Enam Belas
Agustus 2016
Kehidupan seperti apa yang akan Rana lalui setelah bercerai?
Sehari setelah meninggalkan Nando di rumah mereka tanpa berbalik, Rana bukan tidak pernah memikirkan hidupnya setelah meminta perpisahan. Waktu tidurnya tersita karena banyaknya beban pikiran yang ia tanggung. Salah satunya, memikirkan bagaimana hidupnya akan berlangsung tanpa kehadiran Nando di sisinya.
Terhitung sudah hampir lima tahun Rana dan Nando berbagi kisah dalam hidup mereka. Menjadi sepasang kekasih sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah di usia muda.
Bahkan sekarang, setelah setahun lamanya Rana berada di negeri orang dan jauh dari kehidupan Nando, wanita itu masih juga kepikiran sang mantan suami. Walau tidak sesering dulu.
Rana akui ia merasa kesepian berada di negeri orang. Tinggal jauh dari tanah air tanpa sanak keluarga yang menemani. Meski sudah memiliki beberapa kenalan di sini, tetap saja rasanya berbeda jauh saat tinggal bersama keluarga.
Meski merindukan rumah dan masakan Annisa, Rana yang keras kepala memilih bertahan. Rana sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah kembali sebelum berhasil menyandang gelar sarjana.
Rana tidak akan pulang, meski di musim liburan sekalipun. Rana akan menghabiskan bertahun-tahun hidupnya sebagai mahasiswa dan orang rantauan. Selain itu, Rana selalu beralasan untuk menghemat pengeluaran. Walau sebenarnya, uang yang Rana sisihkan setiap bulan bisa membeli tiket pesawat.
Demi menghindari bertemu dengan Nando di waktu liburnya, Rana lebih memilih untuk tidak pernah pulang ke tanah air. Rana tidak ingin keyakinan dan kegigihannya goyah dalam sekejap jika ia bertemu Nando di tanah kelahirannya.
Meski bertemunya Rana dan Nando adalah salah satu dari ribuan kemungkinan. Terlebih Nando berkuliah di Bandung, tetap saja Rana memilih untuk tidak sama sekali berada di salah satu kemungkinan tersebuut.
Menyesap hot chocolate yang baru saja ia seduh, Rana menatap jalanan di luar sana. Rasa sepi yang menggerogoti dadanya makin terasa jelas. Terlebih biasanya di saat seperti ini Aldo akan menerobos masuk ke kamarnya saat menghidu aroma hot chocolate yang Rana buat. Merebutnya dari Rana dan menghabiskannya dalam sekejap mata.
Lalu setelahnya, adu mulut akan terjadi. Rana tidak segan menjambak rambut Aldo yang tidak pernah ia biarkan panjang. Akibatnya, Aldo akan berteriak dan balas mencubiti lengan Rana.
Senyum tipis tergaris di wajah Rana, mengingat semua momen konyolnya dengan Aldo. Tidak lupa semua pertengkaran yang terjadi di antara mereka, tiap kali Rana tidak mendengarkan perkataan Aldo.
Sudah setahun lamanya Rana tidak bersua dengan Aldo. Meski kerap melakukan video call, rasanya sangat berbeda jika bertemu dan mengobrol secara langsung.
Hanya untuk menghindari Nando, Rana rela menahan semua rindu dan kesepian yang ia rasakan. Begitu dalamnya luka di hati Rana hingga tidak mau lagi mendengar kabar tentang Nando dan mencari tahu kabar lelaki itu.
Rana terdiam, memutar ulang kejadian sebelum akhirnya meminta berpisah dari Nando. Kesepian yang sama juga Rana rasakan kala itu. Meski tugas kuliah menantinya sebagai mahasiswa baru, tetap saja Rana tidak suka harus berada di rumah sendirian.
Walaupun jarak Bandung-Jakarta tidak terlalu jauh dan Rana bisa pulang ke rumah kapan pun ia mau, tetap saja kehadiran Nando yang ia butuhkan.
Bukankah sudah sewajarnya sepasang suami-istri menghabiskan waktu bersama di rumah mereka? Itulah yang Rana pikirkan setelah menikah dengan Nando. Tidak pernah sedikit pun terbersit di pikirannya akan dinomorduakan Nando seperti ini dengan kegiatan kuliahnya.
Menurut Rana, Nando terlalu sibuk dan aktif dengan berbagai kegiatan di kampus hingga meninggalkan sang istri sendirian di rumah. Nando memang selalu pamit sebelum pergi dan memberikan Rana jadwal kegiatannya, tetapi hal tersebut tak lantas membuat Rana lega. Ia masih tetap merasa kosong di rumah mungil mereka.
Rana membenci perasaan itu. Meski tahu tidak seharusnya ia merasa demikian dan menyalahkan Nando akan semua rasa sepi itu, tidak ada lagi yang bisa Rana lakukan selain melakukan hal demikian.
Puncaknya, saat jadwal Nando menggila dan Rana kesulitan memahami mata kuliahnya, sang suami malah sibuk dengan organisasi, alih-alih di rumah dan menemani istrinya belajar. Rana murka tanpa sebab. Ditambah rasa sakit yang ia rasakan di hari pertama datang bulannya.
Tanpa sadar Rana bersikap tidak masuk akal. Semua hal terasa salah di mata Rana hingga memicu pertengkaran dengan Nando. Sebisa mungkin Nando bersabar, menghadapi Rana yang seolah tidak ada habisnya.
Nando sudah tahu semua tabiat Rana. Menjadikan Rana sebagai istri bukan tanpa alasan. Nando memang mencintai Rana, ia bahkan menerima semua hal yang ada pada sang istri, karena itulah Nando lebih banyak diam menerima kemarahan Rana.
Sayangnya, keterdiaman Nando dianggap Rana berbeda. Bukan diamnya Nando yang Rana inginkan. Rana bukan tidak senang Nando mengalah, tetapi ia juga ingin mendengar pendapat lelaki itu. Bukan berarti Rana menginginkan mereka terlibat adu argument, hanya saja setidaknya satu patah kata keluar dari bibir Nando.
Meski amarah Rana terlihat mereda dan Nando memeluknya erat, tetap saja kekosongan itu Rana rasakan. Lambat laun hatinya yang kosong menjadi terluka. Ketidakhadiran Nando membuat luka itu semakin ternganga lebar.
Rana tidak tahu, cinta saja tidak cukup untuk membina rumah tangga. Namun dengan polosnya ia mengira bahwa cinta yang ia rajut bersama Nando dapat membuat rumah tangga mereka berjalan dengan skenario yang ia pikirkan.
"Seharusnya aku tidak pernah bertemu kamu!"
Kalimat pedas penuh penekanan itu akhirnya meluncur mulus dari bibir Rana. Nando tersentak mendengar apa yang baru saja Rana lontarkan. Tubuh Nando membeku, seolah tak bertulang.
Amarahnya sudah di ubun-ubun, tetapi sekuat tenaga Nando menahan. Ia tidak ingin kemarahan yang ia rasakan membuat situasi yang mereka hadapi makin runyam. Meski ingin sekali membalas semua amarah yang dilayangkan Rana, Nando memilih menahan semua tanpa terkecuali.
"Aku menyesal pernah bertemu kamu," lanjut Rana. Kali ini dengan tatapan tajam yang menghunus netra Nando. "Seharusnya, kita tidak bertemu apalagi memilih bersama."
Kedua tangan Nando yang menggantung di sisi tubuhnya mengepal. Ledakan amarah itu sudah berada di tingkat akhir. Hanya dengan beberapa kata lagi dari bibir Rana, maka hancur semua dinding pertahanan Nando.
Namun semesta tidak menginginkan pertengkaran yang lebih panas dari ini, Rana lantas berbalik dan menuju pintu rumah. Suara bantingan pintu terdengar begitu keras di telinga Nando, disusul suara sepeda motor yang dilajukan dengan kecepatan tinggi.
Kepergian Rana membuat Nando terduduk lemas di lantai. Bersandarkan dinding, Nando termanggu di tempat. Ledakan amarahnya perlahan mengikis. Harus Nando akui, Rana telah berhasil membuatnya tidak berdaya.
Nando tidak menyangka, mereka akan bertengkar sehebat ini. Bahkan belum setahun mereka menikah, tetapi Rana sudah menyuarakan penyesalannya telah bersama Nando. Hati Nando juga terluka tanpa Rana sadari. Namun lelaki itu dengan cepat memaafkan semua kekhilafan Rana. Nando lebih memilih menyalahkan dirinya sendiri ketimbang menyalahkan Rana atas semua yang terjadi.
Mengingat semua pertengkaran yang terjadi saat menikah dengan Nando, membuat senyum tipis Rana memudar. Seolah tidak pernah ada senyum yang sebelumnya terukir di wajah Rana yang semakin tirus.
Hot chocolate Rana tinggal beberapa teguk, tetapi nafsu makannya sudah lenyap. Hatinya berdenyut perih. Kembali teringat kejadian memilukan saat terakhir ia bertemu Nando di ruang persidangan.
Rana tidak kuasa melihat wajah Nando yang mengiba padanya. Sejujurnya, hati Rana terenyuh. Ia juga tidak menyangka hakim akan mengabulkan perceraian mereka. Rana tidak pernah membayangkan akan sebegitu sakitnya berpisah dari Nando.
Meletakkan hot chocolate di atas meja bundar dekat jendela, Rana bergeming. Air matanya perlahan meluruh sembari memegangi dada yang terasa sesak.
Rana tidak bisa memungkiri, bayangan Nando masih melekat kuat di hati dan pikirannya. Sudah setahun semenjak ia pergi dari tanah air, tetapi Rana masih merasa sosok Nando berada tak jauh di dekatnya. Padahal Rana tahu, Nando tidak berada di London. Bahkan kepergian Rana hanya keluarganya yang tahu.
Isakan pelan terdengar tak lama kemudian. Disusul air mata yang jatuh semakin deras ke kedua pipi Rana.
Rana merindukan Nando. Fakta lain yang selalu Rana tepis hingga membuatnya menjadi dingin pada lelaki yang berusaha mendekat. Benteng kokoh telah ia bangun agar luka di hatinya tidak semakin melebar.
Tidak mudah melupakan Nando yang terukir dalam di hatinya. Dinding tinggi yang ia bangun membuat lelaki tidak mudah untuk memanjatinya. Semua Rana lakukan agar tidak ada yang berani menerobos masuk ke pertahanan hatinya.
Rana tidak ingin jatuh cinta dalam waktu dekat. Belum bisa menerima orang lain untuk menggeser apalagi menggantikan posisi Nando di dalam hatinya yang terkunci rapat.
Kesan dingin selalu Rana munculkan di wajah setiap kali lelaki lain berusaha mendekat. Untuk saat ini, Nando masih menjadi orang penting di hati Rana. Pemilih tahta tertinggi di hati Rana yang kacau balau. Carut marut akibat perceraian yang seolah mimpi di siang bolong.
Namun dari semua itu, hanya ada satu lelaki yang hingga kini masih bertahan untuk menerobos pertahanan dinding hati yang Rana bangun setinggi mungkin. Lelaki yang sedari awal pertemuannya dengan Rana, telah memperlihatkan gelagat ketertarikan.
Awalnya Rana berusaha abai. Lalu saat kode-kode itu semakin jelas dan sang lelaki tanpa malu-malu lagi memperlihatkan rasa sukanya, sikap Rana semakin mendingin.
Rana tidak mau hatinya terluka setelah menerima orang baru. Tidak juga ingin menyakiti lelaki tersebut yang begitu baik kepada Rana yang seorang diri di negeri orang.
Suara dering ponsel memecah lamunan Rana. Ponsel yang berada di kamar membuat Rana harus setengah berlari untuk menggapainya. Jantung Rana seolah berhenti berdetak saat mengetahui siapa orang yang tengah berusaha menghubunginya.
Rana tidak habis pikir, bagaimana bisa lelaki yang tengah ia pikirkan kini tengah menghubunginya. Soni Darmawan, lelaki yang dua bulan terakhir begitu gencar mendekati Rana meski sikap wanita itu begitu dingin.
Sedikit ragu, Rana mengambil ponselnya. Menimbang apakah ia harus menerima panggilan Soni atau membiarkannya hingga berakhir.
Sebuah keputusan telah Rana ambil. Wanita itu membiarkan ponsel yang tergeletak di kasur berdering nyaring. Membiarkan panggilan Soni berakhir dengan sendirinya tanpa ada niatan untuk menjawab.
Rana hendak keluar dari kamar, tetapi panggilan dari Soni kembali masuk ke ponselnya. Kembali Rana membiarkan panggilan itu berakhir hingga Soni kembali menelepon untuk kesekian kali. Barulah di panggilan ke lima, Rana akhirnya menerima sambungan telepon Soni.
"Akhirnya diangkat juga. Syukurlah," desah Soni lega.
Alis Rana mengerut. Tidak menyangka kalimat itu yang justru ia dengar saat menjawab panggilan telepon Soni.
"Gue kira lo kenapa-napa sampe nggak mau jawab telepon gue. Apa lo sebenarnya males nerima telepon gue?"
Rana terdiam. Kalimat Soni begitu tepat sasaran. Tidak ingin menyinggung Soni lebih jauh, Rana berdeham pelan.
"Ada perlu apa lo nelepon gue?" tanya Rana, agak ketus.
Soni merupakan kakak tingkat Rana, tetapi wanita itu tidak memanggil Soni dengan panggilan 'Kakak'. Bukan Rana tidak sopan dengan seniornya, tetapi Soni sendiri yang meminta demikian karena tidak ingin ada senioritas di antara dirinya dan Rana.
"Nggak pa-pa. Cuma mau mastiin kalau lo masih bernyawa."
Tanpa sadar, sudut bibir Rana terangkat naik. Rana tahu Soni hanya ingin mengajaknya bercanda. Selama dua bulan ini, entah sudah berapa banyak kekonyolan dan candaan yang Soni layangkan. Entah memang kepribadiannya seperti itu atau hanya untuk menarik perhatian Rana.
"Itu aja, 'kan?" tanya Rana, ingin segera mengakhiri sambungan telepon.
"Kayaknya nggak mau banget deh nerima telepon gue," sungut Soni.
"Masih ada yang mau diomongin?" Rana sedikit tidak enak hati.
"Ada," sahut Soni cepat. "Minggu depan lo sibuk nggak? Kalau nggak, gue mau ngajak lo pergi ke suatu tempat. Gue harap sih, lo mau."
Rana terdiam beberapa detik. Menimbang ajakan Soni yang selalu to the point.
"Mau jawab cepet apa nanti?"
"Up to you. Tapi pengennya sih, right now."
"Hm, oke."
"Oke apa nih? Oke karena mau apa cuma nanggepin omongan gue?"
"Minggu depan jam berapa? Ketemuan di mana?"
"Yes!" sorak Soni senang. "Gue kirim lewat chat aja, ya. Biar lo nggak lupa. See you then."
Soni yang selalu tanpa basa-basi mengakhiri panggilan. Seperti yang ia ucapkan, sebuah pesan masuk ke ponsel Rana. Memberitahu tempat dan pukul berapa mereka akan bertemu minggu depan sesuai yang telah disepakati.
***
Menikah Kembali hadir lagi!
Sebenarnya cerita ini mau diikutsertakan ke Wattys, sayang ceritanya belum selesai. Tapi Menikah Kembali akan segera tamat. Jangan ketinggalan update-nya, ya.
xoxo
Winda Zizty
16 Agustus 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro