertunduk ketakutan.
Melihat wajah ketakutannya saja aku bahagia.

Ya ampun, baru gitu aja doi udah macam cecunguk. Lemah! Yang begini nih bikin aku makin senang.’

“Nama kamu siapa?” tanyaku. Sementara itu Bimo berdiri di sebelahnya.

“Heri, Bang,” jawabnya gugup.

“Oh, Heri. Kamu suka baca buku, ya?” Aku meraih kaca mata dari wajahnya. Dia berusaha meraihnya kembali tapi aku mengelak dengan cepat.

“Eh, e-eeh ....” Aku, Satria dan Bimo tertawa.

“Kembaliin, Bang. Aku nggak bisa liat.” Dia mengiba. Kacamatanya memang lumayan tebal kulihat. Mungkin minus 7-10.

Tangannya mencoba meraih lagi dan lagi, tapi aku dengan senang hati mengelak lagi dan lagi juga.

“Kembaliin, Bang.” Tiba-tiba air matanya keluar.

‘Aaaghh ...  bikin aku geram. Gitu aja masa udah nangis. Gampang amat sih!’

Aku dan geng masih belum puas mengerjainya. Kaca mata itu masih aku tahan juga. Tiba-tiba anak itu menubrukku tanpa sengaja.

“Eeeiiittts! Santai Brother! Jangan cepat-cepat main fisik dong!” kataku dengan tawa sinis.

Satria dan Bimo langsung menarik kedua lengannya. Aku mendekat ke kepalanya pelan dan berbisik.

“Sssttt! Jangan berisik! Mending jangan melawan. Nanti kami jadi makin senang.”

Kulihat air matanya makin mengalir. Membuatku semakin panas ingin mengganggunya.

“Kembalikan kaca matanya!” Tiba-tiba ada suara datang dari belakangku.

Aku bergeming sebentar. Siapa gerangan yang berani ikut campur dengan urusan Ragha Syahreza?

Aku berbalik dan menoleh dengan tawa sinis.

Hhhh?! Seorang wanita rupanya.

“Jangan ikut campur urusan orang, Nona. Jika nggak mau terbelit masalah. Pergilah! Kami nggak level berbuat kasar sama wanita,” kataku sambil menarik tawa sengit. Dengan wajah dan mata tajam ke arahnya.

Wanita itu tak bergeming, tapi dari sorot matanya ada marah yang hendak tumpah.
Aku melangkah mendekatinya.

“Aku kakaknya!” seru wanita itu tegas dengan mata tajam.

Saat jarakku hanya sehasta tiba-tiba dengan segala tenaga yang ia punya, tangannya mendorongku kasar dan berusaha meraih kacamata.

Aku mengelak. “Hei! Santai, Nona.”

Tanpa sengaja aku mencengkram tangannya karena ia yang berontak, tapi lalu malah memelintir sebab aku ingin mengunci dia agar tidak bertindak arogan.

“Nona, woles! Wol--.”

Belum selesai aku bicara, ada tangan yang menelusup ke dalam ketiakku.
Spontan aku menggeliat-geliat.

“Lepasin!” pemilik tangan itu bersuara.
Aku hendak menoleh. Ia melakukan aksinya lagi.

“Lepasin nggak? Ayo lepasin!”

Dia masih tetap menggelitiku.

Serta merta aku terkekeh karena kegelian, hingga tanganku melepas kakak Heri.
Aku terkekeh geli lagi dan lagi. Sial. Wanita pendatang baru ini belum berhenti juga.
Melihat itu, Bimo dan Satria malah ikutan terkikik. Agh! Kan jadi gak seram lagi kalau begini?

Aku melompat dan menjauh agar terhindar dari jangkauan tangan wanita yang kini wajahnya jelas tertangkap mataku.

“Hei, jangan main kasar sama wanita. Banci!” katanya, yang anehnya terdengar begitu menusuk ke hati.

“Siapa lagi ini? Mau ikut campur juga kamu?”
Aku berkedik dagu ke arahnya dengan tatapan sengit.

Wanita berambut pajang sebahu yang ia biarkan tergerai itu, bukannya menghindar dan pergi, malah melangkah tegas ke mari.

“Memangnya kenapa?” Dagunya berkedik ke arahku. Dengan berani ia membalas tatapan tajamku.

Aku tertawa sengit mengambil posisi sigap. Kembali kubalas mata tajamnya dengan tatapan tak kalah tajam. Gadis ini, belum pernah aku lihat sebelumnya.

“Kamu siapa? Berani sekali ikut campur urusan kita?!”

“Kamu nggak perlu tau.  Melihatmu menganggu murid lain di sini membuatku jadi ikut terlibat. Karena kebetulan aku juga di sini. Aku jelas terganggu dengan ulah kalian.
Kalian merusak ketenangan orang!”

“Oh, kamu orang?” sambarku. Tawaku merekah.

Aku lihat dia membuang pandangan sembari menahan amarah.

“Berhentilah! Lepaskan dia!” katanya dengan suara redam tapi tajam dan menghunjam. Dagunya kembali berkedik pelan berulangkali. Membuatku merasa diremehkan.

Amarahku mulai semakin naik. Tapi tertahan untuk keluar saat kulihat sesuatu di tangannya.

Seketika aku terdiam tak berkedip. Ia memegang kunci motorku.

Shit! Bagaimana bisa dia mendapatkannya?

“Kau mengenali ini, bukan?” ledeknya tak kalah sinis. “Kembalikan kaca mata dia!” bentaknya lagi dengan suara yang diredam.

Aku memutar bola mata geram. Lepas satu mainan.

“Kamu beruntung, Bro!” kataku setelah meletakkan balik kaca mata itu ke tempat semula sambil tertawa kecil meledek Heri. Tak lama ia juga terlepas dari genggaman Satria dan Bimo.

Heri menghindar dan mendekat ke kakaknya.
Aku kembali menoleh ke gadis  berambut sebahu itu, sambil melempar tawa sengit. Tanganku mengambang hendak menerima kunci milikku.

Sepersekian detik, aku berubah posisi hendak merampas kunci itu dari tangannya secara paksa.

Di luar dugaan, gadis itu ternyata dengan sigap dan luwes menghindar, membuat aku hampir tersungkur.

Oh, beraninya dia!’

Seketika rahangku menegang, aku makin meradang. Kulirik matanya sinis, ekspresi wajahnya terlihat mengejek dengan tarikan senyum meledek.

Amarahku rasanya ingin meluap, aku berdiri dan menyejajarkan tubuh dengan dia.

“Hei, jangan melanggar perjanjian. Aku sudah mengembalikan kacamatanya tadi kan? Kembalikan kunciku,” kataku tenang.

“Hhm?! Apa aku ada janji tadi?” Dia malah mengedikkan wajah dengan mengangkat alisnya. Gadis itu semakin menjadi-jadi.

Aaagghh!

“Kamu mau ini ‘kan? Ambil ini!”

Belum sempat aku berkedip, dengan cepat ia melambungkan kunci itu ke udara. Mataku mengikuti ke mana kunci itu terlambung hingga refleks meloncat juga. Sialnya, kunci itu mendarat tepat di paling atas rak buku dengan tinggi lebih kurang tiga meter.

Setelah itu dengan tenang ia pergi beranjak menjauhi kami. Heri dan kakaknya malah sudah tak terlihat lagi batang hidungnya.

“Hiaaa! K-k-Kau!” Aku mendelik kesal ke arahnya sambil meredam suara.

Shit!

Kakiku beranjak, lalu berusaha meraih atap rak, tapi kunci itu masih belum teraih.

“Pake ini, pake ini, Za!”

Akhirnya Bimo dan Satria membantu dengan menggeret satu kursi. Satria naik dan berusaha menyisiri atap rak dengan tangannya. Ternyata hampa, belum sampai.

“Kurang tinggi, Bro!" Dia nyengir dengan polosnya.

Bimo malah ikutan nyengir juga. Sepertinya dia sadar kalau tingginya tak lebih tinggi dari Satria.

Berganti pula ke aku. Aku naik ke kursi, tanganku terangkat ke atas berusaha meraih bagian atap rak, tapi tak teraih juga.

Tak sabar, kakiku mencoba naik ke senta rak di atas kursi. Satu, dua, dan ... tiba-tiba aku merasakan rak itu mulai condong dan liung ke depan.

Gebrak!

Hitungan detik rak itu berbenturan dengan satu rak di depan.

Brak!

Rak kedua menimpa rak ke tiga.

Brak! Bam!

Berlanjut menjadi empat, lima dan enam rak tumbang secara beruntun dengan posisi aku tertelungkup di atas rak pertama. Buku-buku seisi rak tentu saja berhamburan.

Kejadian itu spontan menarik perhatian seluruh pengunjung perpustakaan lantai dua. Orang-orang berkumpul. Ramai! Lantas aku mendadak jadi tontonan.

Ada yang refleks menjerit karena terkejut menyaksikan detik-detik aku seolah jadi spiderman kehilangan kekuatan. Ada juga yang malah tertawa melihat aku yang menempel di paling atas sisi rak seperti cicak.

Bayangkan, gimana geram dan kesalnya aku pada gadis itu? Haaargh!

Bimo dan Satria yang berdiri di belakangku seakan jadi tim hore-hore yang terpelongo. Ahay,  beruntungnya mereka ....

Dengan rasa yang entah, segera aku bangkit. Melihat reaksiku, Satria dan Bimo lalu berusaha membantu. Ekspresi wajah mereka berdua seakan ikut roboh, tapi mengecoh.

Suasana jadi heboh. Bukan hanya Buk Hilda, seluruh siswa yang di sana, satpam, penjaga loker, bahkan bagian kebersihan pun sepertinya ikut datang.

Mata mereka memelotot. Bahkan ada yang menganga dengan mata tak kalah melebar terbuka.

“Ghaza! Apa lagi ulah kamu sekarang?!”

Bermacam-macam umpatan dan kemarahan melambung ke arahku.

Argh! Sial! Gadis itu! Awas kau!

Mengingat kejadian itu hatiku kembali mendidih. Gadis berambut sebahu itulah si ‘Mak Lampir'. Setelah kejadian itu, dengan cepat aku dan geng mencari tau tentangnya. 
Ternyata ia murid pindahan, namanya Roseanne Rocelin. Langsung aku tandai dia. Tentu saja.

Gara-gara dia, aku, Bimo dan Satria dihukum menyusun ulang seluruh buku yang berhamburan sesuai klasifikasinya. Selesai itu, kami dapat kartu merah, diblacklist pula.

Itulah, gara-gara ulah si ‘Mak Lampir’ satu itu. Keberaniannya hari itu, mengalahkanku sekali telak.

Semenjak detik itu, aku menganggap ia itu musuh. Bahkan jadi musuh bebuyutanku, sebab hari-hariku di sekolah setelahnya sering terkontaminasi sama dia. Anak tengil itu selalu saja mengecoh saat aku beraksi. Walau sesekali aku lihat ia juga gerah dan marah atas kelakuanku yang berhasil menjaili dia.

Hahaha.

Ketawa jahat.
.
.
.
Bersambung

Apa kabar semua? 🤗🤗

Ketemu lagi dengan duo R yang saling bermusuhan, Rosa dan Reza. 😍

Esok ada kejadian apa antara mereka, ya 😅

Makasi buat yang sudi mampir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro