Dua Puluh Sembilan
"Ada apa?" tanya Soni sambil mengecup pipi Rana.
Rana menggeleng pelan. Mengusap punggung tangan Soni yang menggenggam tangannya. Duduk di sebelah Rana, tidak sedetik pun tatapan Soni teralih dari wajah sang kekasih.
Soni tidak tahu kenapa tiba-tiba Rana meminta bertemu pagi-pagi begini. Bukannya ia tidak senang akan bertemu Rana, tetapi Soni jelas tahu ada sesuatu yang mengganjal di hati kekasihnya itu. Untungnya saat ini mereka sama-sama off, jadi baik Rana ataupun Soni tidak akan mengganggu pekerjaan masing-masing.
"Ehm, kamu sudah sarapan?" tanya Soni karena Rana tidak kunjung buka suara.
Saat Soni hendak beranjak ke dapur dengan niat membawakan beberapa camilan, Rana langsung menahan. Menggeleng lantas menatap Soni dengan senyum tipis.
"Aku udah sarapan sebelum ke sini," jawab Rana.
"Oh, oke." Soni lekas mendaratkan bokongnya kembali. "Mau aku buatin teh? Kamu nggak kelihatan baik. Kamu sakit?"
"Hm ... boleh." Rana kemudian buru-buru menambahkan, "Aku baik-baik aja."
"Ya udah, kalau gitu aku buatin tehnya dulu."
Kali ini, Rana tidak lagi menahan Soni. Wanita itu membiarkan kekasihnya menuju dapur demi menyiapkan teh untuk mereka berdua. Tidak butuh waktu lama bagi Soni untuk menghidangkan teh. Satu teko kecil dengan dua cangkir teh berwarna biru dongker, kini sudah tersaji di atas meja.
Dengan telaten Soni menghidangkan teh ke cangkir masing-masing. Aroma khas teh kamomil, langsung terhidu. Rana tersenyum tipis karenanya. Soni benar-benar memikirkan Rana. Bahkan saat ini pun, teh kamomil menjadi pilihan Soni. Padahal Rana tahu, Soni kurang menyukai teh kamomil. Laki-laki itu menyimpan teh kamomil hanya karena Rana menyukainya.
"Terima kasih," ucap Rana pelan, nyaris berbisik.
Dalam diam, Rana menyesap tehnya. Aroma teh kesukaannya, mampu membuat Rana sedikit rileks. Meski begitu, keraguan di hatinya masih mengganjal. Rana tidak tahu harus bagaimana memulai percakapannya dengan Soni.
Tanpa sepengetahuan Rana, diam-diam Soni tengah memperhatikannya. Walaupun tidak mengatakannya secara gamblang, Soni tahu apa alasan Rana tiba-tiba mengajak untuk bertemu. Jantung Soni saat ini sebenarnya Tengah berdetak tidak karuan. Menanti-nanti sekaligus cemas dengan apa yang akan Rana katakan.
Namun, ketika Soni tidak sengaja melihat cincin pemberiannya di jemari Rana, mau tidak mau ia pun tersenyum. Apa pun yang akan Rana katakan padanya, Soni tahu setelahnya mereka berdua akan baik-baik saja. Hubungan mereka akan baik-baik saja.
"Son," panggil Rana. Dengan perlahan Rana meletakkan kembali cangkir tehnya. Kehangatan dari teh yang baru ia sesap, masih tertinggal di kedua telapak tangannya.
Jantung Soni bertalu hebat hanya dengan sebuah panggilan dari Rana. Namun Soni benar-benar menunggu kata selanjutnya dari Rana. Karena hal ini merupakan sesuatu yang Soni tunggu-tunggu setelah sekian lama.
"Iya? Kenapa, Na?" Soni meletakkan gelas tehnya. Kali ini, ia duduk dengan tubuh yang menghadap lurus pada Rana.
Rana masih terdiam. Terlihat sekali jika wanita itu sedang gugup dan meragu. Karenanya, Soni langsung meraih jemari Rana untuk ia genggam. Seolah memberi tahu Rana bahwa ia tidak masalah dengan langkah selanjutnya yang akan wanita itu ambil.
Memejamkan matanya beberapa detik, Rana mengumpulkan keberaniannya sekali lagi. Entah ke mana perginya kebulatan tekad yang sudah susah payah Rana miliki tadi sebelum memutuskan untuk pergi ke apartemen Soni.
"Apa pun yang akan kamu katakan, aku sudah siap untuk mendengarkannya, Na," sahut Soni, mencoba meyakinkan Rana.
Rana mengangguk. Menautkan jemarinya di jemari Soni untuk menguatkan hatinya kembali.
"Ada sesuatu yang ingin aku akui secara jujur," kata Rana, "aku harap kamu dengarkan baik-baik. Karena jujur saja, bagiku cukup sulit untuk mengatakannya. Tapi kalau tidak aku katakan sekarang, kapan lagi aku bisa jujur sama kamu, Son?"
Soni mengangguk mengerti. "Katakanlah. Aku akan mendengarkan dengan baik."
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tetapi satu hal yang pasti, semua yang aku ceritakan nanti, kamu bebas memberi pertanyaan. Aku juga berjanji akan dengan jujur menjawab pertanyaan kamu."
"Baiklah."
Menarik napas dan mengembuskannya perlahan, barulah Rana melanjutkan, "Sebenarnya aku sudah pernah menikah. Pernikahan seumur jagung."
Ada nada getir yang Soni tangkap dari kalimat pertama Rana. Tahu Rana tidak baik-baik saja, Soni lekas merangkul wanita itu dengan tangannya yang bebas. Memberi Rana kekuatan untuk bercerita dengan mengusap-ngusap lengannya.
"Bulan Agustus 2014 aku pernah menikah, tidak lama setelah aku lulus SMA. Sayangnya, bulan Mei 2015, pengadilan mengabulkan permintaanku untuk bercerai. Kalau diingat lagi, saat itu kami sama-sama belum dewasa untuk memulai sebuah pernikahan. Aku masih ngotot dengan egoku, begitu juga dengan dia."
Rana memandang lurus ke depan, seolah tengah bernostalgia dengan masa lalu. Soni tetap terdiam di sisi Rana. Belum saatnya Soni menginterupsi ataupun mengajukan pertanyaan pada Rana, karena itulah ia memberikan Rana tempat dan waktu untuk bercerita.
Meski Soni tahu fakta bahwa Rana memang sudah pernah menikah, tetapi ia mendengarnya dari orang lain. Soni selalu sabar menunggu waktu di mana Rana akan secara terbuka dan sukarela bercerita mengenai masa lalunya. Ternyata kesabaran Soni membuahkan hasil. Rana secara perlahan mulai membuka diri dan mau berbagi masa lalunya dengan Soni.
"Kalau dipikir ulang, di pernikahan itu aku yang paling egois. Aku yang meminta cerai tanpa berkompromi lagi dengan mantan suamiku. Padahal hampir setiap hari, setiap jam, menit, dan detik, dia selalu meminta penjelasan dariku. Bisa dikatakan, memang aku yang secara sepihak menginginkan bercerai, sedangkan aku tahu, dia sama sekali tidak ingin kami berpisah.
"Bahkan setelah bercerai pun, aku sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk menemuiku. Apalagi memberikan penjelasan, seperti yang dia inginkan. Karena ingin lari dari kenyataan, aku juga memutuskan pergi ke luar negeri. Keluargaku tidak ada yang tahu kalau aku mendaftar di universitas luar negeri. Padahal saat itu, aku sudah berkuliah di kampus yang sama dengan mantan suamiku.
"Semua aku tinggalkan di sini dan pergi sejauh mungkin dengan hati yang penuh luka. Lalu aku bertemu kamu, Son." Rana memberanikan diri menatap Soni. "Aku tahu kamu mendekat, tapi aku selalu mendorongmu untuk menjauh. Aku benar-benar tidak ingin mencintai siapa pun lagi saat itu."
Soni terdiam, menyimak dengan baik. Ingatannya kembali ke masa-masa awal pendekatannya dengan Rana. Tanpa dikatakan pun Soni sudah tahu, saat itu Rana bukanlah sosok yang bisa didekati. Namun meski peluangnya nyaris 0%, Soni tetap keukeh mendekati Rana. Tidak peduli sekuat apa pun Rana mendorongnya menjauh, Soni akan tetap maju.
"Namun lambat laun, entah kenapa aku mulai mencoba untuk menerima kamu. Aku juga tidak pernah menyangka, jika hubungan kita akan sampai bertahun-tahun seperti ini. Singkat cerita, kita pun kembali ke negara ini. Meski aku sudah berusaha melupakan masa laluku, ternyata Tuhan sepertinya ingin aku memberikan utang penjelasan pada mantan suamiku.
"Aku tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan dia di situasi yang seperti itu. Benar-benar tidak menyangka dia akan berdiri di hadapanku. Aku tahu, dia juga kaget saat pertama kali melihatku lagi. Namun, tidak ada yang bisa kami berdua lakukan untuk mengubah takdir. Semua benar-benar telah Tuhan atur agar kami bisa sama-sama melepas masa lalu. Meluruskan kesalahpahaman di antara kami berdua agar tidak ada lagi beban di hati masing-masing."
"Jadi, kamu sudah berbaikan dengan mantan suamimu?" tanya Soni.
Rana mengangguk. "Ya, bisa dikatakan seperti itu. Dia bahkan sudah menikah lagi dan aku yang turut mengatur pernikahannya."
"Apa aku mengenalnya?"
Rana sedikit ragu, tetapi mengangguk kemudian. "Ya, kamu mengenalnya. Bisa dikatakan, kamu mengenal baik istrinya saat ini."
Entah kenapa, meski sudah mengetahui kenyataannya, jantung Soni tetap saja berdetak kencang. Soni sendiri tidak tahu kenapa ia menjadi seperti ini.
"Siapa?"
"Nando," jawab Rana pelan, "suami Yaya, sepupu kamu."
Air mata Rana menetes perlahan setelah mengatakannya. Meski berusaha untuk tersenyum, kesedihan itu terlihat jelas di mata Rana.
"Maafkan aku yang tidak jujur dari awal, Son. Seharusnya sebelum memulai hubungan ini, aku dengan jujur mengatakan kalau aku sudah menikah. Sekarang, aku terima apa pun keputusan kamu setelah mendengar masa laluku. Aku sudah pernah menikah, Son. Aku wanita yang pernah gagal berumah tangga."
Tanpa banyak suara, Soni meraih tubuh Rana ke pelukannya. Membiarkan Rana tersedu di sana. Mengeluarkan sesak di dada yang selama ini Rana simpan sendirian.
"Aku tidak pernah jujur sama kamu, Son. Aku takut kamu menjauh setelah tahu statusku. Aku juga takut kita tidak akan sama lagi setelah kamu tahu kenyataan ini. Aku minta maaf sama kamu, Son."
"Rana ...," panggil Soni pelan. Menguraikan pelukan mereka demi memandangi wajah Rana, tidak lupa pula Soni menghapus air mata yang masih menetes itu. "Kamu tidak salah. Sungguh. Kalaupun kamu merasa bersalah karena tidak jujur denganku dari awal, maka aku juga akan meminta maaf."
"Maksud kamu?" tanya Rana dengan bibir bergetar karena tangis.
"Aku sudah tahu semuanya."
Mata Rana terbeliak kaget.
"Ya, aku sudah tahu kalau kamu pernah menikah."
"Kamu ... tahu dari mana?"
Soni mengusap kedua pipi Rana, mengecupnya pelan sebelum melanjutkan, "Saat pulang ke Indonesia, kamu tahu apa yang pertama kali aku lakukan?"
Rana menggeleng. Tentu saja Rana tidak tahu karena Soni terlebih dulu pulang ke Indonesia. Rana hanya tahu saat itu Soni pernah menanyakan alamat rumahnya.
"Aku menemui orang tua kamu, Na. Aku bertamu ke rumahmu untuk pertama kalinya. Dan di waktu yang sama, aku juga meminta restu sama papa kamu. Aku ingin hubungan ini melangkah ke tahap yang lebih serius lagi. Saat itulah aku tahu masa lalu kamu, Na. Meskipun aku tahu terlebih dulu dari orang lain, aku berusaha mengerti, Na. Aku akan dengan sabar menunggu kamu bercerita lebih dulu. Siapa sangka, hari itu datang juga."
"Jadi ... selama ini kamu sudah tahu?" tanya Rana.
"Iya, aku sudah tahu."
"Kalau kamu sudah tahu, kenapa kamu tidak pernah bertanya?"
"Karena seperti yang aku katakan tadi, Na, aku menunggu kamu bercerita sendiri. Aku tidak akan memaksa kamu untuk bercerita, karena aku tahu kamu pasti butuh waktu. Kalau kamu tidak pernah bercerita, berarti hal tersebut terlalu berat untuk kamu utarakan. Karena itulah, aku menunggu, Na. Aku menunggu kesiapan kamu agar mau berbagi denganku."
"Kamu tidak keberatan dengan statusku? Aku janda, Son. Aku sudah pernah menikah."
"Lalu kenapa kalau kamu janda? Kenapa kalau kamu pernah menikah? Apa itu semua akan membuatku menjauh? Tidak, Na. Bahkan setelah hari itu aku mengetahui kebenarannya, apa aku pernah menjauh?"
Rana terdiam. Tentu saja jawaban dari pertanyaan Soni adalah tidak. Bahkan setelah tahu semuanya, Soni tetap memperlakukan Rana sama seperti sebelumnya. Soni tidak pernah menganggap rendah dirinya dan selalu berada di sisi Rana.
"Aku tidak peduli semua itu, Na. Mau kamu pernah menikah atau belum, kalau hatiku memilihmu, maka aku akan tetap bersama kamu. Tidak ada sedikit pun keraguan di hatiku mengenai ini, Na."
"Kamu menerimaku?" tanya Rana, masih tidak percaya.
"Tentu saja. Kalau aku tidak menerimamu, menerima semua masa lalumu, mana mungkin aku berada di hadapanmu seperti ini, Na."
"Tapi, Son, aku—"
"Cukup kamu tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Kamu tidak perlu memusingkan hal lain. Kamu cukup berada di sisiku saja, Na."
Soni meraih jemari Rana lagi. Menggenggamnya erat lantas mengecup tepat di jemari yang terlingkarkan cincin yang ia beri. Ketika kedua netra mereka berdua terpaut, hanya senyuman tulus yang terukir di bibir keduanya.
***
Sudah mendekati ending. Gimana? Udah nebak akhir ceritanya gimana? Apa mau berhenti di sini aja?
Tenang aja, masih sisa satu bab lagi. Doakan saja semoga segera aku update ending ceritanya.
Tapi jujuran aja, sih, rada kurang nge-feel sama bab ini. Terus aku juga ngerasa si Rana ini kok red flag sekaliiii. Ada yang ngerasa sama juga nggak, sih?
Semoga ada cowok ijo neon kayak Soni sama Nando ya.
xoxo
Winda Zizty
03 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro