Enam
Maret 2020
Rana mendengkus, membiarkan ponselnya tergeletak di atas kasur, sedangkan ia berganti pakaian. Rana baru saja pulang ke apartemen saat sebuah panggilan video masuk ke ponselnya.
"Iya, Soni udah di Indonesia," sahut Rana, sedikit malas.
"Lo kenapa nggak nyusul?" tanya suara di seberang sana.
"I'm busy. Soni juga ngerti kok sama kondisi gue. Masa lo yang kakak kandung gue nggak bisa ngertiin sama sekali?"
Aldo di seberang sana berdecak. Tidak suka dengan jawaban dan nada bicara Rana.
"Lo kok kayak makin kurang ajar, ya, sama gue? Mentang-mentang lagi di barat, lo jadi agar lupa sama budaya timur apa gimana?"
"Apa sih, Kak? Marah-marah nggak jelas? Gue capek baru pulang. Ini aja belum mandi gara-gara lo nelepon."
Aldo kembali berdecak. Tak lagi membalas ucapan Rana. Entah sejak kapan sapaan aku-kamu yang biasa Rana tujukan untuknya, kini berubah menjadi lo-gue.
"Jadi, kapan lo balik?"
Rana meraih ponsel, lalu mengendikkan bahu.
"I don't know. After graduate, maybe?"
"Ya terus kenapa nggak cepet-cepet wisuda?"
"Hei, Brother! It's not easy."
"Kalau nggak easy, make it easy aja kenapa, sih? Udah nyaman lo di negeri orang? Pacar lo aja nggak betah dan malah seneng banget bisa balik ke Indo."
"Itu kan Soni, bukan gue," sahut Rana tak acuh. "Lagian emang Soni welcome di mana aja. Jadi bukan berarti dia nggak betah di London."
"Kalau lo?" tanya Aldo.
"Gue kenapa?"
"Lo betah di London? Nggak mau balik ke sini?"
Rana terdiam. Ia tahu ada maksud di balik pertanyaan Aldo. Meski terkesan tidak peduli, Aldo mengerti apa yang Rana rasakan tanpa perlu dinyatakan secara gamblang. Walau tetap saja, Aldo tidak bisa menebak isi hati Rana jika wanita itu tidak pernah mengatakannya.
"Gue betah-betah aja di sini. I'll be back, but not now. I promise," ungkap Rana.
"Well ... lo ...."
Kalimat Aldo menggantung. Ekspresinya membuat dahi Rana seketika mengernyit.
"Mau ngomong apaan, sih?"
Aldo menggeleng, menggaris senyum tipis.
"Nevermind. Nggak terlalu penting juga."
"Beneran?" Rana jadi sedikit khawatir, di samping penasaran karena Aldo tidak menuntaskan kalimatnya.
Tanpa menjawab, Aldo mengangguk.
"Ya udah, gue masih ada kerjaan. Buang-buang energi aja nelepon lo kayak gini."
"Dih, bilang aja kangen sama adek satu-satunya. Sok jual mahal pula," cibir Rana.
"Kangen gue terobati kalau adek gue satu-satunya itu nurut buat cepet pulang ke Indonesia. Bukan malah stay di negeri orang kayak nggak ada kampung halaman gini," sindir Aldo.
"Is, gue bakal balik kok. Sabar ya, my lovely brother."
"Gue tutup nih. Take care."
"Iya, iya. Waalaikumussalam."
Aldo meringis mendengar sindiran Rana karena dirinya akan segera menutup sambungan telepon tanpa mengucap salam.
"Nanti gue telepon lagi. Wassalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Aldo meringis. Layar ponsel yang semula menampilkan wajah Rana, kini menggelap. Hampir saja Aldo keceplosan memberitahu Rana bahwa ia bertemu dengan Nando di pernikahan Hendra. Bahkan saling bertukar nomor ponsel.
Rana memang tidak pernah menyuruh ataupun meminta Aldo untuk memutuskan komunikasi dengan Nando. Namun sebagai kakak, Aldo tahu tetap berkomunikasi dengan Nando di kondisi seperti itu bukanlah pilihan yang tepat.
Beruntung, mereka tidak berada di kota yang sama. Nando berkuliah di Bandung, sedangkan Aldo tetap di Jakarta. Kepergian Rana ke London juga tidak pernah Aldo ceritakan pada teman-temannya. Jadi hingga saat ini, baik Rian ataupun Hendra—apalagi Nando—tidak pernah tahu bahwa Rana tidak berada di Indonesia.
Meski kembali berkomunikasi, Nando juga tidak pernah menanyakan kondisi ataupun keberadaan Rana. Entah tidak mau tahu lagi karena sudah menutup buku. Atau Nando hanya menunggu waktu dan momen yang tepat untuk bertanya pada Aldo perihal Rana.
"Nggak penting juga kalau Rana tahu tentang Nando. Begitu juga sebaliknya," monolog Aldo.
Jalan takdir yang sudah mereka lalui, tentu tidak semudah itu Aldo lupakan. Seolah baru kemarin saat mata dan telinganya menyaksikan sendiri betapa terlukanya Rana akibat perceraian yang ia alami di usia muda.
Menyandang status janda, bahkan sebelum usianya genap 20 tahun tentu pukulan yang telak bagi Rana. Aldo juga terpukul karena sahabatnya sendiri yang menjadi penyebab tangisan sang adik setiap hari.
Entah siapa yang harus Aldo salahkan. Rana yang dengan impulsifnya memilih kuliah di London untuk menghindari Nando? Atau Nando yang menceraikan Rana di usia pernikahan mereka yang baru beberapa bulan? Atau malah dirinya sendiri yang tidak menjadi penengah di antara Rana dan Nando dan malah memutus komunikasi keduanya.
Aldo mengembuskan napas panjang. Berharap kali ini Tuhan sedikit memberikan bocoran mengenai jalan takdir yang akan mereka lalui ke depan.
***
Maret 2021
Senyum Rana terkembang lebar. Mata dibalik sunglasses itu terpejam sesaat. Menarik napas udara yang sudah lama tidak ia hirup sebanyak-banyaknya, Rana pun membuka mata seiring dengan embusan napas yang ia keluarkan dari mulut.
Pandangan wanita itu mengedar, sembari memakai kembali maskernya. Bandara tidak begitu ramai karena pandemi tengah melanda seluruh belahan dunia. Hampir saja Rana menjadi penduduk tetap London karena akses menuju luar negeri ditutup. Lockdown di mana-mana hingga ia harus bekerja dari rumah dan mati kebosanan.
Meski harus merogoh kocek lebih dalam dan meminta kucuran dana dari Aldo, Rana akhirnya bisa pulang ke Indonesia. Melewati serangkaian tes dan menyelesaikan segala proses administrasi, Rana meninggalkan London yang hampir enam tahun ini ia tinggali.
Aldo tahu Rana akan kembali ke Indonesia. Namun Rana merahasiakan kapan waktu tepatnya wanita itu akan tiba di Jakarta.
"Biar surprise. Jadi gue bisa lihat ekspresi kangen lo setelah sekian lama nggak ketemu gue," goda Rana.
"Nggak mau gue jemput?" tanya Aldo, sedikit khawatir.
"Nope! Gue bisa pulang sendiri, Brother."
"But, everything has changed, Ran. Jakarta udah nggak kayak dulu. Lo yakin masih inget jalan pulang?"
"Selagi alamat rumah kita nggak ganti dan lo masih hidup di bumi, gue bisa pulang sendiri, Kak. Ada taksi ataupun transportasi umum, 'kan? Ada maps juga."
"Baiklah. Take care."
"Sure."
Di sinilah Rana sekarang. Seperti yang ia katakan pada Aldo, Rana menaiki taksi menuju rumahnya. Meski bertahun-tahun sengaja tak pulang ke rumah, Rana tidak akan lupa alamat rumahnya sendiri.
Benar yang dikatakan Aldo, Jakarta kini sudah banyak berubah. Ibukota Indonesia ini mengalami kemajuan yang cukup pesat. Atau selama ini Rana yang tidak terlalu memperhatikan kota kelahirannya?
Taksi yang membawa tubuh Rana akhirnya tiba di kediaman. Dari luar, tidak banyak yang berubah. Hanya kini sepertinya sang mama menjadikan bertanam sebagai aktivitas sehari-hari. Terbukti dengan banyaknya pot tanaman di halaman sampai teras rumah.
Menyeret koper, senyum Rana merekah sempurna. Mengintip dari celah sunglasses sejenak, Rana mendapati Annisa tengah menyiram salah satu tanaman. Tanpa tedeng aling-aling, Rana mendekati Annisa setengah berlari.
"Assalamualaikum, Mama," ucap Rana. Tak lupa kecupan di pipi, Rana layangkan untuk wanita yang telah melahirkannya.
Annisa sedikit terkejut saat seseorang memeluknya dari belakang. Namun saat seseorang itu berkata, Annisa langsung bahagia karena anak bungsunya kini telah kembali. Melepaskan selang air begitu saja, Annisa memutar tubuh dan memeluk Rana balik.
"Waalaikumussalam," jawab Annisa. "Anak nakal! Kenapa baru pulang sekarang?"
"Hehe, kan pandemi, Ma," kekeh Rana.
"Alasan!" cibir Annisa. Teringat akan sesuatu, Annisa gegas melepaskan pelukan. "Astagfirullah! Sekarang kan lagi pandemi, cuci tangan dulu sana. Atau langsung mandi juga bagus. Kamu kan dari luar negeri."
Menyadari kebodohannya, Rana menepuk jidat. Meski tengah memakai masker dan hasil tes menunjukkan hasil negatif, harusnya Rana memikirkan kesehatan Annisa. Apalagi wanita itu sudah lumayan berumur. Harusnya seperti yang Annisa katakan, minimal ia harus mencuci tangan dengan sabun dan mengganti pakaiannya sebelum memeluk mamanya.
"Pardon me, Mama. Udah kelewat kangen sampe lupa lagi ada covid," sesal Rana.
"Makanya, kalau libur itu pulang ke rumah. Ini malah baru pulang setelah lulus. Ditambah ada covid gini. Jadi makin lama pulangnya," gerutu Annisa.
Rana jadi makin merasa bersalah. Ia cengengesan dan bergerak salah tingkah.
"Kalau gitu, aku masuk dulu, Ma. Mau mandi biar bisa peluk-peluk Mama lagi kayak tadi."
Annisa mengangguk, mengambil kembali selang air yang ia lemparkan begitu saja di tanah.
Selepas mandi, Rana langsung mencari Annisa yang kini tengah berada di dapur. Sang mama tengah menyiapkan camilan dan teh hangat. Gegas Rana membantu Annisa. Meski sedikit terkejut dengan kehadiran Rana yang tiba-tiba, Annisa menerima bantuan tersebut dengan suka cita.
"Nggak istirahat aja? Nggak capek habis perjalanan jauh?" tanya Annisa sembari menyesap teh.
Rana menggeleng. Mengunyah pisang goreng yang bahkan masih hangat.
"Udah istirahat di Malaysia pas transit."
"Dari Malaysia ke sini, nggak capek?"
Kembali Rana menggeleng. "Udah nggak capek lagi setelah lihat Mama dan Papa," balas Rana.
"Dasar! Udah dari dulu disuruh pulang, malah sekarang pulangnya. Pandemi malah bikin kamu tambah lama pulang ke rumah," cecar Annisa. "Mana nggak bilang-bilang pula pas pulang. Tiba-tiba nongol aja di rumah."
Rana terkekeh. Mencomot lagi satu pisang goreng padahal masih mengunyah.
"Biar surprise. Emang Kak Aldo nggak ada bilang ke Mama kalau aku mau pulang?"
"Dia cerita, tapi nggak tahu kapan waktu pastinya. Padahal Soni aja udah pulang dari zaman kapan," keluh Annisa.
"Soni ada main ke sini?"
Annisa mengangguk.
"Ada beberapa kali gitu. Kadang sama Aldo, kadang sendiri."
Rana manggut-manggut. Keluarganya sudah tahu kalau ia dan Soni tengah berpacaran. Rana juga memberikan alamat rumahnya pada Soni karena lelaki itu meminta sebelum pulang ke Indonesia.
"Buat apa? Mau main ke rumah? Aku kan lagi nggak ada di rumah kalau kamu mau ke sana."
"Ada Aldo, 'kan?" tanya Soni.
"Iya, sih. Tapi kan nggak setiap saat ada Kak Aldo di rumah. Kan dia juga kerja."
"Ya nggak pa-pa. Aku mau kenalan sama orang tua kamu, Na."
Rana terkesiap mendengar pernyataan Soni. Kedua orang tuanya memang pernah melakukan video call dengan Soni saat tengah bersama Rana, tetapi bertemu langsung? Rana tidak bisa membayangkan saat Soni dan kedua orang tuanya akhirnya bertemu secara langsung. Face to face.
"Kok muka kamu gitu? Takut aku dimarahin orang tua kamu?" goda Soni.
Rana menggeleng. "Bukan begitu. Cuma ... ya apa nggak terlalu cepat? Aku nggak ada di sana loh. Kamu mau ngapain ketemu orang tuaku saat aku aja nggak ada?"
"Aku ingin kenal kamu lebih dalam, Na. Termasuk orang tua kamu. Aku beneran serius menjalani hubungan ini dengan kamu," kata Soni sungguh-sungguh.
Bibir Rana seketika terkunci. Ia tahu Soni tidak main-main dengannya. Tanpa perlu dikatakan, Rana dapat dengan jelas melihat keseriusan Soni. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan Rana mau membuka hati dan menerima Soni untuk menjadi kekasihnya.
"Okay, aku kasih tahu alamat rumahku." Melihat senyum Soni langsung merekah, Rana buru-buru menambahkan, "Tapi kalau mau ke rumah, kasih tahu Kak Aldo dulu. Atau kalian ketemuan dulu gitu sebelum ke rumah. Takutnya kamu kesasar."
Soni terkekeh, mencubit pelan pipi Rana. Kekasihnya ini bisa tiba-tiba menggemaskan. Meski terkadang sok jual mahal, Soni tahu Rana mengkhawatirkannya.
"Everything gonna be okay. Hm? Don't worry, aku nggak bakal kesasar. Ya ... kalau kesasar di hati kamu, itu pengecualian."
Mata Rana membeliak. Tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Hei! Gombalan itu siapa yang ngajarin?"
"Bukan gombalan, tapi isi hati."
"Dih, isi hati apaan. Udah ah, aku geli dengernya." Rana bergidik.
Soni lantas tertawa. Memeluk Rana dan menciumi puncak kepalanya berulang kali.
"Jangan lama-lama di sini. Bukan hanya keluarga kamu aja yang rindu, aku juga bakalan rindu kehadiran kamu di sana nanti."
Rana mengangguk.
"Iya, aku bakalan segera nyusul. Itu tanah kelahiranku, nggak mungkin aku tinggalkan selamanya. Aku juga mau pulang dan bertemu keluargaku."
"Kabari aku kalau kamu pulang. Biar aku bisa jemput di bandara."
Senyum usil tergaris di wajah Rana. Melepaskan pelukan, Rana menatap Soni dengan jenaka.
"Kalau itu, aku nggak bisa janji, ya," ujarnya. "Kalau aku mau bikin surprise gimana? Kan nggak asyik kalau kamu tahu."
"Setidaknya kamu pulang dan menemuiku. Itu sudah cukup."
"Iya, pasti kita akan bertemu di sana. Selagi aku di sini, jangan nakal. Awas aja kalau kepincut orang-orang di hotel!"
Soni terkekeh. "Nggak bakal."
"Awas aja! Nggak bakal aku maafin!"
***
Sebenarnya mau aku update kemarin. Namun karena satu dan lain hal, baru bisa update sekarang.
Aku cukup senang karena cerita ini udah mulai dibaca. Semoga kalian suka, ya.
Jangan lupa komen dan vote kalian untuk cerita ini.
xoxo
Winda Zizty
23 Juni 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro