Delapan Belas
Februari 2015
Jemari polos tanpa cincin itu Rana rentangkan di atas hingga menutupi wajah. Sinar mentari yang menyusup dari celah jemari yang terentang itu, membuat Rana sedikit menyipitkan mata.
Mata sembap Rana memperburuk keadaan. Wanita itu semakin menyipitkan matanya akibat dari menangis semalaman tanpa henti.
Sudah dua bulan berlalu, semenjak Rana meninggalkan Nando. Rana bahkan mengajukan cuti kuliah karena tidak ingin pulang ke Bandung dan menemui Nando. Bahkan saat libur semester pun, berkat bantuan Aldo, Rana berhasil menghindari Nando.
Alhasil, Rana hanya bisa melihat punggung Nando yang menjauh dari jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Saat Nando menoleh, bak sebuah potongan adegan di film, Rana akan gegas bersembunyi di balik dinding.
Entah Nando menyadari keberadaannya atau tidak, degupan jantung Rana begitu keras karena takut ketahuan. Setelah dirasa aman, barulah Rana muncul dari persembunyian. Sosok Nando yang telah menghilang membuat sesak di dada Rana semakin terasa.
Rana sadar, Nando menyambangi kediamannya bukan tanpa alasan. Rana tahu betul seperti apa Nando. Lelaki itu pasti ingin menjelaskan semuanya pada Rana dan menuntut kejelasan pada wanita itu akan pilihan sepihaknya untuk bercerai.
Sampai detik ini, Rana sangat egois. Tidak memberitahukan Nando apa yang sebenarnya menjadi alasan utama ia melayangkan perceraian. Nando dibuat bertanya-tanya di mana letak kesalahannya. Tidak juga diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang membuat Rana ngotot ingin bercerai dari Nando.
Setiap hari Nando selalu datang. Setiap hari pula Aldo menolak kedatangan Nando, bahkan nyaris mengusir lelaki itu. Kedua sahabat itu nyaris adu jotos kalau saja Annisa tidak gegas melerai.
“Nak Nando sebaiknya pulang saja. Mama tidak ingin Aldo dan Nando berkelahi di rumah. Kita ini masih keluarga, tidak baik jika berkelahi seperti ini. Apalagi kalian berdua berteman baik. Mama tidak ingin perkelahian malah membuat semuanya runyam,” kata Annisa.
Nando mengalah, setelah meminta maaf dengan Aldo dan berbaikan, lelaki itu pamit pulang. Dari dalam rumah, Rana menonton semuanya. Ia sudah gatal ingin keluar dan melerai Aldo dan Nando. Untungnya Annisa lebih dulu sampai di teras sebelum Rana keluar dari persembunyiannya.
Nando yang menuruti perkataan Annisa, tidak lagi datang ke rumah setiap hari. Apalagi lelaki itu mulai disibukkan dengan aktivitas perkuliahan.
Rana bernapas lega karena tidak lagi disambangi Nando. Namun Rana juga merindukan sosok Nando yang masih sangat ia cintai.
“Kalau lo masih cinta, kenapa minta cerai bego?” maki Aldo.
“Bukan gue yang minta cerai. Rana yang minta cerai dari gue,” balas Nando.
Rana yang tengah tidur siang tiba-tiba terbangun dengan suara gaduh di lantai bawah. Dari celah dinding, dilihatnya Aldo dan Nando kembali adu mulut. Sayang, kali ini Annisa ataupun Radit tidak ada di rumah.
“Mending sekarang lo pergi, sebelum gue mukul lo tanpa sadar,” usir Aldo.
“Biarin gue ketemu Rana. Please, gue beneran perlu ngomong empat mata sama Rana.”
“Lo punya hape, punya nomor dia, kenapa nggak lo hubungin aja? Kenapa sampe repot-repot dari Bandung ke Jakarta gini?”
“Nomor gue diblokir Rana. Please Do, biarin gue ketemu Rana. Dia masih istri gue. Gue masih berhak ketemu Rana,” pinta Nando.
Rana tidak sampai hati melihat Nando mengiba sedemikian rupa. Namun ia masih keukeh tidak ingin menemui Nando.
Seharusnya Rana tinggal turun saja ke lantai bawah dan menemui Nando. Dengan demikian, maka semua masalah pun akan selesai dan Aldo akan bisa meredamkan amarahnya.
Sayang, Rana tidak pernah mau sekalipun memberikan Nando kesempatan untuk berbicara. Tanpa diminta, Aldo menjadi garda terdepan untuk menghalangi Nando bertemu dengan Rana.
“Pergilah! Sebelum gue panggil satpam buat nyeret lo keluar dari rumah ini!” gertak Aldo. “Pergilah, Ndo, selagi gue masih bersikap baik sama lo.”
Nando lagi-lagi mengalah. Lelaki itu masih memandang Aldo sebagai sahabat dan kakak iparnya. Karena itulah, Nando memilih pergi sesuai permintaan Aldo.
Menyaksikan semua kejadian itu membuat Rana menangis tanpa suara. Hatinya kembali terluka melihat Nando yang tertunduk lesu saat melangkah keluar. Ingin rasanya Rana menyusul Nando dan memeluk lelaki itu.
Seperti yang Nando katakan, lelaki itu masih suami Rana. Meski gugatan cerai sudah dilayangkan, secara hukum Nando dan Rana masih suami-istri. Namun, hati Rana yang sekeras batu membuat tubuhnya turut membatu.
Untuk ke sekian kalinya, Rana hanya bisa memandangi punggung Nando yang menjauh. Punggung yang selalu menjadi tempatnya bersandar saat tugas kuliah membuatnya kelelahan setengah mati.
Aldo yang tahu keberadaan Rana di balik dinding dekat tangga, lantas mendekat. Saat melihat Rana menangis sedemikian rupa, dengan cepat Aldo memeluk sang adik. Membenamkan kepala Rana di dadanya. Meredam raungan tangis Rana yang pecah begitu saja setelah ia peluk.
“Lo bego. Nando juga bego. Kalau masih saling cinta, kenapa minta cerai?”
Tangisan Rana yang semakin menjadi tidak lantas membuat Aldo mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi. Bibir Rana masih bungkam. Hanya isak tangis yang lolos dari bibir sang adik.
***
Februari 2022
Punggung Soni yang tengah memotong sayuran tampak begitu seksi di mata Rana. Meski tampak belakang saja, Rana sangat menyukai pemandangan yang tertangkap netranya saat ini.
Tahu sedang diperhatikan, Soni menoleh sekilas di balik kegiatannya memotong sayuran. Senyum lebar Soni gariskan di wajah. Tidak lupa kedipan di mata kiri saat netranya beradu dengan milik Rana.
“Eh, kedip-kedip segala. Buruan masak gih, udah laper,” canda Rana.
“Lagian, dilihatin kayak gitu, siapa yang nggak melting coba?” goda Soni.
Rana terkekeh. “Dasar gombal!"
“Ya udah, kamu tungguin aja di gazebo belakang, ya. Aku mau selesaiin masakan ini dulu.”
“Nggak mau ah. Mau lihatin kamu masak,” tolak Rana.
Soni memutar tubuhnya, mendelik tidak suka.
“Udah duduk di sana aja. Bentar lagi selesai kok.”
“Ya udah deh iya. Cepetan, ya masaknya,” ucap Rana.
Sebelum berlalu, Rana mendekati Soni dan mengecup pelan pipi lelaki itu dari samping. Soni yang sedikit terkejut hanya terkekeh pelan saat melihat Rana menjauh sambil memeletkan lidah.
Tanpa menunggu lama, masakan Soni sudah terhidang. Dengan lahap Rana menyantap masakan yang dimasak Soni penuh cinta. Sejak pertama mengenal Soni, Rana begitu menyukai masakan lelaki itu.
Bahkan saat di London, Rana dapat menekan pengeluarannya karena Soni bersedia memasak dengan bahan-bahan yang sudah mereka beli. Bukan tidak sering Rana belajar memasak dengan Soni. Hanya saja, cita rasa dari masakan Soni begitu membuat Rana ketagihan.
“Mending dimasakin daripada masak sendiri. Selain nggak capek, aku juga bisa kenyang,” kata Rana kala Soni pura-pura merajuk karena selalu mendapat giliran memasak.
Seperti yang sudah diduga, masakan Soni ludes dalam hitungan menit. Melihat Rana yang kekenyangan, Soni tersenyum puas. Ia bahagia hanya dengan melihat Rana yang begitu menikmati masakannya.
“Gimana? Enak?” tanya Soni yang mendapat jawaban Rana dengan anggukan kepala.
“Masakan Chef Soni emang the best!” puji Rana sembari mengacungkan kedua jempolnya.
Soni tertawa, mengusap gemas kepala Rana. Setelah mencuci piring dan membereskan dapur, keduanya duduk bersantai di gazebo. Rana yang kekenyangan duduk bersandar di bahu Soni dengan jemari yang saling bertaut.
“Kenapa masakan kamu selalu enak sih, Son?” tanya Rana. “Nggak ada satu pun masakan kamu yang gagal. Rahasianya apa?”
“Hm, menurut kamu apa?” Soni bertanya balik.
“Karena sudah passion?” tebak Rana.
“Ding dong! Salah!”
“Terus?”
“Ayo tebak lagi.”
“Sudah keturunan?”
“Ding dong! Salah! Ayo coba lagi.”
“Hm, apa ya?” pikir Rana.
“Nyerah?” goda Soni.
Rana mengangguk menyerah.
“Karena aku masaknya pakai perasaan. Aku ingin orang yang menikmati masakanku merasa bahagia. Seperti kamu yang selalu bahagia setiap makan masakan aku.”
Jawaban Soni membuat Rana mendongak. Menatap lelaki itu dari balik sisi wajahnya yang cukup rupawan.
Garis rahang Soni tercipta dengan tegas dengan bulu halus yang tumbuh di sekitar dagunya. Hidung lelaki itu memiliki ujung yang cukup runcing dengan ukuran sedang. Alis Soni tumbuh tidak terlalu tebal. Namun membingkai indah mata yang selalu menyorotkan keteduhan itu.
Rana menyayangi Soni. Begitu pula sebaliknya. Soni yang pertama kali jatuh hati pada Rana di pertemuan pertama mereka. Sekuat tenaga berusaha merobohkan dinding yang dibangun Rana setinggi mungkin di dalam hatinya.
Persetujuan Rana agar bisa menjalin hubungan asmara pun Soni dapatkan setelah hampir setahun mendekati wanita yang kini telah resmi menjadi kekasihnya. Perjuangan yang tidak mudah itu membuat Soni tidak akan melepaskan Rana begitu saja.
“Kamu nggak lagi ngegombal, ‘kan?” tuduh Rana setelah jawaban Soni terlontar.
Soni tertawa, menatap balik Rana yang memandanginya lurus.
“Aku sama sekali nggak gombal. Emang itu rahasia kenapa masakan aku bisa enak.”
Rana terdiam memandangi Soni. Terlebih saat tatapan Soni menguncinya hingga Rana tidak bisa pergi ke mana-mana. Saat Soni memajukan wajahnya dan menempelkan bibirnya di atas bibir Rana, tidak ada penolakan sama sekali.
Rana menerimanya dengan suka cita. Membiarkan bibir Soni perlahan melumat bibirnya dengan lembut. Sapuan angin yang menyapa wajahnya membuat jantung Rana berdebar semakin tak terkendali.
Tangan Soni merambat naik ke wajah Rana. Membelainya dengan lembut dengan tangan lain yang bertaut erat dengan jemari Rana. Lumatan Soni semakin bertambah kecepatannya, hingga Rana sedikit sulit mengimbangi.
Saat Rana sudah bisa mengimbangi ritme yang dimainkan Soni, lelaki itu menjauhkan wajah mereka. Tatapannya masih mengunci lurus pandangan Rana. Tidak membiarkan Rana teralih barang sedetik.
“Maaf,” ujarnya pelan, “aku hampir kelepasan dan melampaui batas.”
Soni menunduk. Menyatukan dahinya dengan dahi Rana. Dikecupnya singkat bibir Rana sebelum benar-benar menjauh.
“Kamu mau minum apa? Aku ambilin minum dulu ya.”
Tanpa mendengarkan jawaban Rana, Soni lekas berdiri dan masuk ke dapur. Mengambilkan minuman untuknya dan Rana yang hanya bisa terpaku di gazebo. Memandangi punggung Soni yang menjauh dengan tanda tanya besar di benaknya.
Soni datang tak lama kemudian dengan dua kaleng minuman bersoda. Satu ia berikan pada Rana dan satunya langsung ia nikmati begitu duduk.
Selagi menikmati minumannya, Rana sesekali melirik Soni. Lelaki itu sudah lebih tenang daripada sebelumnya. Meski masih belum bisa melakukan kontak mata dengan Rana, tetapi Soni sudah bisa memosisikan dirinya.
Entah sudah berapa kalinya Soni seperti ini. Begitu emosional saat berciuman dengan Rana. Rana sendiri tidak tahu apa yang ada di pikiran Soni hingga membuat lelaki itu seperti kehilangan kendali.
Seperti ada amarah yang Soni simpan, tetapi tidak bisa ia lepaskan begitu saja. Rana ingin sekali bertanya, tetapi bahasa tubuh yang dikeluarkan Soni seolah mengatakan bahwa ia tidak ingin menjelaskan apa-apa.
“Son,” panggil Rana.
“Hm? Kenapa?”
“Apa ada yang mau kamu omongin ke aku?”
Soni tidak langsung menjawab. Rana semakin yakin ada yang Soni simpan untuk dirinya sendiri dan tidak ingin berbagi.
“Nggak ada, Na,” elak Soni.
“Are you okay?” pancing Rana.
“Sure. I’m fine.”
Rana tahu Soni berbohong. Entah kenapa dan untuk apa. Namun seolah tidak terjadi apa-apa, Rana memilih menutup mata dan telinganya atas apa yang terjadi.
“Son,” panggil Rana lagi.
“Iya? Kenapa, Na?”
“Do you love me?”
Tidak seperti tadi, Soni langsung menjawab pertanyaan Rana tanpa ragu, “Of course. Tentu saja aku mencintai kamu, Na. Kenapa kamu menanyakan hal yang sudah pasti jawabannya? Ada yang mengganggu pikiran kamu?”
Rana menggeleng, mendesah pelan.
“Kamu jijik sama aku?” tebak Rana.
Soni membelalakkan matanya. Pupilnya melebar karena terkejut dengan apa yang ia dengar barusan.
“Hell no! Tentu saja nggak, Na. Kenapa kamu sampe ngira aku jijik sama kamu?”
“Ciuman tadi,” ucap Rana.
“Kenapa dengan ciuman tadi?”
“Kamu kayak menahan sesuatu. Kayak ada sesuatu yang salah sama aku.”
“Nggak, Na, bukan gitu,” bantah Soni. “Aku sama sekali nggak jijik sama kamu. Aku hanya nggak mau kelewatan batas kalau tidak menahan diri.”
“Kamu yakin hanya karena itu?” selidik Rana.
“Tentu saja. Kamu jangan mikir yang aneh-aneh. Aku cuma nggak mau melewati batas. Cukup hanya berciuman, tidak lebih.”
Meski masih tidak puas dengan jawaban Soni, Rana hanya bisa mengangguk. Meski Soni terus membantah, Rana yakin ada yang lelaki itu sembunyikan.
Bukan Rana mencurigai Soni bermain api di belakangnya. Namun Rana merasa ada sesuatu yang Soni simpan dan itu berkaitan dengannya.
Tidak ingin Rana semakin berpikiran yang tidak-tidak, Soni meraih wajah Rana. Kembali mengecup bibir gadis itu lebih dalam dari sebelumnya.
***
Ada yang nungguin cerita ini? Aku harap ada.
Xoxo
Winda Zizty
18 Agustus 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro