PART 2 : ANGRY
Aku membuka pintu kamar dengar keras, lalu membantingnya tak kalah keras.
“O shit!” serapahku karena begitu kesal.
Tas jinjing yang tadi kupegang kini tercampak ke atas ranjang hingga menghamburkan isinya.
Dada ini rasanya sesak. Kepala pun ikut mendidih. Ingin rasanya aku hancurkan semua barang-barang di kamar demi melampiaskan rasa marah yang sedang memenuhi hati.
Bagaimana mungkin Papa menjodohkan aku dengan dia? Berurusan dengan si 'Kambing' itu saja selalu membuatku jengah. Gimana pula kami bisa hidup serumah?
Aagh!
Tadi pagi, usai sarapan, Papa memanggilku ke ruang kerjanya. Tanpa rasa curiga aku mengikuti perintahnya.
“Kemari.” Papa memintaku mendekat.
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Papa.
“Sementara lancar, Pa.”
“Ada kesulitan?” tanya Papa lagi.
“Belum, Pa.” Aku mengambil tempat duduk di depan meja Papa.
“Jangan ragu bertanya dan konsultasi ke Papa saat ada terbentur masalah atau sesuatu yang kamu nggak faham.”
Papa menatapku tenang. Ujung jari jemari tangannya saling bertemu dengan siku menumpu di tangan kursi.
“Iya, Pa.”
“Kamu sudah dengar tentang perjodohanmu ‘kan?”
Dahiku mengeryit tak faham.
“Perjodohan? Maksud Papa?” sambutku sedikit kaget.
Aku membaca gelagat angin tak sedap di sini. Papa pun menatap mataku.
“Kamu akan Papa jodohkan dengan anak relasi Papa.”
“What?” Mataku langsung membulat.
“Iya.” Papa bersandar pada kepala kursi. Masih menatapku dengan percaya diri.
“Aku? Dijodohkan? Nggak salah, Pa?” Aku mengulum senyum sinis.
‘Rencana apa pula ini?’
“Nggak. Papa sudah pilihkan pemuda yang terbaik buatmu. Dia smart, bersamanya karirmu akan lebih melejit. Dia pantas menjadi pendampingmu, Rose.”
Papa mengangguk-angguk yakin.
“Apa? Pantas? Apa cuma Papa yang punya pikiran? Apa Papa tidak memikirkan pendapatku? Masalah pasangan, biar aku sendiri yang tentukan. Karena aku yang jalani, Pa.”
Aku bangkit tak ingin melanjutkan perbincangan ini.
“Percayalah, dia yang terbaik.” Papa kembali meyakinkan.
“Terbaik bagi Papa belum tentu terbaik bagiku. Harusnya Papa tanya pendapatku dulu.”
Pandanganku sengit ke arah Papa.
Pria dengan wajah oval itu hanya tersenyum tenang. Membuatku merasa gamang.
‘Sebenarnya apa yang Papa mau?’
“Tunggu Rose, ambil ini.” Papa menyodorkan selembar kertas di atas meja.
Aku yang sudah berdiri melirik sekilas. Papa mengangguk sebagai perintah agar aku mengambil kertas itu.
Bola mataku sedikit memutar. Dengan rasa malas aku meraihnya dan membalik bagian depan. Ada potret seorang pemuda di sana.
Aku tatap gambar itu.
“What?!”
Mataku seketika terbelalak, mau keluar rasanya. Sesuatu di dalam diriku bergejolak hingga membuatnya terasa panas sekali.
Berganti kutatap mata Papa tajam.
Yang kutatap malah tersenyum senang.
Aggh!
“Dia yang akan Papa jodohkan denganmu.” Papa tersenyum penuh arti.
“Namanya Ragha Syahreza Oshadi. Putra pengusaha besar. Relasi Papa. Perusahaan mereka ada di mana-mana. Mereka termasuk pengusaha dan pebisnis sukses di negeri ini dalam kurun waktu puluhan tahun belakangan.”
Lengkap sekali Papa menyebutkan nama si ‘kambing’ itu. Jengah rasanya, kulihat mata Papa begitu mengilat semangat.
Haih!
Sayangnya, tidak denganku.
Tentu saja aku tau siapa dia. Ya, putra pengusaha terkenal. Tapi kan itu Papanya. Bukan dia.
Mungkin ilmu bisnisnya tinggian. Tapi sedikitpun aku tidak tertarik padanya.
Aku meraih gelas berisi air di atas nakas. Lalu menyesapnya hingga tandas. Sebagian air bahkan tumpah membasahi kemejaku.
Tak!
Gelas itu berbenturan dengan meja sebab aku hentak paksa.
Jemari tanganku memijit bagian dahi kepala. Agar pusing di kepalaku bisa sedikit reda. Hingga aku bisa berpikir strategi apa yang harus aku jalankan.
Ah, dasar ‘kambing'! Tidak cukupkah kau mengusik sebatas di luar sana? Kenapa harus merambat hingga ke dalam rumah segala?
Oh Tuhan. Apa yang harus aku lakukan?
Aku mondar-mandir tak menentu mencari akal. Sesak di dadaku belum lagi mau menghilang. Ini tidak bisa dibiarkan.
Sudah lama aku tidak berhubungan dengan si ‘kambing' itu. Kalau bisa jangan ada urusan apapun dengannya. Malas aku. Kenapa tiba-tiba malah datang pula perjodohan begini sama tuh ‘kambing’?
Aduh! Sakit otakku. Kenapa rasanya buntu begini? Aku menarik napas dan membuangnya kuat. Berulang-ulang hingga otot-ototku sedikit terasa rileks.
Aku menghempaskan badan ke sofa. Lalu duduk sambil memejamkan mata. Kedua tanganku menutupi seluruh wajah.
Tiba-tiba sebuah panggilan masuk. Kuusap wajah yang sudah kusut rasanya.
Kuraih ponsel, ada nama Maira -asistenku- di sana.
Aku menjawab pelan dengan tangan kiri memegang sebelah jidat.
“Ya, Mai.”
“...”
“Jam berapa?”
“...”
“Data yang aku suruh kemarin sudah kamu siapkan?”
“...”
“Okay! Kirim sekarang data itu ke e-mail-ku.”
“...”
“Ya.”
Panggilan selesai. Mataku terpejam lama. Aku punya janji pertemuan hari ini. Performaku harus ‘full okay'. Tapi bisakah aku dalam kondisi begini. Perbincangan pagi ini berhasil menyedot seluruh mood terbaikku.
Ah, Sial!
Aku mengusap kembali wajah yang sudah kayak kertas kusut.
Papa, bisakah sekali saja pikirkan perasaanku? Aku ini putrimu! Kenapa setega ini padaku?
Sepertinya aku pergi saja. Tak usah pusing dengan kerumitan ini, terserah. Tapi, Papa tau benar kelemahanku.
Lagi. He holds my lock!
Tunggu. Si ‘kambing’ itu. Apa dia sudah tau tentang ini?
Bibirku menyunggingkan senyum sinis. Otakku merencanakan sesuatu.
Baiklah. Mungkin harus dengan cara ini. Masih ada harapan. Walaupun aku ragu apa ini akan berhasil. Terserah! Yang penting aku coba saja.
Aku menarik napas lalu membuangnya perlahan sembari menegakkan kepala.
Sesaat kemudian aku bergegas meraih tas jinjingku. Dengan cekatan kumasukkan isinya yang tadi berhamburan. Lalu aku berjalan sambil mencari-cari nomor ponsel seseorang di sana.
“Bisa kita bicara?”
.
.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro