Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga Belas

November 2021


Secangkir kopi hitam menemani Nando di depan teras rumahnya. Ponselnya tergeletak di atas meja. Namun Nando hanya diam memandangi benda berlayar sentuh itu. Keraguan menghinggapi Nando setelah pertemuan tidak sengaja yang terjadi di antara dirinya dan Rana.

Siapa yang menyangka hari ini ia akan kembali bertemu dengan Rana? Meski dalam waktu singkat, Nando dapat mengenali dengan jelas sosok Rana. Apalagi saat itu Rana tengah melepas maskernya.

Seiring bertambahnya umur, Rana terlihat semakin dewasa dari terakhir yang ia ingat. Rana di dalam kenangan Nando adalah seorang wanita berusia belasan yang ia nikahi beberapa bulan sebelum akhirnya bercerai.

Rana memilih mengakhiri ikatan pernikahan mereka dan pergi dari hadapan Nando tanpa sekali pun menoleh ke belakang. Meninggalkan Nando seorang diri di rumah mereka yang ia harapkan dapat ditempati berdua hingga rambut mereka memutih.

Namun sayang, harapan itu menjadi kosong. Meski Nando tetap tinggal di rumah mereka hingga menyelesaikan kuliah, Rana tidak pernah datang. Keberadaan Rana seolah ditelan bumi. Rana tidak lagi ia dengar kabarnya.

Menemui Rana pun percuma. Karena Aldo selalu menghalangi Nando agar bisa bertemu dengan sang mantan istri. Barulah saat akhirnya Nando kembali bertemu dengan Aldo di pernikahan Hendra dan mereka berkumpul bersama, ia mengetahui sedikit mengenai keberadaan Rana.

"Rana udah lama nggak di Indonesia. Dia lanjut kuliah di luar negeri."

Perkataan Aldo membuat dada Nando sesak. Terlebih tatapan Aldo kala itu seolah mengatakan bahwa sudah harusnya Nando berhenti berharap sejak lama. Kesempatan untuk kembali bersama Rana sudah sepenuhnya tertutup.

Rana bahkan rela pergi sejauh mungkin dari hidup Nando agar tidak lagi bisa bertemu dengan lelaki itu. Sembilu di hati Nando membuatnya seolah mati di tempat. Aldo menyaksikan dengan jelas semua kesakitan itu.

Nando sekarat tanpa berdarah. Seketika lumpuh, tanpa bisa terelakkan.

Cacian setajam apa pun akan ia terima. Namun kenyataan bahwa Rana benar-benar menghindari dan membuangnya seperti ini membuat Nando seolah tak berjiwa. Hanya sebuah raga yang jiwanya terenggut secara paksa ke dunia lain.

Tidak sampai di situ saja penderitaan Nando. Meski tahu Aldo tidak mempunyai niatan jahat saat mengatakan bahwa Rana telah memiliki kekasih di luar negeri, tetap saja luka di hati Nando tergores begitu dalam.

"... but she was in a relationship now."

Nando membeku beberapa detik. Kalimat Aldo terasa seperti dengungan lebah yang berkumpul di dekat telinga Nando.

Angan-angan Nando untuk kembali meraih Rana ke dalam pelukannya, terasa sangat mustahil. Rana telah memiliki kekasih, seperti yang Aldo beritahukan padanya. Selain itu, seperti yang Aldo harapkan juga, ada seseorang yang kini menemani hari-hari Nando.

Bukan karena Aldo meminta Nando untuk mencari pengganti Rana. Namun Nando benar-benar jatuh cinta dengan wanita yang kini berstatus menjadi kekasihnya. Hubungan yang Nando jalani dengan sang kekasih bahkan sudah di tahap yang serius.

Nando secara resmi telah melamar sang kekasih. Mempertemukan kedua belah pihak keluarga untuk menentukan hari baik penyatuan cinta mereka. Mengikat sang kekasih dengan status pertunangan sebelum dinyatakan sah sebagai suami-istri di mata hukum dan agama.

Di dalam kamus Nando, tidak ada kata main-main saat menjalani hubungan. Nando selalu bersungguh-sungguh setelah menjatuhkan pilihannya untuk menjalin hubungan dengan seorang wanita. Sama seperti saat ia meminta Rana untuk menjadi kekasihnya dulu dan akhirnya pernikahan mereka berlangsung.

Menghela napas panjang—cukup berat—Nando meraih ponsel. Kontak Aldo terpampang jelas di layer ponsel. Sedikit ragu, tetapi akhirnya Nando memutuskan menghubungi Aldo.

Nada sambung yang terdengar semakin membuat jantung Nando jumpalitan. Ia sendiri tidak tahu dengan pasti, apa tujuannya menghubungi Aldo di malam yang semakin larut ini. Otak Nando terasa berhenti berfungsi saat suara Aldo menyapa gendang telinganya.

"Iya, gue tahu," kata Aldo, "gue juga nggak tahu kalau lo bakal dateng. Gue nggak tahu lo kenal sama Roy juga."

Aldo langsung berujar, seolah tahu apa yang hendak Nando katakan. Nando memijat pangkal hidungnya. Melepaskan kacamata yang entah kenapa terasa berat di saat seperti ini.

"Lo nggak pernah cerita kalau Rana udah balik," kata Nando, sedikit menyalahkan.

Kalau saja Aldo memberitahunya bahwa Rana sudah berada di Indonesia, sebisa mungkin Nando akan menghindar. Nando tidak mau pertemuan mereka kembali akan membuat Rana tidak nyaman. Hal tersebut tentu akan menyakiti Nando juga. Karenanya, lebih baik ia menghindari segala kemungkinan bertemu dengan Rana.

"Gue nggak ada kewajiban untuk bilang dan lo nggak ada hak untuk diberi tahu."

Jawaban Aldo memukul Nando telak. Meski tahu ucapan Aldo benar, tetapi hatinya bergejolak tidak menerima sepenuhnya.

Lebih baik Aldo memukulnya hingga babak belur, ketimbang mengatakan hal seperti itu.

Perkataan Aldo sedikit menyakiti Nando. Namun Nando tidak bisa berbuat apa-apa, karena keputusan yang Aldo ambil merupakan langkah terbaik untuk mereka.

"Bukan salah lo," ucap Aldo pelan. "Mungkin emang udah saatnya aja kalian buat ketemu."

"Rana gimana?"

Terselip khawatir di balik pertanyaan Nando. Ia benar-benar khawatir dengan respons Rana setelah pertemuan mereka yang tidak disengaja tadi.

"Dia baik-baik aja."

"Syukurlah kalau dia baik-baik aja." Nando menghela napas lega.

"Lo cuma mau bilang itu aja, 'kan?"

Nando bergumam pelan. Rana tentu akan baik-baik saja. Di hidup Rana, Nando bukanlah siapa-siapa.

"Ya udah kalau gitu. Gue mau istirahat."

Merasa Aldo akan segera mengakhiri panggilan tersebut, Nando lekas menahannya. Entah kenapa, pertanyaan yang berada di ujung lidahnya keluar begitu saja. Meminta untuk disuarakan agar hatinya sedikit tenang.

"Apa gue boleh ketemu Rana dengan sengaja?"

Aldo diam untuk beberapa detik. Selagi menunggu jawaban Aldo, waktu di sekitar Nando serasa bergerak lambat.

"Kayaknya belum bisa untuk saat ini. Bukan gue mau ngelarang apa gimana, tapi menurut gue mending kalian sibuk sama hidup masing-masing. Bukannya beberapa tahun ini kalian baik-baik aja tanpa berkomunikasi atau ketemu langsung?"

"Iya, lo bener," sahut Nando pasrah.

"Lo sahabat gue, tapi Rana adik kandung gue. Gue cuma mau mengingatkan lo, siapa prioritas gue di antara kalian berdua."

"Lo bener. Nggak seharusnya gue minta ketemu sama Rana. Gue sama dia udah punya hidup masing-masing."

"Apalagi gue denger kalau lo ...." Aldo tidak melanjutkan ucapannya. Namun Nando tahu apa yang Aldo maksud.

"Gue nggak nyangka kabar itu sampe juga ke telinga lo."

"Well, memang sudah seharusnya lo buat keputusan kayak gitu."

"Thanks. Gue takut lo bakalan marah."

Aldo tertawa.

"Marah? Buat apa?"

"Karena gue mantan suami Rana?"

Tawa Aldo makin keras setelah mendengarnya.

"That's okay. Memang sudah saatnya lo lupain masa lalu dan hidup di masa sekarang. Gue nggak bakal marah atau apa pun itu. Lo sama Rana berhak bahagia."

"Makasih, Do," ucap Nando sungguh-sungguh.

"Udahlah, buat apa makasih-makasih segala? Lo mungkin mantan suami Rana dan mantan adik ipar gue, tapi sekarang lo cuma sahabat gue."

Nando terdiam. Senyum tipis kemudian terbit di wajahnya.

"Udah, 'kan? Gue beneran mau tidur nih. Gue tutup, ya."

Panggilan telepon itu pun berakhir dengan senyum lega di wajah Nando. Mengenakan kembali kacamata, Nando segera menyeruput kopinya hingga habis. Seperti halnya Aldo, Nando juga ingin segera tidur dan mengistirahatkan tubuh yang lelah.


***


Oktober 2020


Kedua netra itu saling beradu. Sepasang menyorotkan kekhawatiran, sedang sepasang yang lain dengan sorot yang tidak bisa dibaca. Sang lelaki menunduk, memutus aksi tatap yang berlangsung dalam hening.

"Aku rasa kamu harus tahu tentang hal ini, sebelum hubungan kita semakin jauh," ucap sang lelaki.

Hening kembali menjeda. Detak jantung yang berdetak kencang, kini rasanya terdengar jelas di kedua telinga masing-masing.

Sang wanita masih menunggu kelanjutan kalimat yang masih tergantung itu. Sedangkan, sang lelaki yang duduk tepat di hadapannya tengah berperang dengan pikirannya. Memilah kalimat yang harus ia keluarkan agar tidak timbul kesalahpahaman di antara mereka.

Netra di balik kacamata itu lantas kembali menatap sang lawan bicara. Keputusan telah ia tetapkan. Bagaimanapun akhirnya nanti, ia harus jujur kepada wanita yang beberapa bulan ke belakang membuat dadanya berdesir halus setiap kali bertemu.

"Aku sudah pernah menikah sebelumnya. Pernikahan yang lumayan singkat, karena kami harus bercerai di usia pernikahan yang belum satu tahun."

Kalimat itu akhirnya disuarakan juga dari bibir sang lelaki. Satu detik berlalu. Diikuti beberapa detik yang menuju hitungan menit. Namun sang wanita yang menjadi lawan bicara masih belum angkat bicara.

Membenarkan posisi kacamatanya yang sebenarnya tidak bergeser satu inci pun, sang lelaki bernapas pelan. Terlihat sekali bahwa ia tengah frustrasi menanti jawaban sang lawan bicara.

Mungkin seperti inilah kisah asmara yang harus ia hadapi. Bahkan hubungan kali ini harus berakhir sebelum sempat terjalin. Pikiran negatif sudah memenuhi kepala sang lelaki. Status duda yang ia sandang membuatnya over thinking dan insecure di saat bersamaan.

Namun kalimat yang bersapa udara di sekitar mereka membuat sang lelaki tersentak. Tidak menyangka akan mendengar kalimat tersebut dari bibir sang wanita. Luapan perasaan ya ia rasakan tidak bisa terbendung lagi. Hingga senyum semringah berhasil terukir di wajahnya yang semula layu.

"Itu semua masa lalu kamu. Aku bersyukur dan merasa Bahagia karena kamu mau jujur denganku mengenai statusmu," kata sang Wanita. "Aku sama sekali tidak mempermasalahkan statusmu, Ndo. Mungkin kamu berpikir aku akan mundur setelah tahu kalau kamu duda. Kalau memang demikian, kamu telah salah menilaiku. Kamu salah besar."

Ada kupu-kupu di perut Nando. Bunga-bunga terasa bermekaran di taman hatinya. Kedua pasang netra itu kembali beradu. Saling menatap lurus penuh arti.

"Aku yang pertama kali menyukaimu, Ndo. Kamu tahu dan sadar akan hal itu. Aku yang mengejarmu. Jadi, aku tidak akan mundur meski kini sudah tahu kalau kamu sudah pernah menikah dan bercerai. Aku tidak akan mundur. Aku akan semakin maju dan membuatmu semakin mencintaiku."

"Kamu ... serius? Kamu tidak masalah jika harus berkencan dengan duda sepertiku?" tanya Nando tidak percaya.

"Aku mencintai kamu. Karena itu, aku harus menerima semua hal di hidupmu, termasuk masa lalumu. Masa lalu kamu adalah milikmu, aku tidak berhak menuntut apa pun yang pernah terjadi di hidupmu. Aku pun mempunyai masa lalu, Ndo. Karena itu, aku tidak akan pernah mundur meski kamu duda atau bukan. Aku hanya akan mundur kalau ternyata kamu adalah suami orang."

Senyum Nando semakin melebar. Hatinya terasa tenang setelah mendengar jawaban dari wanita yang berhasil mencuri perhatiannya.

"Jadi, jangan pernah menghindar dariku setelah ini. Karena aku akan terus maju untuk merebut hatimu. Aku mungkin baru di hidupmu, tapi aku akan menggeser posisi masa lalumu hingga ke sudut. Supaya dia tidak akan lagi mengganggu pikiran kamu."

"Tentu. Aku tidak akan menghindar lagi," kata Nando, yakin.

"Jadi ... kamu mencintaiku balik atau tidak?" tanya sang Wanita to the point. "Ah, membicarakan ini membuatku malu. Aku bahkan tidak menyangka tengah mengutarakan perasaanku terlebih dulu."

Nando tersenyum, kemudian menggeleng. Diraihnya tangan sang wanita yang tergenggam di atas meja. Sang wanita menatap Nando bingung.

"Aku juga mencintaimu. Tidak mungkin aku memberitahu masa laluku padamu kalau aku tidak mencintaimu."

Senyum keduanya merekah lebar. Kedua tangan mereka saling menggenggam dengan tatapan yang menyorot ketulusan.

***


Update lagi!

Siapa aja yang nungguin?


xoxo


Winda Zizty

29 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro