Epilog - Rasa
Berhubung ada prolog, katanya kudu ada epilog. Extra partnya ... huhuhu, enggak dulu ya, Deers. Mungkin bakal aku kasih di versi cetak, atau bikin senovel sequel mereka. Entahlah. Bikin cerita ini gado2 kek masakan Menik. Aselinya aku pengin bikin cerita kuliner tapi ala hisfic yang tetep bau dokternya kentel. Akhirnya jadi deh Menik ini. Pokoke buat yang baca, semoga terhibur. Part ini part dewasa yak. Moga masih aman2 aja. Kalau nggak aman, getok pala othornya yang perlu disapu.
***
Menik tak percaya ketika melihat wajahnya dipoles bak ratu. Warna-warna cerah di wajah menambah segar tampilan kulit sewarna madu. Rambutnya disanggul dengan hiasan roncean melati dan cunduk mentul yang berjumlah tujuh, membuat Menik terlihat 'manglingi'.
"Ayune … orang ndak bakal menyangka kalau kamu janda, Nduk." Dukun manten terkesiap dengan hasil karyanya sendiri.
Pipi Menik merona. Walau tak terlalu fasih berbahasa Jawa, dia bisa menangkap pujian wanita paruh baya itu.
Mbah Dukun Manten lalu membimbing Menik keluar. Dia menunduk karena selain sanggul yang dia kenakan cukup berat, tetapi juga karena malu menjadi pusat perhatian di rumah saudara Yudha di Blitar.
"Menik …."
Suara itu menabuh jantung Menik seperti dentuman genderang perang. Menik merasa semuanya seperti mimpi, saat melihat Yuuto yang gagah dengan balutan baju seragam tentaranya.
"Kamu cantik sekali. Manis seperti gula. Rasanya ingin melumat dan mencecap." Yuuto tersenyum dengan cengiran seperti anak kecil yang menginginkan permen.
"Abang! Genit ah!" Menik mencubit mesra lengan liat Yuuto. Matanya bergulir ke kanan kiri, memastikan tak ada orang yang mendengar.
Yuuto terkekeh. "Sejak kapan kamu manja begini? Biasanya kamu bersikap dingin kalau dirayu."
"Abang juga sejak kapan jadi tukang rayu?" Mata Menik menyipit.
"Sebelum pulang Kenta sudah memberi satu buku berisi 'Bagaimana menaklukkan gadis dan berakhir di ranjang'."
Menik berdecak, tapi sekaligus miris. Selain Yuuto, Kenta juga sangat baik dengannya. Dia bahkan masih memberikan pekerjaan pada Menik meski Ripto tak ada. Dia juga sangat berhutang budi pada lelaki Jepang dengan sorot cerita itu karena telah membuatnya mengenal Yuuto.
“Kamu sudah siap, Calon Istriku?” Yuuto menarik bibir lebar.
Menik mengangguk mantap. Tak ada alasan menolak, setelah apa yang dia lalui sebelum bisa bersatu dengan lelaki yang dia cintai. Walau sekarang semua orang memanggilnya Pramana, tetap saja, bagi Menik lelaki itu adalah Yuuto Kagami—lelaki Jepang—yang rela melindunginya.
Sebuah gereja yang dibangun tahun 1931, menjadi saksi pernyataan janji sehidup semati dua insan berbeda latar belakang. Walau samudera memisahkan mereka, akhirnya mereka bertemu dan dipersatukan oleh Tuhan dalam sebuah sakramen suci.
Usai rangkaian pemberkatan dan syukuran kecil, Yuuto menemui Yudha. “Bung Yudha, terima kasih sudah banyak membantu kami. Sampai-sampai kamu repot mencarikan pastor untuk kami.” Yuuto menjabat tangan dan memeluk sahabatnya dengan erat. Walau Yudha, penganut muslim, dia tak sungkan untuk mencarikan pastor yang akan memberkati Yuuto dan Menik.
“Aku juga senang akhirnya kalian bersama.” Yudha menepuk lengan Yuuto dengan senyum tulus. “Setelah ini bersiaplah untuk membantu kami bila suatu saat kemampuan medismu diperlukan.”
“Pasti. Asal bisa menyelamatkan nyawa dan membantu sesama, aku akan senang hati membantu,” jawab Yuuto mantap.
“Aye juga bakal masak yang enak buat para tentara biar pada kenyang dan semangat waktu berjuang!” timpal Menik.
Setelah menyalami para tamu yang hendak pulang, Yuuto merangkul Menik erat. Gadis itu kini lebih sering mengembangkan senyum hingga pipi tembamnya tampak menggemaskan.
“Mas Pram, jangan begini. Aye malu.”
Yuuto melipat bibir. Mendapat panggilan ‘Mas’ dari Menik selalu bisa membuat hatinya bergetar. Dia memang meminta Menik tidak memanggilnya dengan sebutan ‘Bang’ atau ‘Abang’ karena akan mengingatkannya pada Ripto dan Joko yang selalu berhasil membuat Yuuto cemburu.
“Kamu lelah, Dik?” tanya Yuuto yang sekarang berusaha menghilangkan aksen anehnya.
“Lumayan. Aye ingin segera melepas sanggul ini.” Menik meringis sambil memijat pundak kanan dengan tangan kirinya.
“Setelah ini apa yang mau kamu lakukan?” tanya Yuuto, melirik Menik dengan pandangan penuh arti.
Menik mengernyit. “Membantu Bulik Darmi cuci piring dan beres-beres.”
“Setelah itu?” Kedua alis Yuuto terangkat.
Menik mengerucutkan bibir. “Mandi dan tidur.”
Yuuto mengerjap. Mulutnya seketika terbuka lebar. Tidur? Di malam pertama pernikahan mereka, Menik memilih tidur? Tidak! Setelah sekian lama Yuuto menahan, dia tidak ingin menunda-nunda lagi.
"Tidur?" Suara Yuuto serak.
"Iya." Tanpa merasa bersalah Menik berdiri. "Aye lelah sekali!" Dan selanjutnya Menik pergi meninggalkan Yuuto yang terperangah seorang diri.
Yuuto pasrah. Mungkin malam ini dia tidak akan membobol tabir kemurnian Menik. Tapi, apakah dia bisa bertahan? Tetap saja Yuuto laki-laki muda yang sehat dan … perkasa. Kalau dulu dia menahan diri, memang karena dia tidak ingin melukai Menik. Kini dia tidak yakin dengan dirinya karena tidak ada untuk menahannya lagi.
Dengan lunglai Yuuto masuk ke dalam kamar setelah mandi. Dia pikir Menik sudah terlelap. Namun, dugaannya salah saat mendapati Menik yang masih memakai kemben dengan rambut setengah basah. Lampu dian yang menerangi kulit basah Menik, membuat perempuan itu tampak bersinar.
Jakun Yuuto naik turun. Jantungnya berdetak kencang dengan peluh tipis merembes dari porinya. Kalau seperti ini, lebih baik dia tidur di luar dari pada harus memaksa Menik.
"Kenapa, Mas?"
Ya, Tuhan, nada itu! Hati Yuuto berdesir saat nada polos dan tidak berdosa itu menyusup telinganya. Buru-buru Yuuto menghampiri ranjang dan meraih selimut untuk menyelubungi tubuh Menik.
Menik tersentak saat selimut tebal itu jatuh di kepalanya. Dia menarik selimut itu dan melirik sinis pada bayangan Yuuto di cermin.
"Kalau seperti itu, kamu bisa kedinginan! Pakai selimut atau bajumu!" sergah Yuuto ketus sambil duduk di atas ranjang. Dia merasa suhu di kamar itu meningkat. Padahal laki-laki itu habis mandi dan yukata yang dipakainya pun cukup tipis.
Menik bangkit dan mendekati Yuuto dengan tubuh berselubung selimut. "Katanya dingin, kenapa Mas Pram justru kegerahan?"
"Ano … ore wa …." Otak Yuuto tiba-tiba tak bisa berpikir.
Menik terkikik. Tangannya menyapu buliran halus di dahi Yuuto. "Wah, Mas Pram kepanasan. Padahal aye kedinginan. Kagak bisa minta dihangatkan jadinya?" Menik memasang muka kecewa. Dia melirik Yuuto yang terlihat kusut.
Namun, sesaat kemudian Yuuto mengerjap. Mata sipitnya membulat. "Di-di-dihangatkan?"
"Iya. Habis Mas Pram sendiri sudah gerah begini." Menik melipat bibir, mengulum tawa. Ekspresi Yuuto benar-benar lucu saat ini. Dari tadi siang, Menik sebenarnya sudah menangkap sinyal-sinyal Yuuto yang meminta jatah. Namun, entah kenapa Menik ingin menggodanya. Walau sebenarnya jantung Menik sendiri sudah berdetak kencang karena perasaan yang campur aduk. Malu, takut, dan ingin tahu rasanya.
Mata Yuuto mengecil. Dia menarik pinggang Menik dan melingkarkan tangannya di sana. Gunung kembar itu tepat di hadapannya. Hanya sejengkal jaraknya kalau Menik tak menahan dengan tangan yang menumpu di bahu. "Kamu menggodaku?"
Tawa Menik meledak.
"Ah, menyebalkan! Aku pikir malam ini aku harus menahan diri karena kamu kelelahan." Alis Yuuto mengerut kesal.
"Mas Pram lucu sekali."
Namun, Yuuto akhirnya menyeringai miring. Dengan berani dia menangkup timbunan otot dan lemak menonjol yang masih dibalut jarik dengan tangan kanannya. Sementara itu, Menik memekik dan menutup mulutnya dengan tangan kanan agar suaranya tidak terdengar dari luar karena masih ada beberapa orang yang ada di sana.
"Mas!" Menik memelotot karena tindakan tiba-tiba Yuuto. Dia memukul pundak kanan Yuuto.
"Bercandamu keterlaluan, Dik! Aku pastikan aku benar-benar akan menghukummu dengan siksaan yang membuatmu merintih nikmat." Tangan Yuuto mulai meremas dada Menik dengan sangat lembut.
Menik menggigit bibir bawahnya, untuk menahan desah karena sensasi yang baru kali ini dia rasakan. Tangan yang mencengkeram pundak Yuuto dengan kuat, membuat Yuuto makin bersemangat menghukum Menik dengan belaian penuh cinta dan hasrat.
"Yuuto-kun …." Kepala Menik mendongak. Kakinya terasa lemas menahan siksaan nikmat karena permainan jari dan lidah Yuuto di bagian atas tubuhnya yang sudah tak berbalut kain. Nalarnya benar-benar terkikis sampai tak sadar kapan Yuuto melucuti kembennya.
Yuuto mendongak, menjeda sapuan lidah di simpul saraf sensitif Menik yang membebaskan naluri purba gadis itu. Dia menatap Menik dengan penuh damba, tanpa menghentikan permainan jemarinya. "Kamu … cantik sekali! Beruntung aku memilikimu, Menik-san."
Pipi Menik memerah. Dia tidak menyangka deraan Yuuto membuatnya mabuk. Namun, dia hanya bisa merintih menikmati rasa baru yang menyiksanya bertubi, hingga akhirnya tubuhnya terasa ringan seperti dilambungkan ke udara bersamaan dengan pekik tertahan.
Menik terengah. Lututnya bergetar tak mampu menyangga tubuh, sehingga Yuuto pun dengan sigap memangku gadis yang sudah berbadan polos itu. "Ini belum apa-apa … aku akan membuatmu tak bisa tidur malam ini. Kamu siap?"
Menik merinding mendengar ucapan lembut yang seperti ancaman. Dia hanya bisa meletakkan kepalanya pasrah. Kenikmatan yang menggulung batinnya itu membuat Menik merasa bahagia di tengah himpitan dunia yang masih bergolak.
Tak menunggu persetujuan Menik, Yuuto membimbing gadisnya ke peraduan. Dia mengecup lembut kening untuk menghisap semua kekhawatiran Menik. Setiap belaian memberi isyarat bahwa Yuuto akan hadir dalam hidupnya, memberi kenyamanan dan keamanan untuk sang perempuan.
Berulang kali Menik melantunkan desah manja yang membuat Yuuto semakin bersemangat untuk memberikan kepuasan batin yang menghapus kepedihan.
"Menik-san, apa kamu siap menjadi satu denganku?"
Jantung Menik yang masih berdetak kencang usai pelepasan itu semakin terpicu. Dia menghela napas panjang untuk meredam debar yang tak terkendali. "Sudah aye bilang aye ini tawanan hatinya Yuuto Kagami. Sejak elu menangkap aye saat terjatuh, di saat itulah elu perlahan menangkap hati aye." Menik mengusap lembut pipi tirus yang kini terlihat memerah.
Sekali lagi Yuuto mencium bibir Menik dengan lembut. "Aku mencintaimu."
Dan, detik berikutnya … dua hati yang berbeda, kemudian bersatu laksana sayur dari gunung dan garam dari laut yang bertemu di belanga. Keduanya mempunyai rasa berbeda, tetapi saling melengkapi.
Bagi Menik, Yuuto adalah garam yang memberi rasa dalam hidupnya. Sedang untuk Yuuto, Menik seperti cabai yang menambah gairah di saat semangatnya luntur. Dan, kini, mereka saling merengkuh, memadukan rasa dalam wadah pernikahan suci.
Gerakan teratur Yuuto yang seperti alu menumbuk padi di lesung, menghasilkan nada cinta yang mengudara di sepertiga malam. Yuuto tidak berhenti melampiaskan naluri purba yang dipendam sejak awal bertemu Menik. Persatuan mereka menjadi bukti pernyataan cinta yang sudah diberkati.
"Menik, apa kamu mau menjadi ibu bagi anak-anakku?"
Menik hanya bisa mengangguk. Dia sibuk menggigit bibir serta meremas ujung bantal untuk menahan rasa nikmat yg bergulung-gulung akibat gerakan Yuuto di bawah sana.
"Jawab aku …," bisik Yuuto dengan serak.
"Aku … mauurghh." Desahan Menik lolos saat bibirnya terbuka.
Yuuto tersenyum. Dari tadi dia berusaha menahan, memastikan Menik sudah mendapatkan haknya. Dia pun memacu gerak, mengejar puncak, hingga benih tersemai dalam rahim subur Menik.
Yuuto ambruk di atas Menik yang sudah kehabisan tenaga karena berulang kali diterbangkan ke surga dunia. Dia hanya bisa memejamkan mata, menikmati aroma feromon manis yang menghipnotisnya.
"Yuuto-kun, terima kasih telah menjaga aye sehingga aye bisa mempersembahkan kesucian aye sebagai istri yang sudah diberkati," bisik Menik lembut seraya mengecup pelipis Yuuto yang basah.
"Justru aku yang berterima kasih, karena kamu masih peduli denganku. Seandainya kamu tidak pergi ke kremasi itu, kita tidak akan ber-sa-tu." Yuuto sengaja menggoyangkan pinggul, menekankan kata-kata terakhirnya.
Menik menepuk lengan Yuuto karena merasakan gerakan yang tiba-tiba. Dia sudah lelah 'dihukum' dengan siksaan yang membuatnya hanya merintih lirih.
Yuuto terkekeh. "Aku menanti kabar baik bulan depan. Sepertinya selain hari ini hari baik untuk menikah, hari ini juga hari baik untuk menanam benih, karena aku sudah menghitung masa suburmu."
Alis Menik mengerut. Dia tak paham maksud Yuuto dengan masa subur. Setahu Menik, sekarang masih musim kemarau yang tidak membuat lahan tak subur.
Mengetahui ekspresi Menik yang bingung, Yuuto tertawa. Dia lalu membaringkan diri di sisi kanan Menik. "Aku harap benihku bisa menjadi bayi mungil. Bayi yang melengkapi kegembiraan kita dan menjadi generasi Kagami yang baru."
Menik mengerjap. "Bayi?" Dia mengelus perutnya, sambil berimajinasi bila perutnya yang serasa hangat ketika benih Yuuto menyembur itu membesar.
Ah, bagaimana rasanya menjadi Nyonya Pram dan ibu bagi anak-anak lelaki itu? Menik tak mampu membayangkannya, karena dia yakin hidupnya pasti akan kaya rasa.
Apakah manis? Asin? Asam? Atau justru kepaitan yang akan Menik cecap?
Sungguh, Menik tak sabar untuk mencicipinya!
💕Dee_ane💕
Udah ya ... dadah di cerita berikutnya😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro