Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua

Happy reading.

***

September 2014


Menjadi seorang istri Nando Mahendra tidak pernah Rana bayangkan akan semenyenangkan ini. Lupakan tentang malam pertama atau apa pun itu yang sering dibicarakan orang-orang, karena kedua orang tua mereka—baik dari pihak Nando maupun Rana—meminta mereka agar menunda momongan. Tentu semua itu Rana terima dengan senang hati. Bukan karena ia tidak menyukai anak kecil, hanya saja ia ingin lebih lama menikmati masa pacaran dengan Nando. Berdua saja tanpa ada tangisan anak kecil di rumah mereka. Belum.

Kurang lebih sebulan ini Rana disibukkan menjadi seorang istri yang baik. Meski tengah melaksanakan ospek, Rana tetap berusaha membuatkan sarapan untuk Nando. Untungnya, ospek yang diadakan selama seminggu itu cepat berlalu. Sekarang, Rana bisa menikmati masa-masa menjadi mahasiswi baru sekaligus seorang istri.

Memilih tinggal di rumah yang sudah disediakan keluarga Nando, mereka menjalankan kehidupan sebagai sepasang suami-istri muda. Teman-teman kampus mereka juga ada yang sudah tahu jika mereka sudah menikah. Bukan karena ada kecelakaan, tetapi murni atas keinginan dan kesadaran mereka berdua untuk membangun rumah tangga.

Meski bahagia bisa 24/7 bersama Nando, rasa rindu itu menyelinap di hati Rana karena tinggal cukup jauh dari orang tuanya. Memilih tinggal dan berkuliah di Bandung, Rana harus meninggalkan keluarganya di Jakarta. Aldo sendiri memilih berkuliah di Jakarta, alih-alih di Bandung seperti Nando dan Rana.

“Kak, nanti pulang sore lagi?” tanya Rana setelah Nando keluar dari kamar mandi.

Lelaki yang masih mengalungkan handuk kecil di leher itu pun menoleh sekilas. Mengambil kemeja yang sudah Rana sediakan di atas kasur, Nando menjawab, “Nggak tahu juga. Mungkin iya. Mungkin juga bisa pulang malam.”

Ada kecewa di dada Rana. Bulan September sudah berada di ujung, tetapi Nando seringnya menghabiskan waktu di kampus ketimbang rumah mereka. Kesibukannya sebagai anggota himpunan mahasiswa cukup menyita waktu sang suami.

“Mau aku masakin apa buat malam nanti?” tanya Rana lagi. Kali ini ia mengekori Nando yang keluar kamar menuju ruang tengah.

“Kayaknya bakal makan di luar kalau pulangnya sampe malem. Kamu masak buat kamu makan sendiri aja, ya.” Nando tersenyum. Mengusap puncak kepala Rana penuh sayang.

“Ya udah deh kalau gitu.”

Rana benar-benar tidak bisa menutupi rasa kecewanya. Hari ini adalah hari Sabtu, Rana tidak ada jadwal kuliah, berbeda dengan Nando. Menyadari mimik wajah Rana yang tidak sedap dilihat, Nando langsung memeluk sang istri. Mengusap punggungnya sambil sesekali mencium ubun-ubun dan dahi Rana.

“Minggu depan,” ucap Nando. “Minggu depan gimana kalau kita jalan keluar? Setelah pulang dari kampus, kita ketemuan di kafe. Gimana?”

Binar di mata Rana langsung berubah. Bibir gadis itu pun langsung merekah sempurna. Tanpa membuat Nando lama menunggu, gegas Rana mengangguk. Tanpa aba-aba ia menenggelamkan diri dalam pelukan Nando. Begitu erat hingga Nando sedikit kesulitan bernapas. Namun mendengar kekehan kecil dari bibir Rana, membuat Nando melupakan hal tersebut.

“Janji, ya. Minggu depan kita kencan!” Rana mengacungkan jari kelingking kanan, tepat di depan mata Nando.

Nando terkekeh geli melihat tingkah istrinya. “Iya, janji.” Tanpa ragu ia mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Rana.

“Awas kalo bohong! Nggak  boleh cium-cium lagi!”

“Kalau gitu, aku cium sekarang aja.”

Tanpa memberikan Rana kesempatan untuk merespons perkataannya, Nando langsung mendaratkan bibirnya ke wajah sang istri. Dahi Rana menjadi pendaratan pertama bibir Nando.

“Curang!” protes Rana.

Tidak memedulikan protes yang dilayangkan, bibir Nando terus turun ke kedua mata Rana. Senyum Rana terkembang saat ciuman itu kini berpindah ke kedua pipi, lalu menuju hidungnya. Menciptakan jarak antara wajah mereka, Nando menempelkan dahinya pada dahi Rana. Menatap kedua mata sang istri yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Nando akui, ia memang jatuh cinta pada seorang Rana Noviandra pada jumpa pertama. Saat pertama kalinya ia bertandang ke rumah Aldo untuk mengerjakan tugas bersama dan Rana datang ke kamar untuk membawakan camilan serta minuman. Ekspresi terpaksa Rana terlihat begitu gemas di mata Nando kala itu. Membuatnya jatuh cinta, tetapi memilih untuk memendamnya.

“Kak Nando,” panggil Rana.

Ti amo, Rana.”

Kedua bibir itu terkunci. Bukan karena kehilangan kata-kata, tetapi bersatu untuk saling memagut.


***

Mei 2015


Rana membiarkan wajahnya masam semasam-masamnya. Bibirnya terkatup rapat, berbanding terbalik dengan air mata yang terus turun membasahi pipi. Menatap sekeliling, Rana mendapati kamarnya yang sedikit berantakan. Sudah dua hari ini ia lebih memilih mendekam di kamar. Menangisi apa yang baru saja terjadi.

Suara ketokan palu itu masih terngiang jelas di telinga Rana. Putusan sang hakim yang menandakan pernikahannya dengan Nando telah berakhir secara resmi. Kini status janda telah ia sandang dan Rana sama sekali tidak menyukai hal tersebut.

“Rana ... Sayang. Rana, makan dulu, yuk.” Suara Annisa dari balik pintu berbarengan dengan ketukan pelan. “Rana ... Nak, makan yuk. Mama bikinin makanan kesukaan kamu.”

Bibir Rana masih terkunci rapat. Ia bungkam sembari tenggelam dalam kesedihan. Duduk di atas kasur, ia menundukkan kepala di lipatan lutut. Menangis tanpa suara karena tidak ingin isakannya terdengar di luar sana.

“Rana ....” Annisa masih berusaha membujuk Rana. Wanita itu berusaha membuka pintu kamar Rana, tetapi nihil. Sang anak memilih mengunci diri seolah berkata bahwa ia ingin sendiri tanpa gangguan.

Annisa menghela napas putus asa. Radit di belakangnya hanya bisa menggeleng dan mengelus pundaknya.

“Udah, jangan dipaksa. Biarin Rana sendiri dulu,” ucap Radit, menenangkan.

“Tapi, Pa ....” Annisa menahan pilu. Tidak sampai hati melihat anaknya begitu dalam menyimpan luka.

“Rana butuh waktu, Ma. Biarin aja,” timpal Aldo yang tiba-tiba ikut berdiri di depan pintu kamar Rana.

Annisa dan Radit menoleh. Anggukan kepala Aldo membuat Annisa menyerah. Memutar tubuh, ia melangkah menjauhi kamar Rana. Sesekali ia menoleh ke belakang, berharap Rana mau membuka daun pintu yang terkunci rapat.

“Mama percaya aja sama Rana, dia pasti bisa melewati ini.” Aldo menenangkan sang ibunda. Termasuk hatinya yang ikut gulana akibat kesedihan sang adik.

Rana tahu keluarganya ikut bersedih akibat sikapnya, tetapi ia tidak bisa menampakkan muka untuk saat ini. Ia terlalu malu dan sedih karena harus mengakhiri pernikahan yang hanya berjalan beberapa bulan saja. Tidak sampai setahun, pernikahan yang Rana idam-idamkan harus kandas. Lelaki yang ia cintai kini sudah menjadi masa lalu.

Saat ini, Rana tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Semua terlihat kelabu di matanya. Bahkan pertengkaran yang tidak disangka itu malah menyebabkan rumah tangganya dan Nando hancur berantakan. Nando tidak mengindahkan ucapan Rana untuk berpisah, tetapi gadis itu tetap ngotot. Hingga akhirnya palu pengadilan yang diketok sang hakim menjadi putusan dari segala pertengkaran yang ada.

“Bego kamu Nando! Bodoh!”

“Tega kamu Nando! Jahat!”

“Sialan kamu Nando! Berengsek!”

Makian serta umpatan tak hentinya keluar dari bibir Rana. Menyalahkan Nando adalah jalan yang Rana pilih. Tidak tahu apa yang sebenarnya menjadi pokok pemasalahan yang sering mereka ributkan, Rana benar-benar buta. Rana tidak tahu kenapa begitu mudahnya hubungan itu berakhir dalam sekali kedipan mata. Rana tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di dalam hidupnya.

Skenario apa yang Tuhan tulis untuk Rana perankan? Kenapa rasanya sesakit ini? Kenapa air matanya tak kunjung berhenti? Kenapa ia tidak bisa membenci Nando dengan mudah, meski umpatan serta makian meluncur mulus dari bibirnya. Kenapa bibirnya terus bungkam saat kali terakhir mata mereka bertemu di pengadilan?

Sebenarnya, apa ini yang benar-benar Rana inginkan? Apa ini yang memang Rana teriakkan tiap malam di wajah Nando setiap kali mereka bertengkar? Apa yang sebenarnya Rana inginkan? Apa yang sebenarnya ada di otak dan hati Rana kala meminta bercerai?

Rana tergugu. Menangisi yang entah apa saja ia tidak tahu. Namun satu yang ia tahu pasti, hubungannya dan Nando tidak akan pernah sama lagi. Rana dan Nando tidak akan bisa lagi tinggal satu atap, tinggal di bawah selimut yang sama, juga tidak lagi berbagi peluk dan ciuman saat mereka menginginkan.

***

Desember 2014


Lampu kamar sengaja Nando padamkan. Bahkan jendela pun tidak ia tutup, membiarkan angin malam tanpa permisi masuk ke dalam kamar. Membelai pipi lelaki itu hingga mendingin.

Pandangan Nando lurus ke depan. Pada daun pintu yang setengah terbuka setelah ditinggal pergi salah satu empunya kamar. Mata Nando terus merekam adegan demi adegan saat Rana pergi membawa kopernya. Tanpa menoleh apalagi berpamitan. Hanya amarah yang ditampakkan Rana, meninggalkan Nando sendiri di kamar mereka.

“Aku nggak mau lagi sama kamu, Kak. Terlalu melelahkan menunggu kamu terus-terusan di sini. Sendirian menanti kamu yang selalu nggak ada waktu buat aku.”

Nando tidak menyanggah, apalagi membalas. Ia biarkan saja semua uneg-uneg itu Rana keluarkan, asalkan setelahnya gadis itu tetap menetap di sana. Di sisinya. Namun harapan yang tidak pernah Nando utarakan itu ternyata memantapkan hati Rana agar berpisah.

“Lebih baik kita bercerai, Kak. Kamu bisa bebas melakukan kegiatan organisasimu, aku bisa lebih leluasa di rumah tanpa khawatir menunggu kepulanganmu. Lebih baik kita hidup sendiri-sendiri seperti dulu. Pernikahan ini kita akhiri saja.”

Begitu mudahnya Rana berucap demikian. Nando tidak habis pikir bagaimana bisa Rana berpikir dan menarik kesimpulan seperti itu.

“Rana ... Sayang, bisa kamu redamkan amarahmu dulu?” ucap Nando akhirnya. Ia rasa sudah cukup ia berdiam. Membiarkan Rana yang selama ini mengambil alih percakapan.

“Nggak, Kak! Aku sudah mikirin ini matang-matang. Keputusanku sudah bulat. Kita akhiri saja semua ini. Aku yakin, Kak Nando juga lelah terus-terusan aku marahi seperti ini. Mari kita akhiri semua ini, Kak. Aku sudah sangat lelah.”

Nando berdiri, berusaha menggapai Rana. Menarik gadis itu ke dalam pelukannya untuk meredamkan amarah. Mulanya amarah Rana terasa meredam, tetapi kenyataan tidak pernah sejalan dengan apa yang Nando pikir. Dengan kasar Rana melepas pelukan mereka hingga Nando nyaris terjerembab ke belakang.

“Ceraikan saja aku, Kak. Kita benar-benar terlalu muda untuk membangun rumah tangga. Menikah di usia muda ternyata tidak seperti yang aku bayangkan.”

Semua tidak bisa Nando prediksi. Tangisan yang setiap malam Nando dengar, sikap tak acuh yang Rana layangkan, membuatnya serasa tertusuk sembilu. Pisau tak kasat mata itu ada di kedua tangan mereka, bersiap untuk saling menusuk. Entah siapa yang akan tertusuk lebih dulu, tetapi Nando tahu, rasanya akan lebih sakit ketimbang tertusuk pisau secara nyata.

Sebuah luka tak kasat mata yang tidak akan tahu kapan tergores apalagi sembuh.

“Baik Rana, kita ...,” sulit sekali bagi Nando mengucap kata itu. Lidahnya kelu. Kata-kata itu tersangkut di tenggorokan, tidak mau ia keluarkan. Menghela napas, Nando melanjutkan, “kita bercerai. Aku ceraikan kamu, Rana. Sudah jatuh talak satuku padamu. Aku akan mengembalikan kamu ke orang tuamu. Aku akan meminta maaf karena tidak bisa menunaikan janjiku untuk menjadi suami yang baik untukmu.”

Rana memilih pergi dengan dijemput kedua orang tuanya. Radit membawa Rana tanpa sedikit pun menoleh. Annisa menatap pilu pada Nando yang tidak akan bisa ia lupakan. Sedangkan Aldo hanya diam tanpa kata. Namun Nando tahu, hubungannya yang berakhir dengan Rana juga berimbas pada persahabatannya dengan Aldo.

***

HALO!!!
Siapa yang nungguin cerita ini update lagi? Atau ada yang nungguin aku nulis lagi?

Aku mencoba terus agar bisa menulis lagi. Akhirnya hari ini aku tekadkan agar bisa melanjutkan cerita yang sudah aku posting di sini. Lagipula, Rana sudah lama ingin berbagi cerita dengan kalian. Terus ikuti kisah Rana, ya.

Btw, happy new year!

Xoxo

Winda Zizty

29 Januari 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro