Dua Puluh Dua
Juni 2022
Rana yang baru saja keluar dari toilet sedikit bingung saat melihat seorang lelaki tengah duduk di dekat Soni. Posisi sang lelaki yang membelakangi Rana, membuat wanita itu tidak bisa menebak dengan pasti siapa sebenarnya lelaki yang kini berbagi meja dengan mereka itu.
Saat Rana mendekat, pandangannya beradu dengan milik Soni. Meski saat ini Soni tengah tersenyum, entah kenapa Rana merasa ada sesuatu yang tengah lelaki itu sembunyikan. Berusaha abai, Rana kembali duduk di kursinya.
Belum sedetik bokong Rana mendarat di alas kursi, netra wanita itu seketika membeliak. Sosok lelaki yang semula hanya bisa ia lihat punggungnya saja itu, kini beradu pandang dengan Rana.
Berbeda dengan Rana, alih-alih memperlihatkan ekspresi terkejut yang sama, lelaki itu terlihat begitu tenang. Seolah pertemuan ini sudah bisa lelaki itu duga sebelumnya. Bukan sebuah kebetulan yang telah dirancang oleh permainan takdir.
Menyadari ekspresi Rana, Soni berdeham pelan. Membuat Rana seketika menoleh dan langsung mengubah mimik mukanya. Rana duduk dengan canggung saat Soni menatapnya dengan senyuman lembut.
"Rana, kenalkan, ini Nando. Tunangannya Yaya." Soni memperkenalkan Nando pada Rana.
Rana berdeham pelan. Menelan ludah susah payah, demi membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba saja kering.
"Ah iya, aku sudah tahu," kata Rana tanpa menoleh pada Nando sedikit pun. "Kemarin pas fitting aku ketemu sama mereka berdua di galeri."
"Oh begitu," ucap Soni. Mengangguk pelan setelah mendengar penjelasan Rana. "Kalau begitu, aku tidak perlu susah payah memperkenalkan kalian berdua, ya."
Soni menyesap kopinya perlahan. Saat itulah netranya beradu pandang dengan netra Nando. Dari tatapannya, Nando menuntut penjelasan pada Soni yang tiba-tiba saja mengubah skenario yang sebelumnya sudah mereka sepakati. Meski tahu arti dari tatapan Nando, Soni pura-pura tidak tahu dan meneruskan rencananya sendiri.
"Na, apa kamu tahu? Nando ternyata satu alumni dengan kamu," ucap Soni. "Ternyata kalian pernah sekolah di SMA yang sama. Apa kamu pernah bertemu dengan Nando saat masih sekolah, Na?"
Rana tersedak makanan yang tengah ia kunyah. Buru-buru Soni memberikan Rana minuman agar bisa mendorong makanan yang tersangkut di kerongkongannya. Setelah merasa lebih baik, Rana menjawab pertanyaan Soni dengan anggukan kepala.
"Iya, aku pernah melihat Nando," kata Rana nyaris berbisik. "Dia salah satu teman dekat Kak Aldo."
"Wah, ternyata kalian sudah lama saling kenal, ya." Soni terlihat begitu antusias dengan fakta bahwa Nando dan Rana sudah saling mengenal.
Rana kembali membisu. Begitu pula dengan Nando yang menatap Soni dengan sorot meminta penjelasan. Namun lagi-lagi Soni memilih abai dan pura-pura tidak menyadari arti dari tatapan yang dilayangkan Nando padanya.
Suasana tiba-tiba menjadi canggung sekali. Rana yang semula makan dengan tenang, setelah adanya Nando di antara mereka, kini makan dengan sedikit terburu-buru. Dalam hitungan menit, makanan yang dipesan Rana kini sudah tandas. Begitu juga dengan minumannya.
Menyadari hal itu, Soni buru-buru menahan Rana yang sudah terlihat jelas ingin segera pergi dari sana. Terlihat sangat jelas di wajah Rana, bahwa wanita itu tidak nyaman dengan adanya Nando di tengah-tengah mereka.
"Na, aku ke belakang dulu, ya. Kamu ngobrol-ngobrol dulu aja sama Nando," kata Soni yang langsung berdiri, tepat sebelum Rana bangkit dari duduknya.
Rana ingin protes, tetapi Soni sudah keburu pergi. Meninggalkan Rana berdua saja dengan Nando.
Sepeninggal Soni yang katanya ingin ke toilet, baik Rana ataupun Nando sama-sama tidak ada yang membuka mulutnya. Seolah keduanya tidak berminat untuk membuka percakapan. Padahal sebenarnya, Nando tengah merangkai kata-kata untuk menjadi kalimat pertamanya saat berhadapan dengan Rana seperti ini.
Nando tidak menyangka Soni akan meninggalkannya berdua saja dengan Rana. Ia memang setuju saat Soni menawarkan diri padanya untuk bisa berbicara dengan Rana lagi. Namun bukan seperti ini yang Nando harapkan.
Nando berdeham pelan. Membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Mengalihkan pandangan dari wajah Rana, Nando menyesap minuman yang tadi sudah dipesankan Soni saat Rana pamit ke toilet.
Saat meletakkan kembali gelasnya ke atas meja, Nando sedikit tersentak saat menyadari tatapan Rana kini beralih ke arahnya. Ada amarah yang berkilat di mata Rana dan Nando tidak mungkin mengabaikan hal tersebut. Keberadaan Nando di sini seolah suatu aib bagi Rana. Wanita itu benar-benar tidak menyukai duduk berdua saja bersama Nando di sini.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Rana. Nada bicaranya cukup pedas hingga Nando merasakan perih di dalam dada.
"Aku tidak sengaja berada di sini dan melihat Soni," jawab Nando, pura-pura tak acuh. Soni sudah membuatkan skenario untuk mereka berdua, jadi Nando kali ini hanya memainkan peran yang sudah disiapkan untuknya.
Rana membuang napasnya dengan kasar. Wanita itu bersedekap lalu membuang pandangan ke arah lain. Ke mana saja, asal bukan ke wajah Nando.
Laki-laki berkacamata yang pernah mengikrarkan janji sehidup semati bersama Rana itu hanya bisa menahan kecewa dengan respons yang Rana berikan. Meski sudah tahu akan begini jadinya, entah kenapa Nando sangat berharap sekali saja Rana menyambut dengan senyum di wajah. Bukan wajah cemberut yang berbalut kemurkaan seperti yang saat ini Rana tampilkan.
"Aku tidak tahu kalau Soni adalah sepupu Yaya. Aku juga baru tahu kalau kamu dan Soni berpacaran," kata Nando, berusaha memulai percakapan dengan Rana.
Rana memilih diam. Seolah tidak tertarik sama sekali dengan apa yang Nando ucapkan. Namun mengenal Rana lebih dari bertahun-tahun yang lalu, membuat Nando sedikit mengetahui bahasa tubuh wanita itu.
Jika Rana bersikap diam seperti ini tanpa pergi dari hadapan lawan bicaranya atau melakukan kegiatan lain untuk menghentikan pembicaraan, itu berarti Rana tengah mendengarkan apa yang Nando ucapkan. Hal tersebut cukup mengobati kepedihan di hati Nando karena Rana masih mau meladeninya berbicara.
"Kamu tahu, bulan depan aku dan Yaya akan menikah. Karena itu, selagi kita berdua bisa berbincang seperti ini, aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu," ucap Nando pelan.
Semua ekspresi di wajah Rana, tidak ada satu pun yang Nando lewatkan. Lelaki berkacamata itu sengaja menunggu untuk melihat sendiri seperti apa respons yang Rana berikan setelah mendengar ucapannya.
Karena Rana masih diam, Nando pun melanjutkan, "Jika harus jujur, aku tidak tahu kenapa kita bisa berpisah. Sebenarnya, kenapa kita bisa berpisah? Apa yang menyebabkan hubungan kita berakhir seperti itu?"
Jika sedari tadi hanya muka datar yang Rana berikan. Kini setelah kalimat itu keluar dari bibir Nando, air muka Rana langsung berubah. Berbagai jenis ekspresi dapat Nando lihat di wajah Rana. Meski wanita itu memalingkan wajahnya dari Nando, ekspresi Rana masih bisa dilihatnya dalam sepersekian detik.
Wajah Rana saat mendengar perkataan Nando barusan merupakan gabungan dari emosi marah, sedih, dan kecewa. Benar-benar tidak Nando sangka akan melihat gabungan jenis emosi tersebut di wajah Rana.
"Aku tidak ingin membuka lembaran baru dengan luka yang tertinggal di belakang. Begitu pula yang aku harapkan darimu. Aku tidak mau apa yang terjadi di masa lalu membuat kita menjadi manusia yang akan mengulang kesalahan di masa depan," tambah Nando. "Aku tidak ingin kita berdua memiliki perasaan yang terasa janggal karena cerita kita di masa lalu. Aku ingin kita berdua sama-sama hidup bahagia tanpa adanya dendam atau rasa sakit hati di hati masing-masing."
Rana merasakan kedua pelupuk matanya seketika memanas. Untungnya saat ini ia tengah mengalihkan pandangan ke arah lain. Sehingga matanya yang berkaca-kaca menahan tangis, tidak bisa dilihat oleh Nando.
Tidak Nando kira, ia mendengar Rana berdecih pelan. Lalu wanita itu terlihat tengah menyeka sesuatu di wajahnya. Nando tidak bisa melihat gerakan Rana secara jelas, karena wanita itu duduk menyamping. Menghindar dari pandangan Nando.
"Sebenarnya sudah dari dulu aku bertanya-tanya, apa yang membuatmu selalu meminta untuk berpisah. Aku sudah berusaha semampuku untuk bisa ada di dekatmu. Aku juga selalu membelikan apa-apa saja yang kamu mau. Lalu, di mana letak kesalahanku, Rana? Kenapa dulu kamu selalu bersikeras meminta untuk bercerai? Kamu bahkan tidak pernah memberikan aku kesempatan untuk berbicara sama sekali," ucap Nando sedikit berapi-api.
Semua uneg-uneg yang bertahun-tahun ini hanya bisa Nando simpan dalam hati, kini ia keluarkan. Bertahun-tahun ini Nando hanya bisa menduga-duga mengapa Rana meminta untuk bercerai dan tidak pernah mengizinkannya untuk bertatap muka lagi dengan wanita itu.
"Apa kamu sebegitu membenciku hingga tidak pernah mau memberikan aku kesempatan untuk berbicara? Aku sama sepertimu, Rana. Aku juga punya perasaan. Aku juga terluka saat kamu begitu teguh meminta bercerai. Sebenarnya kau anggap apa aku selama ini, Rana?"
Rana tiba-tiba menoleh ke arah Nando dengan mata yang sudah memerah. Sekuat apa pun Rana berusaha menahan tangisnya, wanita itu tetap tidak bisa bertahan lebih lama. Terlebih lagi saat Nando menghujani Rana dengan berbagai pertanyaan. Memojokkan Rana agar menjawab semua pertanyaan yang bertahun-tahun ini tidak pernah ada kesempatan untuk Nando utarakan.
"Aku dulu sangat mencintai kamu Rana. Meski aku benci mengatakan hal ini, tetapi aku sungguh rela mati demi bisa melihatmu hidup dengan bahagia. Apa salahku hingga kamu meminta bercerai? Hanya itu yang selalu ingin aku tanyakan padamu, Ran."
Setitik air mata berhasil lolos dari sudut mata Rana. Namun ia sama sekali tidak berniat untuk menyeka air mata yang perlahan-lahan merembes dan menjatuhi pipinya. Tatapan Rana yang tajam bagaikan sebuah ujung pedang yang kini menghunus Nando tepat di jantungnya.
"Aku kira perpisahaan kita dapat membuatmu sadar dan intropeksi dengan apa yang telah terjadi di masa lalu. Namun sepertinya aku salah," kata Rana dengan suara bergetar. "Kamu bahkan tidak menyadari di mana letak kesalahanmu, Nando."
"Kamu tidak pernah memberikan aku kesempatan. Kalau saja kamu memberikan aku kesempatan untuk memperbaiki semua yang terjadi, mungkin saja—"
"Jika itu yang terjadi, keputusan yang akan aku ambil tetap sama," potong Rana cepat. "Kamu mungkin mengira dengan memberikan apa-apa yang aku mau itu sudah cukup untukku. Tapi kamu salah. Saat itu bukan hal-hal seperti itu yang aku mau dari kamu."
Rana menyeka air matanya dengan kasar. Sorot tajam dan dingin itu terhunus lurus kepada netra Nando yang berada di balik kaca matanya.
"Bukan cinta atau rasa sayang yang aku butuhkan saat itu," kata Rana lagi. "Aku hanya ingin kamu ada di sisiku. Namun kamu malah terlalu sibuk dengan semua kegiatan kampus ini dan itu. Apa kamu lupa aku adalah istrimu, Ndo?"
Nando bergeming. Tidak membalas kata-kata Rana sama sekali. Nando benar-benar tidak menyangka karena hal sepele itu yang membuat Rana ngotot meminta bercerai darinya.
"Tapi itu hanya hal sepele, Ran." Nando lalu melanjutkan, "Saat itu kita memang pasangan yang menikah, tetapi aku juga memiliki kewajiban di organisasi yang aku ikuti. Aku juga—"
Rana tertawa, membuat Nando menghentikan ucapannya. Mendengar ucapan Nando membuat Rana semakin teriris sembilu.
"Mungkin bagimu itu sepele, tapi tidak untukku. Aku istrimu saat itu, tapi kamu lebih mementingkan organisasi di kampus ketimbang istrimu sendiri. Kamu benar-benar keterlaluan, Nando."
Sekali lagi Nando terdiam. Kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan Rana. Nando sama sekali tidak bisa memahami jalan pikiran Rana. Baik itu dulu ataupun sekarang.
"Kamu selalu bertanya-tanya kenapa aku meminta bercerai. Tapi setelah mendengar jawabanku, kamu membantah semuanya." Rana tersenyum sinis. "Aku hanya ingin waktu dan perhatian yang lebih darimu saat itu. Kita memang terlalu muda untuk menikah saat itu hingga tidak bisa memahami kebutuhan masing-masing. Namun, seharusnya semuda apa pun kita saat itu, kamu tidak boleh meninggalkan aku hingga berteman dengan rasa sepi. Seharusnya kita banyak menghabiskan waktu berdua untuk mempererat hubungan. Namun kamu selalu sibuk dengan kegiatan kampus. Kamu yang terlebih dulu meninggalkan aku."
Nando benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Di masa lalu ia benar-benar sudah berusaha keras untuk menyenangkan Rana. Nando selalu berusaha maksimal agar bisa menjadi suami yang baik untuk Rana. Namun ternyata, itu semua bukanlah hal yang bisa membuat Rana bahagia dan bertahan di sisinya.
Penjelasan Rana dengan semua ekspresi yang mewakili isi hatinya, mampu membuat Nando diam membisu. Dari semua hal yang Rana utarakan, Nando tidak pernah membayangkan ia akan menjadi lelaki yang begitu buruk di mata sang mantan istri.
***
Hm, jadi itu alasan Rana minta cerai sama Nando di masa lalu? Apakah benar? Menurut kalian gimana?
Oh iya, jangan lupa baca ceritaku yang masih on going, ya. Judulnya Bring Me Back!
Tentang Natasya yang tiba-tiba saja tersedot ke dalam dunia lukisan dan malah tinggal di negeri antah berantah sebagai Pearly. Kuy, kuy, segera mampir ke Bring Me Back!
Selagi nunggu Menikah Kembali update, bisa banget tuh kalian baca Bring Me Back!
xoxo
Winda Zizty
14 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro