Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima Belas


Mei 2022


Rana sekali lagi menempelkan ponsel ke telinga. Nada sambung kembali terdengar, tetapi tidak satu pun panggilannya terjawab. Menatap layar ponsel, Rana mendesah pelan. Entah ini sudah panggilan ke berapa, tetapi tidak satu pun sambungan telepon tersebut terhubung.

Mengambil notebook bersampul kulit warna hitam, Rana berdiri. Tidak lupa membawa ponsel yang kembali menyuarakan nada sambung.

"Gue pergi dulu. Kalau Mbak Yaya ke sini, bilang gue lagi meeting sama klien di luar," pesan Rana pada Joe, salah satu karyawan di Loana Wedding Organizer.

Joe mengacungkan jempol, seiring dengan berlalunya Rana dari sana.

Hari ini seharusnya Yaya melakukan fitting baju pengantinnya. Setelah wanita itu meminta dibuatkan kebaya modern untuk acara resepsi alih-alih gaun modern seperti rencana awal. Rana selaku salah satu karyawan yang turut membantu merancang kebaya pengantin Yaya, sesuai dengan yang wanita itu impikan.

Sayang, saat akhirnya Yaya melakukan fitting dengan didampingi calon suaminya, Rana berhalangan menemani. Untuk hari ini ia akan berada di tim lain dan bertolak ke Yogyakarta untuk mengurusi pernikahan klien di sana hari Minggu nanti.

Rana sudah berusaha menghubungi Yaya. Bermaksud meminta maaf karena tidak bisa menemani dan Rana rasa menghubungi via pesan teks sedikit kurang tulus. Karenanya, Rana berinisiatif untuk menelepon. Sayang, Yaya tidak mengangkat.

"Mungkin dia lagi sibuk," gumam Rana. Menyimpulkan alasan di balik teleponnya yang tidak dijawab Yaya.

Rombongan tim Rana sudah menunggu di depan galeri Loana Wedding Organizer. Sebelum bertolak ke Yogyakarta sore nanti, dengan tim yang sama Rana akan meeting dengan calon pengantin yang akan menikah dua minggu lagi.

Belum semenit Rana duduk di bangku penumpang belakang, ponselnya berdering. Nama Yaya muncul sebagai si penelepon. Tanpa membuang waktu, Rana segera menerima panggilan tersebut.

"Maaf Na, gue baru cek HP. Tadi gue lagi mandi," kata Yaya, terdengar merasa bersalah.

"Iya, nggak pa-pa," balas Rana. "Hari ini jadi kan fitting sama Abang?"

"Iya, jadi kok. Sekalian mau sambil nyari-nyari perlengkapan buat nikahan. Kemungkinan habis Ashar kami ke sana."

Dahi Rana mengerut bingung.

"Habis Ashar? Gue kira sekarang."

"Duh, sorry¸ Na. Gue lupa ngasih tahu lo. Tapi gue udah bilang kok sama Mbak Fira kalau habis Ashar gue ke sananya sama Abang buat fitting," sesal Yaya. Ia memang lupa memberitahu Rana mengenai perubahan jadwal fitting.

"Oh iya, nggak pa-pa, Ya. Gue kira sekarang. Soalnya gue lagi ma uke Yogya, makanya gue nelepon lo tadi."

"Jadi lo nggak nemenin gue fitting ya?" tanya Yaya. Nada suaranya berubah. Rana jadi sedikit merasa bersalah setelah mendengar suara murung Yaya.

"Iya, sorry banget, ya. Soalnya kalau sekarang, gue lagi mau meeting. Terus sorenya baru deh ke Yogya sama tim."

"Hm, oke deh. Nggak pa-pa, Na."

"Nanti kalau ada yang kurang, ngomong aja sama Mbak Fira."

"Of course. Ya udah kalau gitu, take care ya, Na. Semoga selamat sampai tujuan."

"Thanks. Semoga lancar fitting hari ini. Gue yakin, Abang pasti terkesima lihat lo pake kebaya itu. Cantik banget soalnya."

"Hehe, emang itu yang gue tunggu."

Setelah berbasa-basi singkat dan mengucap salam, sambungan telepon pun berakhir. Rana mengecek notebook yang ia bawa. Beberapa list mengenai informasi yang berkaitan dengan calon pengantin sudah ia tulis di sana dengan sangat mendetail.

Menyandarkan punggungnya, Rana menghela napas panjang. Dilemparkan pandangan ke luar jendela. Deretan kendaraan yang memadatai ibukota mulai menyapa. Teriknya matahari di luar sana berhasil menembus kaca jendela, membuat Rana sedikit menyipitkan mata.

Rana melirik catatan kecil di notebook-nya. Kembali Rana mengembuskan napas pelan. Entah kenapa, Rana sedikit merasa lelah dengan semua ini. Tidak pernah sekalipun Rana membayangkan ia akan bekerja di wedding organizer. Membantu berbagai macam calon pengantin agar acara pernikahan mereka berjalan lancar.

Untuk ukuran seorang wanita yang pernah gagal dalam membina rumah tangga, Rana tidak menyangka ia punya kekuatan seperti ini. Entah benar-benar menikmati atau hanya berpura-pura, Rana berada di situasi yang tidak pernah ia bayangkan.

Rana tentu masih mempunyai gambaran tentang pernikahan yang ia inginkan. Namun kegagalan di masa lalu sedikit mengikis gambaran yang terbayang di benak Rana selama ini. Meski Soni sudah berulang kali menawarkan lembaran baru untuk membangun rumah tangga, Rana memilih sedikit menutup mata.

Entah kapan Rana akan benar-benar siap menjadi pengantin lagi. Menikah kembali setelah sekian lama menyandang status janda yang bahkan tidak pernah ia ceritakan pada Soni.

Terlebih setelah pertemuannya yang tidak sengaja dengan Nando, membuat sesuatu di dalam dada Rana bergejolak. Sesuatu yang terkubur dalam di dasar hatinya, perlahan-lahan naik ke permukaan. Membuat Rana dilanda kebimbangan akan hubungan yang ia rajut bersama Soni.

Rana tahu ia menyayangi Soni. Namun perasaannya terhadap Nando ... Rana tidak tahu pasti apa itu namanya. Satu hal yang Rana ketahui pasti, pertemuannya dengan Nando—meski sekilas—telah membuatnya luluh lantak.

Seolah tahu tengah dipikirkan, dering ponsel tanda panggilan masuk membuat Rana terperanjat. Pelakunya tak lain adalah Soni. Lelaki itu tahu Rana akan bertolak ke Yogyakarta, karenanya ia menelepon untuk memastikan keselamatan sang kekasih.

"Masih di Jakarta," kata Rana setelah menjawab telepon.

"Tahu banget apa yang mau aku omongin," goda Soni di seberang sana.

"Ya tahu dong. Kamu kan sesayang itu sama aku, makanya aku bisa nebak dengan pasti apa yang bakal kamu omongin ke aku," balas Rana.

"Kalau sekarang? Kamu tahu apa yang bakal aku omongin?"

"Hm ... apa ya?" Rana menanggapi permainan Soni. "Mau bilang kalau kamu cinta banget sama aku?"

Tawa Soni di seberang sana meledak. Rana sudah menebak, kalau mereka tengah bertatap muka, pasti saat ini Soni tengah mencubit pipinya gemas.

"Ting tong! Exactly! Kamu benar-benar tahu banget ya, apa yang mau aku omongin."

"Pacarnya siapa dulu nih?"

"Tentu saja pacarnya Soni Darmawan!"

"Duh, pinternya."

"Kapan pulang?" tanya Soni. Kali ini sudah kembali ke mode serius.

"Hari Minggu sore udah balik kok."

"Ya udah kalau gitu, take care. I'll gonna miss you."

"Me too."

"Jangan makan sembarangan. Kamu itu suka banget bandel kalau disuruh makan yang bener."

"Hehe. Namanya juga Rana Noviandra."

"Aku istirahat dulu, ya. Capek banget habis shift malam."

"Oke, sleep well."

"I love you."

"Hm, me too."

Panggilan berakhir. Rana tidak langsung menyimpan ponselnya. Wanita itu kembali termenung dengan pandangan yang menyapu jalanan di luar sana. Entah apa yang tengah merasuki Rana hingga tiba-tiba saja ia membayangkan sosok Nando.

Memori di otak Rana kembali memutar kenangan yang tersimpan rapat. Laci-laci berisikan kaset kenangan itu dimainkan secara otomatis. Menampilkan kisah cinta yang belum sepenuhnya berakhir meski telah dinyatakan usai di meja hijau.

Lelaki berkacamata dengan kulit gelap terbakar matahari yang berdiri di bawah tiang bendera. Begitu gagah, meski hanya mengenakan seragam putih-abu seperti siswa kebanyakan. Namun di mata Rana, sosok tegap tersebut begitu menawan. Senyumnya membuat detak jantung Rana memompa cepat.

Kisah cinta yang semula dirahasiakan, lambat laun mulai terkuak. Aldo memberikan restu sebagai kakak dan seorang sahabat pada Rana dan Nando. Memberikan ultimatum pada Nando agar tidak sekalipun menyakiti adik perempuan satu-satunya.

Rana berlinangan air mata karena terharu saat mendengar Aldo meminta Nando menjaganya. Berharap setelah menikah, kisah cinta Rana dan Nando akan bertahan hingga maut memisahkan.

Sayang, harapan semua orang dan dirinya sendiri harus kandas. Pernikahan itu berakhir. Hubungan Aldo dan Nando pun memburuk. Ditambah dengan keputusan Rana untuk pergi ke luar negeri. Semua benar-benar takdir yang kacau.

Lalu setelah bertahun-tahun menata hati dan hidup. Menjalin kisah baru dengan Soni, takdir kembali mempermainkan Rana. Ia bertemu dengan Nando setelah sekian lama di tempat yang tidak ia sangka-sangka. Meski singkat, tetapi itu cukup berarti.

Rana tahu, hatinya tidak lagi sama. Namun Rana akhirnya sadar, bahwa selama ini ia merindukan sosok Nando. Lelaki berkacamata yang pernah seatap dengannya selama beberapa bulan. Lelaki yang begitu gagahnya menjabat tangan Radit dan mengucapkan ikrar sehidup semati.

Lelaki yang menjadi suaminya, meski hanya dalam hitungan bulan.

Lamunan Rana seketika buyar Ketika mobil yang ia tumpangi berhenti di salah satu gedung pertemuan. Meeting dengan klien yang disangka akan memakan cukup banyak waktu, ternyata hanya berlangsung tidak sampai dua jam.

Rana beserta rombongan memutuskan kembali ke galeri sebelum menuju ke bandara. Lagipula, daripada gedung pertemuan, lokasi galeri Loana Wedding Organizer lebih dekat aksesnya menuju bandara.

Sebuah Xpander merah bata terparkir di depan galeri. Dahi Rana mengernyit karena tidak mengenali pemilik Xpander tersebut. Meski telah menangani banyak pernikahan, Rana baru kali pertama melihat Xpander itu terparkir di parkiran galeri Loana.

"Siapa?" tanya Rana pada Cila, resepsionis Loana Wedding Organizer.

"Mbak Yaya sama calon suaminya," jawab Cila dengan suara nyaris berbisik.

Rana manggut-manggut. Melirik jam tangannya, Rana mengendikkan bahu. Kunjungan Yaya ke galeri untuk fitting baju ternyata lebih cepat dari yang dikatakan wanita itu sebelumnya.

Setelah selesai mencuci tangan, Rana mulai masuk ke ruangan khusus fitting baju. Seperti yang telah dikatakan Cila, Yaya tengah berada di sana ditemani Fita dan Dhila yang memang bertugas mengurusi kebaya pengantin.

"Loh? Rana? Kok di sini?" tanya Yaya bingung setelah menyadari keberadaan Rana di galeri.

"Meeting-nya selesai lebih cepat. Karena belum jadwal penerbangan, jadi istirahat di galeri dulu," jelas Rana. "Udah lama di sini?"

Yaya menggeleng. "Belum setengah jam kayaknya."

Rana manggut-manggut mendengar jawaban Yaya. Wanita itu lantas mengambil satu air mineral gelas di atas meja dan langsung menghabiskannya dalam beberapa teguk. Yaya yang melihat tingkah Rana hanya tersenyum tipis sebelum kembali fokus mencoba kebaya pengantinnya.

"Omong-omong, Abang mana? Kok nggak kelihatan?" tanya Rana. Matanya celingukan ke sana-kemari mencari sosok calon suami Yaya yang belum pernah ia temui.

Meski sudah sering bertandang ke kediaman Soni dan berkumpul dengan keluarganya, entah kenapa selalu saja Rana tidak memiliki kesempatan untuk melihat rupa calon suami Yaya. Selalu ada saja timing yang tidak pas hingga keduanya kehilangan kesempatan untuk bertegur sapa.

"Abang lagi ke belakang bentar. Paling bentar lagi juga balik."

Tepat setelah Yaya mengatakan hal tersebut, pintu ruangan fitting terbuka. Sosok calon suami Yaya pun muncul dari balik daun pintu. Rana yang tengah berbalik ke arah pintu seketika bergeming melihat sosok yang berdiri di hadapannya.

Yaya terlalu fokus dengan kebaya pengantinnya hingga tidak menyadari dua orang yang saling bergeming. Kaku di tempat masing-masing dengan tatapan yang beradu lurus.

Netra tajam di balik kacamata itu menatap tak percaya dengan apa yang ia lihat. Begitu pula dengan Rana yang tidak menyangka takdir akan begitu kejam mempermainkannya.

Suara gesekan kebaya berpayet yang beradu dengan lantai pun terdengar. Disusul dengan langkah kaki yang melewati Rana begitu saja. Pupil Rana makin melebar saat melihat lengan lelaki di hadapannya digandeng oleh wanita yang kini terlihat sempurna dengan kebaya pengantin berwarna champagne.

"Rana, kenalin ini calon suami gue. Namanya Nando. Abang, ini Rana, pacarnya Soni sekaligus yang ikut ngurusin acara pernikahan kita."

Rana terbeliak mendengar fakta yang ada. Tidak menyangka bahwa Nando Mahendra yang akan menjadi suami Mauliya Putri.


***


Akhirnya Rana tahu siapa calon suami Yaya!!

Penasaran nggak sama kelanjutannya?

Kalau penasaran, pantengin terus Menikah Kembali!



xoxo


Winda Zizty

13 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro